Selasa, 31 Maret 2015

SEJARAH PENEGAKAN HAM


Pengantar
Karena nilai HAM bersifat universal, maka sejarah penegakan HAM tidak mengenal batas ras, golongan, jender, agama dan teritorial. Artinya, dimana ada pelanggaran HAM, pasti akan ada yang berusaha untuk menghapuskannya. Contoh dari hal tersebut: sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah bagian langsung dari proses dan usaha penegakan HAM melawan tirani pemerintah kolonialis.
Penegakan HAM yang efektif menuntut adanya manajemen gerakan yang visioner, konsisten dan pada tataran implementasi sedapat mungkin bersifat massif. Upaya penegakan HAM seringkali berhadapan dengan restriksi kultural, legal dan struktural. Secara kausalistik, antara restriksi dan kebebasan terdapat ruang gerak dimana tuntutan-tuntutan penegakan HAM dapat terus disuarakan agar ruang gerak itu menjadi semakin luas, longgar dan semakin leluasa.   
Perjuangan penegakan HAM di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari upaya berbagai kelompok masyarakat untuk melenyapkan penjajahan yang merupakan akar utama adanya pelanggaran dan penistaan HAM. Pada awalnya, inspirasi dominan perlawanan anti-eksploitasi tersebut dihembuskan oleh Islam, kemudian dibarengi ideologi sosialisme-marxist dan puncaknya lebih dipertegas dengan bahasa nasionalisme. 
Usaha untuk menghilangkan penjajahan itu dilakukan dengan cara fisik-heroik, organisatoris-taktis. Sementara, upaya penegakan HAM di masa Indonesia merdeka dilakukan dengan membangun kehidupan berbangsa yang diwarnai prinsip konstitusionalisme demokratis: legalisasi perlindungan HAM di dalam konstitusi berdasarkan aspirasi dan partisipasi rakyat.
Dari sisi legal-konstitusional, perlindungan terhadap HAM mengalami pasang surut sesuai dengan konteks politik, sosial, kultur hukum. Pada masa awal kemerdekaan, ada upaya kuat untuk menyusun UUD sesuai dengan nafas dan tradisi politik liberal (UUD 1950/UUDS). Seiring dengan semakin mundurnya komitmen negara untuk memperjuangkan HAM dan semakin rendahnya kapasitas pengelola pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan, maka presiden Soekarno dan Soeharto tidak menjadikan agenda perlindungan HAM sebagai prioritas. Apalagi, UUD 1945 versi sebelum amandemen hanya sedikit sekali menyinggung secara eksplisit tentang HAM.    
Sampai saat ini terdapat setidaknya dua kecenderungan kuat gerakan perempuan: dengan ideologi yang subordinatif-patriarkal dengan mengusung ide kesetaraan relatif, kelompok lainnya dengan ideologi kesetaraan absolut yang anti patriarki.
Akibat dari reformasi dan terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, terjadi amandemen konstitusi. Seiring dengan amandemen tersebut, komitmen legal terhadap penegakan dan perlindungan HAM, termasuk kesetaraan jender, menjadi semakin progressif.     

A. Pendahuluan
Di dunia Barat, pada abad pertengahan, kekuasaan seorang raja selalu dikaitkan dengan mandat ketuhanan. Sehingga, sang raja dapat memiliki kekuatan absolut untuk menjalankan mandat kekuasaannya. Tetapi, ketika kemudian muncul pertanyaan Paus Gregorius VII di dalam Dicattus Papae (1075 M) bahwa kekuasaan tertinggi ketuhanan itu ada pada gereja sementara kekuasaan raja terbatas pada kekuasaan duniawi semata maka raja mulai kehilangan legitimasi-teistik atas kekuasannya.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya timbul pertanyaan “dari mana“ dan “atas dasar apa“ raja itu berkuasa. Maka, mulailah muncul teori kedaulatan rakyat (vox populi vox Dei) kemudian dimatangkan dengan teori kontrak sosial (social contract). Penekanan mendasar dari beberapa teori dan pengalaman kesejarahan itu adalah pentingnya peran rakyat dan jaminan kedaulatan serta kemerdekaannya sebagai individu dalam interaksinya dengan kekuasaan maupun sesama manusia.[i] Dari sisi filosofis, gagasan-gagasan tersebut tidak dapat dipisahkan begitu saja dari berbagai pemikiran yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1714) dan J.J. Rousseau (1712-1778).[ii]
Sejarah kemudian mencatat bahwa formalisasi hak-hak rakyat di hadapan para penguasa semakin tidak terhindar. Di Inggris, tanggal 15 Juni 1215, kaum bangsawan (baron) memberontak terhadap Raja John dan melahirkan “Piagam Agung“ (Magna Charta). Diantara isi pokok Piagam Agung ini adalah raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorangpun dari rakyat.[iii]                 
Tahun 1628, jaminan akan kemerdekaan dan kebebasan individu semakin maju. Muncullah dokumen Bill of Rights yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau untuk memenjarakan, menyiksa dan mengirimkan tentara kepada siapapun tanpa dasar hukum.[iv]
Pada 6 Juli 1776, tonggak sejarah kebebasan dan kemerdekaan individu menjadi lebih progressif. Hal ini ditandai dengan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa: “We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness...“ [v] 
Revolusi Perancis (4 Agustus 1789) kemudian melahirkan pernyataan yang menegaskan tonggak kebebasan dan kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan itu dititikberatkan kepada lima pokok: hak kepemilikan harta (property), kebebasan (liberty), persamaan (egality), keamanan (security) dan perlawanan terhadap penindasan (resistance against oppression).
Tahun 1941, presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt (1882-1945) menyampaikan pidato yang menegaskan tentang empat pokok kebebasan, yakni kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari ketakutan (freedom from fear) dan kebebasan dari kemiskinan (freedom from want). [vi]
Pada 10 Desember 1948 formula deklarasi Revolusi Perancis tersebut menjadi lebih dipertegas dengan Deklarasi Universal Tentang Hak-hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights/UDHR). Deklarasi ini memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja dan kebebasan beragama.
Beberapa deklarasi itu disusul dengan aneka persetujuan (covenant) yang lebih memperluas cakupan hak-hak dasar tersebut. Diantaranaya International Covenant on Economics, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966. Disusul kemudian dengan kompilasi keterpaduan aneka macam hak; ekonomi, sosial, budaya, politik serta hukum yaitu yang disebut dengan the Rights of Development.[vii]
Dewasa ini konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) modern diderivasi secara dominan dari konteks pengalaman dan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di dunia Barat: khususnya Eropa Barat dan Amerika Serikat tersebut.
Namun demikian, bukan berarti belahan dunia lainnya dimana negara-negara yang lazim disebut dengan negara berkembang berada (dunia ketiga), tidak memiliki potensi kultural dan akar historis yang dapat dijadikan bukti dan monumen kesejarahan bahwa aksi dan kearifan lokal (local wisdom) mereka layak untuk dicatat sebagai bagian dari perjuangan universal manusia untuk memperoleh martabat kemanusiaannya (human dignity).
Paradoks dengan apa yang terjadi di Eropa abad ke XVIII-XIX yang dikenal sebagai rumah gerakan melawan tiran dan penindas Hak Asasi Manusia (HAM), justru di dunia ketiga, pelaku penggaran HAM paling dominan dan sistematis adalah orang-orang Eropa sendiri. Atas nama aktivitas perdagangan, lambat laun kafilah-kafilah dagang Eropa menjadi kolonialis yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara yang tidak mengenal perikemanusiaan.

B. HAM, Harga Diri Kebangsaan dan Keindonesiaan; Dari Resistensi Lokal Menuju Kemerdekaan
Secara garis besar, periodesasi perjuangan HAM di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga babak: Pertama, babak perjuangan heroik-fisik yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Abad XVI hingga XVIII. Pada masa ini terjadi berbagai perlawanan fisik di berbagai daerah untuk menentang kesewenang-wenangan dan penistaan kemanusiaan sistematis, khususnya yang dilakukan oleh pedagang-pedagang dan kolonialis Portugis dan Belanda. Kedua, babak perjuangan ideologis-organisatoris. Berlangsung dari awal abad ke XIX hingga kemerdekaan Indonesia (1945). Pada momen ini, tema perjuangan menegakkan HAM berlangsung seiring dengan pematangan vitalitas nasionalisme Indonesia dan pengorganisasian gerakan perlawanan dan kebangsaan; Ketiga, tahap programatis-sistematis. Pada masa ini penegakan HAM lebih dimaknai sebagai manifestasi dari konsensus bersama yang didasarkan pada semangat mengisi kemerdekaan, demokratisasi dan konstitusionalisme.       


1. Era Perjuangan Fisik-heroik: Islam Sebagai Artikulator Pembebasan yang Menonjol
Dalam kondisi bangkrut dan kebutuhan akan sumber-sumber keuangan yang terus menerus, model kolonialisme perdagangan Belanda melalui VOC dirubah secara drastis menjadi kolonialisme militer dan politik: eksploitasi kekayaan negeri jajahan bertambah semakin menjadi-jadi dan tindakan sewenang-wenang yang tidak berperikemanusiaan (seperti memeras tenaga petani dan buruh) menjadi jalan mudah untuk mencapai target menutupi kas keuangan negeri Belanda.
Tanam paksa dan pembagian prosentase (cultuur procenten) hasil bumi adalah cara yang kemudian ditempuh. Dalam beberapa kasus seluruh tanah di suatu desa harus ditanami tanaman yang dikehendaki pemerintah kolonial.; ribuan tenaga buruh tidak dibayar; seringkali para petani dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya secara sembarangan; tenaga-tenaga buruh diperas untuk pekerjaan pembuatan jalan, irigasi, mengolah hasil pabrik; hak-hak dasar penduduk pribumi, petani, buruh tidak pernah menjadi perhatian.[viii] 
Di distrik Simpur, Priangan, semua lelaki dari beberapa desa dikerahkan selama 7 bulan untuk penanaman nila jauh dari rumahnya. Di tempat yang sama, ada 5000 orang laki-laki dengan 3000 kerbau selama 5 bulan dipaksa mengerjakan tanah untuk pabrik. Di Rembang sebanyak 34.000 keluarga selama 8 bulan harus bekerja terus menerus dengan tanpa upah. Hal serupa berlangsung di berbagai tempat.
Akibatnya: terjadi kelaparan di Demak (1848) dan Grobogan (1849), penyakit menular berkembang drastis dan terjadi kematian yang masal. Sementara di pihak pemerintahan kolonial: selama masa 1841-1863 diperoleh laba sebesar 461 juta gulden. Pelbagai hutang Belanda dapat dilunasi, industri perkapalan dan perdagangan di Amsterdam meningkat. Amsterdam menjadi pusat perdagangan hasil bumi tropis.        
Kondisi yang demikian tidak dapat dibiarkan. Perjuangan dan perlawanan untuk menghapus eksploitasi yang rasis, memulihkan hak-hak pribumi, petani dan buruh digelorakan dan dipelopori oleh beberapa pemuka masyarakat Nusantara: ulama, pengeran dan pemimpin suku/adat.
Sampai akhir abad XIX metode perjuangan itu didominasi konfrontasi fisik frontal dan heroik. Untuk menyebutkan beberapa saja: perjuangan buruh di Cirebon (1816), Perjuangan dan pembebasan dari eksploitasi rasis dan ekonomis melalui perang di Banten (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri (1821-1838) dan Perang Aceh (1872-1908).
Dimanapun, dalam setiap babak perjuangan diperlukan minimal tiga hal: a. tema dan isu bersama yang dapat dijadikan sandaran bagi gerakan pembebasan bersama; b. artikulator dan kasus yang bisa berfungsi instrumental untuk menyampaikan pesan dan melahirkan konteks; c. solidarity maker yang biasanya berwujud pada pemimpin yang kharismatis. 
Perjuangan penegakan HAM pada era ini diwarnai dengan tema penghapusan perlakukan rasis, eksploitasi ekonomi dan pengusiran kekuatan kolonial asing. Media artikulasi dan kasus untuk mengangkat tema perjuangan tersebut biasanya diawali dengan sengketa dan konflik pengelolaan tanah, pengabaian hak-hak lokal (adat) dan perlakuan rasis terhadap tenaga buruh, petani hingga bangsawan.[ix] Artikulator dan juru bicara dari perjuangan tersebut didominasi oleh ulama atau bangsawan dengan slogan heroik-simbolik yang bertemakan perjuangan Islam melawan agresor dan kolonialis non-Islam.[x]
Misalnya di Aceh: perjuangan melawan penindasan kolonial, memiliki simbol yang sarat dengan nomenklatur Islam. Pada suatu ketika (1885) saat Belanda berada pada posisi terjepit, Tengku Cik Di Tiro, mengobarkan semangat para pengikutnya:

“Bagi kita, ciptaanNya, tidak ada gerakan, tidak ada perdamaian, tidak ada kehidupan, tidak ada kematian, tidak ada kehormatan, tidak ada kehinaan, tidak ada kemenangan dan tidak ada kekalahan kecuali dengan kekuatan Tuhan… Jadi, orang-orang kafir inipun dapat dikalahkan sesuai dengan janji Tuhan”. [xi]   

Dalam hal ini, Harry J Benda melukiskan;

“Meskipun sudah ‘tidak murni’ dan meskipun adanya kmpromi-kompromi dengan kebiasaan-kebiasaan pra-Islam, bagi orang-orang Indonesia, Islam berfungsi sebagai titik pusat identitas, untuk melambangkan keterpisahan dari dan perlawanannya terhadap penguasa-penguasa Kristen yang asing. Selama empat abad lamanya, perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, apakah yang dipimpin oleh mereka yang fanatik agamanya atau – tidak terlalu sering akan tetapi lebih ditakuti – oleh pangeran-pangeran Indonesia yang mengibarkan panji-panji bulan sabit, hampir dengan sendirinya ada hubungannya dengan Islam”.[xii]        

2. Era Ideologis-organisatoris: Pluralitas Elemen Nasionalis
Peta geopolitik Eropa yang menyulitkan Belanda, bayang-bayang resesi ekonomi dan perdebatan tentang perlunya pijakan baru terkait dengan fungsi daerah jajahan di parlemen Belanda menjelang awal abad XX menyebabkan lahirnya kebijakan politik kolonial yang terasa lebih lunak, bersahabat dan etis.
Peralihan kebijakan juga dipicu oleh perlawanan dan perjuangan keras masyarakat pribumi menghadapi segala jenis penindasan dan eksploitasi rasis. Hal ini melahirkan hubungan yang selalu tegang, saling bermusuhan. Keburukan kebijakan politik dan ekonomi lama, praktek tanam paksa juga menyebabkan ketertindasan dan eksploitasi penduduk Hindia Belanda. Akibatnya, keadaan pribumi menjadi semakin serba terbelakang, penuh dengan kemiskinan, penyakit, kebodohan dan degradasi mental. Penduduk pribumi dalam keadaan sama sekali tidak berkembang kecakapan dan ketrampilannya. Tidak ada modal, sehingga dalam proses produksi tetap hanya menjadi buruh atau pekerja upahan.[xiii]     
Garis kebijakan kolonial baru pertama kali disampaikan oleh van Dedem sebagai anggota parlemen. Tahun 1891 ia mengutarakan perlunya memisahkan keuangan Hindia Belanda dengan negeri induk (Belanda). Ia juga mengusulkan agar pemerintah Hindia Belanda perlu lebih meningkatkan pembangunan infrastruktur transportasi, pendidikan, kesehatan.
Gagasan ini diteruskan oleh van Kol, van Deventer, Kielstra dan D. Fock. Van Kol menjadi jurubicara sayap sosialis. Dengan pengalamannya di Indonesia ia melihat berbagai kemerosotan dalam banyak segi kehidupan. Bagi van Kol, sungguh Belanda telah berhutang budi terhadap Indonesia karena telah mengeruk kekayaannya sedemikian lama. Menurut van Kol, Undang-undang perburuhan, pertanahan, pertambangan yang ada adalah alat untuk mengekalkan keterbelakangan tersebut.
Van Deventer mengkritik keras kebijakan pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dari negeri jajahan. Ia menyatakan bahwa selama periode 1867-1878, dari surplus pajak (batig slot) saja Hindia Belanda telah menyumbangkan 187 juta gulden. Senada dengan itu, Kielstra menyatakan bahwa sejak tahun 1816 hutang Belanda (negeri induk) kepada Hindia Belanda berjumlah 832 juta gulden. Semua itu, disebutnya sebagai ’hutang kehormatan’, karena jika dituntut, perekonomian Belanda sendiri tidak mampu untuk membayarnya.
Fock berpendapat bahwa pendidikan yang lebih baik akan memperkuat kaum pribumi dalam admininstrasi. Ia juga menyarankan agar diusahakan perluasan bangunan irigasi, jalan kereta api, pemberian kredit untuk pertanian serta mendorong tumbuhnya industri berbasiskan kondisi agraris.
Termasuk dari barisan pembela perlunya politik etis juga adalah C. Snouck Hurgronje. Ia mengusulkan adanya review ulang kebijakan pemerintah kolonial terkait dengan Islam di Indonesia. Bagi Hurgronje, pemerintah kolonial perlu memusatkan perhatiannya terhadap Islam, karena rakyat Indonesia mayoritasnya beragama Islam dan sepanjang sejarah kolonial Islam ternyata dapat menjadi ideologi dan kekuatan sosial yang besar sekali dalam membangkitkan semangat perlawanan.
Sejak kedatangannya di Indonesia di tahun 1889, Hurgronje menganjurkan agar pemerintah kolonial tidak terlalu apriori dengan Islam. Harus dapat memisahkan antara Islam politik dan Islam sebagai acuan teologis keagamaan (kerohanian). Terhadap Islam politik, pemerintah haus waspada tetapi terhadap Islam kerohanian, pemerintah perlu bersikap lebih leluasa.
Dalam menghadapi Islam di Indonesia, Hurgronje juga berpendapat bahwa domestikasi Islam akan dapat dilakukan dengan cara politik asosiasi secara gradual. Intinya adalah dengan memajukan taraf pengetahuan dan pendidikan (khususnya di kalangan bangsawan) dan memperkenalkan seluas-luasnya budaya Barat. Dengan cara itu, lambat tetapi pasti, akan terjadi proses asosiasi: elit bangsawan pribumi yang terdidik dengan pola Barat akan merasa perlu untuk menjadi bagian dari peradaban Barat. Secara strategis, mereka juga dapat memainkan peran sebagai ’cultural broker’ yang akan berfungsi sebagai perantara antara massa dengan budaya Barat.[xiv]
Di dalam suasana pikiran dan konstalasi politik dominan yang demikian, gerakan nasional kebangsaan (semisal, Sarekat Islam, Indische Sociaal Demokratische Vereniging/ISDV/Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia) untuk perlawanan dan perjuangan menghapus diskriminasi, eksploitasi dan penjajahan berjalan.
Secara distingtif, berbeda dengan perjuangan sebelumnya, pada periode ini (awal abad XX), arah dan model perjuangan sudah memakai pendekatan modern dengan mengandalkan kompetensi manajerial organisatoris untuk sebuah gerakan perlawanan. Pendekatan organisatoris diperkuat dengan upaya kontinu yang dilakukan secara kontekstual untuk melakukan perluasan koridor negosiasi kebebasan dengan otoritas kolonial: otoritas kolonial merasa memiliki hak dan menjalankan politik perizinan bagi sebuah organisasi yang baru berdiri.
Terlepas dari pasang surut Sarekat Islam (SI), secara sosiologis SI dapat dikatakan sebagai embrio utama gerakan perlawanan kebangsaan Indonesia yang kokoh secara kultural dan politik. Tokoh-tokoh utamanya tidak semata-mata bersifat Jawa-sentris tetapi juga lintas kultural dan etnik. Di SI terdapat pemimpinnya yang legendaris, Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto yang berasal dari priyayi Jawa, ada juga Haji Agus Salim dan Abdoel Muis, dua orang berasal dari Minangkabau. Bahkan, di dalam perjalanan sejarahnya kemudian, SI memiliki tokoh-tokoh yang merupakan penggerak utama Partai Komunis Indonesia (PKI) kelak, semisal Semaun dan Darsono. Pada diri SI berhimpun beberapa individu dan budaya yang kelak dapat bersinergi; pengusaha pribumi, administrator organisasi, ulama, budaya kota-desa, terpelajar-awam, dan aktivis sosial. Tidak mengherankan jika beberapa anggota Boedi Oetomo yang kecewa dengan kecenderungan sikap organisasi mereka yang semakin konservatif dan elitis, kemudian memutuskan untuk keluar dari Boedi Oetomo dan bergabung dengan SI.[xv]
Oleh karenanya, tepat kiranya jika dikatakan bahwa SI menempati tempat yang strategis, unik dan kompleks di dalam sejarah dan perjuangan nasional menegakkan HAM, melawan tirani kolonial Belanda: secara ideologis ia mendahului nasionalisme yang programatik, sebagaimana nanti berwujud pada slogan Indonesia merdeka atau pembangunan. Secara keislaman ia juga mendahului formula pembaharuan Islam yang baku di dalam ungkapan teologi sosial-politik progressif. Protes-protesnya yang keras melawan status quo penindasan kolonial, aspirasinya yang ekspressif di bidang ekonomi dan sosial serta tuntutannya yang menggertak dan konsisten untuk proses otonomi, kebebasan individu dan masyarakat yang makin diperluas, dapat menggabungkan aspirasi-aspirasi nasional dan Islam menuju agenda politik yang semakin berwibawa, diperhitungkan dan khas Indonesia.   
Tahun 1916-1921, SI dikenal dengan pendirian dan sikap organisasi serta pemimpinnya yang tegas dalam membela kepentingan pribumi, menuntut kesejajaran hukum antara orang Belanda dan pribumi, menolak sikap penghinaan, kesewenang-wenangan dan eksploitatif terhadap petani dan buruh pribumi.[xvi]          
Pada kongres nasional I SI di Bandung tahun 1916, Cokroaminoto menyatakan:

“Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negara ini sebagai suatu tempat dimana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya, terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri... Tidak bisa lagi terjadi bahwa seorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita tanpa partisipasi kita”[xvii]

Selain berjuang di forum yang bersifat ekstra parlementer, dengan pertimbangan taktis-strategis, SI juga menyuarakan perjuangan untuk melenyapkan diskriminasi rasis dan hak-hak kerakyatan di dalam Volksraad. Volksraad sendiri dibuka pada 18 Mei 1918, sebagai forum semacam Dewan Perwakilan Rakyat dengan fungsi yang sangat terbatas. Meski Volksraad didesain sebagai kelanjutan dari kebijakan politik etis dan politik inklusi terkontrol Belanda, namun Cokroaminoto dan Abdoel Muis dapat memanfaatkan lembaga ini dengan relatif maksimal sehingga kelak pemerintah kolonial merasa perlu untuk mendiskusikan kembali secara lebih cermat keberadaan Volksraad ini.
Datangnya pemimpin buruh marxist H.J.F.M. Sneevliet ke Indonesia pada masa sebelum perang Dunia I membuat warna baru perjuangan melawan tirani kolonial. Tahun 1914 Sneevliet mendirikan organisasi Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) yang nantinya akan menjadi cikal bakal dari Partai Komunis Indonesia (PKI).[xviii]
Setelah melihat realitas sosial dan struktur masyarakat Indonesia serta perkembangan ISDV dari waktu ke waktu, maka untuk mengembangkan ISDV menjadi lebih besar, Sneevliet memutuskan untuk merekrut pemimpin-pemimpin muda SI sebagai motor dan kader penggeraknya kelak.
Dengan teknik penyamaran dan penyusupan intelijen, akhirnya berhasillah di kader Semaun dan Darsono sebagi calon-calon pemimpin muda yang kelak bersikap frontal, radikal dan non-koperatif dalam upaya menghilangkan eksploitasi kolonial dan menggulingkan pemerintahan sekaligus. Keberhasilan Revolusi Bolsjevik di Rusia dan keyakinan mulai besarnya pengaruh dan anggota ISDV mendorong Semaun dan Darsono untuk melakukan revolusi serupa di Indonesia (1917).
Dengan beraliansi dengan Boedi Oetomo, SI dan kekuatan sosial-politik lainnya, ISDV aktif melakukan demonstrasi dan protes sosial, tidak terkecuali tuntutan untuk dirombaknya Volksraad.. Tidak jarang juga, ISDV menganjurkan secara massif untuk diorganisirnya protes umum rakyat.
Gubernur Jenderal L. Stirum menyambut seruan itu dengan menjanjikan perbaikan. Namun, ternyata itu hanya taktik sementara. Selanjutnya, ketika keadaan sudah dapat dikuasai, maka tokoh-tokoh yang terlibat, termasuk Darsono dan Abdoel Muis ditangkap dan Sneevliet sendiri diusir dan dipulangkan ke Belanda.             
Perjuangan Semaun dan Darsono tidak berenti. Selesai menjalani hukuman, Desember 1920, ia malah mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI). Semaun sebagai ketua dan Darsono sebagai wakil ketua. Keduanya juga semakin aktif untuk melakukan diplomasi dan memprakarsai jaringan internasional dengan partai komunis internasional Rusia.
Tahun 1924 PKI sudah mulai mendapatkan simpati luas. Barisan Muda dan Sarekat Rakyat –sebagai tandingan Sarekat Islam—sudah terbentuk. Pada saat itu, dalam menjalankan perjuangannya, setidaknya PKI menempuh dua strategi: a. melatih dan mengkader petani dan buruh sebagai unsur penting yang mewakili masyarakat proletar; b. tidak secara frontal menghadapi kekuatan Islam, tetapi berusaha untuk menjalin aliansi taktisnya, meski hal ini terasa sulit ketika berhadapan dengan SI.[xix]
Setelah merasa yakin kembali bahwa para kader dan situasi sosial siap untuk mendukung adanya revolusi, maka 13 Nopember 1926 PKI melakukan protes sosial, perlawanan dan pemberontakan terbuka kepada pemerintah kolonial Belanda di Jakarta. Menyusul kemudian bertrokan-bentrokan berdarah yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur, Tengah dan Barat. Dalam waktu yang singkat, pemberontakan dapat dikendalikan. Ribuan yang terlibat diintimidasi, dipenjara atau dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas dan Irian Jaya oleh pemerintahan kolonial. 
Sejarah PKI di masa kolonial berikutnya semakin menyusut. Di bawah kontrol ketat Belanda (dilarang tahun 1927), PKI tidak dapat lagi bergerak secara leluasa. Meskipun, di kemudian hari PKI memiliki kendaraan politik sendiri bernama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dengan Amir Syarifuddin sebagai tokoh sentralnya.
Inspirasi Sarekat Islam dan gerakan perlawanan non-koperasi dan radikal PKI kemudian mengilhami beberapa pemuda untuk terus menggalang gerakan untuk menghilangkan eksploitasi kolonialisme.
Melalui kontak yang intensif antara pergerakan kepemudaan di Indonesia dan perhimpunan pelajar di luar negeri (Perhimpunan Indonesia), maka antara tahun 1926-1928 adalah masa pematangan bagi tumbuhnya Partai Nasional Indonesia (PNI).
Dengan dimotori oleh Soekarno, berdirilah PNI yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia melawan tirani kolonial. PNI menggabungkan tiga kekuatan ideologi: Islam, Marxisme dan Nasionalisme. Dalam prakteknya kemudian, program PNI adalah gabungan antara program politik yang bersifat penggugahan kesadaran akan ketertindasan rakyat Indonesia, pemberian kursus-kursus ketrampilan teknis dan penggalangan kecakapan manajerial gerakan sosial dan kepemimpinan.[xx]
Tahun 1928 juga ditandai dengan kebulatan tekad dari seluruh pemuda anak negeri, PNI dan Perhimpunan Indonesia dengan bekerjasama dengan beberapa organisasi kepemudaan dan daerah bersepakatn untuk menggelorakan semangat: satu nusa, satu bangsa dan bahasa Indonesia.  
Soekarno yakin bahwa apa yang dia gagas dengan berdirinya PNI akan mampu melangkah lebih dari gerakan sebelumnya dalam memperjuangkan keadilan, menghapus diskriminasi dan superioritas rasial dan bahkan menuju Indonesia merdeka. Dalam salahsatu pidatonya ia menyatakan:

”Kini telah menjadi jelas bahwa pergerakan nasional di Indonesia bukanlah bikinan kaum intelektual dan komunis saja, tetapi merupakan reaksi umum yang wajar dari rakyat jajahan yang dalam batinnya telah merdeka. Revolusi Indonesia adalah revolusinya zaman sekarang, bukan revolusinya kelompok-kelompok kecil kaum intelektual, tetapi revolusinya bagian terbesar rakyat dunia yang terbelakang dan diperbodoh”[xxi]

Keberanian PNI yang berterus terang untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka dan menolak untuk melakukan politik koperatif dengan Belanda serta menawarkan ideologi ’payung’ pemersatu pribumi akhirnya mempercepat pamor dan popularits organisasi ini di berbagai pelosok. Disisi lain, hal ini menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran di kalangan pejabat kolonial. Tahun 1929-1930 adalah tahun yang sulit dan keras bagi PNI. Tahun-tahun itu dipenuhi dengan peristiwa penggeledahan, pencegahan, pembubaran pertemuan-pertemuan dan penangkapan beberapa tokoh PNI, termasuk Soekarno sendiri.
Secara organisatoris, PNI kemudian menjadi lemah dan terus dilemahkan. Tetapi semangat pembebasan dari belenggu dan eksploitasi rasisme kolonial terbukti tidak pernah padam dalam benak sanubari penduduk pribumi. Sampai tahun 1945, berbagai peristiwa dan aksi untuk menggemakan semangat tersebut terus terjadi: ada dari sayap kooperatif, seperti petisi Soetarjo di Volksraad yang menginginkan otonomi yang luas bagi Hindia Belanda, ada penggabungan berbagai gerakan dan partai politik dari berbagai aliran dan ideologi (Gabungan Politik Indonesia—GAPI).
Masa menjelang kemerdekaan, Indonesia berada di tangan kekuatan militeristik-fasis Jepang. Menghadapi eksploitasi Jepang dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan balatentaranya, tokoh-tokoh kebangsaan tetap bersikukuh dan tidak mengenal lelah untuk melawan berbagai praktek tidak berperikemanusiaan yang keji: dari perbudakan seks hingga manipulasi rayuan politik untuk melupakan cita-cita kemerdekaan bagi Indonesia.

C. Kemerdekaan dari Eksploitasi: Ke Arah Konsensus, Legalisasi dan Aksi
1. Awal Kemerdekaan hingga Orde Baru
Ketika bom atom Amerika jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, pemimpin pergerakan Indonesia berkonsolidasi dan membulatkan tekad untuk menyatakan bebas dari belenggu penindasan rasial dan eksploitasi fisik dan psikologis, baik dari Belanda maupun Jepang yang datang sesudahnya. Atas nama seluruh rakyat Indonesia, akhirnya proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1945.  
Sebagaimana dibuktikan oleh perjalanan sejarah pergerakan kebangsaan di Indonesia, bahwa meski Islam --seperti disebut diatas—memainkan peran penting dalam proses integrasi nasional, tetapi pada perkembangannya kemudian akar ideologis dari semangat antiimperialisme itu berkembang dan terkristalisasi menjadi tiga elemen dasar;  Islam, nasionalisme dan marxisme/sosialisme. [xxii]
Pembela Islam ideologis bercita-cita bagi terwujudnya Indonesia menjadi negara yang berdasarkan Islam. Pada saat yang sama, pembela nasionalisme dan sosialisme berhadap posisi yang sama bagi ideologi mereka. Dalam dialektika dan perdebatan selanjutnya, peta antagonisme ini kemudian mengerucut menjadi pembela Islamisme dan sekulerisme: kelompok Islam bersikukuh pada islamisme sementara kedua kelompok lainnya berdiri diatas logika sekulerisme.     
Dalam polarisasi yang demikian, kiranya tidak mengherankan jika menjelang dan sesudah Indonesia merdeka maka perdebatan fundamental tentang pilar-pilar kenegaraan dan kebangsaan, seperti dasar negara, hak asasi manusia, juga didominasi oleh tema dan nafas islamisme dan sekulerisme.[xxiii]
Semangat persatuan yang masih terasa, akhirnya membawa titik kesepakatan bersama untuk menerima Pancasila (formula kompromi) sebagai dasar negara dan sekaligus sumber acuan legal utama. Maka, tanggal 18 Agustus 1945 oleh Badan Pekerja KNIP, UUD 1945, dimana di dalamnya Pancasila dinyatakan sebagai dasar negara, berlaku. Tonggak konsensus dan konstitusi ini merupakan titik awal berlakunya acuan legal HAM secara de facto dan de jure.
Pembukaan UUD 1945 sendiri dimulai dengan pernyataan komitmen terhadap HAM: bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan maupun perikeadilan.  Diatur juga di dalam pasal-pasal berikutnya tentang komitmen negara dan bangsa terhadap hak berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Namun, jalannya pemerintahan setelah kemerdekaan belumlah stabil. Belanda tetap tidak menghendaki kemerdekaan Indonesia. Ada agresi I dan II yang dilancarkan dengan maksud merebut kembali Indonesia. Ada protes sosial internal yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan jalan gerilya perang secara fisik, konsolidasi internal dan perang diplomasi internasional, akhirnya pihak Belanda dan Indonesia bertemu kembali untuk melahirkan kesepekatan yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan UUD RIS.
Dilihat dari kacamata HAM, dibanding dengan UUD 1945, UUD RIS yang kelak dimodifikasi sesuai dengan setting politik menjadi UUD 1950 (Undang-undang Dasar Sementara), adalah undang-undang yang lebih apresiatif terhadap penegakan HAM. Terdapat lebih banyak aturan dan rincian tentang jaminan negara bagi penegakan dan perlindungan HAM: kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat yang lebih terukur dan tidak semata dibatasi oleh tafsir dan kekuatan negara. 
Sayang, UUD tersebut belum mendapatkan tempat yang layak untuk bertahan. Kecakapan untuk bernegara masyarakat, kesiapan, pengalaman kultural warganegara dan penyelenggara negara untuk mengelola negara merdeka belum sepenuhnya teruji. Kekuatan-kekuatan masyarakat sipil (partai politik, organisasi masyarakat) justru terlibat dalam political power struggle yang berlarut-larut. Pemerintahan dan kabinet jatuh bangun dalam waktu yang sangat singkat dan tidak memungkinkan untuk fokus pada agenda menyejahterakan masyarakat. Meski demikian, ternyata di bawah UUDS tersebut terselenggara dengan sukses Pemilihan Umum pertama (1955).
Pemilu yang sukses dan berlangsung secara langsung, umum, rahasia dan jujur dan adil menghasilkan anggota legislatif (Dewan Konstituante), dengan tugas pokok menyusun UUD baru. Namun, karena pertentangan ide yang akut, tidak tercapai mufakat dan kesepakatan tentang UUD baru tersebut. Akhirnya, Presiden Soekarno merasa mendapatkan legitimasi politik untuk mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya adalah pembubaran konstituante dan kembali ke UUD 1945.
Hingga jatuhnya Soekarno dari tampuk kekuasaan, praktis penafsiran UUD 1945 dilakukan sendiri oleh Soekarno. Secara materi perundang-undangan, UUD 1945 memang tidak banyak membatasi peran presiden dan lebih cenderung menggantungkan nasib negara dan pemerintahan kepada presiden. Dibarengi dengan model kepemimpinan yang sentralistik, maka di era 1960-an, Soekarno selalu menciptakan pengkondisian yang darurat dengan dalih “revolusi belum selesai”. Pada prakteknya perlindungan HAM masih minimal dan belum menunjukkan kemajuan.
Kisruh politik yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1965, menyebabkan Soekarno jatuh dan diganti oleh Jenderal Soeharto. UUD 1945 tidak berubah, tetapi dibawah semboyan “pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”, maka menghadirkan praktek ‘demokrasi Pancasila’: adanya repressi untuk meminimalisir partai politik, pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama, menjadikan kembali tafsir kekuasaan atas konstitusi sebagai konstitusi itu sendiri. Prinsip-prinsip utama HAM, atas nama ’demokrasi Pancasila’ sering diabaikan.       

2. Era Reformasi dan HAM
Krisis moneter, tekanan publik dan  pengabaian HAM menyebabkan jatuhnya Soeharto (1998). Salahsatu amanat reformasi adalah tuntutan ketegasan komitmen negara dan pemerintah terhadap HAM. Tuntutan tersebut kemudian disuarakan dengan amandemen UUD 1945.
UUD 1945 dipandang telah menciptakan dirinya multitafsir. Penafsiran sepihak atas UUD 1945 dirasakan telah memberikan iklim negatif bagi tumbuhnya jaminan dan penegakan HAM. Penguasa bahkan kerap menjadikan UUD 1945 sebagai ‘tameng’ kekuasaan untuk menindas HAM warganegara.  
Pengaturan dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 UUD 1945 tentang jaminan kesamaan warga negara di depan hukum dan jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak serta pasal 28 tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dipandang sebagai sesuatu yang sudah konvensional, abstrak dan seringkali ditafsirkan sendiri sesuai dengan selera penguasa.
Berhadapan dengan tuntutan yang demikian, sekurang-kurangnya terdapat empat kelompok pendapat; pertama, setuju perubahan tetapi tidak menyentuh pembukaan dan pasal krusial lainnya; kedua, setuju mutlak adanya perubahan: ketiga, tidak perlu atau belum saatnya ada perubahan; keempat, setuju perubahan tetapi harus dilakukan kajian matang sebelumnya yang dilakukan oleh komisi independen (Komisi Konstitusi).
Setelah melalui perdebatan yang alot diantara keempat kelompok tersebut, maka arah perdebatan menuju kepada pemahaman bahwa: perubahan sebuah konstitusi harus dipahami secara obyektif-proporsional. Perubahan UUD bukan berarti menghilangkan jiwa, rasa dan nuansa kesatuan anak bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi harus dilihat secara realistis sebagai jalan terbaik bagi kelangsungan masa depan bangsa dalam situasi dan tantangan kontekstualnya.[xxiv]
Searah dengan perkembangan tersebut, setidaknya terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Amandemen kedua UUD 1945 difokuskan kepada tema HAM dalam konstitusi. Amandemen kedua ini akhirnya memasukkan HAM menjadi satu bab tersendiri, yakni Bab X A mengenai HAM dengan 10 pasal (pasal 28 A-B-C-D-E-F-G-H-I-J).
Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 tersebut jauh melebihi ketentuan yang pernah diatur dalam UUD 1945. Selain karena terdapatnya satu bab tersendiri tentang HAM, hal lain adalah adanya pasal-pasal yang lebih rinci dan detail yang menegaskan komitmen dan perlindungan HAM pribadi maupun warganegara.
Jaminan dan komitmen konstitusional tentang perlindungan HAM juga tetap masih dapat ditemukan pada ketentuan pasal-pasal seperti pasal 27 ayat 1 dan 2 serta pasal 28, tentang persamaan kedudukan di depan hukum, hak atas kehidupan yang layak dan kemerdekaan berekspresi dan berkumpul. Kesemua pasal ini adalah teks asli dari UUD 1945 versi sebelum amandemen.[xxv]

D. Perempuan dan HAM
Disamping konfrontasi fisik dengan Belanda, akhir abad XIX ditandai juga dengan kebangkitan kaum perempuan Indonesia dari keterkungkungan budaya maskulin dan eksploitasi struktur sosial patriarkal.
Jika Nyi Ageng Serang (1752-1828), Martha Christina Tiahahu (1818), Cut Nyak Dien (1850-1908) dan Cut Mutia (1870-1910) adalah penggerak semangat heroik dan pendobrak tradisi kepemimpinan militer-kultural laki-laki, maka Kartini (1879-1908) merepresentasikan penggagas ide dan gerakan feminis. Ide-ide feminis Kartini tidaklah timbul spontan tetapi melalui serangkaian siksaan psikologis yang dialaminya sendiri: ia dimadu sebagai istri keempat, dijodohkan dengan suami yang tidak ia pilih sendiri, dikungkung oleh adat priyayi yang maskulin dan pemahaman keagamaan patriarkal yang konservatif.[xxvi]
Kesadaran akan perlunya kesetaraan laki-perempuan kemudian menyebar dan tersosialisasikan: Muhammadiyah memiliki perkumpulan perempuan sendiri, Sarekat Islam dan Sarekat Rakyat juga memiliki perhimpunan-perhimpunan perempuan.[xxvii]
”Putri Mardika” yang berdiri di Jakarta tahun 1912 berusaha untuk memperkuat dan lebih cepat menyadarkan perempuan akan hak-haknya: perempuan tidak dapat dikungkung dengan peran domestik, ia dapat tampil di depan publik, ia memiliki kesetaraan dengan laki-laki. ”Putri Mardika” juga memulai berkampanye tentang perbedaan kodrati dan perbedaan non-kodrati. Perbedaan kodrati tidak dapat dielakkan, sementara non-kodrati karena konstruk budaya, semestinya dapat dihilangkan. Organisasi ini juga tidak hanya bergerak secara domestik tetapi menjalin dan merespon isu-isu feminis yang berkembang secara internasional.[xxviii]      
Desember 1945, diadakan kongres pertama perempuan Indonesia setelah perang. Setahun berikutnya organisasi perempuan yang telah berkembang pesat, disatukan menjadi Korps Wanita Indonesia (Kowani). Dalam kongresnya di tahun 1949, Kowani berhasil merumuskan beberapa pernyataan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan; a. kesamaan hak laki-perempuan hendaknya dicantumkan di dalam konstitusi; b. semua warganegara, termasuk perempuan memiliki hak unuk bekerja; c. undang-undang perburuhan hendaknya disusun dengan memperhatikan kepentigan perempuan; d. undang-undang perkawinan dikodifikasi dan diberlakukan sesuai dengan agama masing-masing.
Di masa awal kemerdekaan hingga runtuhnya Orde Lama hingar bingar politik dan semaraknya persaingan antar partai-partai politik menjadikan kelompok perempuan tersubordinasikan dengan kepentingan masing-masing partai. Hampir tidak ada partai politik yang tidak memiliki organisasi perempuan. Hal ini menunjukkan peran signifikan organisasi perempuan yang semakin meningkat di satu sisi, tetapi di sisi lain menunjukkan bahwa ideologi perempuan sebagai ”mengikut dan menyokong” laki-laki menjadi tetap tumbuh subur.
Tahun 1952 Kowani kembali mengadakan kongresnya. Dalam kongres ini Kowani mengeluarkan resolusi: a. agar perempuan ikut terlibat aktif dan diberi tempat pada Pengadilan Agama; b. Untuk beberapa pejabat yang menangani masalah hukum keluarga diberikan pelatihan khusus; c. Dibentuk tim khusus untuk pendidikan perempuan; d. Dewan penasehat biro tenaga kerja secara lebih luas hendaknya melibatkan perempuan; e. Penerbitan yang tidak mengindahkan nilai susila diberikan sanksi hukum tegas.[xxix]
Memasuki era Orde Baru, seiring dengan dominannya politik repressif, maka gerakan perempuan menjadi semakin tersudut secara sistematis. Di semua lembaga negara dibentuk organisasi perempuan dengan nama Dharma Wanita. Pada lapisan masyarakat desa serta kelurahan dibentuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Sayangnya, apa yang dilakukan di dalam PKK dan Dharma Wanita ternyata lebih cenderung untuk melanggengkan ideologi domestikasi perempuan dan supremasi laki-laki. Pendidikan yang diberikan di PKK adalah pendidikan ketrampilan-ketrampilan tugas domestik: memasak, menjahit dan membuat karangan bunga. Sementara di organisasi Dharma Wanita, istri-istri pegawai negeri diajarkan untuk tidak berbicara dengan suara keras, tidak mementingkan diri sendiri dan lebih mengutamakan kepentingan suami, siap untuk membantu suami sebagai pencari nafkah pendukung.
Tipe kegiatan perempuan Orde Baru ini masih dominan hingga era reformasi dewasa ini. Hingga sekarang, secara umum gerakan perempuan masih didominasi oleh kultur subordinatif dan supremasi laki-laki, terutama yang dilakukan oleh aktivitas dan organisasi non-independen (PKK dan Dharma Wanita).
Di pihak lain, beberapa organisasi perempuan yang lebih independen yang dimotori oleh Lembaga Swdaya Masyarakat maupun organisasi sosial kemasyarakatan lebih dapat merespon tantangan terhadap aktualisasi dan revitalisasi kesejajaran eksistensi dan hak perempuan-laiki-laki secara progressif dan kontekstual, baik pada level konsep maupun manajemen gerakan.
Isu-isu terkait dengan domestikasi, subordinasi dan kekerasan perempuan, di ranah sipil, ekonomi, sosial maupun kultural terus dikritisi oleh kelompok yang terakhir ini. Diantaranya, karena kritisisme mereka maka Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB 1979 (Convention on the Elimination of Discrimination against Women), ratifikasi konvensi PBB No. 138/1973 tentang Usia Minimal Untuk Diperbolehkan Bekerja (UU No. 20/1999), ratifikasi Konvensi PBB No 111/1958 mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan (UU No. 21/1999), ratifikasi konvensi PBB No. 182/1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan memiliki UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan di Dalam rumah Tangga.
Meski adanya teks perundang-undangan belum menjadi jaminan dari dilindunginya hak-hak perempuan, tetapi sedikitnya materi UU tersebut menunjukkan adanya tekad kuat menuju ke arah sana.


[i] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogya: Kanisius, 1982, hal. 301.
[ii] Tentang karya-karya penting Locke dapat dilihat di, Two Treaties of Government, A Letter on Toleration, An Essay Concerning Human Understanding. Kapita Selekta pemikiran Rousseau, dapat dilihat di Jack Lively and Andrew Reeve (ed.), Modern Political Theory from Hobbes to Marx: Key Debates, New York: Routledge, 193.
[iii] Edward Powell, Kingship, Law and Society: Criminal Justice in the Reign of Henry V (Oxford: Clarendon Press, 1989), hal. 33.
[iv] Edward C. Smith, The Constitution of  the United  States, New York: Barnes & Noble, 1966, hal. 17.
[v] Ibid, hal. 20
[vi] A.Rahman Zainuddin, Hak-hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Obor, 1994, hal. 1-30.
[vii] Untuk melihat paket-paket kebijakan masyarakat internasional tentang hak-hak dasar, lihat, United Nations, Human Rights; A Compilation of International Instruments, vol. 1, New York: United Nation, 1993.
[viii] Lihat: D.W. Weldern-Rengers, The Failure of a Liberal Colonial Policy, Netherlands East Indies, 1816-1830, The Hague, t.p., 1974, hal. 132-162; Clive Day, The Policy and Administration of the Dutch in Java, New York: Cornell Univ. Press, 1904, hal. 249-250; J.E. Stokvis, Van Wingewest naar Zelfbestuur in Nederlandsch-Indie, Amsterdam: t.p., 1912, hal. 88-95.
[ix] J.O.M., Broek, Economic Development of the Netherlands Indies, New York: Cornell Univ. Press, 1942.
[x] Lihat lebih lanjut, Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2004, hal. 336-339.
[xi] Reid, Ibid, 335.
[xii] Harry J. Benda, Bulan Sanit dan Matahari Terbit, Jakarta: Pustaka Jaya, 1958.
[xiii] Untuk penjelasan tentang beberapa pernyataan para politisi aliran politik etis, lihat: P. Brooshooft, De Etische Koers in de Kolniale Politik, Amsterdam, t.p., 1901; lihat juga, J.E. Stokvis, ”Goede Worden zonder Geld”, dalam De Taak, 1918, hal. 413; Algemeen Landbouw Weekblad, 1928, hal. 1316-1317.
[xiv] Benda, Bulan Sabit, hal. 27-52.
[xv] Lihat dan bandingkan: A.K. Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Djakarta: Penerbit Pustaka Rakjat, 1964, hal. 15; Iwa K. Sumantri, Sedjarah Revolusi Indonesia, djilid 1, Djakarta: t.p., hal 39 dan 62.
[xvi] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-1942, Jakarta: LP3ES, hal. 114-169.
[xvii] Noer, hal. 126.
[xviii] Lebih lanjut lihat, Ruth Mc Vey, The Rise of Indonesian Communism, Ithaca, New York: 1952.
[xix] Bandingkan dengan Noer, Gerakan, hal. 114-169.
[xx] Lebih lanjut, baca, Bernard Dahm, Soekarnos Kampt um Indonesiens Unabhangigkeit, Werdegang und Ideen eines asiatischen Nationalisten, Berlin: Humboldt Univ., 1966. 
[xxi] Selengkapnya Lihat, Soeloeh Indonesia Moeda, April, 1928, no. 5, hal. 119-112.
[xxii] Robert van Neil, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, The Hague and Bandung; W. van Hoeve, 1960; A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Jakarta; Pustaka Rakyat, 1950; Ruth Mc Vey, The Comintern and the Rise of Indonesian Communism, Ithaca; Cornell university, 1961.
[xxiii] Lebih jauh lihat, Bachtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998.
[xxiv] Majda El-Nuhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hal, 85 dan 112.
[xxv] El-Muhtaj, Ibid.
[xxvi] Lebih jauh, baca, Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Sadja, 2 jilid, Bukittinggi-Djakarta, 1962.
[xxvii] A.K.Pringgodigdo, Sedjarah, hal. 89.
[xxviii] Lebih jauh, baca, Fauzie Ridjal, dkk (Ed.), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogya: Tiara Wacana, 1993; S. Eleonora Weiringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garda Budaya, 1999.
[xxix] Lihat, Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1978.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar