Pengantar
Perundang-undangan HAM merupakan seperangkat aturan yang digunakan sebagai
tolok ukur perlindungan HAM bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Peraturan ini muncul sebagai respon atas kebutuhan sosial politik
masyarakat, system demokrasi suatu negara, hubungan internasional (PBB) dan
kesadaran masyarakat. Pada pembahasan ini mahasiswa akan mempelajari pengertian
HAM dalam sIstem hukum Republik Indonesia, latar belakang dimasukkannya HAM
dalam konstitusi RI, perangkat aturan perundang-undangan perlindungan HAM,
mekanisme penyelesaian kasus-kasus HAM melalui lembaga pengadilan HAM, Komnas
HAM dan Jaksa Agung.
Perlindungan HAM bagi masyarakat Indonesia telah ditetapkan secara tegas
dalam UUD 1945 dan beberapa perundang-undangan lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap warga negara berhak diperlakukan sama dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara di Indonesia dan dijamin dalam aturan yang jelas.
Kebebasan HAM bagi setiap individu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Oleh
karena itu, masalah HAM harus memperhatikan hak-hak yang melekat pada warga
negara. Dengan demikian, terdapat dua
sisi masalah HAM: (a). HAM yang berkaitan dengan negara (vertikal); dan (b).
HAM yang berkaitan dengan sesama warga negara (horizontal).
Nilai-nilai HAM di Indonesia disamping mengadopsi DUHAM PBB 1948 dan
masalah ekonomi, sosial, dan budaya tahun 1966 juga berpegang pada nilai-nilai
agama dan gotong royong, seperti dijelaskan dalam Pancasila.
A.
Pendahuluan
Salah satu bentuk negara demokrasi adalah pengakuan dan perlindungan negara
terhadap HAM. Untuk menciptakan negara yang mampu menerapkan HAM diperlukan
sebuah perangkat hukum yang dapat melindungi dan terlaksananya HAM di suatu negara.
Jaminan HAM diletakkan pada aturan hukum dan menjadi bagian keharusan sebuah negara
demokrasi, yaitu negara bertugas melindungi warganya dari segala tindakan
sewenang-wenang aparatur pemerintah dan sesama warga negara. Ketentutan hukum
itu harus memiliki kekuatan hukum yang dibuat oleh institusi negara yang sah,
yaitu legislatif (DPR). Menurut C.F. Strong, “Lembaga legislatif adalah
kekuasaan pemerintah yang mengurusi pembuatan hukum, sejauh pembuatan hukum
tersebut memerlukan undang-undang.”[i] Artinya pembuatan hukum selalu dilakukan sebelum
pelaksanaan hukum tersebut. Dengan demikian, terdapat hubungan yang sangat erat
antara lembaga legislatif yang membuat aturan hukum dan lembaga eksekutif yang
melaksanakan aturan itu. Namun demikian kedua Lembaga Negara ini memerlukan
kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang akan mengontrol kekuasaannya. Sebab itu
pengadilan harus menempatkan hukum (UU) sebagai kekuatan utama (standar
kebenaran dan keadilan) dibandingkan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kekuasaan
yudikatif (kehakiman/pengadilan) berkuasa memberikan hukuman terhadap siapa
saja yang melanggar aturan, termasuk HAM sesuai dengan aturan undang-undang
yang berlaku. Paradigma demokrasi menegaskan bahwa seluruh kekuasaan para
pejabat negara hanya turunan dari hak-hak asasi manusia warganya, karenanya
harus diterima sebagai sesuatu yang bersifat terbatas dalam aturan konstitusi.
Ketentuan undang-undang yang berlaku harus mengandung ketentuan-ketentuan
kelaziman sebagai sebuah jaminan bagi persamaan hak dan kepastian hukum
terhadap semua warga negara. Oleh karena itu, pengertian perundang-undangan
dalam hal ini adalah “Ketentuan yang mengatur tingkah laku bagi pencari keadilan
dalam arti sebagai larangan dan perintah.”[ii] Bila dikaitkan dengan ketentuan HAM dalam aturan
perundangan Indonesia maka ia berperan sebagai dasar pelaksanaan kekuasaan
sebagai akibat kelaziman proses pembentukan norma berdasarkan undang-undang.
Untuk itu perlu dibuat pembatasan terhadap tindakan-tindakan insidentil dan
sewenang-wenang dalam kehidupan dan hak milik warga negara.[iii] Dengan demikian, dalam pelaksanaan HAM diperlukan asas
legalitas, yaitu setiap pelaksanaan pemerintahan harus berlandaskan
undang-undang secara formil dan tidak hanya tercantum dalam UUD 1945.
Wilayah HAM bisa dibagi kepada dua hal: horizontal dan vertikal. Horizontal
berarti HAM yang berkaitan dengan hubungan hukum antarwarga negara, sedang
vertikal yaitu antara pemerintah dan warga negara. Ketika HAM diberlakukan
sebagai standar perlindungan dan penghormatan terhadap manusia maka diperlukan
suatu standar dan acuan pelaksanaannya yang menitikberatkan pada
kepentingan-kepentingan umum yang dikelola oleh pemerintah dengan
mempertimbangkan hak-hak warga negara dan kehidupan bersama. Karena itu hukum (UU)
diperlukan sebagai perangkat utama untuk menjadi patokan kebebasan dan hukuman
terhadap setiap individu. Secara yuridis pengaruh horizontal dari HAM
memberikan jaminan-jaminan dan perlindungan warga negara dalam perkembangan dan
aktualisasi dirinya dalam kehidupan
masyarakat. Artinya, kebebasan yang berlandaskan HAM mempunyai tujuan dan
akibat bahwa setiap individu mendapatkan dirinya dalam batasan HAM ketika ia
sendiri ingin melaksanakan hak-haknya.
Adanya polarisasi HAM yang terbagi ke dalam dua bagian ini menunjukkan bahwa
telah terjadi pergeseran masalah HAM dibanding masa lalu, di mana masalah HAM
lebih menonjolkan hubungan warga negara dan pemerintah (vertikal). Namun
sekarang, karena kasus HAM dapat dilakukan oleh siapa saja maka perlindungan
HAM diberikan pada individu yang berdiri sendiri dan independen. Oleh karena
itu, unsur HAM sejak 1966 mencakup segala aspek kehidupan manusia seperti
ekonomi, sosial, dan budaya.
Secara empiris, gerakan HAM yang muncul sepanjang sejarah selalu mengalami
perubahan substansial. Sebagai contoh banyak literatur yang mendiskusikan HAM
bahwa gerakan HAM generasi pertama yang bernuansa individualistis berdasarkan pada
hak sipil dan hak politik sebagaimana terdapat dalam DUHAM PBB tahun 1948. Nuansa
individualistik muncul karena substansi
HAM dirumuskan dan disusun oleh negara-negara yang menang dalam Perang Dunia
II. Gelombang gerakan HAM generasi kedua muncul seiring tuntutan hak sosial,
ekonomi dan budaya sebagai bagian dari HAM yang umum. Gelombang kedua ini ditandai dengan ditandatanganinya kovenan hak sosial,
ekonomi, dan budaya tahun 1966. Gelombang ketiga muncul seiring menguatnya
tuntutan negara-negara berkembang agar dapat memperoleh kesempatan yang sama
sebagai bagian bangsa-bangsa di dunia. Gelombang ketiga ini ditenggarai dengan
munculnya hak-hak kolektif dan hak pembangunan pada tahun 1986.[iv]
Bagaimana aturan HAM yang berlaku di Indonesia? Sebelum kembali kepada UUD
1945 melalui Dekrit Presiden tahun 1959, ketentuan HAM RI dijelaskan dalam
konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) 1949. Konstitusi ini terdiri dari VI bab dan 197 pasal. Pasal-pasal tentang HAM terdapat pada Bab I bagian 5 tentang Hak-hak dan
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia, semuanya 26 pasal dengan rumusan yang cukup
mendetail. Dalam pasal-pasalnya terutama dari pasal 7 hingga pasal 33, masalah
HAM mencakup hak-hak individu dan kolektif sebagai warga negara dalam kehidupan
social, politik, ekonomi dan budaya. Dalam hal
politik misalnya, negara menjamin kebebasan berpendapat dan berserikat. Individu
bebas untuk tidak disiksa, mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sedang
dalam hal ekonomi, negara memberikan jaminan pekerjaan dan kehidupan kepada
setiap warga negara. Dalam hal pengembangan diri, setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak.
Ketika terjadi perubahan konstitusi sementara RIS menjadi UUDS (Undang-Undang
Dasar Sementara) RI 1950, permasalahan HAM tidak mendapatkan perubahan yang
berarti. Artinya perlindungan HAM mencakup kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya. Pasal-pasal
mengenai HAM pun banyak dijelaskan pada pasal 7 hingga pasal 31. Dalam
pasal-pasal tersebut hak individu mendapat perhatian penting untuk dilindungi
dari pelanggaran penguasa (negara) dan antara warga negara.
B. HAM dalam Tata Hukum Indonesia
Sebelum mendiskusikan HAM dalam konteks tata hukum Indonesia, sekilas kita
perlu mengetahui bagaimana konsep HAM dalam UUD 1945. Hal ini penting untuk
diketahui, sehingga dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara rasionalitas
HAM yang ada dalam UUD 1945 dan konsep-konsep HAM lainnya seperti yang
dijelaskan pada DUHAM. Munculnya konsep
HAM dalam tata hukum Indonesia dibahas secara serius oleh Soekarno, Soepomo,
dan Hatta dalam sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945. Di forum ini gagasan dan
konsep HAM UUD 1945 dimunculkan dengan
mengambil latar belakang konteks budaya dan adat istiadat masyarakat
Indonesia. Yang menjadi perhatian utama nilai-nilai HAM keindonesiaan adalah
kehidupan sosial yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong. Sedang HAM model
Barat yang disoroti dalam diskusi saat itu adalah disinyalir lebih condong individualistik.
Dalam sidang Panitia Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945 konsep Bill of Rights yang dikenal di Barat
(Prancis dan Amerika) menjadi pembahasan utama. Salah satu perhatian peserta adalah
HAM dengan latar belakang individualisme, atau perlindungan secara utuh pada
kepentingan perorangan. Dengan alasan sejarah HAM Barat seperti itu, Soepomo
menolak konsep HAM mengadopsi dari Barat, karena, menurutnya, berbeda dengan
budaya Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Oleh karena itu, walaupun ia akhirnya
menerima konsep HAM seperti hak menyampaikan pendapat, berserikat, dan
berkumpul, namun menolak memasukkan HAM ke dalam UUD 1945 seperti model Barat.[v]
Ketidaksetujuan Soepomo bukan tidak ada alasan untuk konteks saat itu,
karena Barat baginya tidak lain sebagai bagian dari kolonialisme. Untuk itu ia
dan kawan-kawannya yang menolak HAM ala Barat, dipengaruhi juga oleh latar
belakang budaya sekaligus konsep individualisme yang kemudian melahirkan
konflik dan kolonialisme. Dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945, Soekarno
dalam kesimpulannya sepakat bahwa konsep-konsep dasar HAM di Barat muncul dari semangat
individualisme, liberalisme, dan kapitalisme yang bertentangan dengan budaya
Indonesia. Namun ia berkeyakinan bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dan
karenanya ia berkeyakinan ada konsep HAM yang sesuai dengan budaya Indonesia
yaitu menurutnya HAM berkedaulatan rakyat (kekeluargaan) bukan indvidu. Untuk
menyempurnakan gagasan HAM Soekarno, Mohammad Hatta menawarkan hak-hak dasar
warga negara dimasukkan ke dalam UUD 1945, yaitu gotong royong dan usaha
bersama bukan negara kekuasaan. Artinya, negara bisa berbuat sewenang-wenang
terhadap rakyatnya, karena itu perlu memberikan ruang supaya rakyat dilindungi
dari kekuasaan negara yang tiranik. Kekhawatiran Hatta didasarkan pada beberapa
praktik yang terjadi di beberapa negara, seperti Jerman, di mana otoritas negara
yang berkedaulatan rakyat bisa digunakan untuk menindas rakyat. Untuk menjamin
hak-hak rakyat sebagai individu, Hatta mengusulkan untuk memasukkan hak-hak
warga dalam UUD 1945.[vi] Oleh karena itu, rumusan HAM dalam UUD 1945 yang kita kenal
sekarang ini lahir dari hasil perdebatan rapat BPUPKI dan PPKI tahun 1945 yang
cukup panjang bukan saja rumusan konsep, tetapi juga masuk wilayah ideologis,
di mana perasaan anti penjajahan mewarnai konsep HAM UUD 1945.
Perumusan HAM dalam UUD 1945
disamping dalam batang tubuh, yaitu dalam pasal-pasalnya, juga dikemukakan
secara tegas dalam pembukaan UUD 1945. Pernyataan tegas pembukaan UUD 1945
dalam rangka melindungi HAM adalah antipenjajahan. HAM yang dijelaskan dalam
pembukaan adalah membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan, karena penjajahan merupakan pelanggaran terhadap keadilan
dan nilai-nilai kemanusiaan. Bila dilihat dari isi, kandungan HAM dalam
pembukaan UUD 1945 lebih bersifat umum dan atas nama bersama (nasionalisme),
seperti dijelaskan bahwa negara melindungi tanah air dan penduduknya dari
kepentingan asing. Di samping itu, negara juga
bertugas untuk meningkatkan harkat martabat bangsa melalui pendidikan yang
baik. Namun, uraian HAM yang nyata dan tegas terdapat dalam
batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen tahun
2002.
C. HAM dan UUD 1945
Pencantuman HAM dalam UUD 1945 dibagi kepada dua bagian: pertama, HAM dalam arti hak warga negara
Indonesia yang dimiliki dan dilindungi negara secara khusus. Pengertian khusus
di sini berkaitan dengan statusnya sebagai warga negara Indonesia. Dengan kata
lain, hak itu hanya dimiliki oleh seseorang yang diakui secara sah oleh
undang-undang. Kedua, HAM yang
berkaitan dengan penjelasan secara rinci sesuai dengan nilai-nilai universal HAM,
baik sebagai warga negara biasa atau bukan.
1. Hak warga negara
Hak-hak mendasar yang dimiliki warga negara Indonesia terbagi kepada beberapa
bagian antara lain:
a.
Hak menjadi warga negara (pasal 26);
b.
Kesamaan hak dalam hukum, pekerjaan, ikut dalam bela negara dan hak
berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik (berkumpul atau berserikat)
(pasal 27, 28, dan 30);
c.
Kebebasan beragama (pasal 29);
d.
Mendapatkan pendidikan yang layak
(pasal 32);
e.
Kesejahteraan sosial, anak yatim, kesehatan, dan pelayanan umum (pasal 34).
2. Hak Asasi Manusia
Ketentuan HAM yang lainnya memiliki kesamaan dengan DUHAM PBB di mana uraiannya
bersifat umum. Penjelasan mengenai HAM dalam UUD 1945 sebenarnya diuraikan
secara rinci di dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM. Sedang dalam UUD 1945
hasil amandemen 2002, HAM dijelaskan dalam pasal 28A sampai 28J yang mencakup,
antara lain:
a.
Hak hidup dan berkeluarga untuk mendapatkan keturunan;
b.
Bekerja dan mendapatkan
pendidikan;
c.
Bebas beragama dan terlindung dari perbudakan;
d.
Berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik;
e.
Kesejahteraan sosial;
f.
Memiliki harta;
D. TAP
MPR RI no. XVII/MPR/1998 tentang HAM
Penetapan HAM
oleh MPR menunjukkan bahwa penghargaan negara terhadap hak-hak dasar manusia
baik individu maupun kolektif sangat tinggi. Dasar utama HAM dalam ketetapan MPR dilihat dari dua sisi: pertama, perlindungan HAM diperlukan berdasarkan
pada aspek manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak yang sama. Kedua, penjelasan dalam Pembukaan UUD
1945 yang mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak pelaksanaan HAM dalam
penyelenggaraan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Landasan konstitusional Ketetapan (Tap) MPR ini adalah
pasal-pasal UUD 1945, di antaranya yaitu: pasal 1, 2, 3, 18, 26, 27, 28, 29,
30, 31, 32, dan pasal 34.
Ketetapan MPR mengenai HAM terdiri dari 7 pasal. Dalam ketetapan ini paling tidak ada tiga hal yang menjadi perhatian MPR: pertama,
menegaskan bahwa setiap lembaga-lembaga tinggi negara dan aparaturnya berkewajiban
untuk menghormati, menegakkan, dan mensosialisasikan pemahaman tentang HAM
kepada masyarakat luas (pasal 1). HAM dalam kategori
ini bisa diartikan sebagai bagian penting dari
institusi negara tanpa ada kecuali.
Kedua, HAM menjadi tugas penting lembaga eksekutif (Presiden)
dan legislatif (DPR) ikut meratifikasi dan membuat peraturan perundang-undangan
tentang HAM (pasal 2). Ketiga, menegaskan peran Komisi
Nasional (Komnas) HAM dalam rangka penyuluhan, pengkajian, pemantauan,
penelitian, dan mediasi HAM bagi masyarakat. Ketentuan HAM dalam Tap MPR ini
juga memberikan ruang penegakan HAM yang dilakukan oleh masyarakat atas dasar
kesadaran tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Sistematika HAM yang diamanatkan TAP MPR RI no. XVII/ 1998 terdiri dari dua
hal: pertama, pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM; kedua,
piagam HAM. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM dibagi menjadi
empat bagian: (1) Pendahuluan; (2) Landasan; (3) Sejarah, pendekatan, dan
substansi; dan (4) Pemahaman HAM bagi bangsa Indonesia.
Di dalam bagian pendahuluan, HAM di samping sebagai nilai-nilai dasar
kemanusiaan yang menjadi hak manusia baik secara individual maupun kolektif, ia
juga harus mencerminkan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Artinya,
HAM yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan pada nilai-nilai budaya dan
tradisi keindonesiaan. Bahkan, harus ditekankan bahwa HAM bagi masyarakat
Indonesia memadukan ajaran agama, nilai-nilai moral kemanusiaan dan ideologi negara,
yaitu Pancasila. Kendati demikian, HAM yang berlaku di Indonesia juga merujuk
pada DUHAM PBB 1948.
Pada bagian sejarah HAM Indonesia, TAP MPR bersumber pada beberapa peristiwa
dan aturan hukum yang pernah berlaku, antara lain: pertama, Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908; Sumpah Pemuda pada tanggal
28 Oktober 1928; Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945; rumusan HAM dalam
UUD RIS dan UUDS 1950; Sidang Umum MPRS tahun 1966; terbentuknya komnas HAM
melalui Keppres (Keputusan Presiden) no. 50 tahun 1993 dan terakhir TAP MPR RI
no. XVII/ 1998.[vii]
HAM bagi manusia Indonesia didasarkan pada keyakinan bahwa manusia adalah
makhluk Tuhan yang maha Esa, dan oleh karena itu HAM bersifat asasi dan kodrati
yang bersifat universal dan abadi. Karena bersifat universal, maka HAM itu
sendiri tanpa dibatasi oleh perbedaan-perbedaan jenis kelamin, warna kulit,
kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa dan
lain-lain, sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia.
Piagam HAM dalam TAP MPR, masalah HAM dirumuskan dalam 10 bab. Bab I dan II terdiri dari hak mendasar,
yaitu: hak untuk hidup dan berkeluarga untuk melanjutkan keturunan. Hak untuk
hidup artinya setiap orang memiliki hak untuk hidup, termasuk mempertahankan
kehidupannya. Sedang hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan ditekankan
dengan cara perkawinan yang sah. Artinya, melanjutkan keturunan yang dilakukan
bukan dengan cara perkawinan yang sah tidak diakui oleh negara, walaupun itu
bagian dari hak untuk hidup.
Bab III menjelaskan hak mengembangkan diri. Dalam pengembangan diri, hak
dasar manusia Indonesia dimulai dari kebutuhan dasar seperti pangan, sandang
dan papan (pasal 3) dan perlindungan kasih sayang serta mendapatkan pendidikan
(pasal 4). Dalam hal pengembangan diri juga setiap orang berhak untuk
mendapatkan dan menikmati hasil iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), seni,
dan budaya (pasal 5) yang dapat dilakukan secara individu dan kolektif.
Bab IV berkaitan dengan hak keadilan. Hak dalam keadilan terdiri dari enam
pasal. Keenam pasal dalam bab ini berkait erat dengan keadilan dalam perlakuan
hukum dan proses hukuman; adil dalam mendapatkan upah kerja dan status kewarganegaraan.
Keadilan juga mencakup kesamaan hak dalam kesempatan kerja dan dalam
pemerintahan.
Dalam bab V hak kemerdekaan menjadi perhatian penting. Ketujuh pasal
tentang kemerdekaan mencakup kemerdekaan untuk beragama dan menjalankan
kepercayaannya (pasal 13); seperti halnya juga merdeka untuk berkumpul,
berserikat serta menyampaikan isi hati nuraninya (pasal 14 dan 19). Kebebasan
setiap warga negara juga diberikan untuk memilih pendidikan dan pengajaran
(pasal 15); pekerjaan dan kewarganegaraan (pasal 16 dan 17). Bahkan setiap individu
bebas untuk tinggal atau meninggalkan wilayah Indonesia atau kembali ke wilayah
asalnya (pasal 18).
Bab VI menjelaskan tentang hak atas kebebasan informasi, yaitu: terdiri
dari hak untuk mendapatkan dan mencari informasi (pasal 21), termasuk menyampaikan
informasi melalui saluran yang ada (pasal 22).
Dalam bab VII hak informasi dihubungkan dengan hak keamanan, seperti
perlindungan dari rasa takut baik secara pribadi dan keluarga (pasal 22 dan
23). Di bagian lain, setiap individu juga dilindungi untuk mendapatkan suaka
politik dan perlindungan dari penyiksaan (pasal 24 dan 25). Yang menarik dalam
bab ini adalah setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pembelaan negara
(pasal 26).
Bab VIII menguraikan hak kesejahteraan, di dalamnya terdapat tujuh pasal.
Hak yang berkaitan dengan kesejahteraan dimulai dari hak untuk hidup sejahtera
(pasal 27), lingkungan hidup yang baik dan sehat (pasal 28); dan mendapatkan
tempat tinggal dan hidup layak (29). Jaminan hak kesejahteraan juga mencakup
kemudahan dan perlakuan khusus seperti bagi anak-anak, orang tua dan penyandang
cacat (pasal 30). Dalam hal ini negara juga menjamin bahwa setiap individu
berhak atas jaminan sosial (pasal 31); di samping hak milik pribadi dan perlindungannya dari
tindakan sewenang-wenang pihak lain (pasal 32). Setiap orang juga berhak atas
pekerjaan dan penghidupan layak (pasal 33).
Hak perlindungan dan kemajuan juga dimasukkan pada Piagam HAM. Bagian
perlindungan sebenarnya sebagai penegas atas jaminan atau perlindungan negara
terhadap setiap individu ketika menjalankan hak-haknya untuk tidak diganggu
atau dicabut oleh pihak lain. Dalam bagian ini, setiap orang mendapat
perlindungan untuk menjalankan haknya seperti menyampaikan pendapat dan
beragama, dan lain-lain (pasal 37). Bebas dari tindakan
diskriminasi dan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan juga dilindungi negara
(pasal 38 dan 39). Penjelasan penting dalam hak pemajuan dijelaskan dalam peran
negara untuk melaksanakan tanggungjawabnya untuk melindungi, penegakan dan pemenuhan
HAM (pasal 43).
E. UU NO. 39 TAHUN 1999 Tentang HAM
Keberadaan undang-undang tentang HAM merupakan jawaban atas amanat MPR yang dicantumkan dalam ketetapan MPR no.
XVII/1998, di mana lembaga-lembaga negara berkewajiban memberikan perlindungan
HAM bagi setiap warga negara Indonesia. Karena itu beberapa bagian dari isi
undang-undang ini mengandung kesamaan dengan Piagam HAM yang tercantum di dalam
TAP MPR no. XVII/ 1998 ditambah dengan beberapa hal seperti tentang
hak wanita dan anak. Di dalam UU ini masalah HAM diuraikan pada 106 pasal dari
11 bab. Bagian pertama UU HAM menjelaskan ketentuan umum berkaitan dengan
konsep-konsep dan pengertian. Ada tujuh noktah yang dijelaskan dalam UU ini
berhubungan dengan konsep dan pengertian, antara lain: pengertian HAM,
kewajiban dasar manusia, diskriminasi, penyiksaan, anak, pelanggaran hak asasi
manusia dan Komnas HAM. Ketujuh ketentuan umum ini merupakan bagian besar yang
akan menjabarkan perlindungan HAM yang menjadi patokan undang-undang.
Bagian utama dari HAM dalam undang-undang ini adalah pengakuan akan HAM dalam
segala aspeknya yang dilindungi langsung oleh negara Republik Indonesia (pasal
2). Hak-hak tersebut muncul karena adanya pengakuan bahwa setiap individu
terlahir bebas sesuai dengan martabat kemanusiaan (pasal 3), sehingga perlu
mendapat perlindungan dan pengakuan secara sama tanpa diskriminasi dalam
menjalankan hak-haknya. Oleh karena itu, hak-hak dasar ini menyeluruh dalam
kehidupan manusia seperti hak hidup, hak tidak disiksa, kebebasan berpendapat,
mendapatkan persamaan di hadapan hukum termasuk dalam hal penuntutan yang tidak
berlaku surut (pasal 4).[viii] Hak-hak individu juga
diakui ketika mengajukan tuntutan (pasal 5) dan memerlukan bantuan hukum ketika
berurusan dengan perbuatan hukum dalam kasus perdata dan pidana. Dalam
kaitannya dengan hukum, individu diberikan hak menggunakan fasilitas hukum
nasional dan forum internasional (pasal 7). Dengan demikian pemerintah
bertanggung jawab melindungi warganya (pasal 8), termasuk masyarakat adat dan
identitas budaya yang ada di Indonesia (pasal 6).
Seperti dalam Piagam HAM TAP MPR no. XVII/ 1998, kebebasan dasar
manusia dalam UU ini dibagi kepada
beberapa hal:
1.
Hak untuk hidup. Pengertian hak hidup mencakup menjalankan kehidupan,
ketenteraman hidup dan lingkungan hidup yang baik dan sehat (pasal 9).
2.
Hak hidup ini diperkuat dengan hak berkeluarga dan mendapatkan keturunan
melalui perkawinan yang sah, tanpa ada paksaan dari pihak lain (pasal 10).
Untuk mendapat pengakuan dan pencapaian yang sempurna, setiap individu juga
diberikan hak untuk mengembangkan diri dalam hal pemenuhan kebutuhannya (pasal
11); pendidikan (pasal 12) dan mendapatkan peluang untuk menikmati iptek dan
seni ((pasal 13); mendapatkan informasi (pasal 14); serta melakukan pekerjaan
sosial (pasal 16).
Aspek keadilan yang dikembangkan dalam UU HAM memiliki dimensi yang sangat
luas, namun yang menonjol adalah keadilan, yaitu UU menekankan pada perlakuan
yang adil terhadap setiap individu ketika dalam pengajuan tuntutan hukum (pasal
17); dan ketika mengalami penuntutan atau tuntutan atas kasus yang dihadapi
(pasal 18). Bahkan individu diberikan hak untuk mendapatkan hukuman yang lebih
ringan atau menguntungkan dirinya. Perlindungan individu dari hukuman juga
mencakup larangan merampas seluruh harta kekayaan yang bersalah, atau dipidana
karena tidak mampu membayar hutang piutang (pasal 19).
Dalam hal kebebasan pribadi (individu), hak-hak mendasar dirumuskan kepada
larangan perbudakan (pasal 20), jaminan jasmani dan rohani (pasal 21); beragama
(pasal 22); berpolitik (pasal 23) dan melakukan serikat atau berorganisasi
(pasal 24). Kebebasan pribadi juga dijamin ketika seseorang menyampaikan
pendapatnya termasuk melakukan mogok (pasal 25) atau memiliki dan mengganti
kewarganegaraan (pasal 26). Setiap warga negara juga bebas pindah tempat
tinggal, meninggalkan atau kembali ke negeri asalnya (pasal 27).
Keamanan dan rasa nyaman juga dimasukkan sebagai hak-hak dasar individu dan
kolektif. Hak rasa aman dimulai dari perlindungan diri secara fisik dan psikis.
Perlindungan rasa aman secara fisik dan psikis dapat dilihat dari tindakan
tekanan oleh orang lain melalui penyiksaan atau penghilangan nyawa (pasal 33); dan
penangkapan tanpa alasan yang jelas (pasal 34). Hak individu dan kelompok (keluarga) juga dijelaskan pada
bagian tempat atau wilayah terkecil kecil mulai sepeti keluarga hingga negara
dan dunia yang dilakukan dalam bentuk suaka politik (pasal 28). Sedang
perlindungan keluarga (pasal 29) mencakup hak milik dan pekarangan rumah (pasal
31). Rasa aman juga diberikan ketika berbuat atau tidak berbuat sesuatu (pasal
30). Bahkan setiap orang dilindungi oleh hukum untuk berkomunikasi baik melalui
jaringan elektronik atau surat-menyurat (pasal 32). Perlindungan rasa aman ini
dimaksudkan untuk memberikan ketenteraman dan kedamaian dalam hidup sesuai
dengan kodratnya (pasal 35).
Jaminan HAM juga diberikan dlam perlindungan individu untuk merasakan hidup
sejahtera. Kesejahteraan dalam perspektif UU HAM mencakup material dan
non-material. Dalam hal material, misalnya, individu mendapat perlindungan
dalam hak milik (pasal 36 dan 37); berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan
(pasal 38); serta tinggal di tempat yang layak (pasal 40). Kesejahteraan
non-material juga diberikan dalam hal jaminan sosial untuk hidup layak (pasal
41 dan 42).
Di samping jaminan rasa aman dan sejahtera, negara juga memberikan hak
untuk turut serta dalam pemerintahan, baik melalui jalur politik atau karir
pekerjaan. Oleh karena itu, setiap orang berhak untuk memilih atau dipilih
sehingga bisa terlibat dalam pemerintahan (pasal 43); di samping mengawasi proses
jalannya pemerintahan (pasal 44).
Bagian penting yang perlu dicatat dalam UU HAM adalah masuknya hak wanita
dan anak. Hal ini tentu, tidak lain, karena wanita dan anak-anak biasanya
rentan atas perlakuan diskriminatif atau tindakan semena-mena, baik dalam
lingkungan keluarga atau masyarakat secara umum. Sedang hak wanita yang
ditekankan dalam UU ini adalah hak untuk
terlibat dalam politik (pasal 46); hak mendapatkan kewarganegaraan (pasal 47);
serta pendidikan dan pengajaran ((pasal 48). Perlindungan terhadap wanita juga diperjelas ketika mereka melakukan
perbuatan hukum (pasal 50). Bahkan wanita (istri) memiliki hak yang sama dengan
suaminya terhadap harta dan anak (pasal 51).
Posisi anak dalam UU ditempatkan secara jelas, baik dalam tanggungan orang
tua maupun masyarakat. UU menjelaskan bahwa perlindungan terhadap anak dimulai
ketika masih dalam kandungan hingga kelahirannya (pasal 52 dan 53). Anak secara
alamiah lebih dekat dengan orang tuanya, maka ia berhak mengetahui orang tuanya
dan dapat bersatu dengannya sebagai pengasuh utamanya (pasal 56 dan 59),
kecuali bila tidak mampu maka hak pengasuhan bisa dilakukan oleh wali atau
orang tua angkat (pasal 57 dan 58). Anak pun dijamin bebas untuk bergaul atau
bermain dengan teman sebayanya (pasal 61); mendapatkan perlindungan kesehatan
dan jaminan sosial (pasal 62) dan tidak dilibatkan dalam peperangan atau
tindakan kekerasan (pasal 63). Begitupun dalam hal
perbuatan hukum dan tindakan hukum (pasal 66). Bahkan anak tidak diperkenankan
dipekerjakan atau disiksa untuk kepentingan ekonomi seperti bekerja bukan pada
tingkat kemampuannya. Anak juga dilindungi dari tindakan pelecehan seksual atau
perdagangan anak (pasal 64 dan 65). Ia pun diberikan keleluasaan untuk menjalankan ajaran agamanya dan mendapatkan
perawatan secara khusus (pasal 54 dan 55). Untuk mengembangkan dirinya, anak
berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran serta informasi yang dibutuhkan
sesuai dengan perkembangannya (pasal 60).
Di samping hak-hak yang harus dijaga, UU juga memberikan porsi kewajiban
kepada setiap warga negara untuk menjalankan hak-hak asasi manusia ini tanpa pengecualian
(pasal 67, 68 dan 69). Dengan demikian, hak-hak ini juga bisa dilaksanakan
secara proporsional yaitu memberikan keamanan dan kedamaian secara kolektif
(pasal 70). Oleh karena itu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga dan
menegakkan hak-hak ini melalui jalur politik, hukum, ekonomi sosial, budaya, ketahanan
dan keamanan, dan lain-lain.
F. Komnas HAM dan UU no. 39/1999
Perlindungan HAM berkait erat dengan perlindungan hukum bagi rakyat karena
pada dasarnya perlindungan hukum merupakan satu langkah konkret untuk
menguatkan HAM dalam hukum positif. Namun, perlindungan HAM tidak cukup dengan
dibuatnya hukum normatif, tetapi juga harus didukung dengan instrumen
kelembagaan. Oleh karena itu, selain lembaga peradilan HAM, diperlukan juga
lembaga atau komisi khusus yang menangani masalah HAM. Mengapa demikian? HAM
merupakan aspek yang sangat fundamental dalam melindungi individu. Oleh karena
itu, pada tahun 1993 didirikan satu lembaga yang diberi kewenangan untuk
melakukan penegakan HAM yang diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM). Komisi ini didirikan melalui Keputusan Presiden no. 50
tahun 1993, tanggal 7 Juni 1993.
Sejak berdirinya, lembaga ini telah banyak menerima pengaduan dari
masyarakat yang merasa hak-hak asasinya dilanggar. Pengaduan yang diterima
Komnas HAM dari tahun ke tahun selalu menunjukkan peningkatan. Hal ini, selain
pertanda bahwa lembaga ini menjadi tumpuan banyak pihak, dapat menjadi bukti
bahwa kondisi HAM di Indonesia masih memprihatinkan. Tidak semua kasus yang
masuk ke Komnas HAM masuk kategori pelanggaran HAM, tetapi kasus itu dapat
diselesaikan oleh lembaga tertentu yang berwenang. Sedang untuk kasus HAM,
Komnas HAM melanjutkannya melalui prosedur sebagai berikut:[ix]
1.
Untuk kasus HAM yang tidak dapat dibuktikan, Komnas HAM akan menghentikan
investigasi dan berkasnya ditutup;
2.
Untuk kasus HAM yang belum dapat dibuktikan, Komnas HAM akan
menindaklanjuti penuh. Jika perlu, melalui investigasi
tertulis. Jika tidak ada tanggapan dari responden sebanyak 3 kali, maka Komnas
HAM akan memanggil lagi. Jika tanggapan diterima responden, tidak perlu memanggil.
Setelah itu, akan dilakukan analisa dan jika analisa telah selesai, Komnas akan
melakukan langkah-langkah alternatif: berkas ditutup, rekomendasi, dan mediasi.
3.
Untuk kasus HAM yang dapat dibuktikan kebenarannya, Komnas HAM akan
memberikan rekomendasi dan selanjutnya dapat dilakukan upaya mediasi.
Untuk memahami struktur dan ruang lingkup tugas Komnas HAM telah diuraikan
secara rinci dalam UU no. 39/1999 tentang HAM. Pasal-pasal itu dimulai dari pasal 75 sampai pasal 99. Secara singkat
disini akan dijelaskan bagaimana tugas dan peran Komnas HAM di Indonesia.
1. Tujuan Komnas HAM
Penegakkan HAM di Indonesia berlandaskan pada Pancasila,
UUD 1945 dan Deklarasi HAM PBB 1948. Landasan penegakan HAM ini sebagai upaya
untuk melindungi HAM masyarakat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berdirinya Komnas HAM bukan saja sebagai upaya untuk memperkuat tegaknya HAM
bagi masyarakat, tetapi ia juga berdiri sebagai perkembangan baru masyarakat
modern dunia sebagai salah satu syarat anggota
PBB. Artinya, setiap anggota PBB harus memiliki komisi yang menangani secara
khusus masalah HAM. Dalam rangka mencapai tugas dan tujuannya, Komnas HAM
memiliki beberapa kategori kegiatan antara lain: pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM.
Untuk membedakan kasus HAM dan bukan HAM, Komnas HAM
telah membuat klasifikasi berdasarkan UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Informasi
dan Dokumentasi HAM. Ada 10 klasifikasi hak asasi yang terdapat dalam dua
instrumen di atass, yaitu:
a.
Hak untuk
hidup;
b.
Hak berkeluarga
dan melanjutkan keturunan;
c.
Hak
mengembangkan diri;
d.
Hak
memperoleh keadilan;
e.
Hak atas
kebebasan pribadi;
f.
Hak atas
rasa aman;
g.
Hak atas
kesejahteraan;
h.
Hak turut serta dalam pemerintahan;
i.
Hak
wanita; dan
j.
Hak anak.
2. Struktur Organisasi, Anggota, dan Kegiatan
Anggota
Komnas HAM berasal dari tokoh masyarakat yang profesional dan berdedikasi
tinggi. Jumlah anggota Komnas HAM terdiri dari 35 orang dipilih oleh DPR RI dan
ditetapkan oleh Presiden RI: terdiri dari seorang ketua dan dua orang wakil
ketua yang dipilih oleh anggota. Keanggotaan Komnas HAM berlaku selama 5 tahun
dan dapat dipilih kembali hanya untuk
satu kali masa jabatan. Lembaga ini berada di ibukota negara dan daerah-daerah
di Indonesia dan dilengkapi oleh Sekretariat Jenderal. Dalam melakukan
tugasnya, Komnas HAM mengadakan sidang paripurna dan sub-komisi.
Sidang
paripurna memegang kekuasan tertinggi, oleh sebab itu dalam sidang ini harus
dihadiri oleh seluruh anggota Komnas HAM. Tugas-tugas sidang paripurna antara
lain menetapkan Peraturan Tata Tertib, Program Kerja, dan Mekanisme Kerja Komnas
HAM. Sedang kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh sub-komisi. Gabungan negara dan
masyarakat dalam struktur Komnas HAM terlihat pada Sekretariat Jenderal, dimana
ia dijabat oleh pegawai negeri, kedudukan, dan tugasnya ditetapkan oleh Keppres.
Sekretaris Jenderal ditetapkan oleh Sidang Paripurna.
3. Peran Komnas HAM
Sejah berdirinya Komnas HAM hingga saat ini, banyak menangani kasus-kasus
pelanggaran HAM besar seperti kasus kerusuhan 13-14 Mei tahun 1998, disamping
beberapa kasus sosial lainnya seperti penggusuran, pelanggaran HAM terhadap
buruh TKI, perempuan dan lain sebagainya. Untuk melihat peran komnas HAM di sini
akan diuraikan sekilas satu kasus besar yang ditangani oleh Komnas HAM
Indonesia.[x]
4. Contoh Penanganan Kasus Pelanggaran HAM (Ahmadiyah)
Salah satu peran penting Komnas HAM dalam menangani kasus-kasus pelanggaran
HAM berat yang terjadi di beberapa daerah adalah masalah Ahmadiyah. Kasus
Ahmadiyah mendapat sorotan serius dari Komnas HAM, karena dalam kasus ini
terdapat pelanggaran HAM. Masalah pelanggaran HAM dalam kasus Ahmadiyah adalah:
a.
Pelanggaran hak hidup;
b.
Hak memiliki harta dan hak beragama.
Pelanggaran HAM dalam hak hidup, harta milik, dan beragama terlihat dalam peristiwa
penyerangan segerombolan orang terhadap jemaah Ahmadiyah di Kampus Mubarak
Parung, Bogor, 5 desa di Kabupaten Cianjur, warga jemaah Ahmadiyah yang
bermukim di dusun Ketapang, desa Gegerung, Lombok Barat, sejumlah rumah anggota
jemaah Ahmadiyah di Praya Lombok. Terjadi tindakan pengusiran terhadap warga jemaah
Ahmadiyah di Bulukumba, Jeneponto, dan Gowa, Sulawesi Selatan oleh kelompok
masyarakat setempat yang tidak sealiran dengan Ahmadiyah.
Dalam menindaklanjuti peristiwa ini, Komnas HAM membentuk dan mengirim Tim Pemantau
Kasus Ahmadiyah, dan kemudian Tim itu menurunkan anggotanya ke lapangan untuk
melakukan pemantauan. Tim ini memiliki mandat untuk menyelidiki berbagai
peristiwa tersebut dan mengidentifikasi tindak kekerasan serta mengidentifikasi
ada atau tidaknya pelanggaran HAM di dalam peristiwa tersebut. Tim menjalankan
kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM berdasarkan UU No.39 Tahun 1999
tentang HAM, Pasal 89 ayat (3), junto Pasal 75, 76, dan Pasal 80 ayat (1).
Hal-hal yang dilakukan Komnas HAM antara lain:
1.
Mendengar kesaksian sebanyak 210 orang terdiri dari: (A) Saksi korban di
Lombok Barat sebanyak 82 orang; (B) Saksi aktivis organisasi non-pemerintah
sebanyak 15 orang; (C) Saksi anggota MUI sebanyak 41 orang;
2.
Mendengar keterangan kesaksian dari 54 orang aparat anggota Polisi, Satpam,
tentara;
3.
Mendengar keterangan aparat birokrasi sebanyak 18 orang;
4.
Mengidentifikasi, mencatat, dan membuat foto tempat kejadian perkara;
5.
Mengumpulkan data sekunder berupa dokumen, buku, kliping koran yang
berkaitan dengan peristiwa.
Berbagai kesimpulan dari pelaksanaan tugas dan mandat itu dipaparkan di
laporan yang diberikan kepada Sidang Paripurna Komnas HAM. Dalam mengambil keputusan hukumnya, Komnas HAM
menggunakan undang-undang (Pasal 28 J UUD 1945; Pasal 73 UU No. 39/1999; Pasal
12 (3), Pasal 18 (3), Pasal 22 (2) UU No.12/ 2005 dan ICCPR. Dalam kasus Ahmadiyah di Parung, Komnas HAM melihat bahwa telah terjadi
pelanggaran pada:
1.
Hak atas milik pribadi;
2.
Hak atas kebebasan: (a). berserikat/ berorganisasi; (b). berkumpul; (c). mengejawantahkan
keyakinan keagamaan; (d). bertempat tinggal dan bergerak;
3.
Hak untuk tidak dianiaya;
4.
Hak atas rasa aman, dan hak atas perlindungan;
5.
Hak atas kepastian hukum;
6.
Hak hidup [dalam peristiwa Ketapang].
Adapun pasal-pasal yang berkaitan dan terlanggar oleh tindakan/perbuatan
individu adalah:
1.
Pasal 55 (1) & (2) KUHP tentang pelaku yang menyuruh melakukan, yang
turut serta melakukan dan penganjuran;
2.
Pasal 216 tentang sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat berdasarkan tugasnya;
3.
Pasal 335 (1) & (2) tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang;
Adapun tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh masa, berkaitan dan
sekaligus bertentangan dengan pasal-pasal sebagai berikut:
1.
Pasal 55 (1) & (2) KUHP tentang pelaku yang menyuruh melakukan, yang
turut serta melakukan, dan penganjuran;
2.
Pasal 167 (1), (2), & (3) tentang kejahatan terhadap ketertiban umum,
masuk rumah, ruangan, atau pekarangan dengan melawan hukum;
3.
Pasal 310 tentang kejahatan penghinaan, yaitu tindakan/perbuatan kejahatan
tentang penghinaan.
4.
Pasal 335 (1) & (2) tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang;
5.
Pasal 351 tentang perbuatan yang mengakibatkan luka-luka;
6.
Pasal 353 tentang apabila perbuatan tersebut direncanakan;
7.
Pasal 356 (1) tentang penganiayaan terhadap petugas/pejabat ketika
menjalankan tugas dan 8) Pasal 358 tentang sengaja turut serta dalam
penyerangan.
G. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Untuk menghubungkan HAM dan negara konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie
menyatakan bahwa: “Adanya perlindungan konstitusional terhadap HAM dengan
jaminan hukum bagi tuntutan penegakkannya melalui proses yang adil.
Perlindungan terhadap HAM tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap HAM sebagai ciri penting
suatu negara hukum yang demokratis. Setiap manusia -sejak kelahirannya- menyandang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara
dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi
arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Oleh karena itu,
adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu
merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai negara
hukum. Jika dalam suatu negara, HAM terabaikan atau dilanggar dengan sengaja
dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara
yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang
sesungguhnya.“[xi]
H. UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
UU no. 26 tahun 2000 terdiri dari 10 bab dan 51 pasal. Tiap-tiap pasal
menjelaskan pengertian tentang pelanggaran HAM berat, posisi Komnas HAM, Jaksa
Agung dan proses pengadilan HAM dalam pemeriksaan perkara. Keterlibatan Komnas
HAM dan hakim ad hoc dalam perkara HAM berat menunjukkan bahwa masalah HAM telah
menjadi bagian penting dari kehidupan manusia khususnya masyarakat Indonesia.
Hal ini menjadi indikasi dari sebuah pilar negara demokrasi, di mana
penghormatan terhadap HAM menjadi bagian penting masyarakat. Pengadilan HAM
ditetapkan sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan secara khusus dalam
penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus HAM besar. Namun demikian, pengadilan
ini tetap berada di lingkungan pengadilan umum yang diperlakukan secara khusus.
Ada beberapa hal yang menjadi bagian dari pengadilan HAM:
1.
Lingkup kewenangan pengadilan HAM terbatas pada kasus-kasus pelanggaran HAM
yang berat (pasal 4), yang meliputi kejahatan genosida (pemusnahan etnis, bangsa,
atau kelompok agama) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 7 dan 8).
Unsur-unsur kejahatan ini meliputi: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pengusiran secara paksa, perampasan segala hak yang melekat manusia,
penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan secara paksa, dan kejahatan apartheid
(pasal 9).
2. Acara peradilan
HAM dilakukan mengikuti aturan yang diterapkan oleh pengadilan umum ditambah
dengan keterlibatan Komnas HAM. Dalam hal penangkapan dan penahanan misalnya,
Jaksa Agung memiliki kewenangan hukum bekerja sama dengan hakim pengadilan HAM
(pasal 11 dan 12). Prosedur penahanan mereka yang diduga terlibat dalam
pelanggaran HAM dimulai sejak satu hari hingga 90 hari atau lebih sesuai dengan
kebutuhan penyidikan (pasal 13, 14, 15, 16 dan 17). Penyelidikan kasus
pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM melalui tim ad hoc. Tim ini
terdiri dari anggota Komnas HAM dan unsur masyarakat (pasal 18).
Dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM berwenang melakukan penyelidikan,
memanggil korban, saksi dan pelaku, serta semua pihak yang bisa dimintai keterangan
mengenai kejadian perkara (pasal 19). Yang menarik dari masalah ini adalah
menempatkan Komnas HAM sebagai penyelidik, sedang dalam hal penyidikan
kewenangan ini sepenuhnya berada pada Jaksa Agung (pasal 12 20, 21 dan 22). Namun Jaksa Agung dapat
mengangkat penyidik ad hoc yang
terdiri dari unsur pemerintah atau masyarakat. Oleh karena itu, Komnas HAM
bertugas memberikan data secara lengkap melalui penyelidikan secara menyeluruh.
Sebagaimana dalam penyidikan, penuntutan perkara juga dilakukan oleh Jaksa
Agung atau mereka yang diangkat sebagai penuntut umum ad hoc yang direkrut dari unsur masyarakat dan atau pemerintah
(pasal 23).
Posisi dan peran Jaksa Agung dan Komnas HAM saling melengkapi dan seimbang
ketika perkara yang diselesaikan masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan. Artinya, suatu waktu Komnas HAM dapat meminta keterangan
perkembangan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Agung. Dan ketika penuntutan
dan pembuktian perkara sudah memenuhi syarat, maka perkara pelanggaran HAM
berat dilakukan oleh pengadilan HAM yang terdiri dari 5 orang, 2 orang hakim
pada pengadilan HAM dan 3 orang hakim ad
hoc. Keberadaan hakim ad hoc
diangkat oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung (pasal 27 dan 28). Hakim ad hoc ini berjumlah minimal 12 orang
dan bertugas selama 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa
jabatan. Pelanggaran HAM berat sebelum ditetapkan UU ini diperiksa dan diputus
oleh pengadilan HAM ad hoc yang
dibentuk atas usulan DPR berdasarkan Keppres.
Di samping ketentuan mengenai tugas Komnas HAM dalam hal penyelidikan kasus
perkara, korban, dan saksi mendapat perlindungan dari negara. Perlindungan ini
dilakukan oleh penegak hukum dan aparat keamanan dari segala gangguan, terror dan
kekerasan dari pihak manapun (pasal 34). Selanjutnya korban pelanggaran HAM dan
atau ahli warisnya berhak mendapatkan ganti rugi, pengembalian, dan pemulihan dari
segala kerugian yang diderita. Ketentuan ini selanjutnya diatur dalam Peraturan
Pemerintah (pasal 35).
Hukuman pelanggar HAM berat dalam UU ini dihukum sesuai dengan perbuatannya
mulai dari hukuman penjara 5 tahun, 25 tahun, seumur hidup, dan hukuman mati
(pasal 36, 37, 38, 39, 40 dan 41). Ketentuan hukuman ini juga berlaku bagi
sipil dan militer. Dalam mana kasus melibatkan militer, maka pelaku dan
komandan dapat diminta pertanggungjawabannya sesuai dengan tindakan yang
diperbuat (pasal 42). Aturan pengadilan HAM secara terperinci dan tersendiri
ini menunjukkan bahwa masalah HAM telah menjadi bagian penting
perundang-undangan RI.
[i]C.F. Strong, Modern Political
Constitutions: an Introduction to the Comparative Study of Their History and
Existing Form [Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah
dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia] (London: The English Book Society and
Sidgwick & Jackson Limited, 1966) h. 11.
[ii]Strong, Modern Political
Constitutions, h. 13.
[iii]Abdul
Latief, “Demokratisasi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum,”
dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: PUSHAM UII,
2007) 123.
[iv]Sri
Hastuti Puspitasari, “Perlindungan HAM dalam Struktur Ketatanegaraan Republik
Indonesia,“ dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2007) h. 150.
[v]Risalah
Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Edisi III, Sekneg RI,
1995, hal. 212-213. Alasan utama Soepomo adalah HAM mengutamakan kepentingan
individu dibanding kolektif (kekeluargaan).
[xi]Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta:
Sekjen Mahkamah Konstitusi RI), h. 159-160.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar