Pengantar
Reaksi
Masyarakat Internasional dalam kasus Genosida
Semenjak isu-isu tentang HAM telah mengemuka dalam agenda internasional,
perubahan-perubahan politik telah terjadi di berbagai Negara yang selama ini
dikenal karena pola-pola pelanggaran HAM beratnya. Kekuatan oposisi telah berubah
menjadi penguasa di beberapa Negara tersebut; dan di sebagian Negara lainnya,
walaupun tidak sepenuhnya terputuskan dengan rezim sebelumnya yang zalim, namun
telah menjauhkan dirinya dari mereka dan dari warisan pelanggaran-pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya.
Arah transisi politik telah menuju demokrasi, baik dengan cara memulihkan
suatu bentuk demokrasi dari pemerintahan yang telah dirusak oleh suatu rezim
yang diktator atau melalui langkah-langkah untuk membentuk suatu pemerintahan
demokrasi yang baru, dimana tak satu pihak pun dari rezim sebelumnya yang
dilibatkan. Di beberapa Negara lainnya, rezim yang baru belum dipilih secara
demokrasi, atau bahkan mereka masuk ke dalam organisasi yang mandiri dalam
memperjuangkan hak-haknya yang perlu ditingkatkan / diseimbangkan.
Oleh sebab itu seruan pemerintah tentang perlu dilakukannya pengkajian atas
segala-gejala yang dapat menjurus timbulnya kerusuhan sebagai akibat
konflik-konflik social, perlu di dukung dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok
masyarakat dalam upaya-upaya menciptakan dan memelihara ketentraman dan tertib
umum yang sehat.
Hak-hak Azasi Manusia merupakan bidang/lapangan kerjasama internasional
yang sah. Penegakan, pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dilaksanakan
dalam kerangka kerjasama internasional, dan tidak sebaliknya ditegakkan dengan
cara konfrontasi atau penekanan sepihak. Kerjasama terutama dapat dilakukan
antara lembanga-lembaga nasional hak-hak asasi manusia (seperti halnya Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Canada dan Komisi-Komisi Nasional lainnya/lembaga-lembaga internasional
lainnya).
Hubungan kerjasama internasional itu dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kemampuan kelembagaan dan meluaskan serta memperkaya pemahaman tentang hak-hak
asasi manusia lembaga-lembaga lainnya melalui partisipasi dalam program-program
kunjungan, pelatihan, pendidikan, kursus dan kegiatan-kegiatan pendalaman
pengertian internasional lainnya.
Oleh karena tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan HAM berada diatas
pundak Negara, dalam hal ini di representasikan oleh pemerintah, perlu
diberikan perhatian yang memadai pada kondisi dan kendala-kendala Negara dalam
menunaikan kewajiban interanasionalnya itu.
A. Pendahuluan
Dewasa ini
masalah HAM telah menjadi isu yang mendunia di samping demokrasi dan masalah
lingkungan hidup, bahkan telah menjadi tuntutan yang serius bagi suatu negara
untuk menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak asasi warga negaranya
dan penduduk tanpa diskriminasi.
HAM merupakan terjemahan dari Human
Rights. Sebenarnya dengan menerjemahkan human
rights dengan HAM, nampak sangat berlebihan (semestinya hanya manusia [tanpa ada kata asasi]). A.
Hamin S. Attamiri menyatakan dalam tulisannya bahwa istilah HAM telah salah
kaprah dengan memasukan kata asasi di dalamnya. Semestinya cukup dengan istilah
“hak manusia” sebagai terjemahan “human
rights” atau “mensen rechten”
mungkin kata asasi berasal dari pengertian “Fundamental” dalam istilah “Leges
Fundamentalis”, yang berarti “hukum dasar”, sedangkan kata “dasar” di sama
artikan dengan “asas” sehingga terjadi kemungkinan tasrif kata sifat “yang
dasar” kemudian menjadi “yang asasi”.
Isitlah yang digunakan para penyusun UUD 1945 semula memang bukan hak asasi
manusia yang dalam bahasa Inggris disebut “human rights”, melainkan hak dasar,
yang dalam bahasa Inggris yang disebut “basic
rights” dalam bahasa belanda “grond rechten”
dan dalam bahasa Jerman “grundrechte”.
Dalam pengertian “human rights”
menyangkut perlindungan terhadap seseorang dari penindasan oleh siapapun,
negara atau bukan negara, sedangkan dalam pengertian “basic rights” menyangkut
perlindungan seorang warga negara atau penduduk dari penindasan oleh negara.
BPUPKI dan PPKI pada saat menyusun UUD 1945 membicarakan tentang hak dasar,
sedangkan PBB pada tahun 1948 berbicara hak manusia, memang tugas dan fungsi PBB tidak hanya meliputi negara anggotanya
melainkan juga wilayah jajahannya atau protektorat.
Kemungkinan timbulnya istilah HAM adalah pada tahun 1950 saat Mr. Muh.
Yamin menerjemahkan human rights
menjadi HAM. Kemudian Prof. Soenarko menerjemahkan”human rights” menjadi hak-hak manusia. Kemudian Prof. Koentjoro
menggunakan istilah hak-hak dasar manusia, yang kemudian berubah menjadi HAM.
Drs. Harbangun Nardjowirogo dalam judul bukunya menggunakan istilah hak-hak
manusia. Dengan demikian masih banyak ketidaksesuaian istilah dalam
menerjemahkan “human rights”. Perlu
diketahui bahwa tidak semua hak manusia bersifat pokok, asasi, mendasar
sehingga dapat disebut sebagai hak asasi (fundamental
rights atau basic rights).
B. Tujuan dan Fungsi HAM dalam Hukum Internasional
Hukum internasional, dengan tegas hanya memfokuskan pada kepentingan
pribadi dan kelompok serta hubungan antara mereka dengan pemerintah. Tujuannya
adalah untuk memberikan perlindungan internasional untuk HAM dan kebebasan
pribadi atas penyalahgunaan oleh pemerintah, dan dalam hal tertentu juga atas
kelakuan pribadi, kelompok pribadi dan organisasi swasta lain, dan menjamin
bagi mereka iklim hidup yang sesuai dengan martabat manusia.
Dengan tujuan hukum
internasional yang hanya memfokuskan pada 2 kategori yaitu kepentingan pribadi
dan kelompok serta hubungan mereka dengan pemerintah, sebenarnya kini telah
menjadi “rancu”. Hal ini disebabakan karena perbedaan antara hak-hak pribadi
dengan hak-hak kelompok makin lama makin “kabur”, oleh sebab sebuah hak dapat
menunjukkan ciri khas kedua kategori. Misalnya, hak untuk bebas berserikat
mengandung unsur kebebasan pribadi sekaligus sosial, dan kebebasan beragama
menunjukkan ciri khas hak pribadi maupun hak kolektif. Juga kriteria yang ada
pada hak kebebasan membebani negara dengan kewajiban untuk tidak mencampuri
lingkungan kebebasan pribadi, sementara kebijakan yang aktif memungkinkan
beberapa hak-hak sosial, ekonomi dan budaya menjadi dikurangi penikmatannya.
Dalam membahas masalah ini, adalah sangat penting untuk membedakan antara 2
bentuk utama dari instrumen internasioanl HAM ( International Human Rights Instrument),
yaitu apa yang dikenal sebagai treaties
(persetujuan) dan declaration (
deklarasi), antara lain:
1.
Instrumen yang secara legal mengikat (legally
biding instrument). Di satu pihak, terdapat instrumen-instrumen yang secara
legal bersifat mengikat di bawah hukum internasional instrumen-instrumen
tersebut menunjukkan secara legal keterikatan kewajiban-kewajiban bagi
negara-negara yang menjadi peserta melalui proses ratifikasi. Instrumen ini
disebut sebagai treaties
(persetujuan), walaupun instrumen ini tidak jarang menunjuk suatu diskripsi
lain seperti covenants atau convention. Sebagai contoh, dapat
dimasukkan antara lain seperti Convention
Against Torture, the Convention Against Genocide dan The International Convenan
on Civil and Political Rigahts.
2.
Instrumen yang tidak mengikat (non-biding
instrument). Dipihak lain, ada instrumen internasional yang tidak
menunjukkan keterikatan kewajiban tetapi mempunyai ciri declaratoier di dalamnya tercantum prinsip-prinsip dan nilai-nilai
penting yang telah diterima oleh masyarakat internasional, namun tidak dengan
sendirinya secara hukum mengikat di bawah hukum internasional. Sebagaimana treties (persetujuan), tidak melibatkan
proses ratifikasi di mana bagi negara-negara yang menjadi pesertanya dan
mewajibkan negara-negara pesertanya untuk melaksanakan instrumen ini mempunyai
berbagai nama, namun yang menjadi istilah umumnya adalah “Declaration”. Dalam
dunia HAM deklarasi yang paling signifikan adalah Declaration of Human Rights. Walaupun deklarasi tidak secara legal
mengikat, ini tidak berarti bahwa mereka tidak penting. Deklarasi ini
mengandung banyak beban moral dan politik di kalangan masyarakat internasional
dan merupakan alat yang efektif dalam menekan negara-negara yang telah
melanggar HAM yang serius1. Deklarasi telah menjadi alat yang
efektif untuk menigkatkan kewaspadaan internasional terhadap standar HAM. Lebih
daripada itu walaupun secara hukum deklarasi tidak bersifat mengikat, beberapa
standar yang tertuang dalam deklarasi mempunyai ikatan status yang legal dengan
constumari law ini adalah dasar yang
dimiliki oleh dari standar itu dan menghasilkan suatu penerimaan dalam
masyarakat internasional yang kemudian mengkristalisasi ke dalam international costum (kebiasaan
internasional).
Hukum internasional mengenai HAM ini tidak saja berlaku dalam keadaan damai
tetapi juga dalam situasi konflik bersenjata internasional ataupun non
internasioanal. Walaupun dalam situasi demikian, negara mempunyai hak untuk
menunda beberapa “kenikmatan-kenikmatan” hak dan kebebasan sejauh keadaan
mengharuskan itu2
Beberapa kunci pokok dari instrumen HAM adalah:
a.
Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human
Rights).
Deklarasi
universal HAM (DUHAM) ini sebagai suatu standar umum bagi prestasi semua bangsa
dan semua negara, dengan tujuan agar semua individu dan setiap warga masyarakat
yang terus mengikat semua deklarasi ini mengembangkan penghargaan terhadap
hak-hak dan kebebasan-kebebasan melalui pengajaran dan pendidikan serta melalui
langkah-langkah progresif secara nasional dan internasional untuk menjamin
pengakuan serta kepatuhan yang universal yang efektif terhadapnya, di kalangan
bangsa-bangsa dari negara-negara anggota maupun di kalangan bangsa-bangsa di wilayah-wilayah
yang berada di bawah yuridiksinya. Bahwa bangsa-bangsa di PBB menegaskan
keyakinan mereka akan HAM yang mendasar adalah martabat dan harkat pribadi
manusia serta dalam hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan dan telah
memutuskan untuk memperjuangkan kemajuan masyarakat serta standar-standar
kehidupan yang lebih baik dalam kebebasan yang besar bahwa, sesuai dengan
deklarasi universal HAM, cita-cita umat manusia yang bebas untuk menikmati
kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan hanya dapat dicapai apabila tercipta
kondisi-kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan
budayanya, ataupun hak-hak sipil dan politiknya.
Bahwa
kewajiban negara-negara menurut piagam PBB adalah untuk mengembangkan
penghargaan universal, serta kepatuhan terhadap, HAM dan kebebasan. Bahwa
individu, karena memiliki tanggung jawab kepada individu-individu lain dan
masyarakat di mana ia menjadi bagiannya, bertanggung jawab untuk memperjuangkan
pengembangan dan kepatuhan terhadap hak-hak yang diakui dalam perjanjian ini. Reaksi
PBB mengenai HAM sesungguhnya merupakan jawaban terhadap atrocities dan pelanggaran HAM yang terjadi dalam perang dunia
II dan adanya kehendak agar hal semacam
itu tidak terjadi lagi.
Salah
satu yang paling berharga pada tahun awal berdirinya PBB adalah pembentukan Universal Declaration of Human Rights (
UDHR) yang kemudian disahkan dalam sidang umum PBB pada tahun 1948. UDHR merupakan barometer untuk
mengukur tingkat penghormatan suatu negara dan tingkat kepeduliannya terhadap
standar HAM. Sejak 1948, UDHR telah menjadi tolok ukur keberhasilan terhadap
semua deklarasi yang dikeluarkan oleh PBB, dan merupakan sumber utama terhadap
kegiatan nasional maupun internasional guna memajukan HAM. UUDHR telah menjadi
arah bagi semua pekerjaan di lapangan HAM dan menyediakan semua landasan
filosofis tertentu bagi semua konvensi dan kovenan HAM. UDHR merupakan instrumen
yang sering digunakan untuk mengingatkan pemerintah agar memperhatikan penampilan
HAM.
Deklarasi universal HAM (DUHAM) berisi
30 pasal yang terdiri dari hak-hak fundamental dan kebebasan yang berlaku bagi
semua manusia tanpa diskriminasi. Pasal 2 mengandung prinsip-prinsip
fundamental dari kesamaann (equality)
non-diskriminasi dalam penikmatan HAM dan kebebasan. Pasal 2 juga melarang
semua bentuk diskriminasi, baik berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat, asal-usul atas status sosial, kekayaan, kelahiran,
atau status lainnya.
Pasal 3 membahas hak dasar untuk hidup,
kemerdekaan, dan rasa aman dari setiap orang yang merupakan tokoh terpenting
bagi pelaksanaan hak-hak yang lain. DUHAM mencakup 2 kelompok, yakni; pertama, sebagaimana pengelompokan HAM pada
umumnya, yakni hak-hak sipil dan hak-hak politik yang melarang bentuk-bentuk
campur tangan negara dalam kehidupan penduduk dan menuntut negara untuk
menghindari perbuatan semacam itu.
Hak-hak sipil dan politik penduduk
terdiri dari:
1) Tak seorangpun boleh dibelenggu dalam
perbudakan/perhambaan; perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuk
harus dilarang (Pasal 4)
2)
Tak seorangpun
boleh dikenai penganiayaan/perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat (Pasal 5).
3) Semua orang berkedudukan sejajar di muka
hukum dan berhak atas perlindungan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi
apapun. Semua orang berhak atas perlindungan yang sama dari segala diskriminasi
yang melanggar deklarasi dan dari segala dorongan bagi diskriminasi semacam itu
(Pasal 7)
4) Semua orang berhak atas ganti rugi
yang efektif dari sidang pengadilan nasional yang kompeten yang dijamin oleh
konstitusi atau hukum yang dikenakan pada tindakan-tindakan yang melanggar hak
asasi manusia (Pasal 8)
5) Tidak seorangpun boleh dikenai
penangkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang (Pasal 9)
6) Tidak seorangpun boleh dikenai intervensi sewenang-wenang
terhadap privasi keluarga rumah tangganya atau korespondensinya, juga serangan
terhadap kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum dari intervensi dan
serangan semacam itu (Pasal 12)
7) Setiap orang berhak atas kebebasan
bergerak dan bermukim dalam garis perbatasan masing-masing negara. Setiap orang
berhak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya, dan untuk kembali
ke negaranya (Pasal 13)
8) Setiap orang berhak untuk mencari dan
menikmati suaka di negara-negara lain supaya luput dari penganiyaan (Pasal 14)
9) Setiap orang berhak atas
kewarganegaraan. Tidak seorangpun boleh dirampas kewarganegaraannya secara
sewenang-wenang maupun diingkari haknya untuk mengubah kewarganegaraannya (Pasal
15)
10) Laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa pembatasan apapun
menurut ras, kewarganegaraan, atau agama, berhak untuk meminta dan membentuk
suatu keluarga mereka berhak atas hak-hak yang sama pada saat pernikahaan, selama
pernikahan dan pada saat perceraian. Pernikahan hanya boleh dilakukan dengan sukarela dan kesepakatan bulat
kedua belah mempelai. Keluarga merupakan unit kelompok masyarakat yang alami
dan mendasar, dan berhak atas perlindungan dari masyarakat maupun negara (Pasal
16)
11) Setiap orang berhak untuk memiliki
kekayaan secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain. Tidak
seorangpun boleh dirampas kekayaannya secara sewenang-wenang (Pasal 17)
12) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama
atau keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi atau bersama-sama dengan
orang-orang lain secara terbuka atau pribadi untuk menjalankan agama dan
keyakinannya dalam pengajaran, praktik, ibadah dan ketaatan (Pasal 18)
13) Setiap orang berhak atas kebebasan
beropini dan berekspresi. Hak ini meliputi kebebasan untuk memiliki opini tanpa
intervensi serta untuk mencari, menerima dan mengungkapkan informasi serta
gagasan melalui media apapun dan tidak terikat perbatasan (Pasal 19)
14) Setiap orang berhak atas kebebasan
untuk berkumpul dan berasosiasi secara terang. Tidak seorangpun
boleh dipaksa untuk memasuki suatu asosiasi (Pasal 20)
15) Setiap orang berhak untuk ikut serta dalam pemerintahan
negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang berhak atas akses yang
sama pada pelayanan pemerintah di negaranya. Kehendak rakyat harus menjadi
dasar kewenangan pemerintah, dan kehendak ini harus diekspresikan dalam
pemilihan umum yang teratur, sungguh-sungguh dan diselenggarakan secara
universal dan sama, serta harus diselenggarakan melalui pemungutan suara secara
rahasia dan melalui prosedur-prosedur pemungutan suara yang sama bebasnya (Pasal
21).
DUHAM juga mengandung hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya, yaitu hak-hak yang menuntut agar negara tidak menghindarkan
diri dari beberapa kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang positif dalam
menjamin hak-hak penduduk. Beberapa HAM yang masuk DUHAM ini
adalah sebagai berikut:
a).
Setiap orang,
sebagai anggota masyarakat berhak atas jaminan sosial (social security), serta berhak atas realisasi hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya yang tidak dapat dicabut, demi martabat dan perkembangan kepribadiaannya
secara bebas melalui upaya nasional dan kerjasama internasional serta sesuai
dengan organisasi dan sumber masing-masing negara (Pasal 22)
b). Setiap orang berhak atas pekerjaan dan pilihan pekerjaan
secara bebas atas dasar kondisi-kondisi kerja yang adil dan menguntungkan serta
atas perlindungan dari pengangguran setiap orang tanpa diskriminasi apapun dan berhak
atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Setiap orang yang berkerja
berhak atas imbalan yang adil dan menguntungkan yang menjamin suatu eksistensi
yang layak bagi martabat manusia untuk dirinya sendiri dan keluarganya yang di lengkapi
sarana perlindungan sosial lainnya. Setiap
orang berhak untuk membentuk dan bergabung kedalam serikat buruh gunah
melindungi kepentingan-kepentingannya (Pasal 23)
c). Setiap orang berhak untuk beristirahat
dan menikmati waktu senggang termasuk pembatasan jam kerja yang wajar serta
liburan berkala yang disertai upah (Pasal 24).
d). Setiap orang berhak atas pendidikan.
Pendidikan harus bebas biaya setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah.
Pendidikan dasar harus bersifat wajib pendidikan teknik dan profesi harus
tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki
semua orang berdasarkan kemampuan. Pendidikan harus diarahkan bagi pengembangan
sepenuhnya kepribadian manusia dan bagi penguatan penghargaan terhadap HAM serta
kebebasan yang berdasar. Ini harus mengembangkan pengertian toleransi serta
persahabatan di antara semua bangsa kelompoka ras atau agama memajukan
kegiatan-kegiatan PBB dalam pemeliharaan perdamaian. Para orang tua memiliki
hak istimewa untuk pemilihan jenis pendidikan yang akan diberikan kepada
anak-anak mereka (Pasal 26).
e). Setiap orang berhak untuk berpartisipasi
secara bebas dalam kehidupan budaya suatu masyarakat menikmati kesenian dan
ikut serta dalam kemajuan ilmu dan manfaat-manfaatnya. Setiap orang berhak atas
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan material dan moral dari karya ilmiah
kesusteraan atau kesenian yang ia ciptakan (Pasal 27).
f). Manakalah masyarakat mendiskusikan
dengan serius tentang pelanggaran hak asasi manusia mereka senang merujuk
kepada hak-hak sipil dan politik bagaimanapun juga adalah sangat penting untuk
diingat bahwa hak asasi manusia itu adalah hak yang tidak dapat dihilangkan
sehingga pelanggaran terhadap hak individu dapat menjadikan individu itu tidak
mampu melaksanakan hak-haknya yang lain misalnya pelanggaran hak-hak sipil atau
hak-hak politik dapat menimbulkan akibat lain dibidang pelaksanaan hak-hak
economi dan social budaya seperti hak untuk berkerja untuk mendapatan
pengajaran, mendapatkan standar tingkat kesehatan dan sebagainya3.
Walaupun DUHAM bersifat non-binding declaration (deklarasi yang
tidak mengikat) namun hampir semua hak-hak tersebut di atas semenjak tahun 1948
tertuang dalam perjanjian internasional yang mengikat (binding international treaties ).
Dua
bentuk klasifikasi tentang hak-hak yang luas disahkan oleh PBB pada tahun 1966 adalah
the international covenan on civil and
political rights (konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan ekonomi)
dan the internasional covenant on
economic and cultural rights (konvensi internasional tentang hak-hak
ekonomi social dan budaya). Bersama dengan DUHAM, kedua konvensi tersebut
sering disebut sebagai “International
Bill of Rights”
b.
Konvensi tentang Penyiksaan
(the Troture convention).
Pada
saat terjadi pelanggaran HAM, salah satu instrumen internasional yang signifikan
digunakan adalah the Convention againts
Torture and Other Cruel, Inhuman, Degrading Treatment or Punishment (disingkat menjadi “The Torture Convention”) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada
tahun 1984 dan mulai berlaku pada tahun 1987. Dalam melarang perbuatan penyiksaan
dan atau adanya aturan-aturan yang masih mengizinkan penyiksaan, konvensi ini
mempunyai ruang lingkup yang sempit. Konvensi ini tidak mencakup penyiksaan
yang dilakukan oleh lembaga atau perorangan di luar pemerintahan. Konvensi ini
hanya mencakupi segala tindakan yang dilakukan di bawah tanggung jawab pejabat
publik atau oleh orang lain yang bertindak dalam kapasitas pejabat.
Pasal 1
konvensi ini memuat definisi yang rinci mengenai arti penyiksaan antara lain
berbunyi; “any act by which sever pain or suffering is inflicted, including
both physical and mental suffering” (setiap perbuatan yang dapat
menimbulkan rasa sakit dan penderita, termaksut penderita
fisik dan mental). Namun demikian, terdapat beberapa
keadaan yang siginifikasi, antara lain:
1. Penderita itu haruslah timbul secara
sungguh-sungguh terjadi;
2. Perbuatan itu harus dilakukan dalam
suatu investigasi, atau dalam suatu perbuatan yang didampingi oleh pejabat
publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas pejabat publik;
3. Rasa sakit atau penderita yang timbul
karena sanksi hukum tidak termaksud didalamnya.
Pasal 1 dari konvensi ini memberikan
contoh bentuk keadaan yang mengandung penganiyaan, di antaranya adalah
perbuatan yang dilakukan untuk memaksa memberikan informasi atau pengakuan dari
seseorang atau pihak ketiga di luar proses peradilan bahkan menghukum karena
mencurigai seseorang telah melakukan perbuatan yang tidak disukainya, atau
melakukan intimidasi dan paksaan kepada seseorang berlandaskan diskriminasi
atau semacamnya.
Pasal
2, Ayat (1) dari konvensi meminta agar setiap negara peserta (state party) untuk membuat aturan yang
efektif guna mencegah perbuatan penyiksaan dalam wilayahnya. Sedangkan pada Ayat (2) dijelaskan
bahwa tidak ada pengucilan dalam bentuk apapun, baik dalam keadaan perang,
konflik, situasi instabilitas politik dalam negeri atau bentuk lain dari
keadaan darurat dapat dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan.
Pasal
4 dari konvensi ini, menyebutkan bahwa setiap negara peserta dituntut agar
dalam hukum pidananya dicantumkan larangan untuk melakukan penyiksaan dan juga
berperan serta dalam penyiksaan dan harus diancam dengan hukuman yang serius
sejalan dengan penyiksaan yang dilakukannya.
Pada pasal 14 konvensi ini,
menyelaskan bahwa korban dari penyiksaan mempunyai hak yang dapat dituntutkan
untuk mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi secepatnya. Konvensi tentang
penyiksaan (torture convention)
disusun berdasarkan sistem yang berlaku secara internasional, yang berarti
tidak ada suatu tempat pun di negara peserta konvensi ini yang aman bagi pelaku
penyiksaan.
Untuk menentukan tempat HAM
dalam hukum internasional harus dicari kaitannya dengan terminologi yang
berlaku. Salah satu pengertian yang perlu digunakan adalah bahwa semua norma
hukum internasional diarahkan untuk menjamin rasa hormat kepada pribadi dan
meningkatkan perkembangannya. Hal ini dianggap sebagai kategori khusus yang
disebut sebagai hukum humaniter secara luas4.
Hukum humaniter secara
luas ini mencakup semua norma internasional mengenai konflik bersenjata, yang
juga dimaksudkan untuk membatasi penderitaan umat manusia yang ditimbulkan oleh
konflik tersebut. Dalam konteks ini, hukum humaniter dibagi ke
dalam:
a). Hukum tentang berperang (conduct of war). Hukum ini mengatur hak dan kewajiban negara yang sedang
berperang dan membatasi pilihan metode berperang dan alat-alat yang menimbulkan
kerugian. Hal ini dapat dilihat pada konvensi Den Haag tahun 1899 dan tahun
1907 yang sering disebut sebagai “Hukum Den Haag”. Karena hukum ini juga
bertujuan untuk membatasi kerugian dan penderitaan akibat peperangan, maka ia
memperoleh sifat humaniter.
b). Hukum perang humaniter
dalam arti yang sebenarnya. Hukum ini dimaksudkan untuk melindungi orang-orang
tertentu sewaktu timbul konflik bersenjata internasional (namun dapat juga non internasional
pada taraf tertentu), misalnya anggota tentara yang tidak lagi mungkin berperan
karena luka, sakit, atau menjadi tawanan perang dan orang-orang yang tidak ikut
serta dalam permusuhan.
Dalam kategori yang masih
kurang jelas garis batasnya dapat dimasukkan peraturan internasional yang
bertujuan melarang kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan perselisihan
dan bentuk penyelesaian secara damai agar dilembagakan dan disosialisasikan.
Peraturan semacam itu tersebar dalam banyak konvensi peraturan dan sangat
menekankan kepentingan negara pada hubungan internasional secara damai.
Perhatian hukum internasional
bagi perlindungan hukum individu untuk waktu lama hampir semata-mata dipusatkan
pada perlakuan yang harus diberikan kepada negara pada warga negara lain,
bilamana ia berada dalam yuridiksi hukum nasionalnya. Menurut hukum
internasional umum (pendapat barat), negara di mana seorang warga asing berada
harus memberikan apa yang disebut standar minimun, yang mengandung batas
minimun dari hak-hak pribadi dan perlindungan hukum. Hak-hak yang dicakup dalam
standar minimun ini, tergantung pada perjanjian yang berlaku pada saat itu dan
pada perkembangan hukum adat yang bersangkutan5. Namun demikian,
hukum mengenai perlakuan terhadap warga negara asing harus jelas dapat
dibedakan dari perlindungan HAM, mengingat ada perbedaan menurut obyek, isi, dan
kategori dari orang yang bersangkutan dan penuntutan hukumnya bilamana ada
pelanggaran terjadi. Hal yang penting adalah perlindungan standar minimun
secara formal akan diberikan kepada individu, hanya merupakan pencerminan hak
dan kewajiban yang saling dimiliki dalam pergaulan internasional.
Standar minimun keadilan
internasional juga dikembangkan dalam upaya-upaya awal untuk melindungi
kelompok minoritas agama. Setelah perang dunia pertama, terjadilah perubahan
wilayah dan mendorong 6 negara di Eropa mengadakan perjanjian dengan
negara-negara sekutu untuk melindungi minoritas rasial, bahasa dan agama.
Perjanjian itu mencakup
suatu kewajiban bahwa masing-masing negara memberikan jaminan dalam
undang-undang nasionalnya untuk melindungi golongan minoritas dan bahwa jaminan
ini tidak dapat diubah dengan perundang-undangan yang biasa. Karena itu, Liga Bangsa-bangsa
(LBB) untuk pertama kalinya mendirikan sistem multilateral ekstensif untuk
melindungi golongan minoritas. Untuk itu, dibentuk Dewan Liga Bangsa-bangsa dan
permanent court of international justice
untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran atas golongan minoritas tersebut dan
mempunyai yuridiksi wajib atas pertikaian-pertikaian antara anggota dewan
negara-negara mengenai perlindungan terhadap golongan minoritas.
Bermula dari reformasi Protestan
dan perang agama di abad ke-16 dan ke-17, perjanjian perdamaian mulai “menggarap”
ketentuan-ketentuan perlindungan terhadap minoritas agama. Perlindungan
terhadap orang asing di bawah hukum internasional tumbuh dari konsep kedaulatan
negara yang dengan suatu bangsa dapat menuntut agar hak warga negaranya di luar
negeri dihormati. Pelaksanaan paling awal, pada abad ke-18 dari hak ini
mengambil bentuk balas dendam yaitu sebuah praktik ketika seseorang merasa
dirugikan oleh orang asing, ia dapat menyita harta benda orang asing itu karena
kesalahan yang dilakukannya. Balas dendam ini dilakukan baik pada perorangan
maupun oleh pejabat negara6. Selanjutnya, tindakan balas dendam itu
hanya boleh dilakukan oleh pemerintah dan bukan oleh perorangan. Hak negara
untuk ikut campur atas warga negaranya didasarkan atas dua prinsip, yakni; hak
orang asing untuk diperlakukan sesuai dengan standar keadilan internasional dan
hak orang asing untuk diperlakukan sama dengan warga negara dari negara di mana
mereka tinggal.
Peraturan internasional
yang pertama tentang HAM dibuat berkenaan dengan pengapusan perbudakan, dengan
demikian hal ini berkaitan dengan hak kebebasan pribadi. Upaya untuk menghapus
perdagangan budak dan melindung kaum buruh juga memperlihatkan tumbuhnya
perhatian dunia internasional akan pentingya HAM.
Perbudakan dilarang dan
dikutuk dalam bab tambahan perjanjinan perdamaian Paris tahun 1814 antara
Perancis dengan Inggris. Pada tahun 1885, Akta Umum Konferensi Berlin tentang
Afrika Tengah menegaskan bahwa “ perdagangan budak dilarang sesuai dengan
dasar-dasar hukum internasional”. Pada
tahun 1926 lahirlah the League of Nations
Conventions to Suppres the Slave Trade and Slavely (Konvensi Liga
Bangsa-bangsa untuk menghapus perbudakan dan perdagangan budak). Pada 1956
lahirlah Supplementary Convention on the
Abolition of Slavery, the slave trade and Institutions and Practices Similar to
Slavery.
Jaminan internasional atas HAM tertentu dalam bentuk yang
dilembagakan pertama kali dijumpai sesudah perang dunia I dalam rangka
terbentuknya beraneka ragam perjanjian perdamaian dan dalam kaitannya dengan LBB
yang waktu itu baru dibentuk7. Negara-negara yang tergabung dalam
Eropa Timur dan Eropa Tengah mengikat diri dalam suatu perjanjian dan deklarasi
untuk menjamin kelompok minoritas yang mendiami wilayah mereka untuk menikmati
kebebasan pribadi tanpa diskriminasi menurut kebangsaan, bahasa, ras, dan agama
maupun hak untuk bebas beragama sejauh pelaksanaannya tidak melanggar
ketertiban umum dan moral yang baik8. Demikian pula kepada mereka
diberikan hak persamaan di hadapan hukum, kenikmatan terhadap hak-hak sipil dan
kewarganegarraan yang sama seperti yang diberikan kepada warga negara lainnya. Kewajiban ini dianggap
sebagai obligations d’interet
international.
Pada abad ke-19
terjadilah kodifikasi perlindungan bagi para korban perang dan batas-batas
pemakainan cara dan mekanisme perang. Pada tahun 1863 di Jenewa diadakan suatu
konferensi internasional yang menyetujui berdirinya International Committee of the Red Cross (ICRC) untuk maksud mengurangi “kengerian”
akibat perang. ICRC pula yang melahirkan suatu perjanjian
multilateral pertama tentang perlindungan terhadap korban konflik bersenjata di
tahun 1864 di Jenewa yang dikenal dengan nama Amelioration of the Condition
of the Wounded and Sick in Armies in the Field. Dalam perjanjian internasional ini
dijamin adanya perlindungan terhadap rumah-rumah sakit militer dan juga harus
memberikan perawatan medis yang sama kepada para pejuang dari kedua belah pihak
yang bertikai.
15 konvensi Den Haag
antara tahun 1899-1907 telah melahirkan batas-batas dan cara-cara penggunaan
peralatan perang, dengan memusatkan pada kebutuhan militer saja, bahkan
melarang penggunaan gas beracun dan senjata kimia karena akan menimbulakan
penderitaan yang tidak perlu di luar militer yang berperang.
Seusai perang dunia II, 4
buah konvensi Jenewa pada tahun 1949 mempertegas lagi konvensi Jenewa 1864. 3
dari 4 konvensi tersebut menjelaskan bagaimana seharusnya perlakuan terhadap
anggota para tentara yang sakit dan terluka di darat dan di laut, serta
terhadap tawanan perang (prisoner of war).
Sedangkan konvensi yang keempat memperluas perlindungan kepada orang-orang
sipil saat perang berlangsung. Dengan demikian, hukum kemanusiaan terus
memberikan tekanan para korban perang. Pada tahun 1974, ICRC memprakarsai
sebuah konferensi untuk membuat daftar dua protokol untuk memutakhirkan Geneva Covention dan memperbaharui
peraturan tatacara perang dan berperalatan pearng perkasa ini membutuhkan
disetujuinya dua buah protokol tambah yaitu protocol
additional to the Geneva convention of 1977 yang isinya gabungan antara The
Geneva convetions and protocols tentang perlindungan korban perang dan the
hague convention tentang peraturan pelaksanaan perang. Dengan demikian
terbentulah suatu hukum kemanusiaan internasional, yang memberikan perlindungan
terhadap hak-hak serta nasib tentara didua kubu yang berperang dan terhadap
orang-orang sipil. Konvensi jenewa memberikan status tawanan perang kepada
tentara apabila mereka tidak lagi berada di medan perang baik karena
cidera,sakit, karena kapalnya tenggelam atau karena sukarela meletakkan senjata.
Konvensi ini juga meletakkan suatu standar minimum internasional untuk
melindungi nyawa, kebebasan dan harta milik orang-orang sipil diwilayah yang
diduduki, antara lain hak untuk tidak diperlakukan semena-mena seperti
disiksa,diperkosa,dihancurkannya benda-benda budaya dan tempat peribadatan
mereka dan disandera. Sedangkan konvensi Den Haag memberikan perlindungan
kepada tentara yang sedang berperang untuk tidak menjadi sasaran senjata
biologi, bakteri, zat-zat kimiawi, racun, dan jenis-jenis peluru tertentu.
Pada tahun 1919
terbentklah International Labor Organization (ILO). Untuk menyusun dan
mewujudkan keadilan social, ILO menyusun konvensi-konvensi dan menunjukkan
rekomendasi-rekomendasi kepada negara anggotanya. Melalui jalan inilah
berkembang pembuatan undang-undang international yang juga mengandung beberapa
hak, yang kini kita bisa katakana sebagai hukum dasar ekonomi dan social. Untuk
mempertahankan pembuatan undang-undang ini, konstitusi ILO diperlengkapi dengan
system pengawasan internasional yang sangat luas dan efisien.
Setelah perang dunia II,
tumbuhlah pengakuan umum dari hak asasi manusia dalam hukum internasional pada
tanggal 20 Desember 1948 lahirlah Universal Declaration on Human Rights yang
mengatur masalah perlindungan hak asasi manusia,walaupun masih belum spesifik
dan tanpa menyebutkan hal terkait. Dibawah PBB, perlindungan hak asasi manusia
diolah lebih lanjut dalam beberapa konvensi dan deklarasi. Meskipun piagam PBB
mengakui pentingnya sikap tidak boleh mencmpuri urusan dalam negeri orang lain,
namun piagam, namun piagam itu juga menganggap bahwa pelanggaran atas hak asasi
manusia itu merupakan suatu bentuk keprihatinan internasional. PBB telah
mengkodifikasikan hak asasi manusia itu dalam Bill of Rights, dan berusaha
melaksanakan perlindungan hak asasi manusia menembus sikap menolak dan rasa
tidak senang dari negara-negara yang melanggar hak asasi manusia. Usaha PBB
ini, mengkodifikasikan dan mengimplementasikan standar minimum perlindungan hak
asasi manusia telah memainkan peran sentral dalam menginternasionalkan hak
asasi manusia dan memanusiawikan hukum internasional.
Kemudian hak asasi ini
berkembang kebidang regional, seperti konvensi eropa untuk perlindungan hak
asasi manusia yang bertalian dengan agama. Dan Afrika menyusul membentuk
sendiri Piagam Afrika untuk hak asasi manusia dan Hak Bangsa-bangsa yang
diterima pada tahun 1981 dalam rangka organisasi kesatuan afrika ( Organization
of African Unity) dan mulai berlaku pada tahun 1986. dalam padangan mereka juga
menganggap hak bangsa-bangsa sebagai hak untuk dilindungi. Sedangkan konvensi
Amerika untuk hak asasi manusia yang diterima pada tahun 1969 dan mulai berlaku
pada tahun 1978 memberikan pengaruh pada ketentuan mengenai piagam dari
organisasi Negara-negara Amerika ( Organization of American States/ OAS). Juga
mandat dari komisi inter amerika untuk hak asai manusia dengan ini memperoleh
dasar yang lebih kuat. Juga liga Arab dan di Asia diusahakan menyusun
konvensi-konvensi regional namum belum berhasil hingga sekarang.
Kemudian berkembang tidak
hanya hak-hak asasi manusia,hak ekonomi, social dan budaya serta hak sipil dan
politik saja yang dibentuk namum juga konsepsi tentang “hak-hak pembangunan”.
Beberapa konvensi
internasional yang sudah diartifikasikan oleh pemerintah Republik Indonesia,
antara lain :
1.
Konvensi tentang hak-hak politik
wanita dengan undang-undang no.68 tahun 1958 tanggal 17 juli 1958
2.
konvensi tentang penghapusan semua
bentuk diskriminasi terhadap wanita dengan undang-undang no.7 tahun 1984
tanggal 24 juli 1984
3.
konvensi
tentang hak-hak anak dengan keputusan presiden RI no. 36 tahun 1990 tanggal 25
agustus 1990
4.
konvensi tentang pelanggaran
pengembangan produksi dan penyimpanan senjata biologis dengan keputusan
presiden RI no 58 tahun 1991
5.
konvensi
internasional anti apartheid dalam olah raga dengankeputusan presiden RI no. 48
tahun 1993 tanggal 22 mei 1993
6.
konvensi melawan penganiayaan dan
perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan dengan
undang-undang no 5 tahun 1998 tanggal 28 september 1998
7.
konvensi internasional tentang
penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial dengan undang-undang no 29 tahun
1999 tanggal 25 mei 1999
Ketentuan-ketentuan Pelanggaran HAM
Meskipun istilah “ Genosida” ( gcenocide) itu
diciptakan oleh Raphel Lemkin tahun
19449. untuk memperhatikan kekejaman-kekejaman yang tengah dilakukan
orang-orang nazi di Eropa, namun gejala itu sendiri, seperti kita ketahui,
bukanlah baru. Darimasa-masa yang paling kuno, pemusnahaan seluruh kelompok
manusia yang memiliki ciri umum ETNIS, rasial atau agama,erupakan suatu praktek
yang sering terjadi, yang dari waktu-kewaktu dikaitkan dengan salah satu dari
ketiga faktor tersebut.
1. Genosida itu dihubungkan dengan
perang penakluk. Akibat yang selalu berulang, terjadi keadaan ini ialah
pembantaian masal dari penduduk negeri-negeri yang dikalahkan.
2.Agama sering kali membenarkan pemusnahaan
seluruh kelompok dari musuh-musuh keagamaan. Perang salib diabad-abad
pertengahan. Dan pemusnahaan massal terhadap orang arab, tetapi juga orang-orang
yahudi, menggambarkan dengan baik sekali tindakan-tindakan ekstrem orang-orang
yang menganut suatu kepercayaan lain.
3.Dominasi kolonial oleh negara-negara di
eropa,di Amerika latin, asia dan afrika. Merupakan kesempatan atau alasan untuk
menghancurkan seluruh rakyat atau penduduk,asli. Contoh : yang paling menonjol
ialah penghancuran bangsa-bangsa di amerika latin yang dikikis habis oleh
penaklukan spanyol ( Spanish Conguistadores).
Akan tetapi diabad kita
inilah dilakukan pemusnahaan yang terburuk dan
paling sistematis, yaitu pemusnahaan orang Armenia tahun 1915 – 1916
oleh orang-orang turki dan pemusnahaan orang turki, dan pemusnahaan orang
yahudi dan orang jipsi tahun 1939-1945 oleh orang-orang Nazi. Sejarahwan
dadrian memastikan bahwa dalam kasus orang-orang Armenia itu
percobaan-percobaan medis dilakukan terhadap para korban dan gas, digunakan
untuk menghilangkan mereka. Kekejaman itu juga dilakukan terhadap orang yahudi
dan juga orang jipsi oleh
kaum Nazi dalam kelompok-kelompok watak umum lain ialah bahwa kelompok-kelompok
yang dimusnahakan itu mempunyai agama yang berbeda, dari kelompok yang
menghancurkan dan mempunyai status social yang jelas batasnya dalam masyarakat,
baik orang Armenia maupun orang yahudi biasanya mempunyai profesi dagang atau
aktiv dalam industri dan perdagangan.
Ciri khas lain dari pembunuhan massal yang dilakukan Nazi
itu adalah pengunaan secara maksimal terhadap sumber daya teknologi modern
untuk tujuan-tujuan yang tidak manusiawi. Salah satu contoh : peniksaan
terhadap masalah logistik yang selalu dialami genosida yaitu : menghancurkan
tubuh ribuan orang
Pada tahun 1946-1948
dibentukalah konvensi Genosida dibawah tekanan kelompok-kelompok yahudi sebagai
tanggapan terhadap ketakutan yang ditimbulkan oleh diumumkannya kamar-kamar
gas, dirumuskan dengan persetujuan dari negara-negara besar-besar ketika itu. Konvensi ini dianggap sebagai suatu
mekanisme yang menentukan dalam pertarungan menentang genosida dalam konvensi
tersebut telah membuat suatu terobosan besar dalam sejarah umat manusia.
Pertama-tama marilah kita perhatikan kandungan utama
konvensi itu, agar setelah itu kita dapat bertanya mengapa konvensi itu tidak
memiliki suatu dampaak yang sesungguhnya dalam masyarakat internasional
sekarang ini. Konvensi ini menyatakan bahwa genosida merupakan suatu kejahatan
internasional yang dapat dihukum baik dilakukan diwaktu perang atau di masa
damai10, genosida menentukan siapa yang dapat dihukum karna
tidakan-tindakan genosida dan pada akhirnya menentukan siapa yang akan melakasankan
hukuman itu.
Dalam defenisi konvensi itu menyatakan bahwa genosida
berarti : membunuh atau melakukan tindakan lain yang merusak terhadap anggota
kelompok, nasional, etnis, rasial atau agama. Suatu persyaratannya yang selalu
ada ialaha dolus, atau keinginanuntuk menghancurkan. Dari definisi ini timbul
pendapat bahwa konvensi itu tidak mengganggap ebagai genosida, baik
penghancuran kelompok,politik,atau genosida budaya ( menghancurkan kebudayaan
suatu kelompok manusia)11.
Konvensi ini telah menentukan empat buah mekanisme :
1. Diadili didepan pengadilan negara
diwilayahnya telah dilakukan tindakan genosida itu, akan tetapi iclas bahwa ini
hanyalah suatu jaminan khayalan semata-mata karna biasanya genosida itu
dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam negara itu atau sekurang-kurangnya
dengan ijin mereka dan pihak yang berwenang dengan mudah sekali dapat berhasil
dala “ menetralisasikan” pengadilan
2. Pergi pada suatu pengadilan kriminal
internasional yang akan didirikan, saying sekali sebagaimana dapat dibayangkan,
pengadilan itu belum pernah ada.
3. Pergi pada “ badan-badan Perserikan
Bangsa-bangsa yang berwenanga” untuk mengambil tindakan-tindakan yang
ditentukan oleh piagam PBB.
4. mengajukan banding secara Unirateral kepada
makhama pengadilan internasional hanya dapat memastikan kesalahan yang mungkin
dan mengutuk negara yang bertanggung jawab akan tetapi tidak memiliki kekuatan
untuk mewajibkan pengutukan itu melalui tindakan-tindakan pemaksaan
Sistem penegakan hukum konvensi itu menjadi
demikian tidak memadahinya. Karna mayoritas negara yang mengerjakannya lebih
menyukai untuk membela kedaulatan negara daripada keperluan menghukum para
pelaku tindak kriminal yang kejam itu mereka lebih suka untuk terus berada
ditingkat normative tanpa mengambil langkah selanjutnya yang perlu untuk
mendampingi kemajuan itu dengan kemanjuan yang sama ditingkat pelaksanannya
Reaksi
Masyarakat Internasional dalam kasus Genosida
Sejak
disepakatinya konvensi genosida tahun 1946-1948 telah terjadi sejumlah,
kejadian genosida yang serius, yang semuanya bukan karna kebetulan terjadi
didunia ketiga
1. Tahun 1960 di kongo, tentara nasional kongo
telah membantai ratusan orang Baluba dipropinsi kasai selatan, ketika
terjadinya suatu krisis politik negeri yang serius
2.
Tahun 1965-1972 di Burudi,tutsi
sungguhpun merupakan suatu kelompok minoritas akan tetapi dominan secara
politik, telah menghancurkan kelompok hutu, suatu kelompok etnis mayoritas.
Yang telah dihancurkan antara 100.000 dan 300.000 orang Hutu telah dibunuh
3. Tahun 1971 di Pakistan timur tentara
Pakistan telah membantai penduduk daerah yang sekarang ini menjadi Banglades.
4. Tahun 1970 –1974 di Paruguay ribuan orang
Indian ach dibunuh ketika bertentangan dengan pihak yang berwenag
dipemerintahan
5. Tahun 1971-1978 Rezim Idi Amin di Uganda telah membunuh
ribuan orang sipil, termasuk musuh politik, akan tetapi anggota kelompok etnis.
( Acholi dan Lango) pembunuhan ini tidak
pandang bulu sehingga melebihi pengertian genosida yang biasa
6.
Antara tahunan
1975-1978 di kamboja Khamer merah pol pot telah menghancurkan dua juta
orang, diantaranya beberapa kelompok etnis,atau agama.seperti Champs (
suatu minoritas islam) para biksu Budha.
7. Pada tahun yang hampir bersamaan 1976-1978
di Iran para anggota kepercayaan Bahai telah ditindas dan dibunuh
8. Tahun 1960an – 1970an Brazil dengan berbagai
cara telah melaksanakan kebijaksanaan baik langsung maupun tidak langsung,
menghancurkan berbagai suku Indian yang memdiami wilayahnya
9. Tahun 1978 tindakan-tindakan genosida
dilakukan di Equatorial Guinea daerah khaturistiwa
10. Tahun 1982 pembunuhan massal terhadap
orang-orang palestina telah dilakukan di Lebanon oleh pasukan-pasukan Kristen
Folongis di Kamp-kamp di Palestina. Di sbra dan Shatila, dengan persetujuan
dan tanpa tindakan pencegahan bersenjata Israil
11. Tahun 1986-1987 di Srilanka tindakan kekerasan digenosida telah
dilakukan terhadap orang-orang tamil oleh mayoritas Singhala (
yang berikutnya juga menjadi korba pembunuhan orang tamil), sampai diadakan
perjanjian dibawah pengawasn India tahun 1987, yang bagaimanpun hanya
mengurangi konfik rahasia itu.
Sebagaimana
dapat dilihat dari contoh diatas, tindakan-tindakan genosida itu terjadi
terutama dalam masyarakat majemuk dan penuh konflik dimana masalah-masalah
ekonomi dan politik yang disebabkan oleh terbentukanya negara, dimana
tatanandan pemusataan kekuasaan ditimpahkan kepada ketegangan dan perbedaan
tradisional dikalangan berbagai kelompok dan Ras. Dimana seringkali genosida
dalam masyarakat-masyarakat ini mengikat suatu pola pertumbuhan yang agak
biasa, polarisasi tuntutan oleh kelompok minoritas tuntutan reformasi yang
terus menerus penggunaan perlawanan bersenjata atau terorisme oleh
kelompok-kelompok ini. Penindasan dan
pembunuhan massal dan pemusnahaan oleh pihak pemerintah yang berwenag-wenang.
Cakupan HAM Dalam Hukum Internasional .
Wewenang majelis umum di bidang penangan hak-hak asasi
didasarkan atas pasal 55c piagam yang berisikan penegasan atas penghormatan
secara universal dan efektif hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok bagi
semua tanpa membedakan suku,kelamin,bahasa dan agama.pasal 55c ini diperkuat
oleh pasal 13 ayat 1b mengenai upaya majelis umum untuk mempermudah pelaksanaan
hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok tersebut.selanjutnya semua
permasalahan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok ini dibahas oleh salah
satu komite utama majelis yaitu komite tiga yang menangani masalah-masalah
HAM,kemanusiaan,social dan kebudayaan.
Majelis umum juga dibantu oleh salah satu organ utama PBB
yaitu dewan ekonomi dan social yang dapat membuat rekomendasi-rekomendasi agar
terlaksananya penghormatan yang efektif terthadap hak-hak asasi dan
kebebasan-kebebasan pokok.disamping itu dewan ekonomi dan social dapat pula
membentuk komisi untuk memajukan hak-hak asasi dan juga komisi-komisi lainnya
yang diperlakukan untuk pelaksanaan tugas-tugasnya.diantara komisi-komisi yang
dibentuk dewan ekonomi dan social dan yang menangani masalah-masalah hak asasi
inin adalah komisi hak-hak asasi manusia (KHAM) dan komisi mengenai status
wanita.
Komisi hak-hak asasi manusia yang didirikan pada tahun
1946ini dan yang beranggotakan 53 negara mempunyai tugas untuk menyiapkan
rekomendasi-rekomendasi dan laporan mengenai perjanjian-perjanjian
internasional tentang bhak-hak asasi,konvensi-konvensi dan deklarasi-deklarasi
internasional mengenai kebebasan-kebebasan sipil,informasi,perlindungan
kelompok minoritas,pencegahan diskriminasi atas dasar suku,kelamin,bahasa dan
agama dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan hak-hak asasi .untuk
permasalahan yang sama, komisi hak-hak asasi manusia (KHAM)juga membentuk suatu
sub komisi yang bernama sun komisi pencegahan diskriminasi dan perlindungan
minoritas (PDPM)yang beranggotakan 26 pakar independent yang diangkat oleh
pemerintah masing-masing .tugas sub komisi PDPM ini adalah untuk mencegah
segala macam diskriminasi mengenai hak-hak asasi dan kebebasan pokok dan
perlindungan kelompok minoritas,suku,bangsa,agama dan bahasa.
Khusus mengenai wanita,juga dibentuk pada tahun 1946
komisi mengenai status wanita dengan tugas menyiapkan laporan-laporan mengenai
promosi hak-hak wanita di bidang politik,ekonomi,social dan pendidikan dan
membuat rekomendasi kepada dewan ekonomi dan social tentang masalah-masalah
yang membutuhkan perhatian segera di bidang hak-hak asasi manusia .seperti juga
halnya dengan KHAM,komisi ini beranggotakan wakil-wakil dari 45 negara yang
bertindak dalam kapasitas pribadi.
Disamping itu ada dua badan khusus PBB yang juga
menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan hak-hak asasi .yang pertama
adalah organisasi buruh sedunia (ILO) .Organisasi ini termasuk organisasi yang
tertua didirikan pada tahun 1919 yang merupakan bagian perjanjian Versailles
.Di tahun 1946 Organisasi tersebut menjadi salah satu badan khusus
PBB.Organisasi internasional ini bertugas untuk memperbaiki syarat-syarat
bekerja dan hidup para buruh melalui penerimaan konvensi-konvensi internasional
mengenai buruh dan membuat rekomendasi standar minimum di bidang gaji,jam
kerja,syarat-syarat pekerjaan dan jaminan social .
Badan khusus kedua adalah UNESCO yang didirikan pada
tahun 1945 untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam pasal 1 ayat 3 piagam
antara lain meningkatkan kerjasama antar bangsa melalui pendidikan,ilmu
pengetahuan dan kebudayaan dan untuk meningkatkan secara universal peghormatan
terhadap peraturan hokum,hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok.
Konvensi penting yang diterima UNESCO adalah mengenai
pemberatasan diskriminasi di bidang pendidikan pada tahun 1962 yang membentuk
komisi konsultasi dan jasa-jasa baik.komisi tersebut bertugas untuk memeriksa
pengaduan Negara-negara anggota mengenai
pelaksanaan konvensi .selanjutnya dewan eksekutif UNESCO juga membentuk
suatu prosedur pemeriksaan pengaduan yang dating dari individu-individu dan
organisasi-organisasi yang merujuk pada pelanggaran-pelanggaran terhadap
hak-hak asasi terutama hak-hak edukatif dan kebudayaan .
Menurut system PBB, dalam upaya pemajuan dan peningkatan
HAM dikenal tiga bidang utama yakni:
a.
Upaya pembakuan
standar internasional;
b. Kegiatan monitoring/pemantauan pelaksanaan
HAM;
c. Jasa nasehat dan kerjasama teknik.
PBB melalui badan-badan bawahannya mempunyai peranan
sentral dalam pembakuan standar dengan mengesakan berbagai instrument/konvensi
HAM.kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengetahui sejauhmana Negara-negara
anggota PBB memberikan jasa nasehatnya termasuk bantuan kerjasama teknik dalam
bentuk seminar,pelatihan dan penangan secara khusus beberapa kategori HAM.dalam
upaya pemantauan konvensi yang telah diratifikasi oleh Negara,maka terdapat
enam badan pemantauan instrument,yakni :
- Komite HAM :Memantau
hak-hak sipil dan politik;
- Komite Ekonomi dan social
budaya:memantau pelaksanaan hak-hak tersebut ;
- Komite penghapusan segala
bentuk diskriminasi:khusus memantau mengenai bentuk diskriminasi;
- Komite anti
penyiksaan:yang memantau pelaksanaan konvensi anti penyiksaan;
- Komite penghapusan
diskriminasi terhadap wanita:memantau diskriminasi wanita;
- Komite hak-hak anak:khusus
memantau pelaksanaan konvensi hak-hak anak .
Selain itu masih terdapat mekanisme lainnya di PBB
seperti dibentuknya beberapa kelompok kerja dan pelapor khusus serta utusan
khusus untuk menangani masalah-masalah HAM tertentu menurut temanya atau
Negaranya . demikianlah sungguh luas dan beranekaragam hak-hak yang
dimjukan,dikembangkan,dilawasi dan dilindungi oleh PBB dan beberapa badan
khusus demi tercapainya kehidupan umat yang harmonis,damai dan bersahabat.
Kewajiban dan
Tanggungjawab Negara dalam konteks HAM
Baik di tinjau dari segi internasional hak azasi manusia,
maupun dari segi hokum nasional Indonesiasendiri, kondisi Negara Republik
Indonesia akan berpengaruh langsung pada perlindungan, pemajuan, pemenuhan, dan
penghormatan terhadap hak azasi manusia. Secara Yuridis Negara bertanggungjawab
penuh terhadap pelanggaran hak azasi manusia, baik yang memang dilakukan
berdasarkan kebijakannya sendiri maupun yang terjadi karena kelalaiannya
melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran itu. Mengenai masalah
ini Bab V Undang-undang nomor 39 tahun 1999 menjelaskan sebagai berikut.
Pasal 71
Pemerintah wajib
dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak
azasi manusia yang diatur dalam undang-undang, Peraturan perundang-undangan
lain, dan hukum internasional tentang hak azasi manusia yang diterima oleh
Negara Republik Indonesia.
Pasal 72
Kewajiban dan
tanggungjawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah
implementasi yang efektif dalam bidang Hukum, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya,
Pertahanan keamanan Negara,dan bidang lain.
Oleh karena itu,
cepat atau lambat, perlu dibahas secara mendalam kondisi dan kemampuan
Negara serta kemauan politiknya, baik secara umum dalam menunaikan tugas-tugas
pokoknya, maupun secara khusus dalam melindungi dan memenuhi hak azasi manusia.
Adalah merupakan suatu kenyataan, bahwa tidak semua Negara dan pemerintah
-mempunyai kemampuan dan kemauan yang sama dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Selain dari adanya Negara-negara yang sudah mencapai tahap kematangan dan dapat
memenuhi kewajiban internasionalnya, juga dikenal apa yang pernah disebut
Gunnar Myrdal sebagai the soft states yang tidak mampu melaksanakan
keputusan-keputusannya secara konsisten. Lebih dari itu, pengalaman di benua
Afrika menunjukkan bahwa juga ada apa yang disebut the failed states,
Negara-negara yang bukan hanya tidak mampu melaksanakan keputusan-keputusannya
secara konsisten, tetapi yang terancam eksistensinya sebagai Negara.
Perkembangan terakhir yang perlu dicatat adalah pecahnya suatu Negara menjadi
beberapa Negara yang merdeka, seperti yang terlihat di Rusia dan Yugoslavia
pasca perang dingin.
Hal yang menarik ,engenai masalah ini adalah kenyataan
bahwa selama ini baik ilmuwan politik maupun para aktifis hak azasi manusia di
Indonesia relative kurang memberikan perhatian terhadap telaahan mengenai
Negara sebagai suatu in Institusi. Eksistensi Negara kelihatannya dipandang
sebagai sesuatu yang sudah bersifat given. Padahal dalam kenyataannya
eksistensi Negara, serta semangat kebangsaanyang menjadi rujuakkannya harus
terus menerus dipelihara dan dikembangkan serta didaya gunakan setiap hari
untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyatnya. Kealpaan untuk menangani hal
secara sungguh-sungguh akan menimbulkankomplikasi yang berat, baik secara umum
maupun secara khusus dalam keterkaitannya dengan hak azasi manusia
Terdapat kesan bahwa persepsi yang berkembang dalam
masyarakat mengenai Negara dipengaruhi oleh apa yang terdapat dalam novel
George Orwell yang terkenal, pada tahun 1984 yang menggambarkan Negara sebagai
institusi politik yang bersifat totaliter dan mampu mengawasi setiap gerak-
gerik penduduk. Mungkin dengan persepsi Orwellian inilah dikembangkan wacana
mengenai state versus civil society. Faham lain mengenai sifat Negara sebagai
Negara kesejahteraan (Wellfare state) kelihatannya tidak demikian banyak mendapatkan
perhatian, ataupun kalau banyak kurang vocal dalam menyampaikan pendiriannya.
Pada saat makalah ini ditulis, Republik Indonesia berada
pada nadir, titik paling rendah, dari kehidupan kebangsaan dan kenegaraannya..
Hampir seluruh norma, institusi, serta tradisi kebangsaan dan kenegaraan yang
dibangun secara bertahap sejak tahun 1908, sekarang ini berada dalam ujian yang
sangat berat terdapat kesan yang sangat kuat, bahwa Republik Indonesia sedang
menjurus kearah suatu Failled State, Negara yang tidak mampu lagi melaksanakan
tugas dan tanggungjawabnya, bahkan mungkin akan pecah " Jika hal itu
sungguh-sungguh terjadi akibatnya jelas akan amat negative terhadap
perlindungan, pemajuan, pemenuhan serta penghormatan terhadap hak azasi
manusia.
Tokoh-tokoh elite nasional baik yang duduk dalam lembaga
perwakilan maupun dalam lembaga eksekutif, telah menggariskan berbagai
kebijakkan nasional untuk keluar dan suasana krisis berganda sekarang ini.
Namun terlihat bahwa Negara ini pada suatu sisi menghadapi masalah berat
kepemimpinan dan kewibawaan, pada sisi lain menghadapi ketidak sabaran masa,
yang telah lama hidup dalam suasana kemiskinan, kepapaan, serta keterpinggiran
oleh kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi yang kelihatannya sama sekali tidak
peka terhadap hak azasi manusia.
Mungkin sekali dalam kaitan itulah maraknya terjadi
rangkaian gerakan protes dewasa ini, baik dalam versi moderat maupun dalam
versi radikal, yang seluruhnya mengambil format pengerahan masa. Pengalaman
menunjukkan bahwa setiap pengerahan masa -apapun alasan dan tujuannya -
merupakan peluang untuk terjadinya kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia.
l Sedihnya, terhadap
pelanggaran HAM yang dilakukan aksi masa ini, hampir tidak ada penegakkan hukum
yang efektif yang dapat dilakukan oleh
aparatur Negara, yang
kelihatannya dari waktu
ke waktu mengalah,
atau membiarkan. Mengomentari maraknya eforia demokratisasi ini, mantan
rector UGM, Prof. Dr. Ichlasul Amal memperingatkan agar tidak sampai
menenggelamkan semangat kebangsaan
"sebab satu-satunya modal
utama mempertahankan keutuhan
Negara kesatuan Republik Indonesia adalah semangat nation -
Building" ujarnya. Berikut ini adalah sekedar inventarisasi
dari masalah-masalah nation - and State Building dalam kerangka proses
intergrasi nasional, yang harus diselesaikan oleh Negara Republik
Indonesia—dalam arti sebagai kesatuan konstitusional yang melipurti baik
rakyat, wilayah maupun pemerintahannya—agar dapat menciptakan kondisi yang
kondusif untuk hak azasi manusia di masa depan.
Buku Rujukan
A. Mansyur Effendi : Perkembangan
dinamis HAM, Ghalia Indonesia, Tahun
2005.
Bambang W. Suharto, Manuskrip
“Tugas KPMM (Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM dan Mediasi), Ghalia
Indonesia, Jakarta, tahun 2002.
Boermauma : Hukum
Internasioanl, pengertian, peranan dan fungsi dalam era dianmika global,
Alumni, Bandung, Tahun 2000
I Wayan parthianan :
Hukum PI internasional dan
ekstrdisi, Lyrama Widya
2004
Koesparmono Irsan : Ham
dan hukum, hukum humaniter sebagai bagian dan hukum HAM. PTIK 2005
Koesparmono
Irsan : Ham dan hukum, PTIK 2004
L.J. Leblanc, The OAs and the Promotion and Protection of
Human Rights, LSM Nijhoff, La Haye, 1977, 179 p.
Lee Koon Choy
(Duta Besar Singapura untuk Indonesia), The
Indonsian crisis, world, scientific, Singapura, tahun 1999.
Saafroedin
Bahar, Masalah Etnisitas dan ketahanan
Nasional Indonesia Resiko atau Potensi ?, Ichasul Amal dan Armaidy Armawi, Yogyakarta,
tahun 1995.
Samsudin Haris, Indonesia
diambang perpecahan kasus Aceh, Riau, Irian Jaya, Timor – Timor, Erlangga, PPW
– LIPI, Jakarta Tahun 1999.
Sabra
and Shatila dalam buku A. Cassese Vilence
anda Law In the modern (polity press
Cambridge) tahun 1988.
Simon Fisher, Mengelola konflik : Keterampilan dan
Strategi Untuk Bertindak, Zed Books the Britis Council Jakarta, 2001
Sir Humphrey
Waldock, The Evolution of Human Rights
Concepts and the Application of the European Convention on Human Rights,
Mil Reuter, 1981, 535 – 547.
Syahmin AK,SH. Hukum
Internasional Humaniter, Erlangga, tahun 1999
S.
Milgram, “Some conditions of obedience
and Disobedience to Authority, Human Relations, 1985.
Untuk mengkaji HAM harus dikaitkan dengan perspektif sistem hukum dan politik dari negara yang bersangkutan. Mengapa demikian? Jelaskan!
BalasHapustolong dibantu