Selasa, 31 Maret 2015

HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI

Pendahuluan
Demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat. Indonesia berbentuk negara republik yang demokratis. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya, sejak kemerdekaan RI, Indonesia berada di bawah pemerintahan yang tidak demokratis pada masa Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Tuntutan demokratisasi muncul, tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, sehingga tahun 1998 menjadi puncak dari kemenangan gerakan pro-demokratisasi di Indonesia yang terdiri dari semua lapisan masyarakat. Demokratisasi pada akhirnya melahirkan pemerintahan dan negara yang demokratis dengan ditandainya penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dalam berbagai hal: pers, berpendapat, berserikat, dan beragama. Walau masih jauh dari ideal, namun pencapaian Indonesia dalam mewujudkan negara yang demokratis terus menunjuk hasil yang positif terlebih jika kita melihat hasil pemilihan umum dan pemilihan presiden secara langsung untuk yang pertama kali dalam sejarah Indonesia pada tahun 2004 merupakan kemajuan yang luar biasa, dan itu sebagai parameter demokratis tidaknya suatu negara. Dari sini, Indonesia sudah dapat dikatakan negara yang demokratis.
Untuk mewujudkan negara Indonesia yang demokratis yang menghargai hak asasi manusia telah melibatkan semua lapisan masyarakat, terutama LSM, pers, dan organisasi keagamaan. Ketiga aktor ini memainkan peran yang cukup penting bagi proses demokratisasi di Indonesia dan penegakkan hak asasi manusia. LSM, pers, dan organisasi keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, menjadi lapisan rakyat yang mengawasi kinerja pemerintahan agar tetap berada di jalur yang telah benar, yaitu demokrasi dengan penghargaan terhadap HAM menjadi acuan utamanya. Mereka harus tetap menjadi “Anjing Penyalak” bagi pemerintah agar perhatian terhadap penegakkan HAM dan demokrasi di Indonesia menjadi kerangak acuan kerjanya demi mewujudkan Indonesia yang aman, makmur, sejahtera, demokratis, dan humanis.
Karena konsep dan prinsip demokrasi yang merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya hak asasi manusia di Indonesia. Tanpa ketersediaan demokrasi dalam satu negara, maka dapat dipastikan penghargaan dan penegakan HAM tidak akan pernah terwujud. Bab ini juga akan menjelaskan gerakan demokratisasi di Indonesia dan peran civil society, seperti LSM, media massa dan pers, serta organisasi keagamaan, dalam penegakkan HAM dan demokrasi di Indonesia. 
 A. Pendahuluan[i]
Dalam persimpangan jalan pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang amat penting sekarang ini, prinsip-prinsip kebebasan nurani dalam semangat kemanusiaan harus menjadi acuan serius bagi seluruh lapisan masyarakat. Prinsip-prinsip itu merupakan dasar dan titik tolak bagi segenap usaha mengembangkan kesadaran akan hak-hak asasi dan demokrasi, sejalan dengan tekad dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam falsafah negara[ii]. Hal ini didukung oleh fakta sejarah bahwa masalah HAM telah mendapat perhatian besar menjelang diproklamasikan kemerdekaan Indonesia oleh para Bapak Pendiri (founding fathers) negara.
Dalam konteks sejarah, kita dapat melihat beberapa artikulasi. Pertama, artikulasi ini nampak dalam semangat antikolonialisme dan antiimperialisme. Semangat ini dirasakan dan dikobarkan dalam spektrum yang amat luas. Hal ini sejalan dengan perkembangan politik global saat itu yang melihat karakter ekstraktif dari kolonialisme. Inggris, dengan jumlah koloni yang amat besar, sudah melihat adanya gerakan sipil-demokratik ini. Sejak pemerintahan Lloyd George, di Inggris, terus berurusan dengan berbagai dekolonisasi, yang sebenarnya bertumpu pada pengakuan hak asasi manusia. Inggris ini memberi preseden kepada kekuatan koloni yang lain, termasuk dalam hal pengakuan hak asasi manusia.
Kedua, para Bapak Pendiri melihat bahwa masyarakat adalah pemilik dari kedaulatan republik muda. Hal ini jelas tampak pada preambule UUD 1945. Sebagian besar para Bapak Pendiri melihat bahwa republik muda ini bisa saja jatuh ke dalam ‘penindasan atas saudara sendiri’. Inilah yang menjadi konteks dari penjelasan UUD 1945 yang mengatakan bahwa Indonesia bukanlah negara kekuasaan melainkan negara hukum. Pengakuan akan hak asasi manusia terus diperjuangkan oleh para Bapak Pendiri dengan menginstitusionalisasikan kedudukan utama dari hak warga negara. Kemajuan yang dicapai pada masa Presiden Soekarno untuk memasukkan HAM ke dalam UUD 1945 dan peraturan lainnya cukup menggembirakan. Bahkan, mereka hendak membuat Piagam HAM. Secara historis, ditemukan perdebatan yang mengarah kepada upaya perumusan konsepsi HAM menurut Indonesia, di antaranya di dalam persidangan Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebelum masa kemerdekaan pada tahun 1945, kemudian sekitar pertengahan tahun 1950-an, dan saat orde baru mulai menggantikan orde lama pada awal tampil ke panggung kekuasaan pada tahun 1965.
Setelah itu, ketika rezim orde baru Soeharto menggantikan Soekarno, HAM menjadi isu yang sangat dihindari oleh penguasa saat itu. Menurut Satya Arinanto, dalam perjalanannya kemudian, pemerintah orde baru seakan-akan bersikap anti terhadap eksistensi Piagam HAM. Setiap pertanyaan yang mengarah kepada perlunya Piagam HAM, cenderung dijawab bahwa Piagam semacam itu tidak dibutuhkan. Selama rezim orde baru berkuasa, kata HAM seolah-olah menghilang dari kamus sehari-hari, dan hanya dipergunakan secara terbatas di kalangan para ahli hukum, mahasiswa, dan aktivis. HAM mengalami masa diam yang panjang di kalangan masyarakat Indonesia[iii].
Hal ini juga menjadi tema umum dunia sejak tahun 1960-an. Persaingan Barat-Timur yang di era tahun 1960-an, dengan adanya ancaman Kruschev menganeksasi seluruh Berlin, peristiwa Krisis Kuba, dan menurunnya kredibilitas Presiden Lyndon B. Johnson di dalam negeri AS akibat Perang Vietnam. Semuanya itu menghasilkan langkah penurunan tegangan global oleh kekuatan-kekuatan besar waktu itu. “Pragmatisme atas pembangunan” menjadi penting. Indonesia bersama negara-negara lain di Asia Tenggara didorong menjadi kawasan stabil, dengan didirikannya ASEAN pada tahun 1967 (dimana ASEAN memastikan bahwa prinsip “tidak ikut turut campur” menjadi dasar). Pejabat Presiden, dan kemudian Presiden Soeharto, memastikan bahwa Indonesia berada pada arus baru tersebut. Tidak mengherankan, perhatian pada hak dasar warga negara menjadi diabaikan. Dalam retorika politiknya, rezim baru ini juga menyatakan bahwa sumber segala kekacauan tahun 1950-1960-an adalah justru terlalu diakomodasinya hak dasar tersebut.
Seiring dengan perjalanan waktu, penolakan masyarakat dari berbagai kalangan terhadap rezim orde baru tumbuh, berkembang, dan semakin kuat dari hari ke hari, karena karakter pemerintah yang terpusat di satu tangan Presiden, ekonomi dikuasai segelintir orang baik oleh keluarga maupun kroni Soeharto, dan kesewenang-wenangan politik. Dari serangkaian pembangkangan rakyat terhadap orde baru, hanya isu hak asasi manusia atau HAM yang menjadi kekuatan pemukul menentukan. Menurut Ignas Kleden, belum pernah sebelum ini kekerasan politik dan kesewenang-wenangan politik orde baru dapat dihadapi dengan demikian efektif seperti kritik politik yang menggunakan isu HAM sebagai tema argumentasinya. Hal ini disebabkan karena kepekaan internasional terhadap masalah HAM semakin meningkat[iv]. Rezim orde baru Soeharto tidak bisa lepas dari pantauan masyarakat internasional tentang keadaan HAM di Indonesia.
Perjuangan demokratisasi punya kaitan yang sangat dalam dengan perjuangan HAM. Oleh karena itu, hal yang amat prinsipil dalam proses pembangunan negara ini adalah memperjuangkan hak-hak asasi sebagaimana dikehendaki negara demokratis. HAM telah menjadi isu internasional dalam menentukan satu pemerintahan demokratis atau tidak. HAM menjadi alat ukur bagi tegaknya sebuah demokrasi di satu negara tertentu. HAM menjadi bagian dari dasar demokrasi yang kukuh. Peringatan para Bapak Pendiri mengenai bahaya negara menjadi penindas saudaranya sendiri (terutama dikemukakan oleh Hatta dan Sjahrir) justru dirasakan amat sangat pada masa rezim orde baru. HAM dikemukakan oleh Hatta menjadi fondasi bukan saja untuk mengontrol pemerintah, melainkan juga menjadi kekuatan produktif masyarakat menyelenggarakan kesejahteraan. Model pembangunan dengan ”negara menjadi penyedia“ yang mengutamakan kecepatan dan ”partisipasi nol“ dari warga negara, membuat demokrasi menjadi semu, tidak tahan zaman, dan menciptakan oligarki yang tidak menyentuh keprihatinan masyarakat setiap hari.


B. Pengertian Demokrasi
            Pengertian demokrasi dapat dilihat secara bahasa dan istilah. Secara bahasa, demokrasi berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani: demos (rakyat) dan kratos atau kratein (pemerintah atau kekuasaan). Dengan demikian, secara bahasa, demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat atau kekuasaan di tangan rakyat.
            Sesungguhnya, tidak ada kesepakatan tentang makna demokrasi beserta perangkat kelembagaan pendukungnya, sebab pengertian demokrasi merupakan kategori yang dinamis. Oleh karena itu, banyak ragam pengertian dan penjelasan demokrasi secara istilah yang dikemukakan oleh para ahli dan dapat diringkas sebagai berikut:
1.      Demokrasi adalah suatu aturan kelembagaan dalam rangka mengambil suatu keputusan politik di mana masing-masing orang memiliki kekuatan untuk memutuskan dan berjuang secara kompetitif untuk memperoleh dukungan atau suara rakyat
2.      Demokrasi adalah alat untuk melindungi ’masyarakat yang dipimpin’ dari penyalahgunaan kekuasaan oleh ’yang memimpin.’
3.      Demokrasi adalah suatu sistem politik dengan konsep kedaulatan di tangan rakyat; penguasa mempertanggungjawabkan secara berkala terhadap yang dipimpinnya; hak minoritas dilindungi; dan persaingan politik antarindividu dan antargagasan sangat terbuka.
4.      Demokrasi adalah cara hidup, adanya keinginan untuk berkompromi, toleransi, dan kesediaan mendengar dan menerima pendapat orang lain.
5.      Demokrasi adalah penerimaan kontrak sosial yang menuntut prilaku bertanggungjawab, kewarganegaraan yang baik, dan keyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada hukum[v]. Dari beberapa penjelasan demokrasi secara istilah ini, maka definisi yang cukup ringkas diajukan oleh David Beetham, yaitu “Sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat“[vi].
Demokrasi sangat penting dalam memperjuangkan hak-hak rakyat dan kepentingan mereka. Demokrasi menjadi kunci keberhasilan dalam pencapaian kemajuan ekonomi dan sosial. Oleh sebab itu, Amartya Sen menyatakan bahwa kelaparan pertama-tama bukanlah akibat dari kekurangan makanan, melainkan merupakan akibat langsung dari kekurangan demokrasi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kemiskinan bukanlah akibat hilangnya pendapatan dan penghasilan, melainkan justru merupakan akibat hilangnya kesempatan sekelompok orang untuk mewujudkan kemampuan diri sendiri. Faktanya, kelaparan sering muncul di negara-negara yang tidak demokratis. Sedangkan di negara-negara yang menjalankan demokrasi, kelaparan jarang sekali terjadi, sekalipun tingkat pertumbuhan negara bersangkutan belum tinggi[vii].
Menurut Georg Sorensen demokrasi muncul sebagai bentuk penolakan terhadap kekuasaan yang diturunkan secara turun-temurun, seperti kerajaan. Demokrasi pada tahap awal berjuang untuk menurunkan kekuasaan negara dan menciptakan lingkungan masyarakat sipil di mana hubungan-hubungan sosial, lembaga non-negara, keluarga, dan kehidupan pribadi, dapat berkembang tanpa campur tangan negara. Selain itu, demokrasi menolak kekuasaan negara yang didasarkan pada warisan atau hak-hak supranatural, melainkan hanya pada kedaulatan rakyat[viii].
Bagi John Clark demokrasi merupakan keseluruhan bentuk hak yang harus bisa dimiliki warga negara apabila suatu pemerintahan itu terbuka, dapat dipercaya, dan partisipatif. Hak-hak ini meliputi kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat misalnya serikat buruh atau kelompok penekan, akses kepada informasi khususnya mengenai rencana pemerintah terutama bagi mereka yang terkena secara langsung dan hak untuk diajak berbicara dalam keputusan seperti ini, serta kebebasan dari segala bentuk diksriminasi, apakah itu berdasarkan jenis kelamin, ras ataupun agama. Di setiap wilayah geografis, di negara-negara di mana rakyat lebih bebas untuk menyatakan pendapat, untuk berkelompok dalam partai ataupun serikat buruh, di mana ada kebebasan pers, di mana ada keterbukaan pemerintah dan dipilih secara bebas serta di mana lembaga-lembaga negara dipercaya publik cenderung memiliki penduduk yang lebih baik dan lebih berisi. Transformasi yang cepat di Eropa Timur, Amerika Latin dan di manapun menggambarkan keadaan seperti ini[ix].
Demokrasi lahir dari 2 kekuatan penting. Pertama, ia lahir dari penolakan pemusatan kekuasaan. Hal ini amat jelas dari pemikiran John Locke, David Hume, Adam Smith, dan Jean Jacques Rousseau, dan juga Revolusi Amerika Serikat. Para pemikir ini memperingatkan adanya pengakuan yang tidak adil, seperti ”suara Tuhan“, keturunan, kekuasaan bergilir (appointed, not elected, leader), aristokrasi. Kondisi ini memunculkan prinsip dan praktik penting dalam demokrasi: tawar-menawar dalam parlemen, keterwakilan melalui mekanisme pemilihan umum, hukum dan aturan yang ditetapkan sebagai bentuk kesetujuan (agreed consensus/regulation), ’term-limit’ (kekuasaan dengan masa waktu tertentu).
Kedua, kekuatan lain adalah adanya pengakuan penting dan universal akan adanya ”kedaulatan negara“, sebagaimana yang dikemukakan Jean Bodin pada tahun 1576. Kedaulatan negara dalam hukum dan kesepakatan internasional, dirumuskan dalam Treaty of Westphalia 1648. Mengapa konsep ini penting? Sebelum Bodin dan Treaty of Westphalia terwujud, klaim aneksasi dan agresi militer menjadi amat mudah dicari. Misalnya, kerajaan satu menjajah negeri lain, dengan alasan bahwa anggota keluarga kerajaan mereka berasal dari negara itu. Atau, alasan bahwa satu negeri perlu ”memperluas wilayah pengaruhnya“, maka dilakukan serbuan bersenjata. Tidaklah mengherankan perang menjadi tiada berkesudahan. Negara yang sudah bersifat etatis dan merkantilis menjadi semakin tidak terkendali. Dalam kekalahan dan kemenangan, penyiksaan warga negara dan hancurnya properti menjadi prilaku keseharian. Prinsip dan praktik ”kedaulatan negara“ ini di satu sisi menjadi pengakuan bahwa ada batas permanen dari suatu negara, di lain sisi menjadikan demokrasi menjadi syarat dan praktik utama. Untuk menghentikan perang tanpa henti ini, maka negeri-negeri di Eropa menyelenggarakan demokrasi yang bertumpu pada mekanisme ”perwakilan“ dan ”konstitusionalisme“. Hal ini di satu sisi membuat negeri-negeri menjadi Republik, di lain sisi menjadi ”monarki konstitusional“. Negeri kerajaan, misalnya seperti yang terdapat di Skandinavia (Norwegia, Denmark, Swedia) menjadi pelopor dalam keduanya (bahkan sekaligus memelopori ”welfare-state“ yang menjadi ciri penting demokrasi modern). Norwegia, misalnya, menjadi salah satu negara pertama di dunia yang merumuskan dan menyepakati konstitusi, yaitu 17 Mei 1814. Di sisi lain, bentuk republik yang stabil (pasca Perang Dunia II) dapat ditemukan pada Amerika Serikat (yang bertumpu pada presidensialisme dan sistem commonwealth), Republik Kelima Perancis (yang bertumpu pada presidensialisme dan parlemen-unitaris), Republik Federal Jerman (yang bertumpu pada konstitusi ”Negara Sosial“ dengan fungsi federal yang luas), dan sebagainya.
Di tahun 2005, pada masa tugas Sekretaris Jenderal Kofi Annan, kantor Sekretariat Jenderal PBB mengeluarkan 3 dokumen penting: [1] Dokumen dari Panel Tingkat Tinggi yang diketuai oleh Anand Panyarachun dengan judul ”A more Secure World: Our Shared Responsibility, Report of the Secretary General’s High-Level Panel on Threats, Challenges, and Change“, [2] Tanggapan dari Sekretaris Jenderal PBB atas laporan Panel dengan judul ”In Larger Freedom“, dan [3] Laporan Millenium Project kepada Sekretaris Jenderal PBB dengan judul ”Investing in Development, A Practical Plan to Achieve the Millenium Development Goals“. Secara singkat, dokumen [1] adalah mengenai ”Keamanan dunia“, dokumen [3] mengenai keamanan sosial-ekonomi, dan dokumen [2] mengenai rangkuman keduanya.
Laporan ini amat penting dalam memodifikasi 2 kekuatan di atas. Untuk soal yang pertama: Permasalahan bahwa demokrasi menolak pemusatan kekuasaan dikembangkan dengan bentuk kerjasama keamanan dunia. Sejak berakhirnya Perang Dingin, dan sejak terbentuknya NATO, maka PBB menjadi instrumen penting kerjasama keamanan dunia. Menurunnya relevansi PBB kerjasama keamanan dunia disebabkan antara lain negara-negara anggota PBB banyak menyalahgunakan PBB, dan kurang tersedianya jalan (venue) yang cerdas. Dokumen ”Our More Secure World“ merekomendasikan beberapa modifikasi.
Untuk soal yang kedua, jelas bahwa ”kedaulatan negara“ memang mencegah perang total, tetapi penyalahgunaan ”kedaulatan negara“ juga amat banyak. Penindasan terhadap warga negara, pemiskinan, penjualan aset penting negara, pemerintahan oleh rezim tidak terpilih (junta misalnya), kesemuanya dilakukan atas nama ”kedaulatan negara“. Sejak Treaty of Westphalia yang dimodifikasi oleh Piagam PBB (UN Charter)di tahun 1948 dan dengan Pengadilan Nuremberg, perlindungan hak asasi manusia menjadi tugas negara. Hukum internasional juga dengan jelas menyatakan kewajiban ini dengan munculnya banyak ketentuan internasional yang lahir dari UN Charter ini (dalam UN Charter, dinyatakan ”We, the nations“, dan bukan ”We, the states“). Implikasinya tegas: [1] Jika negara gagal melindungi, maka adalah kewajiban masyarakat internasional untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia seseorang atau sekelompok orang. [2] dalam rangka perlindungan hak asasi manusia, perlu adanya kerjasama antara negara-bangsa. Dalam konteks ini, Millenium Development Goals (MDGs) menjadi salah satu bentuk penting ”kerjasama wajib“ itu. Bentuk lain seperti pembatasan eksploitasi (terutama oleh Trans-National Corporation), masalah hutang haram (odius debt), preservasi sumber daya alam, rezim perdagangan, anggaran negara, layanan publik, kesemuanya menjadi tema penting kerjasama dunia. 

C. Prinsip dan Kriteria Demokrasi
            Robert A. Dahl menyebutkan ada 8 prinsip demokrasi, yaitu:
1.      Kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi (the freedom to form and join organizations).
2.      Kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of expression).
3.      Hak memilih (the right to vote).
4.      Kesempatan menjadi pejabat pemerintah (eligibility for public office).
5.      Hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam mencari dukungan (the right of political leaders to compete for support and votes)
6.      Sumber-sumber informasi alternatif (alternative sources of information [a free press]).
7.      Pemilihan umum yang bebas dan adil (free and fair elections).
8.      Lembaga yang membuat kebijakan pemerintah tergantung pada perolehan suara dan pengungkapan preferensi lainnya (institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference)[x]
            Sementara itu, untuk menentukan apakah suatu negara demokratis atau tidak, ada beberapa kriteria atau parameter penilaian yang tidak terlalu kaku harus mengikuti kedelapan prinsip di atas. Kriteria proses demokrasi ini sangat penting bagi pemerintahan yang baik. Menurut Robert A. Dahl proses demokrasi yang ideal ada 5 kriteria, yaitu:
a.      Persamaan hak pilih
Setiap warga negara mempunyai hak istimewa untuk menentukan keputusan terakhir.
b.      Partisipasi efektif
Setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.
c.      Pembeberan kebenaran
Semua warga negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan penilaian yang logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
d.     Kontrol terakhir terhadap agenda
Masyarakat harus mempunyai kekuasaan ekslusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria pertama.
e.      Pencakupan
Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum[xi].
Kriteria minimal demokrasi, menurut Robert A. Dahl, sebagaimana dikutip Sorensen, demokratis tidaknya suatu negara dilihat dari kompetisi dan partisipasi. Meningkatnya partisipasi berarti meningkatnya jumlah warga negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan. Adapun kompetisi menyangkut tersedianya hak-hak dan kebebasan paling tidak bagi beberapa anggota sistem politik. Meningkatnya kompetisi berarti meningkatnya peluang bagi oposisi politik dan peluang meraih kekuasaan[xii].  
Menurut John L. Esposito dan John O. Voll, Amerika Serikat mempunyai kriteria tersendiri untuk menilai demokratis tidaknya suatu negara. Bagi AS hal yang paling menentukan dan vital dari demokrasi adalah pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil dengan sistem multipartai dan pemahaman terhadap hak-hak minoritas[xiii]. Jika suatu negara telah menjalankan kedua prinsip ini dengan benar, maka negara tersebut dapat dikatakan telah menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis dan baik.
Georg Sorensen mengajukan 3 kriteria demokrasi, yaitu:
1.      Kompetisi. Kompetisi yang luas dan bermakna di antara individu dan kelompok organisasi (khususnya partai-partai politik) pada seluruh posisi kekuasaan pemerintah yang efektif, dalam jangka waktu yang teratur dan meniadakan penggunaan kekuasaan.
2.      Partisipasi. Tingkat partisipasi politik yang inklusif dalam pemilihan pemimpin dan kebijakan. Paling tidak melalui pemilihan bebas secara teratur, dan tidak ada kelompok sosial yang disingkirkan.
3.      Kebebasan politik dan sipil. Tingkat kebebasan politik, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan mendirikan dan menjadi anggota organisasi.
            Untuk menentukan demokratis tidaknya suatu negara, menurut Sorensen, adalah mencari elemen-elemen kompetisi, partisipasi, dan kebebasan di negara tersebut, tidak hanya tataran formal, tetapi juga pada praktik yang sesungguhnya. Ketika demokrasi diartikan sebagai kompetisi, partisipasi, dan kebebasan, jelas bahwa proses demokratisasi, yaitu perubahan sistem politik dari bentuk yang tidak demokratis ke bentuk yang lebih demokratis, dapat terjadi dengan berbagai cara[xiv].
            Fuad Fachruddin merangkum pendapat para ahli politik tentang kriteria demokratis tidaknya suatu pemerintahan dicirikan dengan:
a.      Pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan terbuka dengan terjamin kerahasiaan pemungutan suaranya.
b.      Menerapkan prinsip satu orang satu suara (one man one vote).
c.      Adanya pembagian dan pemisahan kekuasaaan dalam pemerintahan.
d.     Keadilan dan kedudukan yang sama bagi setiap orang di hadapan hukum.
e.      Membuka komunikasi antara masyarakat dengan pihak pemerintah.
f.       Menegakkan hak asasi manusia, seperti kebebasan berbicara, berekspresi, dan kebebasan beragama[xv].
David Beetham memberikan parameter sederhana tentang tatanan suatu pemerintahan yang demokratis, yaitu “yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas menikmati hak setara yang efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan. Menurut Beetham, kata kunci demokratis tidaknya suatu negara dapat dilihat dari 2 hal, yaitu pengawasan masyarakat dan kesetaraan politik[xvi]. Jika kedua hal ini berjalan, maka pemerintahan tersebut dapat dikatakan pemerintahan yang baik.
Akhirnya, suatu negara dapat disebut demokratis, menurut Nurcholish Madjid, jika padanya proses-proses perkembangan menuju ke arah yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-kemanusiaan asasi dan dalam memberi hak kepada masyarakat, baik individu maupun sosial, untuk mewujudkan nilai-nilai itu. Daftar yang dapat digunakan untuk mengukur maju-mundurnya demokrasi adalah pada sekitar seberapa banyak bertambah atau berkurangnya kebebasan asasi, seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, dan berkumpul[xvii].

D. Gerakan Demokratisasi di Indonesia
Berkembangnya tuntutan demokratisasi[xviii] (mewujudkan masyarakat yang demokratis, adil, dan egaliter) di Indonesia harus diakui sebagai akibat adanya pengaruh global, yakni antara lain desakan akan penegakan hak asasi manusia (HAM), serta isu pentingnya pengakuan atas eksistensi dan kerja berbagai kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan publik[xix]. Itu artinya, demokratisasi di Indonesia tidak terlepas dari konteks global saat itu ketika banyak negara melakukan demokratisasi.
Masyarakat demokratis ditandai oleh adanya penerimaan sosial atas kemajemukan identitas (pluralisme identitas). Dengan kata lain, demokratisasi merupakan proses pemberdayaan atau kemampuan masyarakat dan mengembalikan pada posisi strategisnya, yakni sebagi subyek pembangunan. Berkenaan dengan itu, isu yang berkembang berkaitan dengan proses demokratisasi, antara lain: penegakan HAM, pengakuan akan keberadaan kekuatan sosial (civil society), dan pluralisme identitas. Isu-isu tersebut  pada dasarnya berlandaskan pada nilai-nilai universal yang terkandung dalam demokrasi[xx].
Indonesia sendiri baru memasuki pentas demokratisasi mulai tahun 1998, setelah mengalami periode kolonialisme yang sangat panjang kemudian memasuki masa pemerintahan yang otoriter. Meskipun UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia berbentuk republik demokrasi berdasarkan kemerdekaan dan kedaulatan rakyat, Presiden pertama RI Soekarno, rezim orde lama menerapkan Demokrasi Terpimpin, dengan menghapuskan Demokrasi Parlementer atau Konstitusional yang dianggap banyak kalangan sebagai demokrasi yang sesungguhnya, dan terjebak dalam kultus individu dan pemerintahan yang otoriter. Setelah rezim orde lama tumbang dan digantikan Presiden kedua Soeharto perilaku pemerintah tidak banyak berubah, malah jauh lebih buruk. Dengan Demokrasi Pancasila, Soeharto melarang partai politik oposisi, pers dan media ditekan, pemberontakan lokal dihancurkan, dan hak asasi manusia dikesampingkan sama sekali. Hingga akhir kekuasaan Soeharto tahun 1998, prilaku politik Indonesia cenderung mengorbankan kebebasan politik dan hak asasi manusia untuk menyenangkan penguasa atau para elite tertentu. Ketika Soeharto tumbang, tuntutan demokratisasi semakin menguat. Setelah digantikan oleh BJ. Habibie, Indonesia mulai mengalami kebebasan, walaupun masih banyak persoalan ekonomi dan sosial hingga akhirnya memaksa Habibie mengadakan Pemilu yang bebas pertama kali setelah 1955 yang diikuti oleh banyak partai politik dengan hasil terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri[xxi].
Indonesia berada di bawah pemerintahan otoriter dan militer sejak tahun 1949 sampai 1998, dan digolongkan “tidak bebas“ atau tidak demokratis menurut klasifikasi dari lembaga Freedom House. Baru setelah Habibie berkuasa pada 1998-1999, peringkat Indonesia yang tidak demokratis atau tidak bebas naik ke satu tingkat menjadi setengah bebas atau setengah demokratis pada tahun 1998-1999. Setelah itu, proses demokrasi di Indonesia semakin hari semakin baik, terlebih dengan terselenggaranya Pemilu yang kedua 2004 dan pemilihan presiden secara langsung untuk yang kali pertama dalam sejarah Indonesia dengan kemenangan Soesilo Bambang Yudhoyono dan M. Yusuf Kalla adalah bukti kuat bahwa demokrasi di Indonesia semakin mantap dan ajeg. Sejak itu, sistem politik Indonesia memperlihatkan bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia dan masyarakat sipil mengubah nilai dan sikap mereka ke arah universalisme nilai-nilai demokrasi, antara lain lebih menghargai HAM, menjunjung tinggi kebebasan pers dan media massa, kebebasan berserikat dan berpolitik[xxii].
Tuntutan demokratisasi sepanjang rezim diktator Soeharto, karena negara orde baru dengan perangkat aparatusnya berusaha sedemikian rupa mengontrol berbagai ruang publik. Ruang gerak kelompok-kelompok masyarakat sipil dibatasi dan diawasi dengan berbagai cara. Akibat dari aktivitas mereka yang berani “berbenturan“ dengan kepentingan negara adalah opresi dan represi seperti intimidasi, teror, pelarangan, penangkapan, pemenjaraan, penculikan, penghilangan paksa, dan berbagai bentuk tekanan politik lainnya. Setelah itu, tuntutan perubahan politik menuju sistem demokratis, termasuk pergantian rezim, muncul sebagai agenda krusial yang diperjuangkan oleh sejumlah elemen kritis masyarakat sipil. Semua ini mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Tidak saja di kalangan terbatas LSM, mahasiswa, cendekiawan, tetapi juga telah merambah ke kalangan akar rumput[xxiii].
Menurut R. William Liddle, pergeseran rezim pemerintahan dari otoritarian ke sistem yang lebih demokratis, di mana pemerintah dipilih oleh rakyat dalam pemilihan bebas, disebabkan oleh 2 faktor:
1.      Krisis legitimasi di atas, di mana kebijaksanaan pokok pemerintah otoriter dianggap oleh umum telah gagal mencapai tujuannya.
2.      Dorongan dari bawah, di mana sebagian masyarakat, yang makin hari makin besar dan kuat, mendesak pemerintah otoriter agar rakyat diberi hak partisipasi politik[xxiv].
Rezim Soeharto runtuh pada 1998, karena telah memenuhi dua faktor ini. Krisis legitimasi yang disebabkan oleh krisis ekonomi luar biasa pada tahun 1997 dan tuntutan reformasi dari rakyat menjadi faktor tumbangnya pemerintahan tiranik selama 32 tahun.
Harus diakui proses demokratisasi tersebut berlangsung karena faktor-faktor politik, sosial budaya dan ekonomi. Hampir sebagian besar teoritisi politik dan demokrasi selalu mengaitkan akar-akar demokrasi pada tradisi, budaya, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pernah ada. Perkembangan sistem demokrasi sebuah masyarakat tertentu berakar jauh ke dalam sejarah sosial-budaya dan politiknya sendiri. Sebuah sistem demokrasi bukanlah suatu proses yang sekali jadi. Kekuatan ekonomi dan dunia usaha telah menjadi daya tersendiri terhadap proses demokratisasi. Karena itu, faktor ekonomi memainkan peranan penting dalam proses demokratisasi di Indonesia, selain faktor lain memainkan peranan penting, seperti agama, hukum, dan posisi militer[xxv].
Demokratisasi adalah jalan yang paling baik untuk memelihara, melestarikan, dan mengukuhkan aset nasional sekarang ini, yaitu stabilitas, keamanan, persatuan, dan kesatuan. Timbulnya dorongan ke arah demokrasi yang lebih maju oleh perkembangan ekonomi ini disebabkan adanya kaitan yang jelas antara demokrasi dan tingkat kemakmuran rakyat. Ini juga disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah kelas menengah yang berperanan penting di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, profesi dan lain-lain. Samuel P. Huntington mengatakan; “Demokratisasi adalah suatu proses terus-menerus, yang kini semakin tidak bisa dibalikkan lagi.“ Sistem politik demokratis dengan sendirinya harus secara tulus mencakup nilai hidup kemanusiaan yang adil dan beradab[xxvi].
Menurut Liddle, langkah-langkah ke arah demokratisasi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a.      Pengembangan kelas menengah
b.      Membangun jaringan organisasi sosial yang besar, seperti NU dan Muhammadiyah
c.      Memperkuat negara hukum.
d.     Mendukung usaha desentralisasi.
e.      Mengembangkan kebebasan akademis di universitas[xxvii].
Dalam tingkat yang lebih praksis, menurut Sonny Keraf, untuk mewujudkan kemungkinan suatu kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang lebih demokratis diperlukan sebuah keseimbangan di antara ketiga kekuatan pokok dalam masyarakat, yaitu kekuatan politik yang diperankan pemerintah, kekuatan pasar yang diperankan oleh pengusaha, dan kekuatan masyarakat atau civil society. Dengan adanya keseimbangan ini, maka bisa diharapakan kehidupan yang lebih demokratis dapat terwujud. Kemajuan ekonomi melahirkan kelas menengah yang akan menjadi lokomotif demokratisasi. Proses demokratisasi tersebut bisa didorong oleh kekuatasn-kekuatan masyarakat yang mempunyai kesadaran kultural. Dorongan ke arah demokratiasai hanya akan lebih mantap jika didukung oleh kelas menengah kultural[xxviii].
Satu-satunya kelompok yang dapat diandalkan untuk menjadi “motor” dalam melahirkan demokrasi adalah kelas kultural: kelompok profesi, LSM, aktivis sosial, serikat pekerja independen, cendekiawan murni-independen, kelompok agama, pers yang independen dan lain-lain. Ciri utama kelas kultural ini adalah kesadaran kritis yang relatif sama akan hak dan kepentingan mereka dan rakyat bawah yang tidak boleh dirugikan oleh kekuatan politik maupun ekonomi. Untuk itu, medium yang paling pas untuk dijadikan wahana perjuangan demokrasi adalah pendidikan politik dengan membangun kesadaran kritis masyarakat luas mengenai hak den kepentingannya yang tidak boleh dirugikan oleh kegiatan kelompok bisnis manapun[xxix].
Anders Uhlin, dalam bukunya Democracy and Diffusion: Transnational Lesson Drawing among Indonesian Pro-Democracy Actors, membagi menjadi 8 kalangan mereka yang serius mendukung proses demokratisasi. Mereka ini adalah:
1.      Pembangkang dari lingkungan elite
2.      Aktifis LSM dari generasi lama yang didirkan pada 1970-an
3.      Aktifis LSM baru yang mengkhususkan diri pada gerakan pro-demokrasi dan HAM.
4.      Aktifis mahasiswa
5.      Aktifis buruh dan petani
6.      Aktifis perempuan
7.      Penulis dan wartawan
8.      Kalangan intelektual[xxx]
Salah satu ciri pemerintahan demokratis adalah ketersediaan civil society (masyarakat sipil atau masyarakat madani) yang kuat, satu masyarakat yang mandiri dan bebas dari intervensi negara. Negara yang kuat adalah negara yang demokratis dan civil society yang kuat juga. Definisi paling lengkap tentang civil society diajukan oleh Muthiah Alagappa, yaitu, pertama, masyarakat yang bebas dari intervensi negara, masyarakat politik, dan pasar di mana mereka bebas berserikat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat; kedua, tersedianya ruang bebas untuk wacana dan kontruksi ide-ide normatif melalui kerjasama antara kelompok masyarakat bukan-negara (non-state groups); ketiga, adanya gelanggang otonomi masyarakat untuk mengatur diri-sendiri dalam isu-isu tertentu; keempat, sebagai alat untuk aksi bersama guna melindungi otonomi wilayah masyarakat, mempengaruhi corak pemerintahan, politik, kebijakan negara, masyarakat politik, dan pasar[xxxi].
Indonesia akan menjadi lebih baik jika pemerintah secara sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai universal dan norma-norma demokrasi serta hak asasi manusia yang tertuang dalam undang-undang dasar. Pemerintah harus dapat bekerjasama dengan semua elemen masyarakat sipil untuk membangun Indonesia dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

E. Peran LSM dalam Penegakan HAM dan Demokrasi di Indonesia[xxxii]
LSM merupakan perkumpulan orang-orang yang memiliki keprihatinan sosial, dan ingin melakukan sesuatu untuk kelompok masyarakat yang tertinggal oleh derap lajunya pembangunan[xxxiii]. LSM tidak terdiri dari satu komunitas yang ketat, tetapi lebih merupakan satu spektrum yang luas. Semua orang dari berbagai latar belakang agama, ras, suku, dan negara dapat menjadi sukarelawan LSM yang siap membantu masyarakat akar rumput yang lemah dan terpinggirkan guna mendapatkan hak-hak mereka.
Aktvis LSM memiliki satu pemikiran ideal, yaitu berupaya membangun negara yang demokratis dan menghargai HAM. LSM adalah bagian dari kelas menengah[xxxiv] yang memerhatikan pembangunan negara bangsa menuju masyarakat yang bebas, demokratis, adil, dan sejahtera, di mana HAM sebagai bagian asasi dari hak-hak inidividual warga negara yang harus dihormati. LSM memainkan peran kelas menengah itu sebagai alat perjuangan menegakkan demokrasi dan HAM. LSM tidak bisa berharap banyak terhadap partai politik atau negara yang otoritarian terhadap penegakan HAM dan demokrasi.
LSM di dunia tumbuh sejak sebelum abad ke-20. Namun LSM yang ada dewasa ini muncul dari masa perjuangan kemerdekaan, misalnya gerakan Gandhi di India dengan kegiatan pusat kerajinan tenun, inisiatif teknologi, dan pendidikan fungsional di sekolah[xxxv]. Untuk konteks Indonesia, menurut Aswab Mahasin, awalnya hanya LSM perintis, yang pada umumnya memiliki kerja sama dengan pembangunan nasional, yang muncul sebagai respons gelombang pemikiran baru mengenai pembangunan alternatif di tahun 1970-an. LSM berjasa dalam membentuk masyarakat madani. Peran LSM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting dan kalangan LSM mencoba menjadi artikulator kritis terhadap ketimpangan dan ketidakadilan.
Sejak tahun 1970-an, LSM mengadvokasi masyarakat dengan kajian kritis terhadap pemerataan pendapatan, dampak pembangunan terhadap kondisi kehidupan rakyat miskin, dan perdebatan mengenai strategi pembangunan[xxxvi]. Pada awalnya, memang LSM di seluruh Dunia Ketiga memusatkan perhatian untuk mengangkat struktur masyarakat miskin dalam perjuangan mereka melawan ketidakadilan[xxxvii]. Namun, sesuai perkembangannya, LSM merambah kepada isu-isu global yang berkembang di dunia. Saat ini seluruh dunia menghadapi isu mendasar, yakni HAM dan demokratisasi. Oleh karena itu, agenda LSM yang terpenting adalah ikut menggerakkan proses demokratisasi. LSM harus berpandangan bahwa demokrasi adalah hak universal setiap warga negara untuk berperan aktif dalam kehidupan politik dan memiliki kebebasan asasi untuk berbicara, berpikir, dan berserikat, karena demokrasi adalah inti dari perubahan satu masyarakat dalam sebuah negara.
Aswab Mahasin mencatat perkembangan LSM di Indonesia[xxxviii], yaitu :
1.      Generasi pertama lebih merupakan lembaga sukarela untuk memberi bantauan dan santunan sosial.
2.      Generasi kedua mulai memperkenalkan pengembangan usaha swadaya, lewat kelompok-kelompok kecil dari masyarakat rentan.
3.      Generasi ketiga mulai berinteraksi dengan pembuat kebijakan, dan berperan sebagai semacam konsultan untuk berbagai program yang memerlukan swadaya masyarakat.
4.      Generasi keempat menggerakkan keprihatinan publik dengan melakukan kampanye tentang lingkungan hidup, hak-hak konsumen, atau HAM.
LSM generasi terakhir ini yang menjadikan HAM dan Demokrasi menjadi isu krusial di setiap aksi pemberdayaan masyarakat. Keberadaan LSM dalam suatu negara telah mendorong terjadinya demokratisasi pembangunan. Namun sayang, LSM yang aktif untuk menegakkan demokrasi politik dan penghormatan terhadap HAM ditanggapi negatif oleh pemerintah[xxxix]. Menurut Loekman Soetrisno, pemerintah rezim orde baru menganggap LSM di Indonesia adalah sebuah organisasi yang senang membuat ribut-ribut dengan mendukung kegiatan-kegiatan yang sifatnya menuntut pemerintah agar lebih demokratis, lebih mengakui HAM, dan lebih memerhatikan lingkungan hidup. Pandangan pemerintah terhadap LSM sangatlah buruk, antara lain karena kekhawatiran LSM digunakan sebagai "corong“ ideologi asing yang dianggap tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Kecurigaan itu semakin kuat ketika LSM menyuarakan tuntutan akan pentingnya demokrasi dan penghargaan terhadap HAM. Tuntutan ini dianggap sebagai cerminan sikap politik yang liberal yang tidak sesuai dengan budaya politik bangsa Indonesia[xl].
Semua kegiatan pengembangan masyarakat lokal yang dilakukan oleh LSM adalah dalam rangka menuju arah pengembangan masyarakat sipil (civil society) yang lebih luas. LSM berupaya menggerakkan para anggotanya turun untuk mengambil bagian dalam berbagai ideal atau visi untuk mengubah masyarakat dengan satu komitmen bersama yaitu menegakkan nilai-nilai HAM dan demokrasi. Peran LSM merupakan sebuah kekuatan yang berfungsi mengontrol negara. LSM diharapkan mampu mencegah represi dan hegemoni negara terhadap masyarakat. Salah satu jalan tengah untuk menghadapi hegemoni dan represi kekuasaan dan aliansi-kolusi penguasa-pengusaha terhadap hak-hak individu adalah LSM.
Kerja keras yang harus dilakukan oleh LSM di Indonesia pada masa kini adalah membangun demokrasi dan mengawalnya agar tidak diselewengkan. Demokratisasi, dalam perspektif LSM, tidaklah terbatas pada demokratisasi politik (di mana banyak LSM yang terlibat dalam pembuatan perundangan-undangan, peraturan, dan kebijakan) tetapi juga menyangkut demokratisasi ekonomi dan sosial-budaya. LSM di Indonesia ingin menjadi semacam “lokomotif demokrasi“ dan terus menyuarakan dan berusaha membangun hak-hak asasi manusia. Bermacam strategi yang diterapkan: ada yang berusaha membangun tradisi demokratis di lingkungan desa dan masyarakat yang dilayaninya[xli]. Demokratisasi merupakan kata kunci untuk memahami seluruh sektor kehidupan dunia yang ada di dunia ini. Isu demokrasi dan HAM secara amat berarti didukung oleh teknologi, mempunyai pengaruh penting terhadap lajunya perubahan sosial dan ekonomi seluruh dunia. Perjuangan demokrasi dan HAM yang paling efektif harus dimulai dari lapisan masyarakat yang dapat digerakkan oleh LSM.
Baik dalam konteks orde baru maupun konteks pasca orde baru, peran LSM terutama dalam bentuk pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan (policy-making) menjadi sangat penting. Peran partai yang ada pada siklus kekuasaan seringkali amat berpandangan jarak pendek. LSM biasanya bergerak dalam isu-isu yang lebih berjangka panjang. Kalaupun LSM terseret dalam kepentingan jangka pendek, seringkali komunitas LSM atau masyarakat penerima jasa dari LSM itu (beneficiaries) akan cenderung melakukan politisasi balik, atau cenderung turun partisipasinya dalam isu yang diangkat oleh LSM itu.
LSM dewasa ini berorientasi pada pengembangan komunitas dan pemberdayaan masyarakat yang akan terus bersentuhan dengan isu demokrasi dan HAM sebagai suatu agenda masa kini dan masa depan. Penegakan HAM dan demokrasi masih menjadi sesuatu yang sulit dipraktikkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, maka pelaksanaan HAM dan demokrasi harus bertahap dilakukan dengan skala prioritas. Buruknya kondisi demokrasi dan HAM di Indonesia untuk sebagian besar disebabkan oleh transformasi ekonomi dan politik yang dipelopori oleh negara.
Usaha-usaha untuk membangun masyarakat dan negara yang kuat akan menjamin efektivitas pelaksanaan demokrasi dan HAM. Dalam konteks ini, LSM harus berperan mencegah "ledakan“ konflik yang bisa menjerumuskan eksistensi negara-bangsa ke dalam kemungkinan etnonasionalisme yang gejalanya dapat terlihat seperti gerakan kemerdekaan yang terjadi di Papua, Maluku, dan Aceh. Hubungan masyarakat dan negara harus terus, walau jatuh-bangun, coba-gagal, dalam membangun persepsi, interpretasi, dan komunikasi mengenai isu penting seperti HAM dan Demokrasi.
Meningkatnya jumlah dan peran LSM secara alamiah akan meningkatkan tuntutan bagi kehidupan yang lebih demokratis pada tataran ekonomi maupun politik. Praksis dan strategi LSM tersebut akan memungkinkan tumbuh dan mengembangkan masyarakat madani. Ini berarti bahwa agenda perjuangan LSM untuk menegakkan HAM dan demokrasi menjadi bagian dari proses kerja masyarakat sipil dunia yang akan terus relevan. Di tengah situasi sosial yang kompleks dewasa ini, para aktivis LSM setidaknya dapat mengisi “ruang kosong” untuk membangun kekuatan masyarakat yang tak terjamah oleh para intelektual non-LSM.
LSM dapat berperan dalam menumbuhkan dan membangkitkan kesadaran rakyat yang tinggi akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Hanya dengan itu, demokrasi dan HAM dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai kelemahan dan ketimpangan yang dilakukan oleh pemerintah dapat dikurangi, jika kelompok-kelompok dalam  masyarakat seperti LSM diberikan kesempatan untuk ikut dan memengaruhi keputusan-keputusan baik di tingkat nasional maupun lokal.
LSM yang jumlahnya ribuan di Indonesia berjuang di berbagai bidang dan ranah kehidupan, tetapi mereka menyadari bahwa di ujung jalan ada kepedulian dan cita-cita bersama, yaitu membuka lahan masyarakat madani untuk memungkinkan tumbuhnya demokrasi sejati. Dalam iklim demokratis sekalipun, seperti saat ini, LSM masih akan berperan, selama masalah-masalah sosial masih mengharapkan uluran tangan mereka.

F. Peran Media Massa dan Pers dalam Penegakan HAM dan Demokrasi di Indonesia[xlii]
Kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi yang penting. Pers atau media massa memegang kendali pokok dalam penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia. Media massa memainkan peran utama dalam mengawasi terjadinya pelanggaran HAM dan hambatan laju demokrasi. Kebebasan pers menjadi petunjuk terjadinya proses pematangan keterbukaan dan demokratisasi, karena pers berfungsi sebagai kontrol sosial, koreksi, dan kritik terhadap lembaga-lembaga pemerintahan yang melakukan penyimpangan.
Apa yang dilakukan oleh pers, menurut A. Muis, adalah dalam rangka mengemban amanah pasal 19 Pernyataan Umum DUHAM PBB Desember 1948 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat dan perasaannya[xliii]. Hak tersebut termasuk mencari, memperoleh, dan menyampaikkan informasi dan buah pikiran melalui segala macam media yang tersedia[xliv].
Semakin banyak berita dan ulasan yang dilakukan oleh media massa tentang pelanggaran HAM menandakan akan sehatnya iklim demokrasi satu bangsa. Hal ini juga menunjukkan perhatian, keseriusan, dan komitmen media massa terhadap penegakkan HAM untuk membangun negara ke arah yang lebih demokratis dan mengawal proses demokratisasi agar tetap berjalan pada jalurnya, karena kebebasan pers adalah salah satu dasar demokrasi penting.
1.      Masa Orde Baru
Karakteristik pemerintahan orde baru ditandai oleh peran negara yang begitu kuat dan kekuasaan Presiden yang luas dan hanya terpusat padanya. Peran pers dalam penegakan HAM dan demokrasi selama rezim orde baru pada umumnya kurang menggembirakan dan penuh ketidakpastian. Pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak mampu menciptakan struktur sosio-ekonomi yang kuat bagi terselenggaranya proses demokratisasi, termasuk di dalamnya kebebasan pers.
Hal ini, menurut Dedy Nur Hidayat, disebabkan karena dua hal: pertama, besarnya intervensi politik dan ekonomi negara orde baru dalam industri pers. Kedua, intervensi keluarga dan teman-teman Soeharto dalam kepemilikian modal dalam industri pers semakin memperparah kualitas intervensi negara atas pers[xlv]. Upaya untuk menguasai dan mengawasi industri pers oleh rezim orde baru merupakan bagian dari usaha memelihara dan menjaga legitimasi dan stabilitas struktur politik yang zalim. Untuk melanggengkan kekuasaan, maka media massa yang ada dijadikan alat hegemoni oleh Orde Baru.
Pada masa awal orde baru, pers Indonesia sempat menikmati kebebasan. Tetapi periode yang singkat tersebut segera disusul oleh periode panjang yang represif, ditandai oleh serangkaian "pembredelan“ massal pada tahun 1974 dan 1978. Kemudian di tahun 1983-1984, Majalah Ekspo dan Majalah Fokus pun dibredel karena memberitakan kekayaan keluarga dan teman Soeharto. Setelah itu, awal dekade 1990an, pers Indonesia sempat menikmati kondisi yang agak baik, sebelum diakhiri oleh pembredelan Majalah Tempo, Tabloid DëTIK, dan Majalah Editor di tahun 1994[xlvi].
Setelah kasus penutupan sejumlah media di tahun 1994 dibentuklah wadah perkumpulan wartawan seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen), Siar, dan Pijar sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap pengekangan rezim orde baru. Mereka inilah yang menulis dan menerbitkan berita-berita berbeda, alternatif, dan berani. Kendati demikian, hal itu tidak dapat dilihat sebagai kebebasan pers atau salah satu petunjuk kebebasan berpendapat dalam demokrasi, karena kehidupan pers masih dalam kondisi yang tidak bebas dan kurang menggembirakan.
Dengan kondisi rezim orde baru yang menekan itu, maka pers tidak bisa berperan besar dalam upaya penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia. Pers tidak bebas memberitakan pelanggaran HAM dan hambatan demokrasi selama rezim orde baru, sebab risiko yang dihadapi oleh pers saat itu jelas, yaitu penutupan dan pembubaran media massa yang bersangkutan jika mereka memberitakan penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah berkuasa. Bahkan lebih dari itu, insan pers yang berani mengungkap penyimpangan, seperti praktik korupsi, oleh aparat pemerintahan, maka keselamatan jiwanya terancam, seperti wartawan Koran Bernas Yogyakarta Udin yang tewas dibunuh oleh oknum aparat keamanan, karena membongkar penyelewenganan keuangan oleh seorang Bupati di Yogyakarta.
2.      Masa Reformasi
Rezim tiranik orde baru berhasil ditumbangkan oleh gerakan reformasi mahasiswa 1998 dengan dukungan pers, terutama media cetak. Ketika rezim orde baru berakhir, industri pers juga ikut mengalami perubahan struktural yang amat penting akibat tuntutan reformasi. Mulai tahun 1998, peran pers dalam pemberitaan yang menyangkut pelanggaran HAM dan demokrasi cukup sering dan menjadi berita utama di hampir setiap pemberitaan.
Perubahan peraturan industri pers diawali oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah masa pemerintahan BJ. Habibie, antara lain mencabut Permenpen No. 01/Per/Menpen/1984 tentang ketentuan surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang telah dijadikan dasar legalitas pembredelan sejumlah media dan diganti oleh surat keputusan Menteri Penerangan SK No.132/1998 yang memberi kemudahan dalam memperoleh SIUPP. Kemudian pencabutan SK No. 47/Kep/Menpen/75 mengenai pengukuhan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia[xlvii].
Kebebasan pers dewasa ini sangat bermanfaat bagi proses penegakan HAM dan demokrasi. Peran pers dalam penegakan HAM dan demokrasi sangat menonjol sejak tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Mulai orde reformasi Habibie, pers mengalami pertumbuhan pesat dan kebebasan pers yang sesungguhnya. Pemberitaan atas pelanggaran HAM oleh media massa mendapatkan tempat yang besar, antara lain kasus Gerakan 30 September, Tragedi Abepura, Warsidi Lampung, Haur Koneng, Tanjung Priok 1984, Marsinah, Udin, Kasus Santa Cruz Dili 1992, Kasus Timor-Timur pasca jajak pendapat,  kasus April berdarah di Ujungpandang 1996, penyerbuan ke markas PDI Megawati 1997, penculikan dan penghilangan sejumlah aktivis prodemokrasi 1997-1998, kasus Universitas Trisakti 1998, kasus kerusuhan massal berupa penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan 14-15 Mei 1998, kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, kasus ’dukun santet’ 1998 di Banyuwangi, Tragedi Semanggi I dan II 1998, kasus kematian aktivis HAM Munir dan lain-lain.
Pers dewasa ini cukup lantang dan berani mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Air. Hal ini merupakan perkembangan demokrasi yang baik dengan ditandai oleh kebebasan pers dalam mengungkap berbagai praktik penyimpangan yang dilakukan oleh aparat keamanan, termasuk juga oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terorganisir.
3.      Pers: Fungsi Penyeimbang
Menurut A. Muis, pers pantas berperan sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate), selain lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers dapat memainkan peran sebagai “anjing penjaga“ (watchdog), yaitu bahwa pers tidak boleh bersikap netral dalam masalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, demokrasi, dan HAM. Pers juga harus menjadi penjaga, pemantau, dan pengawas terhadap jalannya pemerintahan, pelaksanaan demokrasi, penegakan hukum dan HAM. Hal tersebut telah sesuai dengan UU Pers No. 40/1999, pasal 3 tentang hak kontrol, kritik, dan koreksi media massa atau pers[xlviii]. Jika pers memainkan peranannya sebagai penyeimbang, maka pers benar-benar menjadi agen pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yang harus menjadi perhatian bersama adalah RUU Pers yang dianggap akan mengekang kebebasan pers, karena menghapus kata “kemerdekaan pers” dari pernyataan dasar penetapan peraturan (diktum konsiderans). Hal tersebut bertentangan dengan UU No. 5/2006 tentang UN Covenance on Civil and Political Rights (Kovenan Hak Sipol) yang menjamin kebebasan pers yang telah diratifikasi oleh pemerintah RI pada 30 September 2005 [xlix]. Jika hal ini terjadi, ini pertanda buruk bagi perkembangan demokrasi di Tanah Air. Peran pers dalam penegakan HAM akan sulit terwujud tanpa kebebasan pers yang sesungguhnya. Tidak hanya itu, RUU tersebut berpotensi membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu terlihat, misalnya, dari ruang lingkup rahasia negara yang terlalu luas, longgar dan multitafsir, sehingga dapat menjadi benteng negara untuk menutupi dirinya dari tuntutan masyarakat untuk memperoleh informasi yang terkait dengan upaya untuk membongkar kasus pelanggaran HAM atau korupsi misalnya[l].
Kebebasan pers yang berfungsi bagi tegaknya HAM dan demokrasi, yakni kebebasan pers yang mampu menciptakan ruang publik dalam sebuah sistem demokrasi -yang relatif terlindung dari intervensi politik penguasa dan penetrasi kepentingan modal- di mana masyarakat bisa memperoleh akses memadai guna menyuarakan kepentingan mereka[li]. Dalam rangka mewujudkan kebebasan pers yang fungsional itu, maka dengan bersandar pada Pasal 28 UUD 1945, Pasal 19 DUHAM PBB 1948, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dalam kaitan dengan kebebasan pers, dan UU Pers No. 40/1999, serta UU No. 5/2006 PBB tentang Kovenan Hak Sipol mengenai kebebasan pers, kehidupan pers di Indonesia bisa bebas dari pencekalan, pembredelan, penutupan, dan intimidasi, sehingga pers tetap dapat berperan aktif dalam menyuarakan kepentingan rakyat dan memperjuangkan penegakan HAM untuk membangun negara Indonesia yang demokratis.

G. Peran Organisasi Keagamaan dalam Penegakan HAM dan Demokrasi di Indonesia
Peran agama dalam penegakan HAM dan demokrasi menjadi bagian penting dari tegaknya negara Indonesia yang demokratis. Jika Islam memberikan sumbangan besar terhadap demokratisasi Indonesia, maka hal ini akan meruntuhkan teori yang berkembang di Barat selama ini bahwa demokrasi itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kajian mutakhir dari Saiful Mujani menunjukkan bahwa Islam di Indonesia kompatibel dengan demokrasi dan memberikan sumbangan yang berarti bagi tegaknya demokrasi di Indonesia[lii]. Karena itu, adalah sangat penting melihat peran agama, yang dalam hal ini terwakili oleh organisasi keagamaan, NU dan Muhammadiyah, dalam penegakan HAM dan Demokrasi di Indonesia.
NU dan Muhammadiyah adalah organisasi civil society yang relatif baik dan mandiri di Indonesia, dan kritis terhadap kebijakan pemerintah. Komitmen NU dan Muhammadiyah terhadap penghargaan HAM dan penegakan demokrasi sangat penting bagi membangun negara yang demokratis dan masyarakat yang kuat.

1. Nahdlatul Ulama (NU)
NU adalah organisasi keagamaan yang paling awal bersentuhan dengan gagasan civil society yang diterjemahkan oleh mereka sebagai masyarakat sipil. NU sudah memenuhi sebagai syarat civil society yang bercirikan mandiri, kritis, dan oposisi terhadap peran negara yang kuat. NU berhasil bertindak sebagai pembicara fasih demokratisasi politik lewat suatu wacana perjuangan penguatan masyarakat sipil[liii].
NU selalu memunculkan wacana HAM dan demokrasi sebagai saluran kritik terhadap negara orde baru. NU dengan generasi mudanya yang membentuk lembaga-lembagan kajian seperti LKiS (Yogyakarta), ELSAD (Surabaya) Lakpesdam (Jakarta) semakin memperkuat perjuangan NU dalam rangka memperkuat HAM dan demokrasi. NU di bawah kepemimpinan Gus Dur dicirikan oleh keinginan menumbuhkan kesadaran politik masyarakat pada umumnya, dan Islam khususnya. Perwujudan penting dan praktis dari gagasan tersebut adalah para intelektual-aktivis NU memperjuangkan tegaknya nilai-nilai demokrasi dan penghargaan kepada hak asasi manusia.
Ketika NU semakin terpinggirkan dari arena politik oleh negara orde baru, NU mengembangkan dan membuat program pemberdayaan masyarakat, antara lain menyebarkan dan mengembangkan wacana akan pentingnya nilai-nilai HAM dan demokrasi ke masyarakat, pesantren, dan para kiai. NU berhasil membangun opini di tengah masyarakat akan keharusan demokratisasi, ketika rezim orde baru berusaha menumpas gerakan pro-demokrasi[liv]. NU selalu menggulirkan masalah demokratisasi, pembangunan yang partisipatif supaya menekankan aspek keadilan dan penghargaan pada HAM[lv].
NU sangat memerhatikan dan memperjuangkan tegaknya demokrasi dan HAM. Menurut AS. Hikam, NU menegaskan bahwa salah satu konsekuensi dianutnya paham itu adalah kemungkinan terdapatnya perbedaan-perbedaan pendapat yang muncul dari berbagi aktor politik, termasuk di antara warga Nahdliyyin sendiri. Namun, dalam demokrasi, perbedaan pandangan itu dijaga agar “tetap dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetapi dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU”.
NU setelah menyatakan kembali ke khittah 1926 pada 1984[lvi] bekerjasama dengan semua elemen masyarakat untuk menghadapi persoalan mendasar seperti persoalan demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. NU pascakhittah telah ikut menyumbangkan gagasan-gagasan baru bagi pemahaman dan praktik-praktik demokrasi yang selama ini cenderung dimonopoli oleh negara. NU, pada masa kepemimpinan Gus Dur, acapkali melontarkan visi demokrasi yang lebih inklusif dengan menolak kecenderungan sektarianisme dan primordalisme. Posisi Gus Dur sebagai ketua Pokja Prodem, menjadi simbol kemampuan NU memberi kesempatan kepada warganya untuk berkiprah memperjuangkan demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM[lvii].
Sikap enggan yang ditunjukkan rezim orde baru Soeharto kepada NU, karena NU mendukung dan mengembangkan wacana dan dukungannya terhadap penghargaan dan penegakan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat sebagaimana bagian dari inti dari demokrasi. Terlebih setelah kembali ke khittah 1926, banyak generasi muda NU terlibat mengembangkan wacana keislaman dalam kaitan dengan politik dan demokratisasi di Indonesia.
Menurut Fuad Fachruddin ada 2 perang penting NU dalam menciptakan iklim demokratis pada masyarakat Indonesia: transformasi diri menjadi lebih terbuka dan kritis dan mendukung gerakan civil society (masyarakat sipil). NU berhasil membangun pendapat masyarakat dan jaringan di antara mereka yang memerhatikan transformasi Indonesia untuk mendukung gagasan tentang demokrasi dan agama keadaban. NU berhasil meletakkan dasar-dasar dan gagasan-gagasan akan perlunya demokratisasi kehidupan politik Indonesia.
Dalam dua dekade terakhir, NU lebih aktif jika dibandingkan dengan organisasi kemasyarakatan Islam lainnya dalam mempromosikan wacana teologis tentang isu kontemporer seperti demokrasi, HAM, pluralisme, kesataraan jender, dan civil society. Dalam paham ASWAJA (ahlus sunnah wal jamaah) terkandung paham tawassuth (moderat), i’tidâl (toleransi), tawâzun (keseimbangan), dan tasâmuh (toleransi). Prinsip-prinsip ini membuat warga NU lebih demokratis dan menghargai HAM[lviii].

2. Muhammadiyah
Wacana civil society, demokrasi, dan penghargaan terhadap HAM dalam Muhammadiyah relatif terlambat, terutama jika dibandingkan dengan NU. Gagasan itu menurut Muhammadiyah penting, namun tidak terlalu banyak diperbincangkan. Kalangan Muhammadiyah sebenarnya bisa menjadi pihak pertama mendukung dan mendorong perubahan demokratis di Indonesia, sebab sumber daya politik mereka jauh melebihi yang lain[lix].
Mitsuo Nakamura, pengamat Muhammadiyah dari Jepang, menilai hal itu disebabkan karena Muhammadiyah terjebak dalam rutinisme dan stagnasi karena harus mengurusi bisnis Muhammadiyah. Oleh karena itu, ia melontarkan pertanyaan menarik “Dapatkah Muhammadiyah menjawab tantangan demokratisasi Indonesia setelah jatuhnya Soeharto pada era reformasi ini?”
Sejak demokratisasi di Indonesia yang dimulai tahun 1998 telah membawa berbagai perubahan penting dalam struktur dasar (tingkat) kebijakan. Reformasi konstitusional telah merambah ke ranah publik, dan Muhammadiyah telah memainkan peranan penting dalam konsolidasi demokrasi dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Muhammadiyah telah berpartipasi terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Perubahan yang sangat mendasar dari adanya demokratisasi ini adalah kebebasan berekspresi dan berserikat. Dengan datangnya era baru demokrasi, Muhammadiyah merupakan aktor penting dalam era demokrasi ini.
Masyarakat madani, seperti Muhammadiyah, dapat berfungsi sebagai gudang SDM, “anjing penjaga“ (watchdog), dan pengawas di mana keberadaannya sangat dibutuhkan dan tak terelakkan agar demokrasi berfungsi secara sehat dan hak asasi manusia menjadi lebih diperhatikan. Untuk lebih mengamankan posisinya sebagai masyarakat mandiri, Muhammadiyah dapat berhenti dan tidak lagi mendukung salah satu partai politik atau politisi. Dengan sikap demikian, Muhammadiyah lebih dapat mengembangkan dialog dan kerjasaama dengan organisasi civil society lainnya untuk membangun demokrasi yang lebih mapan dan ajeg.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia membutuhkan kehadiran Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat madani dalam perspektif Neo-Tocquevillian (masyarakat yang bebas dari negara, masyarakat politik, dan pasar), yaitu secara politik netral, banyak intelektualnya, moralitasnya dapat dipertanggungjawabkan, secara keuangan independen dan transparan, dan secara organisatoris merupakan sebuah organisasi massa yang kuat. Dengan demikian, Muhammadiyah menilai bahwa penegakan HAM dan demokrasi bagian dari perjuangan dakwah[lx].
Demokrasi bagi Muhammadiyah berarti mampu menghargai perbedaan dan pluralitas, kebebasan pribadi, termasuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, kesamaan hak dan keadailan dijunjung tinggi dalam semua segi kehidupan. Muhammadiyah mengartikan masyarakat demokratis sebagai sebuah masyarakat yang para anggotanya menjunjung tinggi prinsip demokrasi seperti kebebasan, menghargai kemajemukan, toleransi, keadilan, dan keterbukaan, dan menghargai hak asasi manusia[lxi].
Salah satu transformasi sosial keagamaan yang berhasil dilakukan oleh Muhammadiyah, salah satunya, adalah dalam bidang politik, yaitu membangun dan mengembangkan demokrasi dan penegakan HAM. Muhammadiyah telah ikut serta membesarkan proses demokrasi dan memantau penegakkan HAM. Bahkan dalam rangka menyehatkan demokrasi, Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya telah mendorong untuk melakukan oposisi terhadap pemerintah yang telah dinilai koruptif dan otoriter dan menetapkan kebijakan atau program-program yang sangat merugikan kepentingan umum. Misalnya, pada Muktamar 1995 Banda Aceh, Muhammadiyah melalui ketua umumnya menggulirkan isu suksesi kepemimpinan dan pentingnya reformasi politik. Ini artinya, Muhammadiyah telah menggulirkan isu demokratisasi dalam kehidupan politik. Tidak sedikit fasilitas Muhammadiyah baik yang di pusat maupun daerah digunakan untuk kepentingan ini. Dalam pengembangan demokrasi ini, keterlibatan Muhammadiyyah dalam mengembangkan atau mematangkan wacana demokrasi dan HAM tidak sedikit[lxii].
Demokratisasi memerlukan organisasi warga yang bercirikan kesukarelaan, asosiasi independen, dan keseimbangan antara negara dan masyarakat yang sama baiknya dengan organisasi warga itu sendiri, maka elemen-elemen utama demokratisasi itu telah lama dimiliki Muhammadiyah[lxiii]. Muhammadiyah menyumbang sangat berarti pada perkembangan masyarakat madani, demokrasi, dan penghargaan terhadap HAM melalui program-program pengembangan sumber daya manusianya. Tercatat Muhammadiyah telah menyumbang 10% dari keseluruhan jumlah sekolah-sekolah yang dimilikinya dan 169 universitas yang dimilikinya di seluruh Indonesia. Dengan itu, Muhammadiyah menghasilkan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan dapat mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dan menghargai HAM sebagaimana yang mereka pelajari dan tanamkan selama di universitas[lxiv].


[i]Saya ucapkan terima kasih banyak atas masukan, kritikan, dan nasehat dari teman saya Henri Simarmata terutama untuk sub-bab Hubungan HAM dan Demokrasi dan Pengertian Demokrasi, sehingga tulisan ini menjadi lebih padat dan berisi. Henri pernah bekerja di PBB Genewa, Swiss dan di Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) di Oslo, Norwegia.
[ii]Budhy Munawwar-Rachman (ed.), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Bandung:Mizan, 2006, IV jilid, jilid I, entri Demokrasi dan Hak Asasi Manusian, hlm. 501-502.
[iii]Satya Arinanto, HAM dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta:UI, 2004, hlm. 7-13, 51-52.
[iv]Ignas Kleden, Hak Asasi Manusia: Siapa Manusia dan Seberapa Jauh Asasi?, kata pengantar buku Rhoda E. Howard, HAM : Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Jakarta:Grafiti, 2000, hlm. x.
[v]Fuad Fahcruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi, Pengalaman Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama, Jakarta:Alvabet-INSEP, 2006, hlm. 26-27.
[vi]Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, terj. Rofiq Suhud, Bandung:Mizan, 1998, hlm. 11.
[vii]Kleden, op.cit., hlm. xiii.
[viii]Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, terj. I. Made Krishna, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 5-6.
[ix]John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi, terj. Godril Dibyo Yuwono, Yogyakarta :Tiara Wacana, 1995, hlm. 18 dan 32.
[x]Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition, (New Haven :Yale University Press, 1971), hlm. 3, sebagaimana dikutip oleh Georg Sorensen, op.cit., hlm. 18.
[xi]Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, terj. Sahat Simamora, Jakarta:Rajawali, 1985, hlm. 10-11.
[xii]Sorensen, op.cit., hlm. 21-22.
[xiii]John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, terj. Rahmani Astuti, Bandung:Mizan, 1999, hlm. 21.
[xiv]Sorensen, op.cit., hlm. 19-20.
[xv]Fachruddin, op.cit., hlm. 26.
[xvi]Uhlin, op.cit., hlm. 11.
[xvii]Munawwar-Rachman (ed.), op.cit., jilid I, entri Demokrasi sebagai Sebuah Proses, hlm. 494.
[xviii]Demokratisasi adalah meningkatnya penerapan pemerintah rakyat pada lembaga, masalah, dan rakyat yang sebelumnya tidak diatur menurut prinsip-prinsip demokrasi, lihat Uhlin, op.cit., hlm. 13.
[xix]Ida Ruwaida Noor, Agenda Demokratisasi oleh dan untuk Perempuan, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 1, Mei-Agustus 2000, hlm. 118-131, hlm. 118.
[xx]Noor, op.cit., hlm. 118.
[xxi]Jose Abueva, Demokratisasi di Indonesia: Harmonisasi antara Elemen-elemen Utama dengan Nilai-nilai Universal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 3, Maret-Juni 2001, hlm. 28-50.
[xxii]Abueva, op.cit., hlm. 34-35.
[xxiii]Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta:LP3ES, 2006, hlm. 4-7.
[xxiv]R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta:LP3ES, 1994, hlm. 142.
[xxv]Fachry Ali, Negara, Ekonomi, dan Proses Demokratisasi, kata pengantar, dalam M. Deden Ridwan dan Asep Gunawan (ed.), Demokratisasi Kekuasaan, Wacana Ekonomi dan Moral untuk Membangun Indonesia Baru, Jakarta:LSAF, 1999, hlm. xvii
[xxvi]Nurcholish Madjid, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia dalam Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta:Paramadina, 1997,  hlm. 207-229.
[xxvii]Liddle, op.cit.,, hlm. 149-152.
[xxviii]Sonny Keraf, Demokrasi dan Peran Kelas Menengah, dalam M. Deden Ridwan dan Asep Gunawan (ed.), Demokratisasi Kekuasaan, Wacana Ekonomi dan Moral untuk Membangun Indonesia Baru, Jakarta:LSAF, 1999, hlm. 3-16.
[xxix]Keraf, op.cit., hlm. 3-16.
[xxx]AE. Priyono, Islam dalam Oposisi Demokratis di Indonesia, Studia Islamika, Volume 2, Number 2, 1994, hlm. 183-207, hlm. 195.
[xxxi]Muthiah Alagappa (ed.), Civil Society and Political Change in Asia: Expanding and Contracting Democratic Space (Standford: Stanford University Press, 2004), hlm. 32, sebagaimana dikutip oleh Mitsuo Nakamura, Muhammadiyah Faces the Challenge of Democracy,  dalam Mukhaer Pakkana dan Nur Ahmad (ed.), Muhammadiyyah Menjemput Perubahan, Tafsir Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik, Jakarta:Kompas, 2005, hlm. 224.
[xxxii]Bab ini sepenuhnya diringkas, diolah, dan diramu dari buku-buku Herdi SRS, LSM, Demokrasi dan Keadilan Sosial, LP3ES, 1999, John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi, terj. Godril Dibyo Yuwono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995, dan Aswab Mahasin, Menyemai Kultur Demokrasi, Jakarta:LP3ES, 2000. Saya mengucapkan terima kasih kepada teman saya Herdi SRS yang mengizinkan untuk menjadikan bukunya sebagai bahan utama sub-bab ini. Herdi adalah seorang aktivis LSM dan pro-demokrasi, mantan wartawan Media Indonesia 15 tahun, dan kini sedang menyelesaikan program doktornya.
[xxxiii]Aswab Mahasin, Menyemai Kultur Demokrasi, Jakarta:LP3ES, 2000, Bab IV, hlm. 141.
[xxxiv]Kelas menengah adalah lapisan kelompok masyarakat -yang berkat sumber daya intelektual, ekonomi dan politik yang dimilikinya- yang cukup kuat, berkepentingan, berani, dan gigih menuntut pemerintah bekerja dengan tanggap dan bertanggungjawab, lihat Hadijaya (ed.), Kelas Menengah Bukan Ratu Adil, Yogyakarta:Tiara Wacana, 1999, hlm.ix-x.
[xxxv]Clark, op.cit., hlm. 37.
[xxxvi]Mahasin, op.cit., hlm. 126-127.
[xxxvii]Clark, op.cit., hlm. 39.
[xxxviii]Mahasin, op.cit., hlm. 143.
[xxxix]Prof. Dr. Loekman Soetrisno dalam Kata Pengantar buku John Clark, op.cit., hlm. xi-xii.
[xl]Soetrisno, op.cit., hlm. ix-x.
[xli]Mahasin, op.cit., hlm. 181-182.
[xlii]Babi ini diolah dan diramu dari buku A. Muis, Titian Jalan Demokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik, Jakarta:Kompas, 2000 dan Dedy Nur Hidayat, Institusi Pers, Modal, dan Demokratisasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 2, September-November 2000, hlm. 75-100.
[xliii]Pasal ini dikenal dengan nama Freedom of Information (FoI) atau kebebasan informasi.
[xliv]A. Muis, Titian Jalan Demokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik, Jakarta:Kompas, 2000, hlm. 16.
[xlv]Dedy Nur Hidayat, Institusi Pers, Modal, dan Demokratisasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 2, September-November 2000, hlm. 75-100, Hlm. 79
[xlvi]Hidayat, op.cit., hlm. 88-90.
[xlvii]Hidayat, op.cit., hlm. 95.
[xlviii]Muis, op.cit., hlm. 54-56.
[xlix]Abdullah Alamudi, Pers di Mata Sofyan dan Nuh, Tempo, edisi 18-24 Juni 2007, hlm. 42, dan laporan Voice of Human Rights (VHR) tahun 2005 di www.vhrmedia.net
[li]Hidayat, op.cit., hlm. 98.
[lii]Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta:Gramedia, 2007.
[liii]Sepenuhnya dikutip dari Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk. Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta:Gramedia, 2002, khususnya Bab IV.
[liv]Prasetyo dan Munhanif, op.cit., lihat bab VI.
[lv]Ellyasa KH Darwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta:LKIS, 1999, pengantar editor, hlm. viii.
[lvi]NU lahir ditujukan untuk menyeimbangkan Islam, keadilan, dan persamaan, dan untuk mendukung kemajuan Islam selain juga gagasan kritis dan liberal. NU menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak dan tidak seorang pun boleh mengabaikan pendapat orang lain.
[lvii]Muhammad AS Hikam, Khittah dan Penguatan Civil Society di Indonesia: Sebuah Kajian Historis Struktural atas NU sejak 1984, dalam Ellyasa, op.cit., hlm. 133-163.
[lviii]Fahcruddin, op.cit., hlm. 80-90.
[lix]Pramono U. Thantowi, Muhammadiyah dan Islam Liberal, dalam Mukhaer Pakkana dan Nur Ahmad (ed.), Muhammadiyyah Menjemput Perubahan, Tafsir Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik, Jakarta:Kompas, 2005, hlm. 95-101, h. 95. lihat juga artikel dari Moh. Shofan, Muhammadiyah: Refleksi Tiga Tahun Perjalanan JIMM, di http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1127
[lx]Mitsuo Nakamura, Muhammadiyah Faces the Challenge of Democracy, dalam Pakkana dan Ahmad, op.cit., hlm. 215-229.
[lxi]Fachruddin, op.cit., hlm. 92 dan 104.
[lxii]Sudarnoto Abdul Hakim, Memperbarui Pembaruan Muhammadiyyah, dalam Pakkana dan Ahmad, op.cit.,  hlm. 230-244.
[lxiii]Sukidi, Independensi kultural Muhammadiyyah sebagai Basis “Civil Islam“ di Indonesia, dalam Pakkana dan Ahmad, op.cit., hlm. 278-283.
[lxiv]Fachruddin, op.cit., 66-76.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar