Selasa, 16 Desember 2014

Poligami dalam Islam dan Indonesia


A.    Pendahuluan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, Perkawinan juga bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Kata “sakinah” berarti ketenangan, antonym kegoncangan. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh ketidakpastian, yyang mengantar pada kecemasan akan membuahkan sakinah bila dilanjutkan dengan perkawinan. Kata “mawaddah” berarti banyak mencintai. Jadi mawaddah dapat diartikan sebagai “cinta plus”, yaitu cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan, satu kata dengan perbuatan. Disebutkan kata mawaddah bukan dengan kata mahabbah, karena cinta bisa pudar, tetapi untuk cinta plus/cinta sejati (mawaddah) tidak akan pudar. Kata “rahmah” berarti kasih sayang. Kasih sayang dapat menghasilkan kesabaran, murah hati, ramah, tidak angkuh, dan tidak pendendam.[1] Suami-istri harus setia satu sama lain, bantu membantu, dan bersama-sama mendidik anak[2]
Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang banyak diperbincangkan. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normative,psikologis, bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Pada sisi lain, poligami dianggap memiliki sandaran normative yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternative untuk menyelesaikan fenomena perselingkuhan dan prostitusi.[3] Beberapa tahun yang lalu, catering dari Rumah Makan WS yang dikontrak untuk memenuhi kebutuhan logistic pada sebuah acara berada di Solo ditolak oleh golongan feminis tertentu, lantaran pemilik rumah makan adalah seorang poligan. Tak lama berselang, seorang tokoh agama, AG, yang mengawini seorang janda untuk dijadikan istri ke-2 juga sempat menjadi perbincangan.[4]
Di dunia barat, kebanyakan orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa disana menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sengai tindakan yang tidak bermoral. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan hal lain, dan inilah yang mengherankan. Bahkan, pendeta-pendeta Nasrani yang telah bersumpah tidak akan kawin selama hidupnya, tidak malu-malu membiasakan juga kebiasaan memelihara istri-istri gelap dengan “izin sederhana” dari uskup atau kepala-kepala gereja mereka[5]
Kajian berikut ini sebisa mungkin akan melihat persoalan poligami lebih jernih dan berupaya untuk mendudukkan perbedaan yang ada secara lebih proporsional.


B.     Pembahasan
1.      Ketentuan dan Pengaturan Poligami di Indonesia
1.1  Perspektif Fikih
Ketentuan poligami dalam syariat adalah berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3.
فانكحوا مَا طَابَ لَكُمْ مّنَ النساء مثنى وثلاث وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَ لا تَعْدِلُواْ فواحدة
maka kawinilah apa (dengan arti siapa) yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat orang (boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu.) kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil (di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah) maka hendaklah seorang saja (yang kamu kawini).[6]
Menurut madzhab Ahli Sunnah, seorang lelaki tidak boleh menikah dengan lebih dari empat orang istri dalam satu waktu, meskipun dalam masa iddah seorang istri yang dia talak. Jika seorang suami ingin menikah dengan perempuan yang kelima, dia harus menceraikan salah satu dari empat istrinya, dan ia tunggu sampai selesai masa iddahnya.[7]
Sedangkan madzhab az-Zhahiriyyah dan al-Imamiyyah berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh menikahi Sembilan orang perempuan, berdasarkan zahir ayat ini,”dua, tiga, dan empat” maka huruf و dalam ayat ini bertujuan untuk menghimpun, bukan memilih.[8]
Terkadang, ayat diatas di kaitkan dengan surat yang sama ayat 129 yang berbunyi:
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النساء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الميل فَتَذَرُوهَا كالمعلقة
Dan kamu sekali-kali takkan dapat berlaku adil (artinya bersikap sama tanpa berat sebelah) di antara istri-istrimu (dalam kasih sayang) walaupun kamu amat menginginkan (demikian). Sebab itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada wanita yang kamu kasihi itu baik dalam soal giliran maupun dalam soal pembagian nafkah) hingga kamu tinggalkan (wanita yang tidak kamu cintai) seperti bergantung (janda tidak bersuami pun bukan).[9]
Ayat ini sering dijadikan alasan bahwa islam tidak merestui poligami karena izin berpoligami bersyarat dengan berlaku adil, namun di ayat ini dinyatakan bahwa kamu sekali-kali takkan dapat berlaku adil, maka hasilnya (kata mereka) adalah poligami tidak mungkin direstui. Namun pendapat ini tidak dapat diterima[10] karena keadilan yang tidak dapat diwujudkan diatas adalah dalam hal cinta. [11]
1.2  Perspektif Hukum Positif Indonesia
Di Indonesia, masalah poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.9 tahun 1975. Bagi pegawai negeri sipil diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.10 tahun 1983 kemudian di susul dengan Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Asas yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah: (1)asas sukarela, (2)asas partisipasi keluarga, (3)asas perceraian dipersulit, (4)asas monogamy (poligami dibatasi dan diperketat), (5)asas kedewasaan calon mempelai, (6)asas memperbaiki dan meningkatkan derajad kaum wanita, (7)asas legalitass dan (8)asas selektivitas.[12]
2. Pengertian Poligami
Terdapat dua Bentuk perkawinan, dilihat dari segi jumlah suami atau istri,  yang pertama monogami. Monogami adalah suatu bentuk perkawinan/pernikahan dimana  suami tidak menikah dengan perempuan lain dan si isteri tidak menikah dengan lelaki lain. Jadi singkatnya monogami merupakan nikah antara seorang laki dengan seorang wanita tanpa ada ikatan penikahan lain. Yang kedua adalah poligami. Poligami adalah bentuk perkawinan di mana seorang pria menikahi beberapa wanita atau seorang perempuan menikah dengan beberapa laki-laki. poligami akan kita golongkan menjadi dua jenis : pertama poligini, yaitu Satu orang laki-laki memiliki banyak isteri.  Yang kedua poliandri, yaitu Satu orang perempuan memiliki banyak suami. [13] dalam Wikipedia, terdapat satu jenis poligami yang lain yaitu pernikahan kelompok (group marriage) yaitu kombinasi poligini dan poliandri[14]
Secara etimologi, kata poligami berasal dari Bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Maka, poligami berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.[15] Poligini berasal dari kata polus yang berarti banyak dan gune yang berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak, dan Andros berarti lelaki.[16]
Dalam kamus Cambridge, polygamy is the fact or custom of being married to more than one person at the same time[17] (poligami adalah kenyataan ataupun kebiasaan untuk menikahi lebih dari seorang pada saat yang bersamaan)
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan: Poligami adalah sistem perkawinan yg salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yg bersamaan;Poliandri adalah sistem perkawinan yg membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yg bersamaan; Poligini adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yg bersamaan.
Jadi, kata yang tepat bagi seorang lelaki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini, bukan poligami. Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang lelaki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini menurut masyarakat umum adalah poligami.[18]
3. Alasan Poligami
3.1 Perspektif Fikih
Berkenaan dengan alasan-alasan yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat fuqaha setidaknya ada 8 keadaan: (1)Istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan; (2)Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan; (3)Istri sakit ingatan; (4)Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri; (5)Istri memiliki sifat buruk; (6)Istri minggat dari rumah; (7)Ketika terjadi ‘ledakan’ perempuan, misalnya karena perang (8)Kebutuhan suami lebih dari satu, dan jika tidak terpenuhi menimbulkan kemudharatan  di dalam kehidupan dan pekerjaannya.[19]
3.2 Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Kendati UU.No.1 Tahun 1974 menganut asas monogami[20] seperti yang terdapat dalam pasal 3 ayat 1 (Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.), namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Dalam pasal 4 ayat 2 dinyatakan bahwa suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Setidaknya ada 3 alasan yang dijadikan dasar mengajukan permohonan poligami. Ketentuan pasal 4 huruf C, diperlukan pemeriksaan dokter ahli penyakit kandungan. Dalam beberapa hal, tidak dapatnya keterunan adalah kelainan yang didapati suami. Selanyaknya permohonan untuk menambah istri bagi suami yang seperti ini mestinya ditolak[21] Pasal 4 ini disebut dengan persyaratan alternative artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan poligami.
3.3 Perspektif Kompilasi Hukum Islam
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tampak pada pasal 57 KHI, Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila terdapat alasan-alasan sebgaimana disebut dalam pasal 4 UU Perkawinan

4. Syarat-Syarat Poligami
4.1 Perspektif Fikih
Allah menghalalkan bagi laki-laki untuk poligami, namun dengan batas tidak lebih dari empat istri. Allah mewajibkan kepada mereka agar berlaku adil dari sisi memberi pakaian, makanan, tempat tinggal, dan segala hal yang bersifat materi tanpa adanya pembedaan antara istri kaya dengan yang miskin. Jika seorang laki-laki khawatir tidak bisa berlaku adil dan tidak sanggup memenuhi hak-hak para istri secara keseluruhan, maka haram baginya berpoligami[22]
Jika disederhanakan, pandangan normative al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih, setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami. Pertama, seorang suami yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil.[23]
4.2 Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Syarat kebolehan poligami termuat dalam pasal 5 ayat 1, syarat yang dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Pasal 5 adalah persyaratan kumulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.
Pada pasal 5 ayat 2 kembali ditegaskan bahwa Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
4.3 Perspektif Kompilasi Hukum Islam
Pada Pasal 55 dinyatakan:
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Pasal 59 menggambarkan betapa besarnya wewenang pengadilan agama dalam memberikan izin, sehingga bagi istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh pengadilan agama.
5. Prosedur Poligami
5.1 Perspektif Fikih
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh islam memang tidak ada ketentuan secara pasti[24]. Namun muncul seruan di zaman sekarang ini yang melarang praktek poligami kecuali dengan seizin qadhi. Unutuk menegaskan terwujudnya apa yang disyariatkan oleh syariat untuk membolehkan poligami, yaitu keadilan bagi para istri, serta kemampuan untuk memberi nafkah karena manusia, terutama orang awam telah mempergunakan dengan buruk pembolehan poligami yang diizinkan secara syariat untuk tujuan mulia kemanusiaan[25]
5.2 Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami, tetapi atas dasar izin dari hakim (pengadilan)[26] oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2:
“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Dengan ayat ini, jelas UU No.1 tahun 1974 melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seseorang, sesuatu yang tidak ada preseden historisnya di dalam kitab-kitab fikih.
Menyangkut prosedur pelaksanaannya aturannya dapat dilihat dari Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
Pasal 40 Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975 menyatakan: Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Tugas pengadilan diatur dalam pasal 41: Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a.       Ada atau tidak adanya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.
b.      Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
c.       Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i.Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d.      Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Berikutnya pasal 42 menyatakan: Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.
Pasal 44 menyatakan: Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43.
Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal diatas dikenakan sanksi pindana[27]
Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka: Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 40, dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500; dan bagi Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 44, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.7.500.
5.3 Perspektif Kompilasi Hukum Islam
Pada Pasal 56 dinyatakan:
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum
6. Dampak Poligami
Dibolehkannya poligami tidak dapat kita abaikan begitu saja, dengan menyimak hikmah yang terkandung dalam poligami, hendaknya ada kemauan dari pihak pemerintah untuk memperhatikan masalah ini. Diantara hikmah-hikmahnya adalah:
1.      Merupakan karunia Allah dan rahmat-Nya kepada manusia.
2.      Jalan yang halal untuk memuaskan laki-laki yang memiliki dorongan seksual tinggi, dan tidak merasa puas dengan hanya seorang istri.
Al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawaj mencatat 4 dampak negative poligami: (1) poligami dapat menimbulkan kecemburuan diantara para istri. (2)menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak dapat bersikap bijaksana dan adil (3)Anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk saling cemburu (4)Kekacauan dalam bidang ekonomi, bisa sajapada awalnya suami memiliki kemampuan untuk poligami, namun bukan mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan.
Masyarakat yang melarang poligami mengalami hal-hal berikut: (1)Pelacuran tersebar dimana-mana (2)Banyaknya anak-anak yang lahir tanpa ayah yang jelas (3)Munculnya bermacam-macam penyakit badan,kegoncangan mental dan gangguan-gangguan syaraf (4)merusak hubungan yang sehat antara suami dan istrinya (5)meragukan sahnya keturunan sehingga suami tidak yakin bahwa anak yang diasuh dan dididik adalah darah dagingnya sendiri.[28]
Penanggulangan sisi negative pada praktek poligami adalah dengan dua perkara: pertama, mendidik generasi dengan pendidikan agama dan akhlak yang kuat. Yang membuat pasangan suami-istri menyadari kepentingan ikatan suami-istri yang suci dan memfokuskannya atas landasan rasa sayang dan kasih; kedua, menghukum orang yang menzalimi istrinya ataupun lalai dalam memenuhi berbagai haknya, atau mengabaikan pendidikan salah satu anaknya.[29]
7. Perkawinan Rasulullah
Perkawinan pertama Rasulullah dengan seorang janda berumur 40 tahun, yaitu Siti Khadijah (Khadijah binti Khuwailid), pernikahan tersebut berlangsung selama 25 tahun.
Sepeninggalan Khadijah Rasulullah ditawari oleh Khaulah binti hakim untuk menikahi salah satu dari dua orang wanita, satu perawan (Aisyah) dam satu lagi janda (Saudah), dan Rasulullah menikahi Saudah (Saudah binti Zam'ah), seorang janda berbadan gemuk dan memiliki banyak anak yang membutuhkan pelindung.
Perkawinan ketiga,dengan Aisyah binti Abu Bakar. Pinangan Rasulullah atas Aisyah menyelamatkan Abu Bakar dari dilema antara menikahkan putrinya dengan seorang kafir, atau mengingkari janjinya kepada Mu’thim bin ‘Ady, ayah dari seorang pemuda kafir tersebut,yang telah dijanjikan untuk menikahi putrinya.
Pada tahun ke tiga hijriah, putri Umar bin Khattab, Hafsah binti Umar ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin Khudzafah setelah perang badar. Umar berusaha mencarikan suami bagi putrinya yang masih berumur 18 tahun, agar terbebas dari kemurungan yang dideritanya. Upaya selama 6 bulan lebih belum menghasilkan apa-apa, hingga pada masanya ia menawarkan anaknya kepada abu bakar, namun abu bakar hanya diam. Utsman, namun utsman belum berhasrat. Kejengkelan umar terhadap dua orang sahabatnya disampaikan kepada rasulullah. Umar tidak pernah menyangka bahwa rasulullah akan menikahi putrinya, hingga ia bersorak kegirangan.
Perkawinan kelima juga dengan seorang janda yaitu Zainab binti Khuzaimah al-Hilaliyah yang sebelumnya telah menikah dengan At-Thufail bin Al-Harits bin Abdil Muthalib yang kemudian menceraikannya, lantas dinikahi oleh Ubaidah bin Al-Harits yang kemudian meninggal pada perang badar. Sepeninggalannya Rasulullah menikahi Zainab pada tahun 4 H. Ia dikenal dengan sebutan ummul masakin karena kedekatannya dan kasih sayangnya terhadap orang-orang miskin.
Pada tahun yang sama (4H) Rasulullah mengawini seorang janda lain, yaitu Ummi Salmah Fyang nama aslinya Hindun binti Umayyah bin al-Mughirah. Ketika Rasulullah meminangnya, ia menjawab bahwa ia minder karena sudah berumur dan memiliki banyak anak.
Pada tahun ke-5 H, Rasulullah menikahi Zainab binti Jakhsy, setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah.
Pada tahun ke-6, terjadi peperangan antara kaum muslim dengan kaum Yahudi bani Mushthaliq. Akibat peperangan ini, mereka yang kalah menjadi tawanan dan budak bagi pemenang. Diantara yang tertawan adalah Juwaihiriyyah binti al-Harits, seorang putri dari al-Harits bin Abi Dlorror pemimpin Bani Mushthaliq. Juwaihiriyyah tidak rela dirinya menjadi budak, maka ia berniat menebus dirinya. Karena tidak memiliki harta lagi, maka ia menghadap rasulullahagar dibantu melunasi tebusan tersebut. Dengan persetujuan Juwairiyyah, Rasulullah menikahinya.
Pada tahun ke-7 H, terjadi perang khaibar. Pada saat penyerbuan ke benteng al-Qomush milik bani nadhir, pemimpin benteng ini yaitu Kinanah bin Rabi’, suami Shofiyah binti Hay, terbunuh. Seperti yang dilakukan terhadap bani Mushthaliq, maka rasulullah menikahi Shofiyah.
Pada saat kedudukan kaum muslim di madinah mulai menguat di jazirah arab, rasulullah mengirimkan utusan ke habasyah untuk memanggil para emigrant muslim yang hijrah ke habasyah. Diantra para emigrant itu terdapat Ummu Habibah (Ramlah binti Abu Sufyan) yang menjadi janda karena ia tidak ingin berkumpul dengan suaminya yang murtad, yaitu Abdullah bin Jahsy. Ummu Habibah tidak memiliki tempat kembali, tidak mungkin ke keluarganya di Makkah sebab ia hijrah karena masuk islam, sedang di madinah ia tidak tahu harus kemana. Beruntung Rasullah meminangnya.
Pada tahun ke-7 H, utusan Rasullullah yang ke Iskandariah-mesir telah datang dengan membawa hadiah dua orang budak dari mesir, Maria binti Syam’un dan Sirin. Yang pertama dinikahi oleh Rasulullah dan yang kedua diberikan kepada Hassan bin Tsabit. Maria al-Qibthiah yang menjadi budak di Iskandariah, kini menjadi istri pemimpin tanah Hijaz.[30]
Pada akhir tahun ke-7H tepatnya pada bulan Dzul-Qa’dah Maimunah yang dalam al-Quran disebutkan “dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya” (al-Ahzab:50). Penawaran itu dilakukan oleh Maimunah melalui saudaranya Ummul Fadhl, kemudian Ummul Fadl menyerahkan masalah ini kepada suaminya, yaitu Abbas bin Abdil Muthalib. Maka Abbas menikahkan Maimunah atas nama nabi.









Kesimpulan
Ketentuan poligami dalam syariat adalah berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3. Menurut madzhab Ahli Sunnah, seorang lelaki tidak boleh menikah dengan lebih dari empat orang istri dalam satu waktu, sedangkan madzhab az-Zhahiriyyah dan al-Imamiyyah berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh menikahi Sembilan orang perempuan
Di Indonesia, masalah poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.9 tahun 1975. Bagi pegawai negeri sipil diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.10 tahun 1983 kemudian di susul dengan Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Kata yang tepat bagi seorang lelaki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini, bukan poligami. Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang lelaki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini menurut masyarakat umum adalah poligami.
Bagaimanapun poligami tetap akan diperdebatkan. Sebenarnya masalahnya tidak terlalu berat dan tidak perlu menempatkannya sebagai sesuatu yang membahayakan bagi kehidupan perempuan, sehingga harus ditolak secara apriori. Yang jelas poligami merupakan syariat agama islam yang keberadaannya jelas didalam al-quran, terlepas bagaimana ayat tersebut diterapkan. Masalahnya dalam kondisi yang bagaimana dan oleh siapa syariat poligami itu dapat dilaksanakan.
Jika seseorang memiliki kesanggupan dan beristri lebih dari satu merupakan kebutuhan dirinya agar tetap memelihara muru’ah dan juga dimotivasi untuk membantu, selama ia dapat berlaku adil, maka ia boleh melakukan poligami. Sebaliknya orang yang tidak memiliki syarat-syarat yang pantas, maka poligami merupakan sesuatu yang harus dihindari. Dengan demikian, sebenarnya poligami merupakan sesuatu yang sangat pribadi dan kondisional. Adalah tidak tepat jika poligami di generalisir, seolah-olah poligami adalah syariat yang berlaku umum dan dapat dilaksanakan oleh semua orang.
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tampak pada pasal 57 KHI, Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila terdapat alasan-alasan sebgaimana disebut dalam pasal 4 UU Perkawinan

Jika disederhanakan, pandangan normative al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih, setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami. Pertama, seorang suami yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil



Daftar Pustaka
1.      Kementrian Agam RI, Etika Berkeluarga,Bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir al-Quran Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran:2012
2.      Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:PT Intermasa;1983
3.      Dr.H.Aminur Nuruddin, dan Drs.Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana: 2004
4.      Lia Amalia,M.Psi. Poligami dalam tafsir Muhammad Syahrur. Ponorogo:STAIN Ponorogo Press.
5.      Ustad Labib MZ, Pembelaan Ummat Muhammad terhadap para Orientalis atau Sindiran Golongan Anti Islam yang Mempersoalkan Nabi Muhammad SAW., Beristri lebih dari Satu (Rahasia Poligami Rasulullah). Gresik: Bintang Pelajar:1986
6.      Jalaluddin Asy-Syuyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahalliy,Tafsir Jalalain
7.      Wahbah az-Zuhaili, Fikih Islam wa Adillatuhu 9; Depok: Gema Insani: 2007
8.      M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Ciputat:Lentera Hati: 2011.
9.      Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:Rajagrafindo Persada: 2004
10.  Slide Bina Sarana Informatika, untuk mata kuliah Character Building untuk mahasiswa jurusan AMIK,ASM,ABA, dan AKOM
11.  Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam. Yogyakarta, Pustaka Pelajar:2007.
12.  Zakiah Darajat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta, Bulan Bintang: 1985
13.  Cambridge Advanced Learner's Dictionary - 3rd Edition
14.  Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta,Rajagrafindo:2009
15.  Abdurrahman I.Do’I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta,Rajawali Press: 2002
16.  Kahiruddin Nasution, Riba dan  Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Yogyakarta:Pustaka Pelajar:1996
17.  Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Jakarta: cakrawala publishing, 2011.
18.  Yahya harahap, Hukum Perkawinan Nasional. Medan,Zahir Trading:1975
19.  Zainuddin Ali,Hukum Perdata Islam di Indonesia; Jakarta: Sinar Grafika: 2007
20.  Hj.Irena Handono,at al.Islam Dihujat:Menjawab buku The Islamic Invasion. Kudus;Bimarodheta:2004



[1] Kementrian Agam RI, Etika Berkeluarga,Bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir al-Quran Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran:2012
[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:PT Intermasa;1983
[3] Dr.H.Aminur Nuruddin, dan Drs.Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana: 2004
[4] Lia Amalia,M.Psi. Poligami dalam tafsir Muhammad Syahrur. Ponorogo:STAIN Ponorogo Press.
[5] Ustad Labib MZ, Pembelaan Ummat Muhammad terhadap para Orientalis atau Sindiran Golongan Anti Islam yang Mempersoalkan Nabi Muhammad SAW., Beristri lebih dari Satu (Rahasia Poligami Rasulullah). Gresik: Bintang Pelajar:1986
[6] Jalaluddin Asy-Syuyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahalliy,Tafsir Jalalain
[7] Wahbah az-Zuhaili, Fikih Islam wa Adillatuhu 9; Depok: Gema Insani: 2007
[8] Ibid
[9] Jalaluddin Asy-Syuyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahalliy, Op Cit.
[10] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Ciputat:Lentera Hati: 2011.
[11] Ibid
[12] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:Rajagrafindo Persada: 2004
[13] Slide Bina Sarana Informatika, untuk mata kuliah Character Building untuk mahasiswa jurusan AMIK,ASM,ABA, dan AKOM
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami
[15] Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam. Yogyakarta, Pustaka Pelajar:2007.
[16] Zakiah Darajat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta, Bulan Bintang: 1985
[17] Cambridge Advanced Learner's Dictionary - 3rd Edition
[18] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta,Rajagrafindo:2009
[19] Abdurrahman I.Do’I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta,Rajawali Press: 2002
[20] Kahiruddin Nasution, Riba dan  Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Yogyakarta:Pustaka Pelajar:1996
[21] Dr.H.Aminur Nuruddin, dan Drs.Azhari Akmal Tarigan. Op Cit
[22] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Jakarta: cakrawala publishing, 2011.
[23] Abdurrahman I.Do’I, Op cit
[24] Tihami dan Sohari Sahrani,Op Cit
[25] Wahbah az-Zuhaili, Op Cit.
[26] Yahya harahap, Hukum Perkawinan Nasional. Medan,Zahir Trading:1975
[27] Zainuddin Ali,Hukum Perdata Islam di Indonesia; Jakarta: Sinar Grafika: 2007
[28] Tihami dan Sohari Sahrani Op Cit
[29] Wahbah az-Zuhaili; Op Cit
[30] Hj.Irena Handono,at al.Islam Dihujat:Menjawab buku The Islamic Invasion. Kudus;Bimarodheta:2004