Pendahuluan
Demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat. Indonesia
berbentuk negara republik yang demokratis. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya,
sejak kemerdekaan RI, Indonesia berada di bawah pemerintahan yang tidak
demokratis pada masa Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Tuntutan
demokratisasi muncul, tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, sehingga tahun
1998 menjadi puncak dari kemenangan gerakan pro-demokratisasi di Indonesia yang
terdiri dari semua lapisan masyarakat. Demokratisasi pada akhirnya melahirkan
pemerintahan dan negara yang demokratis dengan ditandainya penghargaan terhadap
hak asasi manusia dan kebebasan dalam berbagai hal: pers, berpendapat,
berserikat, dan beragama. Walau masih jauh dari ideal, namun pencapaian
Indonesia dalam mewujudkan negara yang demokratis terus menunjuk hasil yang
positif terlebih jika kita melihat hasil pemilihan umum dan pemilihan presiden
secara langsung untuk yang pertama kali dalam sejarah Indonesia pada tahun 2004
merupakan kemajuan yang luar biasa, dan itu sebagai parameter demokratis
tidaknya suatu negara. Dari sini, Indonesia sudah dapat dikatakan negara yang
demokratis.
Untuk mewujudkan negara Indonesia yang demokratis yang menghargai hak
asasi manusia telah melibatkan semua lapisan masyarakat, terutama LSM, pers,
dan organisasi keagamaan. Ketiga aktor ini memainkan peran yang cukup penting
bagi proses demokratisasi di Indonesia dan penegakkan hak asasi manusia. LSM,
pers, dan organisasi keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, menjadi lapisan
rakyat yang mengawasi kinerja pemerintahan agar tetap berada di jalur yang
telah benar, yaitu demokrasi dengan penghargaan terhadap HAM menjadi acuan
utamanya. Mereka harus tetap menjadi “Anjing Penyalak” bagi pemerintah agar
perhatian terhadap penegakkan HAM dan demokrasi di Indonesia menjadi kerangak
acuan kerjanya demi mewujudkan Indonesia yang aman, makmur, sejahtera,
demokratis, dan humanis.Karena konsep dan prinsip demokrasi yang merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya hak asasi manusia di Indonesia. Tanpa ketersediaan demokrasi dalam satu negara, maka dapat dipastikan penghargaan dan penegakan HAM tidak akan pernah terwujud. Bab ini juga akan menjelaskan gerakan demokratisasi di Indonesia dan peran civil society, seperti LSM, media massa dan pers, serta organisasi keagamaan, dalam penegakkan HAM dan demokrasi di Indonesia.
A. Pendahuluan[i]
Dalam persimpangan jalan pertumbuhan dan perkembangan
bangsa Indonesia yang amat penting sekarang ini, prinsip-prinsip kebebasan
nurani dalam semangat kemanusiaan harus menjadi acuan serius bagi seluruh
lapisan masyarakat. Prinsip-prinsip itu merupakan dasar dan titik tolak bagi
segenap usaha mengembangkan kesadaran akan hak-hak asasi dan demokrasi, sejalan
dengan tekad dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam falsafah negara[ii].
Hal ini didukung oleh fakta sejarah bahwa masalah HAM telah mendapat perhatian
besar menjelang diproklamasikan kemerdekaan Indonesia oleh para Bapak Pendiri (founding
fathers) negara.
Dalam konteks sejarah, kita dapat melihat beberapa
artikulasi. Pertama, artikulasi ini nampak dalam semangat antikolonialisme dan
antiimperialisme. Semangat ini dirasakan dan dikobarkan dalam spektrum yang
amat luas. Hal ini sejalan dengan perkembangan politik global saat itu yang
melihat karakter ekstraktif dari kolonialisme. Inggris, dengan jumlah koloni
yang amat besar, sudah melihat adanya gerakan sipil-demokratik ini. Sejak
pemerintahan Lloyd George, di Inggris, terus berurusan dengan berbagai
dekolonisasi, yang sebenarnya bertumpu pada pengakuan hak asasi manusia.
Inggris ini memberi preseden kepada
kekuatan koloni yang lain, termasuk dalam hal pengakuan hak asasi manusia.
Kedua, para Bapak Pendiri melihat bahwa masyarakat adalah
pemilik dari kedaulatan republik muda. Hal ini jelas tampak pada preambule UUD
1945. Sebagian besar para Bapak Pendiri melihat bahwa republik muda ini bisa
saja jatuh ke dalam ‘penindasan atas saudara sendiri’. Inilah yang menjadi
konteks dari penjelasan UUD 1945 yang mengatakan bahwa Indonesia bukanlah
negara kekuasaan melainkan negara hukum. Pengakuan akan hak asasi manusia terus
diperjuangkan oleh para Bapak Pendiri dengan menginstitusionalisasikan
kedudukan utama dari hak warga negara. Kemajuan yang dicapai pada masa Presiden
Soekarno untuk memasukkan HAM ke dalam UUD 1945 dan peraturan lainnya cukup
menggembirakan. Bahkan, mereka hendak membuat Piagam HAM. Secara historis,
ditemukan perdebatan yang mengarah kepada upaya perumusan konsepsi HAM menurut
Indonesia, di antaranya di dalam persidangan Badan Penyelidikan Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) sebelum masa kemerdekaan pada tahun 1945, kemudian sekitar pertengahan
tahun 1950-an, dan saat orde baru mulai menggantikan orde lama pada awal tampil
ke panggung kekuasaan pada tahun 1965.
Setelah itu, ketika rezim orde baru Soeharto menggantikan
Soekarno, HAM menjadi isu yang sangat dihindari oleh penguasa saat itu. Menurut
Satya Arinanto, dalam perjalanannya kemudian, pemerintah orde baru seakan-akan
bersikap anti terhadap eksistensi Piagam HAM. Setiap pertanyaan yang mengarah
kepada perlunya Piagam HAM, cenderung dijawab bahwa Piagam semacam itu tidak
dibutuhkan. Selama rezim orde baru berkuasa, kata HAM seolah-olah menghilang
dari kamus sehari-hari, dan hanya dipergunakan secara terbatas di kalangan para
ahli hukum, mahasiswa, dan aktivis. HAM mengalami masa diam yang panjang di
kalangan masyarakat Indonesia[iii].
Hal ini juga menjadi tema umum dunia sejak tahun 1960-an.
Persaingan Barat-Timur yang di era tahun 1960-an, dengan adanya ancaman
Kruschev menganeksasi seluruh Berlin, peristiwa Krisis Kuba, dan menurunnya
kredibilitas Presiden Lyndon B. Johnson di dalam negeri AS akibat Perang
Vietnam. Semuanya itu menghasilkan langkah penurunan tegangan global oleh
kekuatan-kekuatan besar waktu itu. “Pragmatisme atas pembangunan” menjadi
penting. Indonesia bersama negara-negara lain di Asia Tenggara didorong menjadi
kawasan stabil, dengan didirikannya ASEAN pada tahun 1967 (dimana ASEAN
memastikan bahwa prinsip “tidak ikut turut campur” menjadi dasar). Pejabat
Presiden, dan kemudian Presiden Soeharto, memastikan bahwa Indonesia berada
pada arus baru tersebut. Tidak mengherankan, perhatian pada hak dasar warga
negara menjadi diabaikan. Dalam retorika politiknya, rezim baru ini juga
menyatakan bahwa sumber segala kekacauan tahun 1950-1960-an adalah justru
terlalu diakomodasinya hak dasar tersebut.
Seiring dengan perjalanan waktu, penolakan masyarakat
dari berbagai kalangan terhadap rezim orde baru tumbuh, berkembang, dan semakin
kuat dari hari ke hari, karena karakter pemerintah yang terpusat di satu tangan
Presiden, ekonomi dikuasai segelintir orang baik oleh keluarga maupun kroni
Soeharto, dan kesewenang-wenangan politik. Dari serangkaian pembangkangan
rakyat terhadap orde baru, hanya isu hak asasi manusia atau HAM yang menjadi
kekuatan pemukul menentukan. Menurut Ignas Kleden, belum pernah sebelum ini
kekerasan politik dan kesewenang-wenangan politik orde baru dapat dihadapi
dengan demikian efektif seperti kritik politik yang menggunakan isu HAM sebagai
tema argumentasinya. Hal ini disebabkan karena kepekaan internasional terhadap
masalah HAM semakin meningkat[iv].
Rezim orde baru Soeharto tidak bisa lepas dari pantauan masyarakat
internasional tentang keadaan HAM di Indonesia.
Perjuangan demokratisasi punya kaitan yang sangat dalam
dengan perjuangan HAM. Oleh karena itu, hal yang amat prinsipil dalam proses
pembangunan negara ini adalah memperjuangkan hak-hak asasi sebagaimana
dikehendaki negara demokratis. HAM telah menjadi isu internasional dalam
menentukan satu pemerintahan demokratis atau tidak. HAM menjadi alat ukur bagi
tegaknya sebuah demokrasi di satu negara tertentu. HAM menjadi bagian dari
dasar demokrasi yang kukuh. Peringatan para Bapak Pendiri mengenai bahaya
negara menjadi penindas saudaranya sendiri (terutama dikemukakan oleh Hatta dan
Sjahrir) justru dirasakan amat sangat pada masa rezim orde baru. HAM dikemukakan
oleh Hatta menjadi fondasi bukan saja untuk mengontrol pemerintah, melainkan
juga menjadi kekuatan produktif masyarakat menyelenggarakan kesejahteraan.
Model pembangunan dengan ”negara menjadi penyedia“ yang mengutamakan kecepatan
dan ”partisipasi nol“ dari warga negara, membuat demokrasi menjadi semu, tidak
tahan zaman, dan menciptakan oligarki yang tidak menyentuh keprihatinan
masyarakat setiap hari.
B. Pengertian
Demokrasi
Pengertian
demokrasi dapat dilihat secara bahasa dan istilah. Secara bahasa, demokrasi
berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani: demos (rakyat) dan kratos
atau kratein (pemerintah atau kekuasaan). Dengan demikian, secara
bahasa, demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat atau kekuasaan
di tangan rakyat.
Sesungguhnya,
tidak ada kesepakatan tentang makna demokrasi beserta perangkat kelembagaan
pendukungnya, sebab pengertian demokrasi merupakan kategori yang dinamis. Oleh
karena itu, banyak ragam pengertian dan penjelasan demokrasi secara istilah
yang dikemukakan oleh para ahli dan dapat diringkas sebagai berikut:
1. Demokrasi adalah suatu aturan kelembagaan
dalam rangka mengambil suatu keputusan politik di mana masing-masing orang
memiliki kekuatan untuk memutuskan dan berjuang secara kompetitif untuk
memperoleh dukungan atau suara rakyat
2. Demokrasi adalah alat untuk melindungi
’masyarakat yang dipimpin’ dari penyalahgunaan kekuasaan oleh ’yang memimpin.’
3. Demokrasi adalah suatu sistem politik dengan
konsep kedaulatan di tangan rakyat; penguasa mempertanggungjawabkan secara
berkala terhadap yang dipimpinnya; hak minoritas dilindungi; dan persaingan
politik antarindividu dan antargagasan sangat terbuka.
4. Demokrasi adalah cara hidup, adanya keinginan
untuk berkompromi, toleransi, dan kesediaan mendengar dan menerima pendapat
orang lain.
5. Demokrasi adalah penerimaan kontrak sosial
yang menuntut prilaku bertanggungjawab, kewarganegaraan yang baik, dan
keyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki kedudukan lebih tinggi
daripada hukum[v]. Dari beberapa penjelasan demokrasi secara
istilah ini, maka definisi yang cukup ringkas diajukan oleh David Beetham,
yaitu “Sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang
mengikat secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat“[vi].
Demokrasi sangat penting dalam memperjuangkan hak-hak
rakyat dan kepentingan mereka. Demokrasi menjadi kunci keberhasilan dalam
pencapaian kemajuan ekonomi dan sosial. Oleh sebab itu, Amartya Sen menyatakan
bahwa kelaparan pertama-tama bukanlah akibat dari kekurangan makanan, melainkan
merupakan akibat langsung dari kekurangan demokrasi. Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa kemiskinan bukanlah akibat hilangnya pendapatan dan
penghasilan, melainkan justru merupakan akibat hilangnya kesempatan sekelompok
orang untuk mewujudkan kemampuan diri sendiri. Faktanya, kelaparan sering muncul di negara-negara yang
tidak demokratis. Sedangkan di negara-negara yang menjalankan demokrasi,
kelaparan jarang sekali terjadi, sekalipun tingkat pertumbuhan negara
bersangkutan belum tinggi[vii].
Menurut Georg Sorensen demokrasi muncul sebagai bentuk
penolakan terhadap kekuasaan yang diturunkan secara turun-temurun, seperti
kerajaan. Demokrasi pada tahap awal berjuang untuk menurunkan kekuasaan negara
dan menciptakan lingkungan masyarakat sipil di mana hubungan-hubungan sosial,
lembaga non-negara, keluarga, dan kehidupan pribadi, dapat berkembang tanpa
campur tangan negara. Selain itu, demokrasi menolak kekuasaan negara yang
didasarkan pada warisan atau hak-hak supranatural, melainkan hanya pada
kedaulatan rakyat[viii].
Bagi John Clark demokrasi merupakan keseluruhan bentuk
hak yang harus bisa dimiliki warga negara apabila suatu pemerintahan itu
terbuka, dapat dipercaya, dan partisipatif. Hak-hak ini meliputi kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat misalnya serikat
buruh atau kelompok penekan, akses kepada informasi khususnya mengenai rencana
pemerintah terutama bagi mereka yang terkena secara langsung dan hak untuk
diajak berbicara dalam keputusan seperti ini, serta kebebasan dari segala
bentuk diksriminasi, apakah itu berdasarkan jenis kelamin, ras ataupun agama.
Di setiap wilayah geografis, di negara-negara di mana rakyat lebih bebas untuk
menyatakan pendapat, untuk berkelompok dalam partai ataupun serikat buruh, di
mana ada kebebasan pers, di mana ada keterbukaan pemerintah dan dipilih secara
bebas serta di mana lembaga-lembaga negara dipercaya publik cenderung memiliki
penduduk yang lebih baik dan lebih berisi. Transformasi yang cepat di Eropa
Timur, Amerika Latin dan di manapun menggambarkan keadaan seperti ini[ix].
Demokrasi lahir dari 2 kekuatan penting. Pertama,
ia lahir dari penolakan pemusatan kekuasaan. Hal ini amat jelas dari pemikiran
John Locke, David Hume, Adam Smith, dan Jean Jacques Rousseau, dan juga
Revolusi Amerika Serikat. Para pemikir ini memperingatkan adanya pengakuan yang
tidak adil, seperti
”suara Tuhan“, keturunan, kekuasaan bergilir (appointed, not elected, leader),
aristokrasi. Kondisi ini memunculkan prinsip dan praktik penting dalam
demokrasi: tawar-menawar dalam parlemen, keterwakilan melalui mekanisme
pemilihan umum, hukum dan aturan yang ditetapkan sebagai bentuk kesetujuan
(agreed consensus/regulation), ’term-limit’ (kekuasaan dengan masa waktu
tertentu).
Kedua, kekuatan lain adalah adanya pengakuan penting dan
universal akan adanya ”kedaulatan negara“, sebagaimana yang dikemukakan Jean
Bodin pada tahun 1576. Kedaulatan negara dalam hukum dan kesepakatan
internasional, dirumuskan dalam Treaty of Westphalia 1648. Mengapa
konsep ini penting? Sebelum Bodin dan Treaty of Westphalia terwujud,
klaim aneksasi dan agresi militer menjadi amat mudah dicari. Misalnya, kerajaan
satu menjajah negeri lain, dengan alasan bahwa anggota keluarga kerajaan mereka
berasal dari negara itu. Atau, alasan bahwa satu negeri perlu ”memperluas wilayah
pengaruhnya“, maka dilakukan serbuan bersenjata. Tidaklah mengherankan perang
menjadi tiada berkesudahan. Negara yang sudah bersifat etatis dan merkantilis
menjadi semakin tidak terkendali. Dalam kekalahan dan kemenangan, penyiksaan
warga negara dan hancurnya properti menjadi prilaku keseharian. Prinsip dan
praktik ”kedaulatan negara“ ini di
satu sisi menjadi pengakuan bahwa ada batas permanen dari suatu negara, di lain sisi menjadikan demokrasi
menjadi syarat dan praktik utama. Untuk menghentikan perang tanpa henti ini,
maka negeri-negeri di Eropa menyelenggarakan demokrasi yang bertumpu pada
mekanisme ”perwakilan“ dan ”konstitusionalisme“. Hal ini di satu sisi membuat
negeri-negeri menjadi Republik, di lain sisi menjadi ”monarki konstitusional“.
Negeri kerajaan, misalnya seperti yang terdapat di Skandinavia (Norwegia,
Denmark, Swedia) menjadi pelopor dalam keduanya (bahkan sekaligus memelopori ”welfare-state“ yang menjadi ciri penting
demokrasi modern). Norwegia, misalnya, menjadi salah satu negara pertama di
dunia yang merumuskan dan menyepakati konstitusi, yaitu 17 Mei 1814. Di sisi
lain, bentuk republik yang stabil (pasca Perang Dunia II) dapat ditemukan pada
Amerika Serikat (yang bertumpu pada presidensialisme dan sistem commonwealth),
Republik Kelima Perancis (yang bertumpu pada presidensialisme dan
parlemen-unitaris), Republik Federal Jerman (yang bertumpu pada konstitusi
”Negara Sosial“ dengan fungsi federal yang luas), dan sebagainya.
Di tahun 2005, pada masa tugas Sekretaris
Jenderal Kofi Annan, kantor Sekretariat Jenderal PBB mengeluarkan 3 dokumen
penting: [1] Dokumen dari Panel Tingkat Tinggi yang diketuai oleh Anand
Panyarachun dengan judul ”A more Secure
World: Our Shared Responsibility, Report of the Secretary General’s High-Level
Panel on Threats, Challenges, and Change“, [2] Tanggapan dari Sekretaris
Jenderal PBB atas laporan Panel dengan judul ”In Larger Freedom“, dan [3] Laporan Millenium Project kepada
Sekretaris Jenderal PBB dengan judul ”Investing
in Development, A Practical Plan to Achieve the Millenium Development Goals“.
Secara singkat, dokumen [1] adalah mengenai
”Keamanan dunia“, dokumen [3] mengenai keamanan sosial-ekonomi, dan dokumen [2]
mengenai rangkuman keduanya.
Laporan ini amat penting dalam memodifikasi 2 kekuatan di
atas. Untuk soal yang pertama: Permasalahan bahwa demokrasi menolak
pemusatan kekuasaan dikembangkan dengan bentuk kerjasama keamanan dunia. Sejak
berakhirnya Perang Dingin, dan sejak terbentuknya NATO, maka PBB menjadi
instrumen penting kerjasama keamanan dunia. Menurunnya relevansi PBB kerjasama
keamanan dunia disebabkan antara lain negara-negara anggota PBB banyak
menyalahgunakan PBB, dan kurang tersedianya jalan (venue) yang cerdas.
Dokumen ”Our More Secure World“
merekomendasikan beberapa modifikasi.
Untuk soal yang kedua, jelas bahwa ”kedaulatan negara“ memang
mencegah perang total, tetapi penyalahgunaan ”kedaulatan negara“ juga amat
banyak. Penindasan terhadap warga negara, pemiskinan, penjualan aset penting
negara, pemerintahan oleh rezim tidak terpilih (junta misalnya),
kesemuanya dilakukan atas nama ”kedaulatan negara“. Sejak Treaty of
Westphalia yang dimodifikasi
oleh Piagam PBB (UN Charter)di
tahun 1948 dan dengan Pengadilan Nuremberg, perlindungan hak asasi manusia
menjadi tugas negara. Hukum internasional juga dengan jelas menyatakan
kewajiban ini dengan munculnya banyak ketentuan internasional yang lahir dari UN
Charter ini (dalam UN Charter, dinyatakan ”We, the nations“, dan bukan ”We,
the states“). Implikasinya tegas: [1] Jika negara gagal melindungi, maka
adalah kewajiban masyarakat internasional untuk memastikan perlindungan hak
asasi manusia seseorang atau sekelompok orang. [2] dalam rangka perlindungan
hak asasi manusia, perlu adanya kerjasama antara negara-bangsa. Dalam konteks
ini, Millenium Development Goals (MDGs)
menjadi salah satu bentuk penting ”kerjasama wajib“ itu. Bentuk lain
seperti pembatasan eksploitasi (terutama oleh Trans-National Corporation),
masalah hutang haram (odius debt), preservasi sumber daya alam,
rezim perdagangan, anggaran negara, layanan publik, kesemuanya menjadi tema
penting kerjasama dunia.
C. Prinsip dan Kriteria Demokrasi
Robert
A. Dahl menyebutkan ada 8 prinsip demokrasi, yaitu:
1. Kebebasan untuk membentuk dan menjadi
anggota organisasi (the freedom to form and join organizations).
2. Kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom
of expression).
3. Hak memilih (the right to vote).
4. Kesempatan menjadi pejabat pemerintah (eligibility
for public office).
5. Hak bagi pemimpin politik untuk bersaing
dalam mencari dukungan (the right of political leaders to compete for
support and votes)
6. Sumber-sumber informasi alternatif (alternative
sources of information [a free press]).
7. Pemilihan umum yang bebas dan adil (free
and fair elections).
8. Lembaga yang membuat kebijakan pemerintah
tergantung pada perolehan suara dan pengungkapan preferensi lainnya (institutions
for making government policies depend on votes and other expressions of
preference)[x].
Sementara itu, untuk menentukan apakah suatu
negara demokratis atau tidak, ada beberapa kriteria atau parameter penilaian
yang tidak terlalu kaku harus mengikuti kedelapan prinsip di atas. Kriteria
proses demokrasi ini sangat penting bagi pemerintahan yang baik. Menurut Robert A. Dahl proses demokrasi yang
ideal ada 5 kriteria, yaitu:
a. Persamaan hak pilih
Setiap warga negara mempunyai hak istimewa untuk
menentukan keputusan terakhir.
b. Partisipasi efektif
Setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama
dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan
kesimpulan terakhir.
c. Pembeberan kebenaran
Semua warga negara harus mempunyai peluang yang sama dan
memadai untuk melakukan penilaian yang logis demi mencapai hasil yang paling
diinginkan.
d. Kontrol terakhir terhadap agenda
Masyarakat harus mempunyai kekuasaan ekslusif untuk
menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui
proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria pertama.
e. Pencakupan
Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam
kaitannya dengan hukum[xi].
Kriteria minimal demokrasi, menurut Robert A. Dahl,
sebagaimana dikutip Sorensen, demokratis tidaknya suatu negara dilihat dari
kompetisi dan partisipasi. Meningkatnya partisipasi berarti meningkatnya jumlah
warga negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan. Adapun kompetisi
menyangkut tersedianya hak-hak dan kebebasan paling tidak bagi beberapa anggota
sistem politik. Meningkatnya kompetisi berarti meningkatnya peluang bagi
oposisi politik dan peluang meraih kekuasaan[xii].
Menurut John L. Esposito dan John O. Voll, Amerika
Serikat mempunyai kriteria tersendiri untuk menilai demokratis tidaknya suatu
negara. Bagi AS hal yang paling menentukan dan vital dari demokrasi adalah
pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil dengan sistem multipartai dan
pemahaman terhadap hak-hak minoritas[xiii].
Jika suatu negara telah menjalankan kedua prinsip ini dengan benar, maka negara
tersebut dapat dikatakan telah menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis
dan baik.
Georg Sorensen mengajukan 3 kriteria demokrasi, yaitu:
1. Kompetisi. Kompetisi yang luas dan bermakna
di antara individu dan kelompok organisasi (khususnya partai-partai politik)
pada seluruh posisi kekuasaan pemerintah yang efektif, dalam jangka waktu yang
teratur dan meniadakan penggunaan kekuasaan.
2. Partisipasi. Tingkat partisipasi politik yang
inklusif dalam pemilihan pemimpin dan kebijakan. Paling tidak melalui pemilihan
bebas secara teratur, dan tidak ada kelompok sosial yang disingkirkan.
3. Kebebasan politik dan sipil. Tingkat
kebebasan politik, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan mendirikan
dan menjadi anggota organisasi.
Untuk
menentukan demokratis tidaknya suatu negara, menurut Sorensen, adalah mencari
elemen-elemen kompetisi, partisipasi, dan kebebasan di negara tersebut, tidak
hanya tataran formal, tetapi juga pada praktik yang sesungguhnya. Ketika
demokrasi diartikan sebagai kompetisi, partisipasi, dan kebebasan, jelas bahwa
proses demokratisasi, yaitu perubahan sistem politik dari bentuk yang tidak
demokratis ke bentuk yang lebih demokratis, dapat terjadi dengan berbagai cara[xiv].
Fuad Fachruddin merangkum pendapat para ahli
politik tentang kriteria demokratis tidaknya suatu pemerintahan dicirikan
dengan:
a. Pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan
terbuka dengan terjamin kerahasiaan pemungutan suaranya.
b. Menerapkan prinsip satu orang satu suara (one
man one vote).
c. Adanya pembagian dan pemisahan kekuasaaan
dalam pemerintahan.
d. Keadilan dan kedudukan yang sama bagi setiap
orang di hadapan hukum.
e. Membuka komunikasi antara masyarakat dengan
pihak pemerintah.
f. Menegakkan hak asasi manusia, seperti
kebebasan berbicara, berekspresi, dan kebebasan beragama[xv].
David Beetham memberikan parameter sederhana tentang
tatanan suatu pemerintahan yang demokratis, yaitu “yang memungkinkan seluruh
anggota kolektivitas menikmati hak setara yang efektif untuk ikut ambil bagian
secara langsung dalam pengambilan keputusan. Menurut Beetham, kata kunci
demokratis tidaknya suatu negara dapat dilihat dari 2 hal, yaitu pengawasan
masyarakat dan kesetaraan politik[xvi]. Jika kedua hal ini berjalan, maka pemerintahan
tersebut dapat dikatakan pemerintahan yang baik.
Akhirnya, suatu negara dapat disebut demokratis, menurut
Nurcholish Madjid, jika padanya proses-proses perkembangan menuju ke arah yang
lebih baik dalam melaksanakan nilai-kemanusiaan asasi dan dalam memberi hak
kepada masyarakat, baik individu maupun sosial, untuk mewujudkan nilai-nilai
itu. Daftar yang dapat digunakan untuk mengukur maju-mundurnya demokrasi adalah
pada sekitar seberapa banyak bertambah atau berkurangnya kebebasan asasi,
seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, dan berkumpul[xvii].
D. Gerakan Demokratisasi di Indonesia
Berkembangnya tuntutan demokratisasi[xviii]
(mewujudkan masyarakat yang demokratis, adil, dan egaliter) di Indonesia harus
diakui sebagai akibat adanya pengaruh global, yakni antara lain desakan akan
penegakan hak asasi manusia (HAM), serta isu pentingnya pengakuan atas
eksistensi dan kerja berbagai kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan dan kebijakan publik[xix].
Itu artinya, demokratisasi di Indonesia tidak terlepas dari konteks global saat
itu ketika banyak negara melakukan demokratisasi.
Masyarakat demokratis ditandai oleh adanya penerimaan
sosial atas kemajemukan identitas (pluralisme identitas). Dengan kata lain,
demokratisasi merupakan proses pemberdayaan atau kemampuan masyarakat dan
mengembalikan pada posisi strategisnya, yakni sebagi subyek pembangunan.
Berkenaan dengan itu, isu yang berkembang berkaitan dengan proses
demokratisasi, antara lain: penegakan HAM, pengakuan akan keberadaan kekuatan
sosial (civil society), dan pluralisme identitas. Isu-isu tersebut pada dasarnya berlandaskan pada nilai-nilai
universal yang terkandung dalam demokrasi[xx].
Indonesia sendiri baru memasuki pentas demokratisasi
mulai tahun 1998, setelah mengalami periode kolonialisme yang sangat panjang
kemudian memasuki masa pemerintahan yang otoriter. Meskipun UUD 1945 menyatakan
bahwa Indonesia berbentuk republik demokrasi berdasarkan kemerdekaan dan
kedaulatan rakyat, Presiden pertama RI Soekarno, rezim orde lama menerapkan
Demokrasi Terpimpin, dengan menghapuskan Demokrasi Parlementer atau
Konstitusional yang dianggap banyak kalangan sebagai demokrasi yang
sesungguhnya, dan terjebak dalam kultus individu dan pemerintahan yang
otoriter. Setelah rezim orde lama tumbang dan digantikan Presiden kedua
Soeharto perilaku pemerintah tidak banyak berubah, malah jauh lebih buruk.
Dengan Demokrasi Pancasila, Soeharto melarang partai politik oposisi, pers dan
media ditekan, pemberontakan lokal dihancurkan, dan hak asasi manusia
dikesampingkan sama sekali. Hingga akhir kekuasaan Soeharto tahun 1998, prilaku
politik Indonesia cenderung mengorbankan kebebasan politik dan hak asasi
manusia untuk menyenangkan penguasa atau para elite tertentu. Ketika Soeharto
tumbang, tuntutan demokratisasi semakin menguat. Setelah digantikan oleh BJ.
Habibie, Indonesia mulai mengalami kebebasan, walaupun masih banyak persoalan
ekonomi dan sosial hingga akhirnya memaksa Habibie mengadakan Pemilu yang bebas
pertama kali setelah 1955 yang diikuti oleh banyak partai politik dengan hasil
terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri[xxi].
Indonesia berada di bawah pemerintahan otoriter dan
militer sejak tahun 1949 sampai 1998, dan digolongkan “tidak bebas“ atau tidak
demokratis menurut klasifikasi dari lembaga Freedom House. Baru setelah Habibie
berkuasa pada 1998-1999, peringkat Indonesia yang tidak demokratis atau tidak
bebas naik ke satu tingkat menjadi setengah bebas atau setengah demokratis pada
tahun 1998-1999. Setelah itu, proses demokrasi di Indonesia semakin hari
semakin baik, terlebih dengan terselenggaranya Pemilu yang kedua 2004 dan
pemilihan presiden secara langsung untuk yang kali pertama dalam sejarah
Indonesia dengan kemenangan Soesilo Bambang Yudhoyono dan M. Yusuf Kalla adalah
bukti kuat bahwa demokrasi di Indonesia semakin mantap dan ajeg. Sejak itu,
sistem politik Indonesia memperlihatkan bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia dan
masyarakat sipil mengubah nilai dan sikap mereka ke arah universalisme
nilai-nilai demokrasi, antara lain lebih menghargai HAM, menjunjung tinggi
kebebasan pers dan media massa, kebebasan berserikat dan berpolitik[xxii].
Tuntutan demokratisasi sepanjang rezim diktator Soeharto,
karena negara orde baru dengan perangkat aparatusnya berusaha sedemikian rupa
mengontrol berbagai ruang publik. Ruang gerak kelompok-kelompok masyarakat
sipil dibatasi dan diawasi dengan berbagai cara. Akibat dari aktivitas mereka
yang berani “berbenturan“ dengan kepentingan negara adalah opresi dan represi
seperti intimidasi, teror, pelarangan, penangkapan, pemenjaraan, penculikan,
penghilangan paksa, dan berbagai bentuk tekanan politik lainnya. Setelah itu,
tuntutan perubahan politik menuju sistem demokratis, termasuk pergantian rezim,
muncul sebagai agenda krusial yang diperjuangkan oleh sejumlah elemen kritis
masyarakat sipil. Semua ini mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Tidak
saja di kalangan terbatas LSM, mahasiswa, cendekiawan, tetapi juga telah
merambah ke kalangan akar rumput[xxiii].
Menurut R. William Liddle, pergeseran rezim pemerintahan
dari otoritarian ke sistem yang lebih demokratis, di mana pemerintah dipilih
oleh rakyat dalam pemilihan bebas, disebabkan oleh 2 faktor:
1. Krisis legitimasi di atas, di mana
kebijaksanaan pokok pemerintah otoriter dianggap oleh umum telah gagal mencapai
tujuannya.
2. Dorongan dari bawah, di mana sebagian
masyarakat, yang makin hari makin besar dan kuat, mendesak pemerintah otoriter
agar rakyat diberi hak partisipasi politik[xxiv].
Rezim Soeharto runtuh pada 1998, karena telah memenuhi
dua faktor ini. Krisis legitimasi yang disebabkan oleh krisis ekonomi luar
biasa pada tahun 1997 dan tuntutan reformasi dari rakyat menjadi faktor
tumbangnya pemerintahan tiranik selama 32 tahun.
Harus diakui proses demokratisasi tersebut berlangsung
karena faktor-faktor politik, sosial budaya dan ekonomi. Hampir sebagian besar
teoritisi politik dan demokrasi selalu mengaitkan akar-akar demokrasi pada
tradisi, budaya, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pernah ada.
Perkembangan sistem demokrasi sebuah masyarakat tertentu berakar jauh ke dalam
sejarah sosial-budaya dan politiknya sendiri. Sebuah sistem demokrasi bukanlah
suatu proses yang sekali jadi. Kekuatan ekonomi dan dunia usaha telah menjadi
daya tersendiri terhadap proses demokratisasi. Karena itu, faktor ekonomi memainkan
peranan penting dalam proses demokratisasi di Indonesia, selain faktor lain
memainkan peranan penting, seperti agama, hukum, dan posisi militer[xxv].
Demokratisasi adalah jalan yang paling baik untuk
memelihara, melestarikan, dan mengukuhkan aset nasional sekarang ini, yaitu
stabilitas, keamanan, persatuan, dan kesatuan. Timbulnya dorongan ke arah
demokrasi yang lebih maju oleh perkembangan ekonomi ini disebabkan adanya
kaitan yang jelas antara demokrasi dan tingkat kemakmuran rakyat. Ini juga
disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah kelas menengah yang berperanan penting
di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, profesi dan lain-lain. Samuel P.
Huntington mengatakan; “Demokratisasi adalah suatu proses terus-menerus, yang
kini semakin tidak bisa dibalikkan lagi.“ Sistem politik demokratis dengan
sendirinya harus secara tulus mencakup nilai hidup kemanusiaan yang adil dan
beradab[xxvi].
Menurut Liddle, langkah-langkah ke arah demokratisasi
tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Pengembangan kelas menengah
b. Membangun jaringan organisasi sosial yang
besar, seperti NU dan Muhammadiyah
c. Memperkuat negara hukum.
d. Mendukung usaha desentralisasi.
e. Mengembangkan kebebasan akademis di
universitas[xxvii].
Dalam tingkat yang lebih praksis, menurut Sonny Keraf,
untuk mewujudkan kemungkinan suatu kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang lebih
demokratis diperlukan sebuah keseimbangan di antara ketiga kekuatan pokok dalam
masyarakat, yaitu kekuatan politik yang diperankan pemerintah, kekuatan pasar
yang diperankan oleh pengusaha, dan kekuatan masyarakat atau civil society.
Dengan adanya keseimbangan ini, maka bisa diharapakan kehidupan yang lebih
demokratis dapat terwujud. Kemajuan ekonomi melahirkan kelas menengah yang akan
menjadi lokomotif demokratisasi. Proses demokratisasi tersebut bisa didorong
oleh kekuatasn-kekuatan masyarakat yang mempunyai kesadaran kultural. Dorongan
ke arah demokratiasai hanya akan lebih mantap jika didukung oleh kelas menengah
kultural[xxviii].
Satu-satunya kelompok yang dapat diandalkan untuk menjadi
“motor” dalam melahirkan demokrasi adalah kelas kultural: kelompok profesi,
LSM, aktivis sosial, serikat pekerja independen, cendekiawan murni-independen,
kelompok agama, pers yang independen dan lain-lain. Ciri utama kelas kultural
ini adalah kesadaran kritis yang relatif sama akan hak dan kepentingan mereka
dan rakyat bawah yang tidak boleh dirugikan oleh kekuatan politik maupun
ekonomi. Untuk itu, medium yang paling pas untuk dijadikan wahana perjuangan
demokrasi adalah pendidikan politik dengan membangun kesadaran kritis
masyarakat luas mengenai hak den kepentingannya yang tidak boleh dirugikan oleh
kegiatan kelompok bisnis manapun[xxix].
Anders Uhlin, dalam bukunya Democracy
and Diffusion: Transnational Lesson Drawing among Indonesian Pro-Democracy
Actors, membagi menjadi 8 kalangan mereka yang serius mendukung proses
demokratisasi. Mereka ini adalah:
1.
Pembangkang dari lingkungan elite
2.
Aktifis LSM dari generasi lama yang didirkan pada 1970-an
3.
Aktifis LSM baru yang mengkhususkan diri pada gerakan
pro-demokrasi dan HAM.
4.
Aktifis mahasiswa
5.
Aktifis buruh dan petani
6.
Aktifis perempuan
7.
Penulis dan wartawan
8.
Kalangan intelektual[xxx]
Salah satu ciri pemerintahan demokratis adalah
ketersediaan civil society (masyarakat sipil atau masyarakat madani)
yang kuat, satu masyarakat yang mandiri dan bebas dari intervensi negara.
Negara yang kuat adalah negara yang demokratis dan civil society yang
kuat juga. Definisi paling lengkap tentang civil society diajukan oleh
Muthiah Alagappa, yaitu, pertama, masyarakat yang bebas dari intervensi negara,
masyarakat politik, dan pasar di mana mereka bebas berserikat untuk
memperjuangkan kepentingan masyarakat; kedua, tersedianya ruang bebas
untuk wacana dan kontruksi ide-ide normatif melalui kerjasama antara kelompok
masyarakat bukan-negara (non-state groups); ketiga, adanya
gelanggang otonomi masyarakat untuk mengatur diri-sendiri dalam isu-isu
tertentu; keempat, sebagai alat untuk aksi bersama guna melindungi
otonomi wilayah masyarakat, mempengaruhi corak pemerintahan, politik, kebijakan
negara, masyarakat politik, dan pasar[xxxi].
Indonesia akan menjadi lebih baik jika pemerintah secara
sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai universal dan norma-norma demokrasi
serta hak asasi manusia yang tertuang dalam undang-undang dasar. Pemerintah
harus dapat bekerjasama dengan semua elemen masyarakat sipil untuk membangun
Indonesia dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
LSM merupakan perkumpulan orang-orang yang memiliki keprihatinan
sosial, dan ingin melakukan sesuatu untuk kelompok masyarakat yang tertinggal
oleh derap lajunya pembangunan[xxxiii]. LSM tidak terdiri dari satu komunitas yang
ketat, tetapi lebih merupakan satu spektrum yang luas. Semua orang dari
berbagai latar belakang agama, ras, suku, dan negara dapat menjadi sukarelawan
LSM yang siap membantu masyarakat akar rumput yang lemah dan terpinggirkan guna
mendapatkan hak-hak mereka.
Aktvis LSM memiliki satu pemikiran ideal, yaitu berupaya
membangun negara yang demokratis dan menghargai HAM. LSM adalah bagian dari
kelas menengah[xxxiv] yang memerhatikan pembangunan negara bangsa
menuju masyarakat yang bebas, demokratis, adil, dan sejahtera, di mana HAM
sebagai bagian asasi dari hak-hak inidividual warga negara yang harus dihormati.
LSM memainkan peran kelas menengah itu sebagai alat perjuangan menegakkan
demokrasi dan HAM. LSM tidak bisa berharap banyak terhadap partai politik atau
negara yang otoritarian terhadap penegakan HAM dan demokrasi.
LSM di dunia tumbuh sejak sebelum abad ke-20. Namun LSM
yang ada dewasa ini muncul dari masa perjuangan kemerdekaan, misalnya gerakan
Gandhi di India dengan kegiatan pusat kerajinan tenun, inisiatif teknologi, dan
pendidikan fungsional di sekolah[xxxv]. Untuk konteks Indonesia, menurut Aswab
Mahasin, awalnya hanya LSM perintis, yang pada umumnya memiliki kerja sama
dengan pembangunan nasional, yang muncul sebagai respons gelombang pemikiran
baru mengenai pembangunan alternatif di tahun 1970-an. LSM berjasa dalam
membentuk masyarakat madani. Peran LSM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sangat penting dan kalangan LSM mencoba menjadi artikulator kritis terhadap
ketimpangan dan ketidakadilan.
Sejak tahun 1970-an, LSM mengadvokasi masyarakat dengan
kajian kritis terhadap pemerataan pendapatan, dampak pembangunan terhadap
kondisi kehidupan rakyat miskin, dan perdebatan mengenai strategi pembangunan[xxxvi]. Pada awalnya, memang LSM di seluruh Dunia
Ketiga memusatkan perhatian untuk mengangkat struktur masyarakat miskin dalam
perjuangan mereka melawan ketidakadilan[xxxvii]. Namun, sesuai perkembangannya, LSM merambah
kepada isu-isu global yang berkembang di dunia. Saat ini seluruh dunia
menghadapi isu mendasar, yakni HAM dan demokratisasi. Oleh karena itu, agenda
LSM yang terpenting adalah ikut menggerakkan proses demokratisasi. LSM harus
berpandangan bahwa demokrasi adalah hak universal setiap warga negara untuk
berperan aktif dalam kehidupan politik dan memiliki kebebasan asasi untuk
berbicara, berpikir, dan berserikat, karena demokrasi adalah inti dari
perubahan satu masyarakat dalam sebuah negara.
Aswab Mahasin mencatat perkembangan LSM di Indonesia[xxxviii],
yaitu :
1. Generasi pertama lebih merupakan lembaga
sukarela untuk memberi bantauan dan santunan sosial.
2. Generasi kedua mulai memperkenalkan
pengembangan usaha swadaya, lewat kelompok-kelompok kecil dari masyarakat
rentan.
3. Generasi ketiga mulai berinteraksi dengan
pembuat kebijakan, dan berperan sebagai semacam konsultan untuk berbagai
program yang memerlukan swadaya masyarakat.
4. Generasi keempat menggerakkan keprihatinan
publik dengan melakukan kampanye tentang lingkungan hidup, hak-hak konsumen,
atau HAM.
LSM generasi terakhir ini yang menjadikan HAM dan
Demokrasi menjadi isu krusial di setiap aksi pemberdayaan masyarakat.
Keberadaan LSM dalam suatu negara telah mendorong terjadinya demokratisasi
pembangunan. Namun sayang, LSM yang aktif untuk menegakkan demokrasi politik
dan penghormatan terhadap HAM ditanggapi negatif oleh pemerintah[xxxix].
Menurut Loekman Soetrisno, pemerintah rezim orde baru menganggap LSM di
Indonesia adalah sebuah organisasi yang senang membuat ribut-ribut dengan
mendukung kegiatan-kegiatan yang sifatnya menuntut pemerintah agar lebih
demokratis, lebih mengakui HAM, dan lebih memerhatikan lingkungan hidup.
Pandangan pemerintah terhadap LSM sangatlah buruk, antara lain karena
kekhawatiran LSM digunakan sebagai "corong“ ideologi asing yang dianggap
tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Kecurigaan itu semakin kuat ketika LSM
menyuarakan tuntutan akan pentingnya demokrasi dan penghargaan terhadap HAM. Tuntutan
ini dianggap sebagai cerminan sikap politik yang liberal yang tidak sesuai
dengan budaya politik bangsa Indonesia[xl].
Semua kegiatan pengembangan masyarakat lokal yang
dilakukan oleh LSM adalah dalam rangka menuju arah pengembangan masyarakat
sipil (civil society) yang lebih luas. LSM berupaya menggerakkan para
anggotanya turun untuk mengambil bagian dalam berbagai ideal atau visi untuk
mengubah masyarakat dengan satu komitmen bersama yaitu menegakkan nilai-nilai
HAM dan demokrasi. Peran LSM merupakan sebuah kekuatan yang berfungsi
mengontrol negara. LSM diharapkan mampu mencegah represi dan hegemoni negara
terhadap masyarakat. Salah satu jalan tengah untuk menghadapi hegemoni dan
represi kekuasaan dan aliansi-kolusi penguasa-pengusaha terhadap hak-hak individu
adalah LSM.
Kerja keras yang harus dilakukan oleh LSM di Indonesia
pada masa kini adalah membangun demokrasi dan mengawalnya agar tidak
diselewengkan. Demokratisasi, dalam perspektif LSM, tidaklah terbatas pada
demokratisasi politik (di mana banyak LSM yang terlibat dalam pembuatan
perundangan-undangan, peraturan, dan kebijakan) tetapi juga menyangkut
demokratisasi ekonomi dan sosial-budaya. LSM di Indonesia ingin menjadi semacam
“lokomotif demokrasi“ dan terus menyuarakan dan berusaha membangun hak-hak asasi
manusia. Bermacam strategi yang diterapkan: ada yang berusaha membangun tradisi
demokratis di lingkungan desa dan masyarakat yang dilayaninya[xli].
Demokratisasi merupakan kata kunci untuk memahami seluruh sektor kehidupan
dunia yang ada di dunia ini. Isu demokrasi dan HAM secara amat berarti didukung
oleh teknologi, mempunyai pengaruh penting terhadap lajunya perubahan sosial
dan ekonomi seluruh dunia. Perjuangan demokrasi dan HAM yang paling efektif
harus dimulai dari lapisan masyarakat yang dapat digerakkan oleh LSM.
Baik dalam konteks orde baru maupun konteks pasca orde
baru, peran LSM terutama dalam bentuk pemberdayaan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan (policy-making) menjadi
sangat penting. Peran partai yang ada pada siklus kekuasaan seringkali amat
berpandangan jarak pendek. LSM biasanya bergerak dalam isu-isu yang lebih
berjangka panjang. Kalaupun LSM terseret dalam kepentingan jangka pendek,
seringkali komunitas LSM atau masyarakat penerima jasa dari LSM itu (beneficiaries)
akan cenderung melakukan politisasi balik, atau cenderung turun partisipasinya
dalam isu yang diangkat oleh LSM itu.
LSM dewasa ini berorientasi pada pengembangan komunitas
dan pemberdayaan masyarakat yang akan terus bersentuhan dengan isu demokrasi
dan HAM sebagai suatu agenda masa kini dan masa depan. Penegakan HAM dan
demokrasi masih menjadi sesuatu yang sulit dipraktikkan di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, maka pelaksanaan HAM dan demokrasi harus bertahap
dilakukan dengan skala prioritas. Buruknya kondisi demokrasi dan HAM di
Indonesia untuk sebagian besar disebabkan oleh transformasi ekonomi dan politik
yang dipelopori oleh negara.
Usaha-usaha untuk membangun masyarakat dan negara yang
kuat akan menjamin efektivitas pelaksanaan demokrasi dan HAM. Dalam konteks
ini, LSM harus berperan mencegah "ledakan“ konflik yang bisa menjerumuskan
eksistensi negara-bangsa ke dalam kemungkinan etnonasionalisme yang gejalanya
dapat terlihat seperti gerakan kemerdekaan yang terjadi di Papua, Maluku, dan
Aceh. Hubungan masyarakat dan negara harus terus, walau jatuh-bangun,
coba-gagal, dalam membangun persepsi, interpretasi, dan komunikasi mengenai isu
penting seperti HAM dan Demokrasi.
Meningkatnya jumlah dan peran LSM secara alamiah akan
meningkatkan tuntutan bagi kehidupan yang lebih demokratis pada tataran ekonomi
maupun politik. Praksis dan strategi LSM tersebut akan
memungkinkan tumbuh dan mengembangkan masyarakat madani. Ini berarti bahwa
agenda perjuangan LSM untuk menegakkan HAM dan demokrasi menjadi bagian dari
proses kerja masyarakat sipil dunia yang akan terus relevan. Di tengah situasi
sosial yang kompleks dewasa ini, para aktivis LSM setidaknya dapat mengisi
“ruang kosong” untuk membangun kekuatan masyarakat yang tak terjamah oleh para
intelektual non-LSM.
LSM dapat berperan dalam menumbuhkan dan membangkitkan
kesadaran rakyat yang tinggi akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga
negara. Hanya dengan itu, demokrasi dan HAM dapat diterapkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berbagai kelemahan dan ketimpangan yang dilakukan oleh
pemerintah dapat dikurangi, jika kelompok-kelompok dalam masyarakat seperti LSM diberikan kesempatan
untuk ikut dan memengaruhi keputusan-keputusan baik di tingkat nasional maupun
lokal.
LSM yang jumlahnya ribuan di Indonesia berjuang di
berbagai bidang dan ranah kehidupan, tetapi mereka menyadari bahwa di ujung
jalan ada kepedulian dan cita-cita bersama, yaitu membuka lahan masyarakat
madani untuk memungkinkan tumbuhnya demokrasi sejati. Dalam iklim demokratis sekalipun,
seperti saat ini, LSM masih akan berperan, selama masalah-masalah sosial masih
mengharapkan uluran tangan mereka.
Kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi yang penting.
Pers atau media massa memegang kendali pokok dalam penegakan HAM dan demokrasi
di Indonesia. Media massa memainkan peran utama dalam mengawasi terjadinya
pelanggaran HAM dan hambatan laju demokrasi. Kebebasan pers menjadi petunjuk
terjadinya proses pematangan keterbukaan dan demokratisasi, karena pers
berfungsi sebagai kontrol sosial, koreksi, dan kritik terhadap lembaga-lembaga
pemerintahan yang melakukan penyimpangan.
Apa yang dilakukan oleh pers, menurut A.
Muis, adalah dalam rangka mengemban amanah pasal 19 Pernyataan Umum DUHAM PBB
Desember 1948 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
menyatakan pendapat dan perasaannya[xliii]. Hak tersebut termasuk mencari, memperoleh, dan menyampaikkan informasi dan
buah pikiran melalui segala macam media yang tersedia[xliv].
Semakin banyak berita dan ulasan yang dilakukan oleh
media massa tentang pelanggaran HAM menandakan akan sehatnya iklim demokrasi
satu bangsa. Hal ini juga menunjukkan perhatian, keseriusan, dan komitmen media
massa terhadap penegakkan HAM untuk membangun negara ke arah yang lebih
demokratis dan mengawal proses demokratisasi agar tetap berjalan pada jalurnya,
karena kebebasan pers adalah salah satu dasar demokrasi penting.
1. Masa Orde Baru
Karakteristik pemerintahan orde baru ditandai oleh peran negara
yang begitu kuat dan kekuasaan Presiden yang luas dan hanya terpusat padanya.
Peran pers dalam penegakan HAM dan demokrasi selama rezim orde baru pada
umumnya kurang menggembirakan dan penuh ketidakpastian. Pertumbuhan ekonomi yang
pesat tidak mampu menciptakan struktur sosio-ekonomi yang kuat bagi
terselenggaranya proses demokratisasi, termasuk di dalamnya kebebasan pers.
Hal ini, menurut Dedy Nur Hidayat, disebabkan karena dua
hal: pertama, besarnya intervensi politik dan ekonomi negara orde baru
dalam industri pers. Kedua, intervensi keluarga dan teman-teman Soeharto
dalam kepemilikian modal dalam industri pers semakin memperparah kualitas
intervensi negara atas pers[xlv].
Upaya untuk menguasai dan mengawasi industri pers oleh rezim orde baru
merupakan bagian dari usaha memelihara dan menjaga legitimasi dan stabilitas
struktur politik yang zalim. Untuk melanggengkan kekuasaan, maka media massa
yang ada dijadikan alat hegemoni oleh Orde Baru.
Pada masa awal orde baru, pers Indonesia sempat menikmati
kebebasan. Tetapi periode yang singkat tersebut segera disusul oleh periode
panjang yang represif, ditandai oleh serangkaian "pembredelan“ massal pada
tahun 1974 dan 1978. Kemudian di tahun 1983-1984, Majalah Ekspo dan
Majalah Fokus pun dibredel karena memberitakan kekayaan keluarga dan
teman Soeharto. Setelah itu, awal dekade 1990an, pers Indonesia sempat
menikmati kondisi yang agak baik, sebelum diakhiri oleh pembredelan Majalah Tempo,
Tabloid DëTIK, dan Majalah Editor di tahun 1994[xlvi].
Setelah kasus penutupan sejumlah media di tahun 1994
dibentuklah wadah perkumpulan wartawan seperti AJI (Aliansi Jurnalis
Independen), Siar, dan Pijar sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap
pengekangan rezim orde baru. Mereka inilah yang menulis dan menerbitkan
berita-berita berbeda, alternatif, dan berani. Kendati demikian, hal itu tidak
dapat dilihat sebagai kebebasan pers atau salah satu petunjuk kebebasan
berpendapat dalam demokrasi, karena kehidupan pers masih dalam kondisi yang
tidak bebas dan kurang menggembirakan.
Dengan kondisi rezim orde baru yang menekan itu, maka
pers tidak bisa berperan besar dalam upaya penegakan HAM dan demokrasi di
Indonesia. Pers tidak bebas memberitakan pelanggaran HAM dan hambatan demokrasi
selama rezim orde baru, sebab risiko yang dihadapi oleh pers saat itu jelas,
yaitu penutupan dan pembubaran media massa yang bersangkutan jika mereka
memberitakan penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah berkuasa. Bahkan lebih
dari itu, insan pers yang berani mengungkap penyimpangan, seperti praktik
korupsi, oleh aparat pemerintahan, maka keselamatan jiwanya terancam, seperti
wartawan Koran Bernas Yogyakarta Udin yang tewas dibunuh oleh oknum
aparat keamanan, karena membongkar penyelewenganan keuangan oleh seorang Bupati
di Yogyakarta.
2. Masa Reformasi
Rezim tiranik orde baru berhasil ditumbangkan oleh
gerakan reformasi mahasiswa 1998 dengan dukungan pers, terutama media cetak.
Ketika rezim orde baru berakhir, industri pers juga ikut mengalami perubahan
struktural yang amat penting akibat tuntutan reformasi. Mulai tahun 1998, peran
pers dalam pemberitaan yang menyangkut pelanggaran HAM dan demokrasi cukup
sering dan menjadi berita utama di hampir setiap pemberitaan.
Perubahan peraturan industri pers diawali oleh Menteri
Penerangan Yunus Yosfiah masa pemerintahan BJ. Habibie, antara lain mencabut
Permenpen No. 01/Per/Menpen/1984 tentang ketentuan surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP) yang telah dijadikan dasar legalitas pembredelan sejumlah media
dan diganti oleh surat keputusan Menteri Penerangan SK No.132/1998 yang memberi
kemudahan dalam memperoleh SIUPP. Kemudian pencabutan SK No. 47/Kep/Menpen/75
mengenai pengukuhan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia[xlvii].
Kebebasan pers dewasa ini sangat bermanfaat bagi proses
penegakan HAM dan demokrasi. Peran pers dalam penegakan HAM dan demokrasi
sangat menonjol sejak tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Mulai orde
reformasi Habibie, pers mengalami pertumbuhan pesat dan kebebasan pers yang
sesungguhnya. Pemberitaan atas pelanggaran HAM oleh media massa mendapatkan
tempat yang besar, antara lain kasus Gerakan 30 September, Tragedi Abepura,
Warsidi Lampung, Haur Koneng, Tanjung Priok 1984, Marsinah, Udin, Kasus Santa
Cruz Dili 1992, Kasus Timor-Timur pasca jajak pendapat, kasus April berdarah di Ujungpandang 1996,
penyerbuan ke markas PDI Megawati 1997, penculikan dan penghilangan sejumlah
aktivis prodemokrasi 1997-1998, kasus Universitas Trisakti 1998, kasus
kerusuhan massal berupa penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan 14-15 Mei 1998,
kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, kasus ’dukun santet’ 1998
di Banyuwangi, Tragedi Semanggi I dan II 1998, kasus kematian aktivis HAM Munir
dan lain-lain.
Pers dewasa ini cukup lantang dan berani mengungkap
pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Air. Hal ini merupakan perkembangan
demokrasi yang baik dengan ditandai oleh kebebasan pers dalam mengungkap
berbagai praktik penyimpangan yang dilakukan oleh aparat keamanan, termasuk
juga oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terorganisir.
3. Pers: Fungsi Penyeimbang
Menurut A. Muis, pers pantas berperan sebagai kekuasaan
keempat (the fourth estate), selain lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Pers dapat memainkan peran sebagai “anjing penjaga“ (watchdog),
yaitu bahwa pers tidak boleh bersikap netral dalam masalah yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, demokrasi, dan HAM. Pers juga harus
menjadi penjaga, pemantau, dan pengawas terhadap jalannya pemerintahan,
pelaksanaan demokrasi, penegakan hukum dan HAM. Hal tersebut telah sesuai
dengan UU Pers No. 40/1999, pasal 3 tentang hak kontrol, kritik, dan koreksi
media massa atau pers[xlviii].
Jika pers memainkan peranannya sebagai penyeimbang, maka pers benar-benar
menjadi agen pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yang harus menjadi perhatian bersama adalah RUU Pers yang
dianggap akan mengekang kebebasan pers, karena menghapus kata “kemerdekaan
pers” dari pernyataan dasar penetapan peraturan (diktum konsiderans). Hal
tersebut bertentangan dengan UU No. 5/2006 tentang UN Covenance on Civil and
Political Rights (Kovenan Hak Sipol) yang menjamin kebebasan pers yang
telah diratifikasi oleh pemerintah RI pada 30 September 2005 [xlix]. Jika hal ini terjadi, ini pertanda buruk
bagi perkembangan demokrasi di Tanah Air. Peran pers dalam penegakan HAM akan
sulit terwujud tanpa kebebasan pers yang sesungguhnya. Tidak hanya itu, RUU
tersebut berpotensi membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu terlihat,
misalnya, dari ruang lingkup rahasia negara yang terlalu luas, longgar dan
multitafsir, sehingga dapat menjadi benteng negara untuk menutupi dirinya dari
tuntutan masyarakat untuk memperoleh informasi yang terkait dengan upaya untuk
membongkar kasus pelanggaran HAM atau korupsi misalnya[l].
Kebebasan pers yang berfungsi bagi tegaknya HAM dan
demokrasi, yakni kebebasan pers yang mampu menciptakan ruang
publik dalam sebuah sistem demokrasi -yang relatif terlindung dari intervensi
politik penguasa dan penetrasi kepentingan modal- di mana masyarakat bisa
memperoleh akses memadai guna menyuarakan kepentingan mereka[li]. Dalam rangka mewujudkan kebebasan pers yang
fungsional itu, maka dengan bersandar pada Pasal 28 UUD 1945, Pasal 19 DUHAM
PBB 1948, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dalam kaitan dengan kebebasan
pers, dan UU Pers No. 40/1999, serta UU No. 5/2006 PBB tentang Kovenan Hak
Sipol mengenai kebebasan pers, kehidupan pers di Indonesia bisa bebas dari
pencekalan, pembredelan, penutupan, dan intimidasi, sehingga pers tetap dapat
berperan aktif dalam menyuarakan kepentingan rakyat dan memperjuangkan
penegakan HAM untuk membangun negara Indonesia yang demokratis.
G. Peran Organisasi Keagamaan dalam Penegakan
HAM dan Demokrasi di Indonesia
Peran agama dalam penegakan HAM dan demokrasi menjadi
bagian penting dari tegaknya negara Indonesia yang demokratis. Jika Islam
memberikan sumbangan besar terhadap demokratisasi Indonesia, maka hal ini akan
meruntuhkan teori yang berkembang di Barat selama ini bahwa demokrasi itu tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Kajian mutakhir dari Saiful Mujani menunjukkan
bahwa Islam di Indonesia kompatibel dengan demokrasi dan memberikan sumbangan
yang berarti bagi tegaknya demokrasi di Indonesia[lii].
Karena itu, adalah sangat penting melihat peran agama, yang dalam hal ini
terwakili oleh organisasi keagamaan, NU dan Muhammadiyah, dalam penegakan HAM
dan Demokrasi di Indonesia.
NU dan Muhammadiyah adalah organisasi civil society
yang relatif baik dan mandiri di Indonesia, dan kritis terhadap kebijakan
pemerintah. Komitmen NU dan Muhammadiyah terhadap penghargaan HAM dan penegakan
demokrasi sangat penting bagi membangun negara yang demokratis dan masyarakat
yang kuat.
1. Nahdlatul Ulama (NU)
NU adalah organisasi keagamaan yang paling awal
bersentuhan dengan gagasan civil society yang diterjemahkan oleh mereka
sebagai masyarakat sipil. NU sudah memenuhi sebagai syarat civil society
yang bercirikan mandiri, kritis, dan oposisi terhadap peran negara yang kuat.
NU berhasil bertindak sebagai pembicara fasih demokratisasi politik lewat suatu
wacana perjuangan penguatan masyarakat sipil[liii].
NU selalu memunculkan wacana HAM dan demokrasi sebagai
saluran kritik terhadap negara orde baru. NU dengan generasi mudanya yang
membentuk lembaga-lembagan kajian seperti LKiS (Yogyakarta), ELSAD
(Surabaya) Lakpesdam (Jakarta) semakin memperkuat perjuangan NU dalam
rangka memperkuat HAM dan demokrasi. NU di bawah kepemimpinan Gus Dur dicirikan
oleh keinginan menumbuhkan kesadaran politik masyarakat pada umumnya, dan Islam
khususnya. Perwujudan penting dan praktis dari gagasan tersebut adalah para
intelektual-aktivis NU memperjuangkan tegaknya nilai-nilai demokrasi dan
penghargaan kepada hak asasi manusia.
Ketika NU semakin terpinggirkan dari arena politik oleh
negara orde baru, NU mengembangkan dan membuat program pemberdayaan masyarakat,
antara lain menyebarkan dan mengembangkan wacana akan pentingnya nilai-nilai
HAM dan demokrasi ke masyarakat, pesantren, dan para kiai. NU berhasil
membangun opini di tengah masyarakat akan keharusan demokratisasi, ketika rezim
orde baru berusaha menumpas gerakan pro-demokrasi[liv]. NU selalu menggulirkan masalah
demokratisasi, pembangunan yang partisipatif supaya menekankan aspek keadilan
dan penghargaan pada HAM[lv].
NU sangat memerhatikan dan memperjuangkan tegaknya
demokrasi dan HAM. Menurut AS. Hikam, NU menegaskan bahwa salah satu
konsekuensi dianutnya paham itu adalah kemungkinan terdapatnya
perbedaan-perbedaan pendapat yang muncul dari berbagi aktor politik, termasuk
di antara warga Nahdliyyin sendiri. Namun, dalam demokrasi, perbedaan pandangan
itu dijaga agar “tetap dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling
menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetapi dijaga
persatuan dan kesatuan di lingkungan NU”.
NU setelah menyatakan kembali ke khittah 1926 pada 1984[lvi] bekerjasama dengan semua elemen masyarakat
untuk menghadapi persoalan mendasar seperti persoalan demokratisasi dan
penghargaan terhadap hak asasi manusia. NU pascakhittah telah ikut
menyumbangkan gagasan-gagasan baru bagi pemahaman dan praktik-praktik demokrasi
yang selama ini cenderung dimonopoli oleh negara. NU, pada masa kepemimpinan
Gus Dur, acapkali melontarkan visi demokrasi yang lebih inklusif dengan menolak
kecenderungan sektarianisme dan primordalisme. Posisi Gus Dur sebagai ketua
Pokja Prodem, menjadi simbol kemampuan NU memberi kesempatan kepada warganya
untuk berkiprah memperjuangkan demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM[lvii].
Sikap enggan yang ditunjukkan rezim orde baru Soeharto
kepada NU, karena NU mendukung dan mengembangkan wacana dan dukungannya
terhadap penghargaan dan penegakan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat
sebagaimana bagian dari inti dari demokrasi. Terlebih setelah kembali ke
khittah 1926, banyak generasi muda NU terlibat mengembangkan wacana keislaman
dalam kaitan dengan politik dan demokratisasi di Indonesia.
Menurut Fuad Fachruddin ada 2 perang penting NU dalam
menciptakan iklim demokratis pada masyarakat Indonesia: transformasi diri
menjadi lebih terbuka dan kritis dan mendukung gerakan civil society
(masyarakat sipil). NU berhasil membangun pendapat masyarakat dan jaringan di
antara mereka yang memerhatikan transformasi Indonesia untuk mendukung gagasan
tentang demokrasi dan agama keadaban. NU berhasil meletakkan dasar-dasar dan
gagasan-gagasan akan perlunya demokratisasi kehidupan politik Indonesia.
Dalam dua dekade terakhir, NU lebih aktif jika
dibandingkan dengan organisasi kemasyarakatan Islam lainnya dalam mempromosikan
wacana teologis tentang isu kontemporer seperti demokrasi, HAM, pluralisme,
kesataraan jender, dan civil society. Dalam paham ASWAJA (ahlus
sunnah wal jamaah) terkandung paham tawassuth (moderat), i’tidâl
(toleransi), tawâzun (keseimbangan), dan tasâmuh (toleransi).
Prinsip-prinsip ini membuat warga NU lebih demokratis dan menghargai HAM[lviii].
2. Muhammadiyah
Wacana civil society, demokrasi, dan penghargaan
terhadap HAM dalam Muhammadiyah relatif terlambat, terutama jika dibandingkan
dengan NU. Gagasan itu menurut Muhammadiyah penting,
namun tidak terlalu banyak diperbincangkan. Kalangan Muhammadiyah sebenarnya
bisa menjadi pihak pertama mendukung dan mendorong perubahan demokratis di
Indonesia, sebab sumber daya politik mereka jauh melebihi yang lain[lix].
Mitsuo Nakamura, pengamat Muhammadiyah
dari Jepang, menilai hal itu disebabkan karena Muhammadiyah terjebak dalam
rutinisme dan stagnasi karena harus mengurusi bisnis Muhammadiyah. Oleh karena itu, ia melontarkan pertanyaan
menarik “Dapatkah Muhammadiyah menjawab tantangan demokratisasi Indonesia
setelah jatuhnya Soeharto pada era reformasi ini?”
Sejak demokratisasi di Indonesia yang dimulai tahun 1998
telah membawa berbagai perubahan penting dalam struktur dasar (tingkat)
kebijakan. Reformasi konstitusional telah merambah ke ranah publik, dan
Muhammadiyah telah memainkan peranan penting dalam konsolidasi demokrasi dan
memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Muhammadiyah telah berpartipasi
terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Perubahan yang sangat mendasar dari
adanya demokratisasi ini adalah kebebasan berekspresi dan berserikat. Dengan
datangnya era baru demokrasi, Muhammadiyah merupakan aktor penting dalam era
demokrasi ini.
Masyarakat madani, seperti Muhammadiyah, dapat berfungsi
sebagai gudang SDM, “anjing penjaga“ (watchdog), dan pengawas di mana
keberadaannya sangat dibutuhkan dan tak terelakkan agar demokrasi berfungsi
secara sehat dan hak asasi manusia menjadi lebih diperhatikan. Untuk lebih
mengamankan posisinya sebagai masyarakat mandiri, Muhammadiyah dapat berhenti
dan tidak lagi mendukung salah satu partai politik atau politisi. Dengan sikap
demikian, Muhammadiyah lebih dapat mengembangkan dialog dan kerjasaama dengan
organisasi civil society lainnya untuk membangun demokrasi yang lebih
mapan dan ajeg.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia membutuhkan kehadiran
Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat madani dalam perspektif Neo-Tocquevillian
(masyarakat yang bebas dari negara, masyarakat politik, dan pasar), yaitu
secara politik netral, banyak intelektualnya, moralitasnya dapat
dipertanggungjawabkan, secara keuangan independen dan transparan, dan secara
organisatoris merupakan sebuah organisasi massa yang kuat. Dengan demikian,
Muhammadiyah menilai bahwa penegakan HAM dan demokrasi bagian dari perjuangan
dakwah[lx].
Demokrasi bagi Muhammadiyah berarti mampu menghargai
perbedaan dan pluralitas, kebebasan pribadi, termasuk kebebasan berpendapat dan
berekspresi, kesamaan hak dan keadailan dijunjung tinggi dalam semua segi
kehidupan. Muhammadiyah mengartikan masyarakat demokratis sebagai sebuah
masyarakat yang para anggotanya menjunjung tinggi prinsip demokrasi seperti kebebasan,
menghargai kemajemukan, toleransi, keadilan, dan keterbukaan, dan menghargai
hak asasi manusia[lxi].
Salah satu transformasi sosial keagamaan yang berhasil
dilakukan oleh Muhammadiyah, salah satunya, adalah dalam bidang politik, yaitu
membangun dan mengembangkan demokrasi dan penegakan HAM. Muhammadiyah telah
ikut serta membesarkan proses demokrasi dan memantau penegakkan HAM. Bahkan
dalam rangka menyehatkan demokrasi, Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya telah
mendorong untuk melakukan oposisi terhadap pemerintah yang telah dinilai
koruptif dan otoriter dan menetapkan kebijakan atau program-program yang sangat
merugikan kepentingan umum. Misalnya, pada Muktamar 1995 Banda Aceh,
Muhammadiyah melalui ketua umumnya menggulirkan isu suksesi kepemimpinan dan pentingnya
reformasi politik. Ini artinya, Muhammadiyah telah menggulirkan isu
demokratisasi dalam kehidupan politik. Tidak sedikit fasilitas Muhammadiyah
baik yang di pusat maupun daerah digunakan untuk kepentingan ini. Dalam
pengembangan demokrasi ini, keterlibatan Muhammadiyyah dalam mengembangkan atau
mematangkan wacana demokrasi dan HAM tidak sedikit[lxii].
Demokratisasi memerlukan organisasi warga yang bercirikan
kesukarelaan, asosiasi independen, dan keseimbangan antara negara dan
masyarakat yang sama baiknya dengan organisasi warga itu sendiri, maka
elemen-elemen utama demokratisasi itu telah lama dimiliki Muhammadiyah[lxiii]. Muhammadiyah menyumbang sangat berarti pada
perkembangan masyarakat madani, demokrasi, dan penghargaan terhadap HAM melalui
program-program pengembangan sumber daya manusianya. Tercatat Muhammadiyah
telah menyumbang 10% dari keseluruhan jumlah sekolah-sekolah yang dimilikinya
dan 169 universitas yang dimilikinya di seluruh Indonesia. Dengan itu,
Muhammadiyah menghasilkan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan dapat
mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dan menghargai HAM sebagaimana yang
mereka pelajari dan tanamkan selama di universitas[lxiv].
[i]Saya
ucapkan terima kasih banyak atas masukan, kritikan, dan nasehat dari teman saya
Henri Simarmata terutama untuk sub-bab Hubungan
HAM dan Demokrasi dan Pengertian
Demokrasi, sehingga tulisan ini menjadi lebih padat dan berisi. Henri
pernah bekerja di PBB Genewa, Swiss dan di Norwegian
Centre for Human Rights (NCHR) di Oslo, Norwegia.
[ii]Budhy
Munawwar-Rachman (ed.), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Bandung:Mizan,
2006, IV jilid, jilid I, entri Demokrasi dan Hak Asasi Manusian, hlm. 501-502.
[iii]Satya Arinanto, HAM dalam Transisi Politik di
Indonesia, Jakarta:UI, 2004, hlm. 7-13, 51-52.
[iv]Ignas Kleden, Hak Asasi Manusia: Siapa Manusia dan
Seberapa Jauh Asasi?, kata pengantar buku Rhoda E. Howard, HAM : Penjelajahan
Dalih Relativisme Budaya, Jakarta:Grafiti, 2000, hlm. x.
[v]Fuad Fahcruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi, Pengalaman
Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama, Jakarta:Alvabet-INSEP, 2006, hlm. 26-27.
[vi]Anders
Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di
Indonesia, terj. Rofiq Suhud, Bandung:Mizan, 1998, hlm. 11.
[vii]Kleden, op.cit., hlm. xiii.
[viii]Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, terj.
I. Made Krishna, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 5-6.
[ix]John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi, terj.
Godril Dibyo Yuwono, Yogyakarta :Tiara Wacana, 1995, hlm. 18 dan 32.
[x]Robert
A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition, (New Haven :Yale
University Press, 1971), hlm. 3, sebagaimana dikutip oleh Georg Sorensen, op.cit.,
hlm. 18.
[xi]Robert
A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, terj. Sahat
Simamora, Jakarta:Rajawali, 1985, hlm. 10-11.
[xii]Sorensen,
op.cit., hlm. 21-22.
[xiii]John
L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, terj.
Rahmani Astuti, Bandung:Mizan, 1999, hlm. 21.
[xiv]Sorensen,
op.cit., hlm. 19-20.
[xv]Fachruddin,
op.cit., hlm. 26.
[xvi]Uhlin,
op.cit., hlm. 11.
[xvii]Munawwar-Rachman
(ed.), op.cit., jilid I, entri Demokrasi sebagai Sebuah Proses, hlm.
494.
[xviii]Demokratisasi
adalah meningkatnya penerapan pemerintah rakyat pada lembaga, masalah, dan
rakyat yang sebelumnya tidak diatur menurut prinsip-prinsip demokrasi, lihat
Uhlin, op.cit., hlm. 13.
[xix]Ida Ruwaida Noor, Agenda Demokratisasi oleh dan untuk
Perempuan, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 1, Mei-Agustus 2000,
hlm. 118-131, hlm. 118.
[xx]Noor, op.cit., hlm. 118.
[xxi]Jose Abueva, Demokratisasi di Indonesia: Harmonisasi
antara Elemen-elemen Utama dengan Nilai-nilai Universal Demokrasi dan Hak Asasi
Manusia, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 3, Maret-Juni 2001, hlm.
28-50.
[xxii]Abueva,
op.cit., hlm. 34-35.
[xxiii]Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society:
Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta:LP3ES, 2006, hlm. 4-7.
[xxiv]R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang
Surut Kekuasaan Politik, Jakarta:LP3ES, 1994, hlm. 142.
[xxv]Fachry Ali, Negara, Ekonomi, dan Proses Demokratisasi,
kata pengantar, dalam M. Deden Ridwan dan Asep Gunawan (ed.), Demokratisasi
Kekuasaan, Wacana Ekonomi dan Moral untuk Membangun Indonesia Baru,
Jakarta:LSAF, 1999, hlm. xvii
[xxvi]Nurcholish Madjid, Demokrasi dan Demokratisasi di
Indonesia dalam Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia, Jakarta:Paramadina, 1997, hlm. 207-229.
[xxvii]Liddle, op.cit.,, hlm. 149-152.
[xxviii]Sonny Keraf, Demokrasi
dan Peran Kelas Menengah, dalam M. Deden Ridwan dan Asep Gunawan (ed.), Demokratisasi Kekuasaan, Wacana Ekonomi dan
Moral untuk Membangun Indonesia Baru, Jakarta:LSAF, 1999, hlm. 3-16.
[xxix]Keraf, op.cit., hlm. 3-16.
[xxx]AE. Priyono, Islam dalam Oposisi Demokratis di Indonesia,
Studia Islamika, Volume 2, Number 2, 1994, hlm. 183-207, hlm. 195.
[xxxi]Muthiah Alagappa (ed.), Civil Society and Political
Change in Asia: Expanding and Contracting Democratic Space (Standford:
Stanford University Press, 2004), hlm. 32, sebagaimana dikutip oleh Mitsuo
Nakamura, Muhammadiyah Faces the
Challenge of Democracy, dalam Mukhaer Pakkana dan Nur Ahmad (ed.), Muhammadiyyah
Menjemput Perubahan, Tafsir Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik,
Jakarta:Kompas, 2005, hlm. 224.
[xxxii]Bab
ini sepenuhnya diringkas, diolah, dan diramu dari buku-buku Herdi SRS, LSM,
Demokrasi dan Keadilan Sosial, LP3ES, 1999, John Clark, NGO dan
Pembangunan Demokrasi, terj. Godril Dibyo Yuwono, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1995, dan Aswab Mahasin, Menyemai Kultur Demokrasi, Jakarta:LP3ES, 2000.
Saya mengucapkan terima kasih kepada teman saya Herdi SRS yang mengizinkan
untuk menjadikan bukunya sebagai bahan utama sub-bab ini. Herdi adalah
seorang aktivis LSM dan pro-demokrasi, mantan wartawan Media Indonesia 15
tahun, dan kini sedang menyelesaikan program doktornya.
[xxxiii]Aswab
Mahasin, Menyemai Kultur Demokrasi, Jakarta:LP3ES, 2000, Bab IV, hlm.
141.
[xxxiv]Kelas menengah adalah lapisan kelompok masyarakat -yang
berkat sumber daya intelektual, ekonomi dan politik yang dimilikinya- yang
cukup kuat, berkepentingan, berani, dan gigih menuntut pemerintah bekerja
dengan tanggap dan bertanggungjawab, lihat Hadijaya (ed.), Kelas Menengah
Bukan Ratu Adil, Yogyakarta:Tiara Wacana, 1999, hlm.ix-x.
[xxxv]Clark,
op.cit., hlm. 37.
[xxxvi]Mahasin,
op.cit., hlm. 126-127.
[xxxvii]Clark,
op.cit., hlm. 39.
[xxxviii]Mahasin,
op.cit., hlm. 143.
[xxxix]Prof.
Dr. Loekman Soetrisno dalam Kata Pengantar buku John Clark, op.cit.,
hlm. xi-xii.
[xl]Soetrisno,
op.cit., hlm. ix-x.
[xli]Mahasin,
op.cit., hlm. 181-182.
[xlii]Babi ini diolah dan diramu dari buku A. Muis, Titian
Jalan Demokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik,
Jakarta:Kompas, 2000 dan Dedy Nur Hidayat, Institusi Pers, Modal, dan
Demokratisasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 2,
September-November 2000, hlm. 75-100.
[xliii]Pasal
ini dikenal dengan nama Freedom of Information (FoI) atau kebebasan
informasi.
[xliv]A. Muis, Titian Jalan Demokrasi, Peranan Kebebasan
Pers untuk Budaya Komunikasi Politik, Jakarta:Kompas, 2000, hlm. 16.
[xlv]Dedy
Nur Hidayat, Institusi Pers, Modal, dan Demokratisasi, Jurnal Demokrasi dan
HAM, Vol. 1, No. 2, September-November 2000, hlm. 75-100, Hlm. 79
[xlvi]Hidayat,
op.cit., hlm. 88-90.
[xlvii]Hidayat,
op.cit., hlm. 95.
[xlviii]Muis,
op.cit., hlm. 54-56.
[xlix]Abdullah Alamudi, Pers di Mata Sofyan dan Nuh, Tempo,
edisi 18-24 Juni 2007, hlm. 42, dan laporan Voice of Human Rights (VHR)
tahun 2005 di www.vhrmedia.net
[li]Hidayat,
op.cit., hlm. 98.
[lii]Saiful
Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta:Gramedia, 2007.
[liii]Sepenuhnya dikutip dari Hendro Prasetyo, Ali Munhanif,
dkk. Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta:Gramedia, 2002, khususnya Bab IV.
[liv]Prasetyo
dan Munhanif, op.cit., lihat bab VI.
[lv]Ellyasa KH Darwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat
Sipil, Yogyakarta:LKIS, 1999, pengantar editor, hlm. viii.
[lvi]NU lahir ditujukan untuk menyeimbangkan Islam, keadilan, dan persamaan, dan
untuk mendukung kemajuan Islam selain juga gagasan kritis dan liberal. NU
menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak dan tidak seorang pun boleh
mengabaikan pendapat orang lain.
[lvii]Muhammad AS Hikam, Khittah dan Penguatan Civil
Society di Indonesia: Sebuah Kajian Historis Struktural atas NU sejak 1984,
dalam Ellyasa, op.cit., hlm. 133-163.
[lviii]Fahcruddin, op.cit., hlm. 80-90.
[lix]Pramono U. Thantowi, Muhammadiyah dan Islam Liberal,
dalam Mukhaer Pakkana dan Nur Ahmad (ed.), Muhammadiyyah Menjemput
Perubahan, Tafsir Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik, Jakarta:Kompas,
2005, hlm. 95-101, h. 95. lihat juga artikel dari Moh. Shofan, Muhammadiyah: Refleksi Tiga Tahun Perjalanan JIMM, di http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1127
[lx]Mitsuo
Nakamura, Muhammadiyah Faces the Challenge of Democracy, dalam Pakkana
dan Ahmad, op.cit., hlm. 215-229.
[lxi]Fachruddin,
op.cit., hlm. 92 dan 104.
[lxii]Sudarnoto Abdul Hakim, Memperbarui Pembaruan
Muhammadiyyah, dalam Pakkana dan Ahmad, op.cit., hlm. 230-244.
[lxiii]Sukidi, Independensi kultural Muhammadiyyah sebagai
Basis “Civil Islam“ di Indonesia, dalam Pakkana dan Ahmad, op.cit., hlm.
278-283.
[lxiv]Fachruddin, op.cit.,
66-76.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar