Selasa, 31 Maret 2015

PENEGAKAN HAM DALAM PERUNDANGAN DI INDONESIA

Pengantar
Perundang-undangan HAM merupakan seperangkat aturan yang digunakan sebagai tolok ukur perlindungan HAM bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Peraturan ini muncul sebagai respon atas kebutuhan sosial politik masyarakat, system demokrasi suatu negara, hubungan internasional (PBB) dan kesadaran masyarakat. Pada pembahasan ini mahasiswa akan mempelajari pengertian HAM dalam sIstem hukum Republik Indonesia, latar belakang dimasukkannya HAM dalam konstitusi RI, perangkat aturan perundang-undangan perlindungan HAM, mekanisme penyelesaian kasus-kasus HAM melalui lembaga pengadilan HAM, Komnas HAM dan Jaksa Agung. 
 Perlindungan HAM bagi masyarakat Indonesia telah ditetapkan secara tegas dalam UUD 1945 dan beberapa perundang-undangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap warga negara berhak diperlakukan sama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia dan dijamin dalam aturan yang jelas.
 Kebebasan HAM bagi setiap individu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Oleh karena itu, masalah HAM harus memperhatikan hak-hak yang melekat pada warga negara.  Dengan demikian, terdapat dua sisi masalah HAM: (a). HAM yang berkaitan dengan negara (vertikal); dan (b). HAM yang berkaitan dengan sesama warga negara (horizontal).

Nilai-nilai HAM di Indonesia disamping mengadopsi DUHAM PBB 1948 dan masalah ekonomi, sosial, dan budaya tahun 1966 juga berpegang pada nilai-nilai agama dan gotong royong, seperti dijelaskan dalam Pancasila. 


A. Pendahuluan
Salah satu bentuk negara demokrasi adalah pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM. Untuk menciptakan negara yang mampu menerapkan HAM diperlukan sebuah perangkat hukum yang dapat melindungi dan terlaksananya HAM di suatu negara. Jaminan HAM diletakkan pada aturan hukum dan menjadi bagian keharusan sebuah negara demokrasi, yaitu negara bertugas melindungi warganya dari segala tindakan sewenang-wenang aparatur pemerintah dan sesama warga negara. Ketentutan hukum itu harus memiliki kekuatan hukum yang dibuat oleh institusi negara yang sah, yaitu legislatif (DPR). Menurut C.F. Strong, “Lembaga legislatif adalah kekuasaan pemerintah yang mengurusi pembuatan hukum, sejauh pembuatan hukum tersebut memerlukan undang-undang.”[i] Artinya pembuatan hukum selalu dilakukan sebelum pelaksanaan hukum tersebut. Dengan demikian, terdapat hubungan yang sangat erat antara lembaga legislatif yang membuat aturan hukum dan lembaga eksekutif yang melaksanakan aturan itu. Namun demikian kedua Lembaga Negara ini memerlukan kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang akan mengontrol kekuasaannya. Sebab itu pengadilan harus menempatkan hukum (UU) sebagai kekuatan utama (standar kebenaran dan keadilan) dibandingkan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kekuasaan yudikatif (kehakiman/pengadilan) berkuasa memberikan hukuman terhadap siapa saja yang melanggar aturan, termasuk HAM sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku. Paradigma demokrasi menegaskan bahwa seluruh kekuasaan para pejabat negara hanya turunan dari hak-hak asasi manusia warganya, karenanya harus diterima sebagai sesuatu yang bersifat terbatas dalam aturan konstitusi.
Ketentuan undang-undang yang berlaku harus mengandung ketentuan-ketentuan kelaziman sebagai sebuah jaminan bagi persamaan hak dan kepastian hukum terhadap semua warga negara. Oleh karena itu, pengertian perundang-undangan dalam hal ini adalah “Ketentuan yang mengatur tingkah laku bagi pencari keadilan dalam arti sebagai larangan dan perintah.”[ii] Bila dikaitkan dengan ketentuan HAM dalam aturan perundangan Indonesia maka ia berperan sebagai dasar pelaksanaan kekuasaan sebagai akibat kelaziman proses pembentukan norma berdasarkan undang-undang. Untuk itu perlu dibuat pembatasan terhadap tindakan-tindakan insidentil dan sewenang-wenang dalam kehidupan dan hak milik warga negara.[iii] Dengan demikian, dalam pelaksanaan HAM diperlukan asas legalitas, yaitu setiap pelaksanaan pemerintahan harus berlandaskan undang-undang secara formil dan tidak hanya tercantum dalam UUD 1945.
Wilayah HAM bisa dibagi kepada dua hal: horizontal dan vertikal. Horizontal berarti HAM yang berkaitan dengan hubungan hukum antarwarga negara, sedang vertikal yaitu antara pemerintah dan warga negara. Ketika HAM diberlakukan sebagai standar perlindungan dan penghormatan terhadap manusia maka diperlukan suatu standar dan acuan pelaksanaannya yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan umum yang dikelola oleh pemerintah dengan mempertimbangkan hak-hak warga negara dan kehidupan bersama. Karena itu hukum (UU) diperlukan sebagai perangkat utama untuk menjadi patokan kebebasan dan hukuman terhadap setiap individu. Secara yuridis pengaruh horizontal dari HAM memberikan jaminan-jaminan dan perlindungan warga negara dalam perkembangan dan aktualisasi dirinya  dalam kehidupan masyarakat. Artinya, kebebasan yang berlandaskan HAM mempunyai tujuan dan akibat bahwa setiap individu mendapatkan dirinya dalam batasan HAM ketika ia sendiri ingin melaksanakan hak-haknya.
Adanya polarisasi HAM yang terbagi ke dalam dua bagian ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran masalah HAM dibanding masa lalu, di mana masalah HAM lebih menonjolkan hubungan warga negara dan pemerintah (vertikal). Namun sekarang, karena kasus HAM dapat dilakukan oleh siapa saja maka perlindungan HAM diberikan pada individu yang berdiri sendiri dan independen. Oleh karena itu, unsur HAM sejak 1966 mencakup segala aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, dan budaya.
Secara empiris, gerakan HAM yang muncul sepanjang sejarah selalu mengalami perubahan substansial. Sebagai contoh banyak literatur yang mendiskusikan HAM bahwa gerakan HAM generasi pertama yang bernuansa individualistis berdasarkan pada hak sipil dan hak politik sebagaimana terdapat dalam DUHAM PBB tahun 1948. Nuansa individualistik muncul  karena substansi HAM dirumuskan dan disusun oleh negara-negara yang menang dalam Perang Dunia II. Gelombang gerakan HAM generasi kedua muncul seiring tuntutan hak sosial, ekonomi dan budaya sebagai bagian dari HAM yang umum. Gelombang kedua ini ditandai dengan ditandatanganinya kovenan hak sosial, ekonomi, dan budaya tahun 1966. Gelombang ketiga muncul seiring menguatnya tuntutan negara-negara berkembang agar dapat memperoleh kesempatan yang sama sebagai bagian bangsa-bangsa di dunia. Gelombang ketiga ini ditenggarai dengan munculnya hak-hak kolektif dan hak pembangunan pada tahun 1986.[iv]
Bagaimana aturan HAM yang berlaku di Indonesia? Sebelum kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden tahun 1959, ketentuan HAM RI dijelaskan dalam konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) 1949. Konstitusi ini terdiri dari VI bab dan 197 pasal. Pasal-pasal tentang HAM terdapat pada Bab I bagian 5 tentang Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia, semuanya 26 pasal dengan rumusan yang cukup mendetail. Dalam pasal-pasalnya terutama dari pasal 7 hingga pasal 33, masalah HAM mencakup hak-hak individu dan kolektif sebagai warga negara dalam kehidupan social, politik, ekonomi dan budaya. Dalam hal politik misalnya, negara menjamin kebebasan berpendapat dan berserikat. Individu bebas untuk tidak disiksa, mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sedang dalam hal ekonomi, negara memberikan jaminan pekerjaan dan kehidupan kepada setiap warga negara. Dalam hal pengembangan diri, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak.
Ketika terjadi perubahan konstitusi sementara RIS menjadi UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) RI 1950, permasalahan HAM tidak mendapatkan perubahan yang berarti. Artinya perlindungan HAM mencakup kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pasal-pasal mengenai HAM pun banyak dijelaskan pada pasal 7 hingga pasal 31. Dalam pasal-pasal tersebut hak individu mendapat perhatian penting untuk dilindungi dari pelanggaran penguasa (negara) dan antara warga negara.

B. HAM dalam Tata Hukum Indonesia
Sebelum mendiskusikan HAM dalam konteks tata hukum Indonesia, sekilas kita perlu mengetahui bagaimana konsep HAM dalam UUD 1945. Hal ini penting untuk diketahui, sehingga dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara rasionalitas HAM yang ada dalam UUD 1945 dan konsep-konsep HAM lainnya seperti yang dijelaskan pada DUHAM. Munculnya konsep HAM dalam tata hukum Indonesia dibahas secara serius oleh Soekarno, Soepomo, dan Hatta dalam sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945. Di forum ini gagasan dan konsep HAM UUD 1945 dimunculkan dengan  mengambil latar belakang konteks budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia. Yang menjadi perhatian utama nilai-nilai HAM keindonesiaan adalah kehidupan sosial yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong. Sedang HAM model Barat yang disoroti dalam diskusi saat itu adalah disinyalir lebih condong individualistik. Dalam sidang Panitia Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945 konsep Bill of Rights yang dikenal di Barat (Prancis dan Amerika) menjadi pembahasan utama. Salah satu perhatian peserta adalah HAM dengan latar belakang individualisme, atau perlindungan secara utuh pada kepentingan perorangan. Dengan alasan sejarah HAM Barat seperti itu, Soepomo menolak konsep HAM mengadopsi dari Barat, karena, menurutnya, berbeda dengan budaya Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Oleh karena itu, walaupun ia akhirnya menerima konsep HAM seperti hak menyampaikan pendapat, berserikat, dan berkumpul, namun menolak memasukkan HAM ke dalam UUD 1945 seperti model Barat.[v]
Ketidaksetujuan Soepomo bukan tidak ada alasan untuk konteks saat itu, karena Barat baginya tidak lain sebagai bagian dari kolonialisme. Untuk itu ia dan kawan-kawannya yang menolak HAM ala Barat, dipengaruhi juga oleh latar belakang budaya sekaligus konsep individualisme yang kemudian melahirkan konflik dan kolonialisme. Dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945, Soekarno dalam kesimpulannya sepakat bahwa konsep-konsep dasar HAM di Barat muncul dari semangat individualisme, liberalisme, dan kapitalisme yang bertentangan dengan budaya Indonesia. Namun ia berkeyakinan bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dan karenanya ia berkeyakinan ada konsep HAM yang sesuai dengan budaya Indonesia yaitu menurutnya HAM berkedaulatan rakyat (kekeluargaan) bukan indvidu. Untuk menyempurnakan gagasan HAM Soekarno, Mohammad Hatta menawarkan hak-hak dasar warga negara dimasukkan ke dalam UUD 1945, yaitu gotong royong dan usaha bersama bukan negara kekuasaan. Artinya, negara bisa berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya, karena itu perlu memberikan ruang supaya rakyat dilindungi dari kekuasaan negara yang tiranik. Kekhawatiran Hatta didasarkan pada beberapa praktik yang terjadi di beberapa negara, seperti Jerman, di mana otoritas negara yang berkedaulatan rakyat bisa digunakan untuk menindas rakyat. Untuk menjamin hak-hak rakyat sebagai individu, Hatta mengusulkan untuk memasukkan hak-hak warga dalam UUD 1945.[vi] Oleh karena itu, rumusan HAM dalam UUD 1945 yang kita kenal sekarang ini lahir dari hasil perdebatan rapat BPUPKI dan PPKI tahun 1945 yang cukup panjang bukan saja rumusan konsep, tetapi juga masuk wilayah ideologis, di mana perasaan anti penjajahan mewarnai konsep HAM UUD 1945.
            Perumusan HAM dalam UUD 1945 disamping dalam batang tubuh, yaitu dalam pasal-pasalnya, juga dikemukakan secara tegas dalam pembukaan UUD 1945. Pernyataan tegas pembukaan UUD 1945 dalam rangka melindungi HAM adalah antipenjajahan. HAM yang dijelaskan dalam pembukaan adalah membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan, karena penjajahan merupakan pelanggaran terhadap keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Bila dilihat dari isi, kandungan HAM dalam pembukaan UUD 1945 lebih bersifat umum dan atas nama bersama (nasionalisme), seperti dijelaskan bahwa negara melindungi tanah air dan penduduknya dari kepentingan asing. Di samping itu, negara juga bertugas untuk meningkatkan harkat martabat bangsa melalui pendidikan yang baik. Namun, uraian HAM yang nyata dan tegas terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen tahun  2002.

C. HAM dan UUD 1945
Pencantuman HAM dalam UUD 1945 dibagi kepada dua bagian: pertama, HAM dalam arti hak warga negara Indonesia yang dimiliki dan dilindungi negara secara khusus. Pengertian khusus di sini berkaitan dengan statusnya sebagai warga negara Indonesia. Dengan kata lain, hak itu hanya dimiliki oleh seseorang yang diakui secara sah oleh undang-undang. Kedua, HAM yang berkaitan dengan penjelasan secara rinci sesuai dengan nilai-nilai universal HAM, baik sebagai warga negara biasa atau bukan.

1. Hak warga negara
Hak-hak mendasar yang dimiliki warga negara Indonesia terbagi kepada beberapa bagian antara lain:
a.      Hak menjadi warga negara (pasal 26);
b.      Kesamaan hak dalam hukum, pekerjaan, ikut dalam bela negara dan hak berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik (berkumpul atau berserikat) (pasal 27, 28, dan 30);
c.      Kebebasan beragama (pasal 29);
d.     Mendapatkan pendidikan yang layak (pasal 32);
e.      Kesejahteraan sosial, anak yatim, kesehatan, dan pelayanan umum (pasal 34).

2. Hak Asasi Manusia
Ketentuan HAM yang lainnya memiliki kesamaan dengan DUHAM PBB di mana uraiannya bersifat umum. Penjelasan mengenai HAM dalam UUD 1945 sebenarnya diuraikan secara rinci di dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM. Sedang dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002, HAM dijelaskan dalam pasal 28A sampai 28J yang mencakup, antara lain:
a.      Hak hidup dan berkeluarga untuk mendapatkan keturunan;
b.      Bekerja dan mendapatkan pendidikan;
c.      Bebas beragama dan terlindung dari perbudakan;
d.     Berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik;
e.      Kesejahteraan sosial;
f.       Memiliki harta;


D. TAP MPR RI no. XVII/MPR/1998 tentang HAM
Penetapan HAM oleh MPR menunjukkan bahwa penghargaan negara terhadap hak-hak dasar manusia baik individu maupun kolektif sangat tinggi. Dasar utama HAM dalam ketetapan MPR dilihat dari dua sisi: pertama, perlindungan HAM diperlukan berdasarkan pada aspek manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak yang sama. Kedua, penjelasan dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak pelaksanaan HAM dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Landasan konstitusional Ketetapan (Tap) MPR ini adalah pasal-pasal UUD 1945, di antaranya yaitu: pasal 1, 2, 3, 18, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, dan pasal 34.
Ketetapan MPR mengenai HAM terdiri dari 7 pasal. Dalam ketetapan ini paling tidak ada tiga hal yang menjadi perhatian MPR: pertama, menegaskan bahwa setiap lembaga-lembaga tinggi negara dan aparaturnya berkewajiban untuk menghormati, menegakkan, dan mensosialisasikan pemahaman tentang HAM kepada masyarakat luas (pasal 1). HAM dalam kategori ini bisa diartikan sebagai bagian penting dari  institusi negara tanpa ada kecuali.
Kedua, HAM menjadi tugas penting lembaga eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) ikut meratifikasi dan membuat peraturan perundang-undangan tentang HAM (pasal 2). Ketiga, menegaskan peran Komisi Nasional (Komnas) HAM dalam rangka penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian, dan mediasi HAM bagi masyarakat. Ketentuan HAM dalam Tap MPR ini juga memberikan ruang penegakan HAM yang dilakukan oleh masyarakat atas dasar kesadaran tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Sistematika HAM yang diamanatkan TAP MPR RI no. XVII/ 1998 terdiri dari dua hal: pertama, pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM; kedua, piagam HAM. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM dibagi menjadi empat bagian: (1) Pendahuluan; (2) Landasan; (3) Sejarah, pendekatan, dan substansi; dan (4) Pemahaman HAM bagi bangsa Indonesia.
Di dalam bagian pendahuluan, HAM di samping sebagai nilai-nilai dasar kemanusiaan yang menjadi hak manusia baik secara individual maupun kolektif, ia juga harus mencerminkan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Artinya, HAM yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan pada nilai-nilai budaya dan tradisi keindonesiaan. Bahkan, harus ditekankan bahwa HAM bagi masyarakat Indonesia memadukan ajaran agama, nilai-nilai moral kemanusiaan dan ideologi negara, yaitu Pancasila. Kendati demikian, HAM yang berlaku di Indonesia juga merujuk pada DUHAM PBB 1948.
Pada bagian sejarah HAM Indonesia, TAP MPR bersumber pada beberapa peristiwa dan aturan hukum yang pernah berlaku, antara lain: pertama, Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908; Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928; Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945; rumusan HAM dalam UUD RIS dan UUDS 1950; Sidang Umum MPRS tahun 1966; terbentuknya komnas HAM melalui Keppres (Keputusan Presiden) no. 50 tahun 1993 dan terakhir TAP MPR RI no. XVII/ 1998.[vii]
HAM bagi manusia Indonesia didasarkan pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang maha Esa, dan oleh karena itu HAM bersifat asasi dan kodrati yang bersifat universal dan abadi. Karena bersifat universal, maka HAM itu sendiri tanpa dibatasi oleh perbedaan-perbedaan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa dan lain-lain, sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia.
Piagam HAM dalam TAP MPR, masalah HAM dirumuskan dalam 10  bab. Bab I dan II terdiri dari hak mendasar, yaitu: hak untuk hidup dan berkeluarga untuk melanjutkan keturunan. Hak untuk hidup artinya setiap orang memiliki hak untuk hidup, termasuk mempertahankan kehidupannya. Sedang hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan ditekankan dengan cara perkawinan yang sah. Artinya, melanjutkan keturunan yang dilakukan bukan dengan cara perkawinan yang sah tidak diakui oleh negara, walaupun itu bagian dari hak untuk hidup.
Bab III menjelaskan hak mengembangkan diri. Dalam pengembangan diri, hak dasar manusia Indonesia dimulai dari kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan (pasal 3) dan perlindungan kasih sayang serta mendapatkan pendidikan (pasal 4). Dalam hal pengembangan diri juga setiap orang berhak untuk mendapatkan dan menikmati hasil iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), seni, dan budaya (pasal 5) yang dapat dilakukan secara individu dan kolektif.
Bab IV berkaitan dengan hak keadilan. Hak dalam keadilan terdiri dari enam pasal. Keenam pasal dalam bab ini berkait erat dengan keadilan dalam perlakuan hukum dan proses hukuman; adil dalam mendapatkan upah kerja dan status kewarganegaraan. Keadilan juga mencakup kesamaan hak dalam kesempatan kerja dan dalam pemerintahan.
Dalam bab V hak kemerdekaan menjadi perhatian penting. Ketujuh pasal tentang kemerdekaan mencakup kemerdekaan untuk beragama dan menjalankan kepercayaannya (pasal 13); seperti halnya juga merdeka untuk berkumpul, berserikat serta menyampaikan isi hati nuraninya (pasal 14 dan 19). Kebebasan setiap warga negara juga diberikan untuk memilih pendidikan dan pengajaran (pasal 15); pekerjaan dan kewarganegaraan (pasal 16 dan 17). Bahkan setiap individu bebas untuk tinggal atau meninggalkan wilayah Indonesia atau kembali ke wilayah asalnya (pasal 18). 
Bab VI menjelaskan tentang hak atas kebebasan informasi, yaitu: terdiri dari hak untuk mendapatkan dan mencari informasi (pasal 21), termasuk menyampaikan informasi melalui saluran yang ada (pasal 22).
Dalam bab VII hak informasi dihubungkan dengan hak keamanan, seperti perlindungan dari rasa takut baik secara pribadi dan keluarga (pasal 22 dan 23). Di bagian lain, setiap individu juga dilindungi untuk mendapatkan suaka politik dan perlindungan dari penyiksaan (pasal 24 dan 25). Yang menarik dalam bab ini adalah setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pembelaan negara (pasal 26).
Bab VIII menguraikan hak kesejahteraan, di dalamnya terdapat tujuh pasal. Hak yang berkaitan dengan kesejahteraan dimulai dari hak untuk hidup sejahtera (pasal 27), lingkungan hidup yang baik dan sehat (pasal 28); dan mendapatkan tempat tinggal dan hidup layak (29). Jaminan hak kesejahteraan juga mencakup kemudahan dan perlakuan khusus seperti bagi anak-anak, orang tua dan penyandang cacat (pasal 30). Dalam hal ini negara juga menjamin bahwa setiap individu berhak atas jaminan sosial (pasal 31); di samping  hak milik pribadi dan perlindungannya dari tindakan sewenang-wenang pihak lain (pasal 32). Setiap orang juga berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak (pasal 33).
Hak perlindungan dan kemajuan juga dimasukkan pada Piagam HAM. Bagian perlindungan sebenarnya sebagai penegas atas jaminan atau perlindungan negara terhadap setiap individu ketika menjalankan hak-haknya untuk tidak diganggu atau dicabut oleh pihak lain. Dalam bagian ini, setiap orang mendapat perlindungan untuk menjalankan haknya seperti menyampaikan pendapat dan beragama, dan lain-lain (pasal 37). Bebas dari tindakan diskriminasi dan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan juga dilindungi negara (pasal 38 dan 39). Penjelasan penting dalam hak pemajuan dijelaskan dalam peran negara untuk melaksanakan tanggungjawabnya untuk melindungi, penegakan dan pemenuhan HAM (pasal 43).

E. UU NO. 39 TAHUN 1999 Tentang HAM

Keberadaan undang-undang tentang HAM merupakan jawaban atas amanat  MPR yang dicantumkan dalam ketetapan MPR no. XVII/1998, di mana lembaga-lembaga negara berkewajiban memberikan perlindungan HAM bagi setiap warga negara Indonesia. Karena itu beberapa bagian dari isi undang-undang ini mengandung kesamaan dengan Piagam HAM yang tercantum di dalam TAP MPR no. XVII/ 1998 ditambah dengan beberapa hal seperti tentang hak wanita dan anak. Di dalam UU ini masalah HAM diuraikan pada 106 pasal dari 11 bab. Bagian pertama UU HAM menjelaskan ketentuan umum berkaitan dengan konsep-konsep dan pengertian. Ada tujuh noktah yang dijelaskan dalam UU ini berhubungan dengan konsep dan pengertian, antara lain: pengertian HAM, kewajiban dasar manusia, diskriminasi, penyiksaan, anak, pelanggaran hak asasi manusia dan Komnas HAM. Ketujuh ketentuan umum ini merupakan bagian besar yang akan menjabarkan perlindungan HAM yang menjadi patokan undang-undang.
Bagian utama dari HAM dalam undang-undang ini adalah pengakuan akan HAM dalam segala aspeknya yang dilindungi langsung oleh negara Republik Indonesia (pasal 2). Hak-hak tersebut muncul karena adanya pengakuan bahwa setiap individu terlahir bebas sesuai dengan martabat kemanusiaan (pasal 3), sehingga perlu mendapat perlindungan dan pengakuan secara sama tanpa diskriminasi dalam menjalankan hak-haknya. Oleh karena itu, hak-hak dasar ini menyeluruh dalam kehidupan manusia seperti hak hidup, hak tidak disiksa, kebebasan berpendapat, mendapatkan persamaan di hadapan hukum termasuk dalam hal penuntutan yang tidak berlaku surut (pasal 4).[viii] Hak-hak individu juga diakui ketika mengajukan tuntutan (pasal 5) dan memerlukan bantuan hukum ketika berurusan dengan perbuatan hukum dalam kasus perdata dan pidana. Dalam kaitannya dengan hukum, individu diberikan hak menggunakan fasilitas hukum nasional dan forum internasional (pasal 7). Dengan demikian pemerintah bertanggung jawab melindungi warganya (pasal 8), termasuk masyarakat adat dan identitas budaya yang ada di Indonesia (pasal 6).
Seperti dalam Piagam HAM TAP MPR no. XVII/ 1998, kebebasan dasar manusia  dalam UU ini dibagi kepada beberapa hal:
1.      Hak untuk hidup. Pengertian hak hidup mencakup menjalankan kehidupan, ketenteraman hidup dan lingkungan hidup yang baik dan sehat (pasal 9).
2.      Hak hidup ini diperkuat dengan hak berkeluarga dan mendapatkan keturunan melalui perkawinan yang sah, tanpa ada paksaan dari pihak lain (pasal 10). Untuk mendapat pengakuan dan pencapaian yang sempurna, setiap individu juga diberikan hak untuk mengembangkan diri dalam hal pemenuhan kebutuhannya (pasal 11); pendidikan (pasal 12) dan mendapatkan peluang untuk menikmati iptek dan seni ((pasal 13); mendapatkan informasi (pasal 14); serta melakukan pekerjaan sosial (pasal 16).
Aspek keadilan yang dikembangkan dalam UU HAM memiliki dimensi yang sangat luas, namun yang menonjol adalah keadilan, yaitu UU menekankan pada perlakuan yang adil terhadap setiap individu ketika dalam pengajuan tuntutan hukum (pasal 17); dan ketika mengalami penuntutan atau tuntutan atas kasus yang dihadapi (pasal 18). Bahkan individu diberikan hak untuk mendapatkan hukuman yang lebih ringan atau menguntungkan dirinya. Perlindungan individu dari hukuman juga mencakup larangan merampas seluruh harta kekayaan yang bersalah, atau dipidana karena tidak mampu membayar hutang piutang (pasal 19).
Dalam hal kebebasan pribadi (individu), hak-hak mendasar dirumuskan kepada larangan perbudakan (pasal 20), jaminan jasmani dan rohani (pasal 21); beragama (pasal 22); berpolitik (pasal 23) dan melakukan serikat atau berorganisasi (pasal 24). Kebebasan pribadi juga dijamin ketika seseorang menyampaikan pendapatnya termasuk melakukan mogok (pasal 25) atau memiliki dan mengganti kewarganegaraan (pasal 26). Setiap warga negara juga bebas pindah tempat tinggal, meninggalkan atau kembali ke negeri asalnya (pasal 27).
Keamanan dan rasa nyaman juga dimasukkan sebagai hak-hak dasar individu dan kolektif. Hak rasa aman dimulai dari perlindungan diri secara fisik dan psikis. Perlindungan rasa aman secara fisik dan psikis dapat dilihat dari tindakan tekanan oleh orang lain melalui penyiksaan atau penghilangan nyawa (pasal 33); dan penangkapan tanpa alasan yang jelas (pasal 34). Hak individu  dan kelompok (keluarga) juga dijelaskan pada bagian tempat atau wilayah terkecil kecil mulai sepeti keluarga hingga negara dan dunia yang dilakukan dalam bentuk suaka politik (pasal 28). Sedang perlindungan keluarga (pasal 29) mencakup hak milik dan pekarangan rumah (pasal 31). Rasa aman juga diberikan ketika berbuat atau tidak berbuat sesuatu (pasal 30). Bahkan setiap orang dilindungi oleh hukum untuk berkomunikasi baik melalui jaringan elektronik atau surat-menyurat (pasal 32). Perlindungan rasa aman ini dimaksudkan untuk memberikan ketenteraman dan kedamaian dalam hidup sesuai dengan kodratnya (pasal 35).
Jaminan HAM juga diberikan dlam perlindungan individu untuk merasakan hidup sejahtera. Kesejahteraan dalam perspektif UU HAM mencakup material dan non-material. Dalam hal material, misalnya, individu mendapat perlindungan dalam hak milik (pasal 36 dan 37); berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan (pasal 38); serta tinggal di tempat yang layak (pasal 40). Kesejahteraan non-material juga diberikan dalam hal jaminan sosial untuk hidup layak (pasal 41 dan 42).
Di samping jaminan rasa aman dan sejahtera, negara juga memberikan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, baik melalui jalur politik atau karir pekerjaan. Oleh karena itu, setiap orang berhak untuk memilih atau dipilih sehingga bisa terlibat dalam pemerintahan (pasal 43); di samping mengawasi proses jalannya pemerintahan (pasal 44).
Bagian penting yang perlu dicatat dalam UU HAM adalah masuknya hak wanita dan anak. Hal ini tentu, tidak lain, karena wanita dan anak-anak biasanya rentan atas perlakuan diskriminatif atau tindakan semena-mena, baik dalam lingkungan keluarga atau masyarakat secara umum. Sedang hak wanita yang ditekankan dalam UU ini adalah hak  untuk terlibat dalam politik (pasal 46); hak mendapatkan kewarganegaraan (pasal 47); serta pendidikan dan pengajaran ((pasal 48). Perlindungan terhadap wanita juga diperjelas ketika mereka melakukan perbuatan hukum (pasal 50). Bahkan wanita (istri) memiliki hak yang sama dengan suaminya terhadap harta dan anak (pasal 51).
Posisi anak dalam UU ditempatkan secara jelas, baik dalam tanggungan orang tua maupun masyarakat. UU menjelaskan bahwa perlindungan terhadap anak dimulai ketika masih dalam kandungan hingga kelahirannya (pasal 52 dan 53). Anak secara alamiah lebih dekat dengan orang tuanya, maka ia berhak mengetahui orang tuanya dan dapat bersatu dengannya sebagai pengasuh utamanya (pasal 56 dan 59), kecuali bila tidak mampu maka hak pengasuhan bisa dilakukan oleh wali atau orang tua angkat (pasal 57 dan 58). Anak pun dijamin bebas untuk bergaul atau bermain dengan teman sebayanya (pasal 61); mendapatkan perlindungan kesehatan dan jaminan sosial (pasal 62) dan tidak dilibatkan dalam peperangan atau tindakan kekerasan (pasal 63). Begitupun dalam hal perbuatan hukum dan tindakan hukum (pasal 66). Bahkan anak tidak diperkenankan dipekerjakan atau disiksa untuk kepentingan ekonomi seperti bekerja bukan pada tingkat kemampuannya. Anak juga dilindungi dari tindakan pelecehan seksual atau perdagangan anak (pasal 64 dan 65). Ia pun diberikan keleluasaan untuk  menjalankan ajaran agamanya dan mendapatkan perawatan secara khusus (pasal 54 dan 55). Untuk mengembangkan dirinya, anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran serta informasi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangannya (pasal 60).
Di samping hak-hak yang harus dijaga, UU juga memberikan porsi kewajiban kepada setiap warga negara untuk menjalankan hak-hak asasi manusia ini tanpa pengecualian (pasal 67, 68 dan 69). Dengan demikian, hak-hak ini juga bisa dilaksanakan secara proporsional yaitu memberikan keamanan dan kedamaian secara kolektif (pasal 70). Oleh karena itu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga dan menegakkan hak-hak ini melalui jalur politik, hukum, ekonomi sosial, budaya, ketahanan dan keamanan, dan lain-lain.

 

F. Komnas HAM dan UU no. 39/1999

Perlindungan HAM berkait erat dengan perlindungan hukum bagi rakyat karena pada dasarnya perlindungan hukum merupakan satu langkah konkret untuk menguatkan HAM dalam hukum positif. Namun, perlindungan HAM tidak cukup dengan dibuatnya hukum normatif, tetapi juga harus didukung dengan instrumen kelembagaan. Oleh karena itu, selain lembaga peradilan HAM, diperlukan juga lembaga atau komisi khusus yang menangani masalah HAM. Mengapa demikian? HAM merupakan aspek yang sangat fundamental dalam melindungi individu. Oleh karena itu, pada tahun 1993 didirikan satu lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan penegakan HAM yang diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisi ini didirikan melalui Keputusan Presiden no. 50 tahun 1993, tanggal 7 Juni 1993.
Sejak berdirinya, lembaga ini telah banyak menerima pengaduan dari masyarakat yang merasa hak-hak asasinya dilanggar. Pengaduan yang diterima Komnas HAM dari tahun ke tahun selalu menunjukkan peningkatan. Hal ini, selain pertanda bahwa lembaga ini menjadi tumpuan banyak pihak, dapat menjadi bukti bahwa kondisi HAM di Indonesia masih memprihatinkan. Tidak semua kasus yang masuk ke Komnas HAM masuk kategori pelanggaran HAM, tetapi kasus itu dapat diselesaikan oleh lembaga tertentu yang berwenang. Sedang untuk kasus HAM, Komnas HAM melanjutkannya melalui prosedur sebagai berikut:[ix]
1.      Untuk kasus HAM yang tidak dapat dibuktikan, Komnas HAM akan menghentikan investigasi dan berkasnya ditutup;
2.      Untuk kasus HAM yang belum dapat dibuktikan, Komnas HAM akan menindaklanjuti penuh. Jika perlu, melalui investigasi tertulis. Jika tidak ada tanggapan dari responden sebanyak 3 kali, maka Komnas HAM akan memanggil lagi. Jika tanggapan diterima responden, tidak perlu memanggil. Setelah itu, akan dilakukan analisa dan jika analisa telah selesai, Komnas akan melakukan langkah-langkah alternatif: berkas ditutup, rekomendasi, dan mediasi.
3.      Untuk kasus HAM yang dapat dibuktikan kebenarannya, Komnas HAM akan memberikan rekomendasi dan selanjutnya dapat dilakukan upaya mediasi.
Untuk memahami struktur dan ruang lingkup tugas Komnas HAM telah diuraikan secara rinci dalam UU no. 39/1999 tentang HAM. Pasal-pasal itu dimulai dari pasal 75 sampai pasal 99. Secara singkat disini akan dijelaskan bagaimana tugas dan peran Komnas HAM di Indonesia.

1. Tujuan Komnas HAM
Penegakkan HAM di Indonesia berlandaskan pada Pancasila, UUD 1945 dan Deklarasi HAM PBB 1948. Landasan penegakan HAM ini sebagai upaya untuk melindungi HAM masyarakat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Berdirinya Komnas HAM bukan saja sebagai upaya untuk memperkuat tegaknya HAM bagi masyarakat, tetapi ia juga berdiri sebagai perkembangan baru masyarakat modern  dunia sebagai salah satu syarat anggota PBB. Artinya, setiap anggota PBB harus memiliki komisi yang menangani secara khusus masalah HAM. Dalam rangka mencapai tugas dan tujuannya, Komnas HAM memiliki beberapa kategori kegiatan antara lain: pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM.
Untuk membedakan kasus HAM dan bukan HAM, Komnas HAM telah membuat klasifikasi berdasarkan UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Informasi dan Dokumentasi HAM. Ada 10 klasifikasi hak asasi yang terdapat dalam dua instrumen di atass, yaitu:
a.      Hak untuk hidup;
b.      Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
c.      Hak mengembangkan diri;
d.     Hak memperoleh keadilan;
e.      Hak atas kebebasan pribadi;
f.       Hak atas rasa aman;
g.      Hak atas kesejahteraan;
h.     Hak turut serta dalam pemerintahan;
i.        Hak wanita; dan
j.        Hak anak.

2. Struktur Organisasi, Anggota, dan Kegiatan
Anggota Komnas HAM berasal dari tokoh masyarakat yang profesional dan berdedikasi tinggi. Jumlah anggota Komnas HAM terdiri dari 35 orang dipilih oleh DPR RI dan ditetapkan oleh Presiden RI: terdiri dari seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih oleh anggota. Keanggotaan Komnas HAM berlaku selama 5 tahun dan dapat dipilih  kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Lembaga ini berada di ibukota negara dan daerah-daerah di Indonesia dan dilengkapi oleh Sekretariat Jenderal. Dalam melakukan tugasnya, Komnas HAM mengadakan sidang paripurna dan sub-komisi.
Sidang paripurna memegang kekuasan tertinggi, oleh sebab itu dalam sidang ini harus dihadiri oleh seluruh anggota Komnas HAM. Tugas-tugas sidang paripurna antara lain menetapkan Peraturan Tata Tertib, Program Kerja, dan Mekanisme Kerja Komnas HAM. Sedang kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh sub-komisi. Gabungan negara dan masyarakat dalam struktur Komnas HAM terlihat pada Sekretariat Jenderal, dimana ia dijabat oleh pegawai negeri, kedudukan, dan tugasnya ditetapkan oleh Keppres. Sekretaris Jenderal ditetapkan oleh Sidang Paripurna.


3. Peran Komnas HAM
Sejah berdirinya Komnas HAM hingga saat ini, banyak menangani kasus-kasus pelanggaran HAM besar seperti kasus kerusuhan 13-14 Mei tahun 1998, disamping beberapa kasus sosial lainnya seperti penggusuran, pelanggaran HAM terhadap buruh TKI, perempuan dan lain sebagainya. Untuk melihat peran komnas HAM di sini akan diuraikan sekilas satu kasus besar yang ditangani oleh Komnas HAM Indonesia.[x]

4. Contoh Penanganan Kasus Pelanggaran HAM (Ahmadiyah)
Salah satu peran penting Komnas HAM dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di beberapa daerah adalah masalah Ahmadiyah. Kasus Ahmadiyah mendapat sorotan serius dari Komnas HAM, karena dalam kasus ini terdapat pelanggaran HAM. Masalah pelanggaran HAM dalam kasus Ahmadiyah adalah:
a.      Pelanggaran hak hidup;
b.      Hak memiliki harta dan hak beragama.
Pelanggaran HAM dalam hak hidup, harta milik, dan beragama terlihat dalam peristiwa penyerangan segerombolan orang terhadap jemaah Ahmadiyah di Kampus Mubarak Parung, Bogor, 5 desa di Kabupaten Cianjur, warga jemaah Ahmadiyah yang bermukim di dusun Ketapang, desa Gegerung, Lombok Barat, sejumlah rumah anggota jemaah Ahmadiyah di Praya Lombok. Terjadi tindakan pengusiran terhadap warga jemaah Ahmadiyah di Bulukumba, Jeneponto, dan Gowa, Sulawesi Selatan oleh kelompok masyarakat setempat yang tidak sealiran dengan Ahmadiyah.
Dalam menindaklanjuti peristiwa ini, Komnas HAM membentuk dan mengirim Tim Pemantau Kasus Ahmadiyah, dan kemudian Tim itu menurunkan anggotanya ke lapangan untuk melakukan pemantauan. Tim ini memiliki mandat untuk menyelidiki berbagai peristiwa tersebut dan mengidentifikasi tindak kekerasan serta mengidentifikasi ada atau tidaknya pelanggaran HAM di dalam peristiwa tersebut. Tim menjalankan kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 89 ayat (3), junto Pasal 75, 76, dan Pasal 80 ayat (1). Hal-hal yang dilakukan Komnas HAM antara lain:
1.      Mendengar kesaksian sebanyak 210 orang terdiri dari: (A) Saksi korban di Lombok Barat sebanyak 82 orang; (B) Saksi aktivis organisasi non-pemerintah sebanyak 15 orang; (C) Saksi anggota MUI sebanyak 41 orang;
2.      Mendengar keterangan kesaksian dari 54 orang aparat anggota Polisi, Satpam, tentara;
3.      Mendengar keterangan aparat birokrasi sebanyak 18 orang;
4.      Mengidentifikasi, mencatat, dan membuat foto tempat kejadian perkara;
5.      Mengumpulkan data sekunder berupa dokumen, buku, kliping koran yang berkaitan dengan peristiwa.
Berbagai kesimpulan dari pelaksanaan tugas dan mandat itu dipaparkan di laporan yang diberikan kepada Sidang Paripurna Komnas HAM. Dalam mengambil keputusan hukumnya, Komnas HAM menggunakan undang-undang (Pasal 28 J UUD 1945; Pasal 73 UU No. 39/1999; Pasal 12 (3), Pasal 18 (3), Pasal 22 (2) UU No.12/ 2005 dan ICCPR. Dalam kasus Ahmadiyah di Parung, Komnas HAM melihat bahwa telah terjadi pelanggaran pada:
1.      Hak atas milik pribadi;
2.      Hak atas kebebasan: (a). berserikat/ berorganisasi; (b). berkumpul; (c). mengejawantahkan keyakinan keagamaan; (d). bertempat tinggal dan bergerak;
3.      Hak untuk tidak dianiaya;
4.      Hak atas rasa aman, dan hak atas perlindungan;
5.      Hak atas kepastian hukum;
6.      Hak hidup [dalam peristiwa Ketapang].
Adapun pasal-pasal yang berkaitan dan terlanggar oleh tindakan/perbuatan individu adalah:
1.      Pasal 55 (1) & (2) KUHP tentang pelaku yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan dan penganjuran;
2.      Pasal 216 tentang sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat berdasarkan tugasnya;
3.      Pasal 335 (1) & (2) tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang;
Adapun tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh masa, berkaitan dan sekaligus bertentangan dengan pasal-pasal sebagai berikut:
1.      Pasal 55 (1) & (2) KUHP tentang pelaku yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, dan penganjuran;
2.      Pasal 167 (1), (2), & (3) tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, masuk rumah, ruangan, atau pekarangan dengan melawan hukum;
3.      Pasal 310 tentang kejahatan penghinaan, yaitu tindakan/perbuatan kejahatan tentang penghinaan.
4.      Pasal 335 (1) & (2) tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang;
5.      Pasal 351 tentang perbuatan yang mengakibatkan luka-luka;
6.      Pasal 353 tentang apabila perbuatan tersebut direncanakan;
7.      Pasal 356 (1) tentang penganiayaan terhadap petugas/pejabat ketika menjalankan tugas dan 8) Pasal 358 tentang sengaja turut serta dalam penyerangan.

G. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Untuk menghubungkan HAM dan negara konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa: “Adanya perlindungan konstitusional terhadap HAM dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakkannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap HAM tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap HAM sebagai ciri penting suatu negara hukum yang demokratis. Setiap manusia -sejak kelahirannya- menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Oleh karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai negara hukum. Jika dalam suatu negara, HAM terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.“[xi]

H. UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
UU no. 26 tahun 2000 terdiri dari 10 bab dan 51 pasal. Tiap-tiap pasal menjelaskan pengertian tentang pelanggaran HAM berat, posisi Komnas HAM, Jaksa Agung dan proses pengadilan HAM dalam pemeriksaan perkara. Keterlibatan Komnas HAM  dan hakim ad hoc dalam perkara HAM berat menunjukkan bahwa masalah HAM telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia khususnya masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi indikasi dari sebuah pilar negara demokrasi, di mana penghormatan terhadap HAM menjadi bagian penting masyarakat. Pengadilan HAM ditetapkan sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan secara khusus dalam penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus HAM besar. Namun demikian, pengadilan ini tetap berada di lingkungan pengadilan umum yang diperlakukan secara khusus. Ada beberapa hal yang menjadi bagian dari pengadilan HAM:
1.      Lingkup kewenangan pengadilan HAM terbatas pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat (pasal 4), yang meliputi kejahatan genosida (pemusnahan etnis, bangsa, atau kelompok agama) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 7 dan 8). Unsur-unsur kejahatan ini meliputi: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran secara paksa, perampasan segala hak yang melekat manusia, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan secara paksa, dan kejahatan apartheid (pasal 9).
2.  Acara peradilan HAM dilakukan mengikuti aturan yang diterapkan oleh pengadilan umum ditambah dengan keterlibatan Komnas HAM. Dalam hal penangkapan dan penahanan misalnya, Jaksa Agung memiliki kewenangan hukum bekerja sama dengan hakim pengadilan HAM (pasal 11 dan 12). Prosedur penahanan mereka yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM dimulai sejak satu hari hingga 90 hari atau lebih sesuai dengan kebutuhan penyidikan (pasal 13, 14, 15, 16 dan 17). Penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM melalui tim ad hoc. Tim ini terdiri dari anggota Komnas HAM dan unsur masyarakat (pasal 18).
Dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM berwenang melakukan penyelidikan, memanggil korban, saksi dan pelaku, serta semua pihak yang bisa dimintai keterangan mengenai kejadian perkara (pasal 19). Yang menarik dari masalah ini adalah menempatkan Komnas HAM sebagai penyelidik, sedang dalam hal penyidikan kewenangan ini sepenuhnya berada pada Jaksa Agung (pasal 12  20, 21 dan 22). Namun Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah atau masyarakat. Oleh karena itu, Komnas HAM bertugas memberikan data secara lengkap melalui penyelidikan secara menyeluruh. Sebagaimana dalam penyidikan, penuntutan perkara juga dilakukan oleh Jaksa Agung atau mereka yang diangkat sebagai penuntut umum ad hoc yang direkrut dari unsur masyarakat dan atau pemerintah (pasal 23).
Posisi dan peran Jaksa Agung dan Komnas HAM saling melengkapi dan seimbang ketika perkara yang diselesaikan masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Artinya, suatu waktu Komnas HAM dapat meminta keterangan perkembangan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Agung. Dan ketika penuntutan dan pembuktian perkara sudah memenuhi syarat, maka perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh pengadilan HAM yang terdiri dari 5 orang, 2 orang hakim pada pengadilan HAM dan 3 orang hakim ad hoc. Keberadaan hakim ad hoc diangkat oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung (pasal 27 dan 28). Hakim ad hoc ini berjumlah minimal 12 orang dan bertugas selama 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Pelanggaran HAM berat sebelum ditetapkan UU ini diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk atas usulan DPR berdasarkan Keppres.
Di samping ketentuan mengenai tugas Komnas HAM dalam hal penyelidikan kasus perkara, korban, dan saksi mendapat perlindungan dari negara. Perlindungan ini dilakukan oleh penegak hukum dan aparat keamanan dari segala gangguan, terror dan kekerasan dari pihak manapun (pasal 34). Selanjutnya korban pelanggaran HAM dan atau ahli warisnya berhak mendapatkan ganti rugi, pengembalian, dan pemulihan dari segala kerugian yang diderita. Ketentuan ini selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (pasal 35).
Hukuman pelanggar HAM berat dalam UU ini dihukum sesuai dengan perbuatannya mulai dari hukuman penjara 5 tahun, 25 tahun, seumur hidup, dan hukuman mati (pasal 36, 37, 38, 39, 40 dan 41). Ketentuan hukuman ini juga berlaku bagi sipil dan militer. Dalam mana kasus melibatkan militer, maka pelaku dan komandan dapat diminta pertanggungjawabannya sesuai dengan tindakan yang diperbuat (pasal 42). Aturan pengadilan HAM secara terperinci dan tersendiri ini menunjukkan bahwa masalah HAM telah menjadi bagian penting perundang-undangan RI.    


[i]C.F. Strong, Modern Political Constitutions: an Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form [Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia] (London: The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, 1966) h. 11.
[ii]Strong, Modern Political Constitutions, h. 13.
[iii]Abdul Latief, “Demokratisasi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum,” dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2007) 123.
[iv]Sri Hastuti Puspitasari, “Perlindungan HAM dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia,“ dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2007) h. 150.
[v]Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Edisi III, Sekneg RI, 1995, hal. 212-213. Alasan utama Soepomo adalah HAM mengutamakan kepentingan individu dibanding kolektif (kekeluargaan).
[vi]Risalah, h. 262.
[vii]Himpunan Peraturan Hak Asasi Manusia (Jakarta: CV Eka Jaya, 2003) h. 7-11.
[viii]UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[ix]Laporan Tahunan Komnas HAM tahun 2000. Lihat h. 69.
[x]Lihat laporan tahunan Komnas HAM bisa dilihat di www.komnasham.go.id
[xi]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sekjen Mahkamah Konstitusi RI), h. 159-160.




Tidak ada komentar :

Posting Komentar