Pengantar
Karena nilai HAM bersifat universal, maka sejarah penegakan HAM tidak
mengenal batas ras, golongan, jender, agama dan teritorial. Artinya, dimana ada
pelanggaran HAM, pasti akan ada yang berusaha untuk menghapuskannya. Contoh
dari hal tersebut: sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah bagian
langsung dari proses dan usaha penegakan HAM melawan tirani pemerintah
kolonialis.
Penegakan HAM yang efektif menuntut adanya manajemen gerakan yang visioner,
konsisten dan pada tataran implementasi sedapat mungkin bersifat massif. Upaya
penegakan HAM seringkali berhadapan dengan restriksi kultural, legal dan
struktural. Secara kausalistik, antara restriksi dan kebebasan terdapat ruang
gerak dimana tuntutan-tuntutan penegakan HAM dapat terus disuarakan agar ruang
gerak itu menjadi semakin luas, longgar dan semakin leluasa.
Perjuangan penegakan HAM di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari upaya
berbagai kelompok masyarakat untuk melenyapkan penjajahan yang merupakan akar
utama adanya pelanggaran dan penistaan HAM. Pada awalnya, inspirasi dominan
perlawanan anti-eksploitasi tersebut dihembuskan oleh Islam, kemudian dibarengi
ideologi sosialisme-marxist dan puncaknya lebih dipertegas dengan bahasa
nasionalisme.
Usaha untuk menghilangkan penjajahan itu dilakukan dengan cara
fisik-heroik, organisatoris-taktis. Sementara, upaya penegakan HAM di masa
Indonesia merdeka dilakukan dengan membangun kehidupan berbangsa yang diwarnai
prinsip konstitusionalisme demokratis: legalisasi perlindungan HAM di dalam
konstitusi berdasarkan aspirasi dan partisipasi rakyat.
Dari sisi legal-konstitusional, perlindungan terhadap HAM mengalami pasang
surut sesuai dengan konteks politik, sosial, kultur hukum. Pada masa awal
kemerdekaan, ada upaya kuat untuk menyusun UUD sesuai dengan nafas dan tradisi
politik liberal (UUD 1950/UUDS). Seiring dengan semakin mundurnya komitmen
negara untuk memperjuangkan HAM dan semakin rendahnya kapasitas pengelola
pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan, maka presiden Soekarno dan
Soeharto tidak menjadikan agenda perlindungan HAM sebagai prioritas. Apalagi,
UUD 1945 versi sebelum amandemen hanya sedikit sekali menyinggung secara
eksplisit tentang HAM.
Sampai saat ini terdapat setidaknya dua kecenderungan kuat gerakan
perempuan: dengan ideologi yang subordinatif-patriarkal dengan mengusung ide
kesetaraan relatif, kelompok lainnya dengan ideologi kesetaraan absolut yang
anti patriarki.
Akibat
dari reformasi dan terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, terjadi
amandemen konstitusi. Seiring dengan amandemen tersebut, komitmen legal
terhadap penegakan dan perlindungan HAM, termasuk kesetaraan jender, menjadi
semakin progressif.
A. Pendahuluan
Di dunia Barat, pada abad pertengahan, kekuasaan seorang raja selalu
dikaitkan dengan mandat ketuhanan. Sehingga, sang raja
dapat memiliki kekuatan absolut untuk menjalankan mandat kekuasaannya. Tetapi,
ketika kemudian muncul pertanyaan Paus Gregorius VII di dalam Dicattus Papae
(1075 M) bahwa kekuasaan tertinggi ketuhanan itu ada pada gereja sementara
kekuasaan raja terbatas pada kekuasaan duniawi semata maka raja mulai
kehilangan legitimasi-teistik atas kekuasannya.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya timbul pertanyaan “dari mana“ dan “atas
dasar apa“ raja itu berkuasa. Maka, mulailah muncul teori kedaulatan rakyat (vox populi vox Dei)
kemudian dimatangkan dengan teori kontrak sosial (social contract).
Penekanan mendasar dari beberapa teori dan pengalaman kesejarahan itu adalah
pentingnya peran rakyat dan jaminan kedaulatan serta kemerdekaannya sebagai
individu dalam interaksinya dengan kekuasaan maupun sesama manusia.[i] Dari sisi filosofis, gagasan-gagasan tersebut tidak
dapat dipisahkan begitu saja dari berbagai pemikiran yang dikemukakan oleh John
Locke (1632-1714) dan J.J. Rousseau (1712-1778).[ii]
Sejarah kemudian mencatat bahwa formalisasi hak-hak rakyat di hadapan para
penguasa semakin tidak terhindar. Di Inggris, tanggal 15 Juni 1215, kaum
bangsawan (baron) memberontak terhadap Raja John dan melahirkan “Piagam
Agung“ (Magna Charta). Diantara isi pokok Piagam Agung ini adalah raja
tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorangpun
dari rakyat.[iii]
Tahun 1628, jaminan akan kemerdekaan dan kebebasan individu semakin maju.
Muncullah dokumen Bill of Rights yang berisi penegasan tentang
pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan
kekuasaan terhadap siapapun, atau untuk memenjarakan, menyiksa dan mengirimkan
tentara kepada siapapun tanpa dasar hukum.[iv]
Pada 6 Juli 1776, tonggak sejarah kebebasan dan kemerdekaan individu
menjadi lebih progressif. Hal ini ditandai
dengan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa: “We hold
these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are
endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are
life, liberty, and the pursuit of happiness...“ [v]
Revolusi Perancis (4 Agustus 1789) kemudian melahirkan pernyataan yang
menegaskan tonggak kebebasan dan kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan itu
dititikberatkan kepada lima pokok: hak kepemilikan harta (property),
kebebasan (liberty), persamaan (egality), keamanan (security)
dan perlawanan terhadap penindasan (resistance against oppression).
Tahun 1941, presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt (1882-1945)
menyampaikan pidato yang menegaskan tentang empat pokok kebebasan, yakni
kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech),
kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari ketakutan (freedom
from fear) dan kebebasan dari kemiskinan (freedom from want). [vi]
Pada 10 Desember 1948 formula deklarasi Revolusi Perancis tersebut menjadi
lebih dipertegas dengan Deklarasi Universal Tentang Hak-hak Asasi Manusia (The
Universal Declaration of Human Rights/UDHR). Deklarasi ini memuat
pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam
perkawinan, pendidikan, hak kerja dan kebebasan beragama.
Beberapa deklarasi itu disusul dengan aneka persetujuan (covenant)
yang lebih memperluas cakupan hak-hak dasar tersebut. Diantaranaya International Covenant on Economics, Social and Cultural
Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights
tahun 1966. Disusul kemudian dengan kompilasi keterpaduan aneka macam hak;
ekonomi, sosial, budaya, politik serta hukum yaitu yang disebut dengan the
Rights of Development.[vii]
Dewasa ini konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) modern diderivasi secara
dominan dari konteks pengalaman dan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di
dunia Barat: khususnya Eropa Barat dan Amerika Serikat tersebut.
Namun demikian, bukan berarti belahan dunia lainnya dimana negara-negara
yang lazim disebut dengan negara berkembang berada (dunia ketiga), tidak
memiliki potensi kultural dan akar historis yang dapat dijadikan bukti dan
monumen kesejarahan bahwa aksi dan kearifan lokal (local wisdom) mereka
layak untuk dicatat sebagai bagian dari perjuangan universal manusia untuk
memperoleh martabat kemanusiaannya (human dignity).
Paradoks dengan apa yang terjadi di Eropa abad ke XVIII-XIX yang dikenal
sebagai rumah gerakan melawan tiran dan penindas Hak Asasi Manusia (HAM),
justru di dunia ketiga, pelaku penggaran HAM paling dominan dan sistematis
adalah orang-orang Eropa sendiri. Atas nama aktivitas perdagangan, lambat laun
kafilah-kafilah dagang Eropa menjadi kolonialis yang ingin mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara yang tidak mengenal perikemanusiaan.
B. HAM, Harga Diri Kebangsaan dan Keindonesiaan; Dari
Resistensi Lokal Menuju Kemerdekaan
Secara garis besar, periodesasi perjuangan HAM di Indonesia dapat
diklasifikasikan menjadi tiga babak: Pertama, babak perjuangan
heroik-fisik yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Abad XVI hingga
XVIII. Pada masa ini terjadi berbagai perlawanan fisik di berbagai daerah untuk
menentang kesewenang-wenangan dan penistaan kemanusiaan sistematis, khususnya
yang dilakukan oleh pedagang-pedagang dan kolonialis Portugis dan Belanda. Kedua,
babak perjuangan ideologis-organisatoris. Berlangsung dari awal abad ke XIX
hingga kemerdekaan Indonesia (1945). Pada momen ini, tema perjuangan menegakkan
HAM berlangsung seiring dengan pematangan vitalitas nasionalisme Indonesia dan
pengorganisasian gerakan perlawanan dan kebangsaan; Ketiga, tahap
programatis-sistematis. Pada masa ini penegakan HAM lebih dimaknai sebagai
manifestasi dari konsensus bersama yang didasarkan pada semangat mengisi
kemerdekaan, demokratisasi dan konstitusionalisme.
1. Era Perjuangan Fisik-heroik: Islam Sebagai Artikulator
Pembebasan yang Menonjol
Dalam kondisi bangkrut dan kebutuhan akan sumber-sumber keuangan yang terus
menerus, model kolonialisme perdagangan Belanda melalui VOC dirubah secara
drastis menjadi kolonialisme militer dan politik: eksploitasi kekayaan negeri
jajahan bertambah semakin menjadi-jadi dan tindakan sewenang-wenang yang tidak
berperikemanusiaan (seperti memeras tenaga petani dan buruh) menjadi jalan
mudah untuk mencapai target menutupi kas keuangan negeri Belanda.
Tanam paksa dan pembagian prosentase (cultuur procenten) hasil bumi
adalah cara yang kemudian ditempuh. Dalam beberapa kasus seluruh tanah di suatu
desa harus ditanami tanaman yang dikehendaki pemerintah kolonial.; ribuan
tenaga buruh tidak dibayar; seringkali para petani dipindahkan dari satu tempat
ke tempat lainnya secara sembarangan; tenaga-tenaga buruh diperas untuk
pekerjaan pembuatan jalan, irigasi, mengolah hasil pabrik; hak-hak dasar
penduduk pribumi, petani, buruh tidak pernah menjadi perhatian.[viii]
Di distrik Simpur, Priangan, semua lelaki dari beberapa desa dikerahkan
selama 7 bulan untuk penanaman nila jauh dari rumahnya. Di tempat yang sama,
ada 5000 orang laki-laki dengan 3000 kerbau selama 5 bulan dipaksa mengerjakan
tanah untuk pabrik. Di Rembang sebanyak 34.000 keluarga selama 8 bulan harus
bekerja terus menerus dengan tanpa upah. Hal serupa berlangsung di berbagai
tempat.
Akibatnya: terjadi kelaparan di Demak (1848) dan Grobogan (1849), penyakit
menular berkembang drastis dan terjadi kematian yang masal. Sementara di pihak
pemerintahan kolonial: selama masa 1841-1863 diperoleh laba sebesar 461 juta
gulden. Pelbagai hutang Belanda dapat dilunasi, industri perkapalan dan
perdagangan di Amsterdam meningkat. Amsterdam menjadi pusat perdagangan hasil
bumi tropis.
Kondisi yang demikian tidak dapat dibiarkan. Perjuangan dan perlawanan
untuk menghapus eksploitasi yang rasis, memulihkan hak-hak pribumi, petani dan
buruh digelorakan dan dipelopori oleh beberapa pemuka masyarakat Nusantara:
ulama, pengeran dan pemimpin suku/adat.
Sampai akhir abad XIX metode perjuangan itu didominasi konfrontasi fisik
frontal dan heroik. Untuk menyebutkan beberapa saja: perjuangan buruh di
Cirebon (1816), Perjuangan dan pembebasan dari eksploitasi rasis dan ekonomis
melalui perang di Banten (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang
Padri (1821-1838) dan Perang Aceh (1872-1908).
Dimanapun, dalam setiap babak perjuangan diperlukan minimal tiga hal: a.
tema dan isu bersama yang dapat dijadikan sandaran bagi gerakan pembebasan
bersama; b. artikulator dan kasus yang bisa berfungsi instrumental untuk
menyampaikan pesan dan melahirkan konteks; c. solidarity maker yang
biasanya berwujud pada pemimpin yang kharismatis.
Perjuangan penegakan HAM pada era ini diwarnai dengan tema penghapusan
perlakukan rasis, eksploitasi ekonomi dan pengusiran kekuatan kolonial asing.
Media artikulasi dan kasus untuk mengangkat tema perjuangan tersebut biasanya
diawali dengan sengketa dan konflik pengelolaan tanah, pengabaian hak-hak lokal
(adat) dan perlakuan rasis terhadap tenaga buruh, petani hingga bangsawan.[ix] Artikulator dan juru bicara dari perjuangan tersebut
didominasi oleh ulama atau bangsawan dengan slogan heroik-simbolik yang
bertemakan perjuangan Islam melawan agresor dan kolonialis non-Islam.[x]
Misalnya di Aceh: perjuangan melawan penindasan kolonial, memiliki simbol
yang sarat dengan nomenklatur Islam. Pada suatu ketika (1885) saat Belanda
berada pada posisi terjepit, Tengku Cik Di Tiro, mengobarkan semangat para
pengikutnya:
“Bagi kita, ciptaanNya, tidak ada gerakan, tidak ada perdamaian, tidak ada
kehidupan, tidak ada kematian, tidak ada kehormatan, tidak ada kehinaan, tidak
ada kemenangan dan tidak ada kekalahan kecuali dengan kekuatan Tuhan… Jadi,
orang-orang kafir inipun dapat dikalahkan sesuai dengan janji Tuhan”. [xi]
Dalam hal
ini, Harry J Benda melukiskan;
“Meskipun sudah ‘tidak murni’ dan meskipun adanya kmpromi-kompromi dengan
kebiasaan-kebiasaan pra-Islam, bagi orang-orang Indonesia, Islam berfungsi
sebagai titik pusat identitas, untuk melambangkan keterpisahan dari dan
perlawanannya terhadap penguasa-penguasa Kristen yang asing. Selama empat abad
lamanya, perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, apakah yang dipimpin oleh
mereka yang fanatik agamanya atau – tidak terlalu sering akan tetapi lebih
ditakuti – oleh pangeran-pangeran Indonesia yang mengibarkan panji-panji bulan
sabit, hampir dengan sendirinya ada hubungannya dengan Islam”.[xii]
2. Era Ideologis-organisatoris: Pluralitas Elemen
Nasionalis
Peta geopolitik Eropa yang menyulitkan Belanda, bayang-bayang resesi
ekonomi dan perdebatan tentang perlunya pijakan baru terkait dengan fungsi
daerah jajahan di parlemen Belanda menjelang awal abad XX menyebabkan lahirnya
kebijakan politik kolonial yang terasa lebih lunak, bersahabat dan etis.
Peralihan kebijakan juga dipicu oleh perlawanan dan perjuangan keras
masyarakat pribumi menghadapi segala jenis penindasan dan eksploitasi rasis.
Hal ini melahirkan hubungan yang selalu tegang, saling bermusuhan. Keburukan
kebijakan politik dan ekonomi lama, praktek tanam paksa juga menyebabkan
ketertindasan dan eksploitasi penduduk Hindia Belanda. Akibatnya, keadaan
pribumi menjadi semakin serba terbelakang, penuh dengan kemiskinan, penyakit, kebodohan
dan degradasi mental. Penduduk pribumi dalam keadaan sama sekali tidak
berkembang kecakapan dan ketrampilannya. Tidak ada modal, sehingga dalam proses
produksi tetap hanya menjadi buruh atau pekerja upahan.[xiii]
Garis kebijakan kolonial baru pertama kali disampaikan oleh van Dedem
sebagai anggota parlemen. Tahun 1891 ia mengutarakan perlunya memisahkan
keuangan Hindia Belanda dengan negeri induk (Belanda). Ia juga mengusulkan agar
pemerintah Hindia Belanda perlu lebih meningkatkan pembangunan infrastruktur
transportasi, pendidikan, kesehatan.
Gagasan ini diteruskan oleh van Kol, van Deventer, Kielstra dan D. Fock.
Van Kol menjadi jurubicara sayap sosialis. Dengan pengalamannya di Indonesia ia
melihat berbagai kemerosotan dalam banyak segi kehidupan. Bagi van Kol, sungguh
Belanda telah berhutang budi terhadap Indonesia karena telah mengeruk
kekayaannya sedemikian lama. Menurut van Kol, Undang-undang perburuhan,
pertanahan, pertambangan yang ada adalah alat untuk mengekalkan keterbelakangan
tersebut.
Van Deventer mengkritik keras kebijakan pemerintah Belanda yang tidak
memisahkan keuangan negeri induk dari negeri jajahan. Ia menyatakan bahwa
selama periode 1867-1878, dari surplus pajak (batig slot) saja Hindia Belanda
telah menyumbangkan 187 juta gulden. Senada dengan itu, Kielstra menyatakan
bahwa sejak tahun 1816 hutang Belanda (negeri induk) kepada Hindia Belanda
berjumlah 832 juta gulden. Semua itu, disebutnya sebagai ’hutang kehormatan’,
karena jika dituntut, perekonomian Belanda sendiri tidak mampu untuk
membayarnya.
Fock berpendapat bahwa pendidikan yang lebih baik akan memperkuat kaum
pribumi dalam admininstrasi. Ia juga menyarankan agar diusahakan perluasan
bangunan irigasi, jalan kereta api, pemberian kredit untuk pertanian serta
mendorong tumbuhnya industri berbasiskan kondisi agraris.
Termasuk dari barisan pembela perlunya politik etis juga adalah C. Snouck
Hurgronje. Ia mengusulkan adanya review ulang kebijakan pemerintah kolonial
terkait dengan Islam di Indonesia. Bagi Hurgronje, pemerintah kolonial perlu
memusatkan perhatiannya terhadap Islam, karena rakyat Indonesia mayoritasnya
beragama Islam dan sepanjang sejarah kolonial Islam ternyata dapat menjadi
ideologi dan kekuatan sosial yang besar sekali dalam membangkitkan semangat
perlawanan.
Sejak kedatangannya di Indonesia di tahun 1889, Hurgronje menganjurkan agar
pemerintah kolonial tidak terlalu apriori dengan Islam. Harus dapat memisahkan
antara Islam politik dan Islam sebagai acuan teologis keagamaan (kerohanian).
Terhadap Islam politik, pemerintah haus waspada tetapi terhadap Islam
kerohanian, pemerintah perlu bersikap lebih leluasa.
Dalam menghadapi Islam di Indonesia, Hurgronje juga berpendapat bahwa
domestikasi Islam akan dapat dilakukan dengan cara politik asosiasi secara
gradual. Intinya adalah dengan memajukan taraf pengetahuan dan pendidikan
(khususnya di kalangan bangsawan) dan memperkenalkan seluas-luasnya budaya
Barat. Dengan cara itu, lambat tetapi pasti, akan terjadi proses asosiasi: elit
bangsawan pribumi yang terdidik dengan pola Barat akan merasa perlu untuk
menjadi bagian dari peradaban Barat. Secara strategis, mereka juga dapat
memainkan peran sebagai ’cultural broker’ yang akan berfungsi sebagai perantara
antara massa dengan budaya Barat.[xiv]
Di dalam suasana pikiran dan konstalasi politik dominan yang demikian,
gerakan nasional kebangsaan (semisal, Sarekat Islam, Indische Sociaal
Demokratische Vereniging/ISDV/Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional
Indonesia) untuk perlawanan dan perjuangan menghapus diskriminasi, eksploitasi
dan penjajahan berjalan.
Secara distingtif, berbeda dengan perjuangan sebelumnya, pada periode ini
(awal abad XX), arah dan model perjuangan sudah memakai pendekatan modern
dengan mengandalkan kompetensi manajerial organisatoris untuk sebuah gerakan
perlawanan. Pendekatan organisatoris diperkuat dengan upaya kontinu yang
dilakukan secara kontekstual untuk melakukan perluasan koridor negosiasi
kebebasan dengan otoritas kolonial: otoritas kolonial merasa memiliki hak dan
menjalankan politik perizinan bagi sebuah organisasi yang baru berdiri.
Terlepas dari pasang surut Sarekat Islam (SI), secara sosiologis SI dapat
dikatakan sebagai embrio utama gerakan perlawanan kebangsaan Indonesia yang
kokoh secara kultural dan politik. Tokoh-tokoh utamanya tidak semata-mata
bersifat Jawa-sentris tetapi juga lintas kultural dan etnik. Di SI terdapat
pemimpinnya yang legendaris, Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto yang berasal
dari priyayi Jawa, ada juga Haji Agus Salim dan Abdoel Muis, dua orang berasal
dari Minangkabau. Bahkan, di dalam perjalanan sejarahnya kemudian, SI memiliki
tokoh-tokoh yang merupakan penggerak utama Partai Komunis Indonesia (PKI)
kelak, semisal Semaun dan Darsono. Pada diri SI berhimpun beberapa individu dan
budaya yang kelak dapat bersinergi; pengusaha pribumi, administrator
organisasi, ulama, budaya kota-desa, terpelajar-awam, dan aktivis sosial. Tidak
mengherankan jika beberapa anggota Boedi Oetomo yang kecewa dengan
kecenderungan sikap organisasi mereka yang semakin konservatif dan elitis,
kemudian memutuskan untuk keluar dari Boedi Oetomo dan bergabung dengan SI.[xv]
Oleh karenanya, tepat kiranya jika dikatakan bahwa SI menempati tempat yang
strategis, unik dan kompleks di dalam sejarah dan perjuangan nasional
menegakkan HAM, melawan tirani kolonial Belanda: secara ideologis ia mendahului
nasionalisme yang programatik, sebagaimana nanti berwujud pada slogan Indonesia
merdeka atau pembangunan. Secara keislaman ia juga mendahului formula
pembaharuan Islam yang baku di dalam ungkapan teologi sosial-politik
progressif. Protes-protesnya yang keras melawan status quo penindasan kolonial,
aspirasinya yang ekspressif di bidang ekonomi dan sosial serta tuntutannya yang
menggertak dan konsisten untuk proses otonomi, kebebasan individu dan
masyarakat yang makin diperluas, dapat menggabungkan aspirasi-aspirasi nasional
dan Islam menuju agenda politik yang semakin berwibawa, diperhitungkan dan khas
Indonesia.
Tahun 1916-1921, SI dikenal dengan pendirian dan sikap organisasi serta
pemimpinnya yang tegas dalam membela kepentingan pribumi, menuntut kesejajaran
hukum antara orang Belanda dan pribumi, menolak sikap penghinaan,
kesewenang-wenangan dan eksploitatif terhadap petani dan buruh pribumi.[xvi]
Pada kongres nasional I SI di Bandung tahun 1916, Cokroaminoto menyatakan:
“Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan
makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap
negara ini sebagai suatu tempat dimana orang-orang datang dengan maksud mengambil
hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa
penduduknya, terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk
berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya
sendiri... Tidak bisa lagi terjadi bahwa seorang mengeluarkan undang-undang dan
peraturan untuk kita tanpa partisipasi kita”[xvii]
Selain berjuang di forum yang bersifat ekstra parlementer, dengan
pertimbangan taktis-strategis, SI juga menyuarakan perjuangan untuk melenyapkan
diskriminasi rasis dan hak-hak kerakyatan di dalam Volksraad. Volksraad sendiri
dibuka pada 18 Mei 1918, sebagai forum semacam Dewan Perwakilan Rakyat dengan
fungsi yang sangat terbatas. Meski Volksraad didesain sebagai kelanjutan dari
kebijakan politik etis dan politik inklusi terkontrol Belanda, namun
Cokroaminoto dan Abdoel Muis dapat memanfaatkan lembaga ini dengan relatif
maksimal sehingga kelak pemerintah kolonial merasa perlu untuk mendiskusikan
kembali secara lebih cermat keberadaan Volksraad ini.
Datangnya pemimpin buruh marxist H.J.F.M. Sneevliet ke Indonesia pada masa
sebelum perang Dunia I membuat warna baru perjuangan melawan tirani kolonial.
Tahun 1914 Sneevliet mendirikan organisasi Sociaal Democratische Vereniging
(ISDV) yang nantinya akan menjadi cikal bakal dari Partai Komunis Indonesia
(PKI).[xviii]
Setelah melihat realitas sosial dan struktur masyarakat Indonesia serta
perkembangan ISDV dari waktu ke waktu, maka untuk mengembangkan ISDV menjadi
lebih besar, Sneevliet memutuskan untuk merekrut pemimpin-pemimpin muda SI
sebagai motor dan kader penggeraknya kelak.
Dengan teknik penyamaran dan penyusupan intelijen, akhirnya berhasillah di
kader Semaun dan Darsono sebagi calon-calon pemimpin muda yang kelak bersikap
frontal, radikal dan non-koperatif dalam upaya menghilangkan eksploitasi
kolonial dan menggulingkan pemerintahan sekaligus. Keberhasilan Revolusi
Bolsjevik di Rusia dan keyakinan mulai besarnya pengaruh dan anggota ISDV
mendorong Semaun dan Darsono untuk melakukan revolusi serupa di Indonesia
(1917).
Dengan beraliansi dengan Boedi Oetomo, SI dan kekuatan sosial-politik
lainnya, ISDV aktif melakukan demonstrasi dan protes sosial, tidak terkecuali
tuntutan untuk dirombaknya Volksraad.. Tidak jarang juga, ISDV menganjurkan
secara massif untuk diorganisirnya protes umum rakyat.
Gubernur Jenderal L. Stirum menyambut seruan itu dengan menjanjikan
perbaikan. Namun, ternyata itu hanya taktik sementara. Selanjutnya, ketika
keadaan sudah dapat dikuasai, maka tokoh-tokoh yang terlibat, termasuk Darsono
dan Abdoel Muis ditangkap dan Sneevliet sendiri diusir dan dipulangkan ke
Belanda.
Perjuangan Semaun dan Darsono tidak berenti. Selesai menjalani hukuman,
Desember 1920, ia malah mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI). Semaun
sebagai ketua dan Darsono sebagai wakil ketua. Keduanya juga semakin aktif
untuk melakukan diplomasi dan memprakarsai jaringan internasional dengan partai
komunis internasional Rusia.
Tahun 1924 PKI sudah mulai mendapatkan simpati luas. Barisan Muda dan
Sarekat Rakyat –sebagai tandingan Sarekat Islam—sudah terbentuk. Pada saat itu,
dalam menjalankan perjuangannya, setidaknya PKI menempuh dua strategi: a.
melatih dan mengkader petani dan buruh sebagai unsur penting yang mewakili
masyarakat proletar; b. tidak secara frontal menghadapi kekuatan Islam, tetapi
berusaha untuk menjalin aliansi taktisnya, meski hal ini terasa sulit ketika
berhadapan dengan SI.[xix]
Setelah merasa yakin kembali bahwa para kader dan situasi sosial siap untuk
mendukung adanya revolusi, maka 13 Nopember 1926 PKI melakukan protes sosial,
perlawanan dan pemberontakan terbuka kepada pemerintah kolonial Belanda di
Jakarta. Menyusul kemudian bertrokan-bentrokan berdarah yang terjadi di
beberapa daerah di Jawa Timur, Tengah dan Barat. Dalam waktu yang singkat,
pemberontakan dapat dikendalikan. Ribuan yang terlibat diintimidasi, dipenjara
atau dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas dan Irian Jaya oleh pemerintahan
kolonial.
Sejarah PKI di masa kolonial berikutnya semakin menyusut. Di bawah kontrol
ketat Belanda (dilarang tahun 1927), PKI tidak dapat lagi bergerak secara
leluasa. Meskipun, di kemudian hari PKI memiliki kendaraan politik sendiri
bernama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dengan Amir Syarifuddin sebagai
tokoh sentralnya.
Inspirasi Sarekat Islam dan gerakan perlawanan non-koperasi dan radikal PKI
kemudian mengilhami beberapa pemuda untuk terus menggalang gerakan untuk
menghilangkan eksploitasi kolonialisme.
Melalui kontak yang intensif antara pergerakan kepemudaan di Indonesia dan
perhimpunan pelajar di luar negeri (Perhimpunan Indonesia), maka antara tahun
1926-1928 adalah masa pematangan bagi tumbuhnya Partai Nasional Indonesia
(PNI).
Dengan dimotori oleh Soekarno, berdirilah PNI yang berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia melawan tirani kolonial. PNI menggabungkan tiga kekuatan
ideologi: Islam, Marxisme dan Nasionalisme. Dalam prakteknya kemudian, program
PNI adalah gabungan antara program politik yang bersifat penggugahan kesadaran
akan ketertindasan rakyat Indonesia, pemberian kursus-kursus ketrampilan teknis
dan penggalangan kecakapan manajerial gerakan sosial dan kepemimpinan.[xx]
Tahun 1928 juga ditandai dengan kebulatan tekad dari seluruh pemuda anak
negeri, PNI dan Perhimpunan Indonesia dengan bekerjasama dengan beberapa
organisasi kepemudaan dan daerah bersepakatn untuk menggelorakan semangat: satu
nusa, satu bangsa dan bahasa Indonesia.
Soekarno
yakin bahwa apa yang dia gagas dengan berdirinya PNI akan mampu melangkah lebih
dari gerakan sebelumnya dalam memperjuangkan keadilan, menghapus diskriminasi
dan superioritas rasial dan bahkan menuju Indonesia merdeka. Dalam salahsatu
pidatonya ia menyatakan:
”Kini telah menjadi jelas bahwa pergerakan nasional di Indonesia bukanlah
bikinan kaum intelektual dan komunis saja, tetapi merupakan reaksi umum yang
wajar dari rakyat jajahan yang dalam batinnya telah merdeka. Revolusi Indonesia
adalah revolusinya zaman sekarang, bukan revolusinya kelompok-kelompok kecil
kaum intelektual, tetapi revolusinya bagian terbesar rakyat dunia yang
terbelakang dan diperbodoh”[xxi]
Keberanian PNI yang berterus terang untuk mencapai cita-cita Indonesia
merdeka dan menolak untuk melakukan politik koperatif dengan Belanda serta
menawarkan ideologi ’payung’ pemersatu pribumi akhirnya mempercepat pamor dan
popularits organisasi ini di berbagai pelosok. Disisi lain, hal ini menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran di kalangan
pejabat kolonial. Tahun 1929-1930 adalah tahun yang sulit dan keras bagi PNI.
Tahun-tahun itu dipenuhi dengan peristiwa penggeledahan, pencegahan, pembubaran
pertemuan-pertemuan dan penangkapan beberapa tokoh PNI, termasuk Soekarno
sendiri.
Secara organisatoris, PNI kemudian menjadi lemah dan terus dilemahkan.
Tetapi semangat pembebasan dari belenggu dan eksploitasi rasisme kolonial
terbukti tidak pernah padam dalam benak sanubari penduduk pribumi. Sampai tahun
1945, berbagai peristiwa dan aksi untuk menggemakan semangat tersebut terus
terjadi: ada dari sayap kooperatif, seperti petisi Soetarjo di Volksraad yang
menginginkan otonomi yang luas bagi Hindia Belanda, ada penggabungan berbagai
gerakan dan partai politik dari berbagai aliran dan ideologi (Gabungan Politik
Indonesia—GAPI).
Masa menjelang kemerdekaan, Indonesia berada di tangan kekuatan
militeristik-fasis Jepang. Menghadapi eksploitasi Jepang dan
kekejaman-kekejaman yang dilakukan balatentaranya, tokoh-tokoh kebangsaan tetap
bersikukuh dan tidak mengenal lelah untuk melawan berbagai praktek tidak
berperikemanusiaan yang keji: dari perbudakan seks hingga manipulasi rayuan
politik untuk melupakan cita-cita kemerdekaan bagi Indonesia.
C. Kemerdekaan dari Eksploitasi: Ke Arah Konsensus, Legalisasi dan Aksi
1. Awal Kemerdekaan hingga Orde Baru
Ketika bom atom Amerika jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, pemimpin
pergerakan Indonesia berkonsolidasi dan membulatkan tekad untuk menyatakan
bebas dari belenggu penindasan rasial dan eksploitasi fisik dan psikologis,
baik dari Belanda maupun Jepang yang datang sesudahnya. Atas nama seluruh rakyat Indonesia, akhirnya proklamasi kemerdekaan
dibacakan oleh Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1945.
Sebagaimana dibuktikan oleh perjalanan sejarah pergerakan kebangsaan di
Indonesia, bahwa meski Islam --seperti disebut diatas—memainkan peran penting
dalam proses integrasi nasional, tetapi pada perkembangannya kemudian akar
ideologis dari semangat antiimperialisme itu berkembang dan terkristalisasi
menjadi tiga elemen dasar; Islam,
nasionalisme dan marxisme/sosialisme. [xxii]
Pembela Islam ideologis bercita-cita bagi terwujudnya Indonesia menjadi
negara yang berdasarkan Islam. Pada saat yang sama, pembela nasionalisme dan
sosialisme berhadap posisi yang sama bagi ideologi mereka. Dalam dialektika dan
perdebatan selanjutnya, peta antagonisme ini kemudian mengerucut menjadi
pembela Islamisme dan sekulerisme: kelompok Islam bersikukuh pada islamisme
sementara kedua kelompok lainnya berdiri diatas logika sekulerisme.
Dalam polarisasi yang demikian, kiranya tidak mengherankan jika menjelang
dan sesudah Indonesia merdeka maka perdebatan fundamental tentang pilar-pilar
kenegaraan dan kebangsaan, seperti dasar negara, hak asasi manusia, juga
didominasi oleh tema dan nafas islamisme dan sekulerisme.[xxiii]
Semangat persatuan yang masih terasa, akhirnya membawa titik kesepakatan
bersama untuk menerima Pancasila (formula kompromi) sebagai dasar negara dan
sekaligus sumber acuan legal utama. Maka, tanggal 18 Agustus 1945 oleh Badan
Pekerja KNIP, UUD 1945, dimana di dalamnya Pancasila dinyatakan sebagai dasar
negara, berlaku. Tonggak konsensus dan konstitusi ini merupakan titik awal
berlakunya acuan legal HAM secara de facto dan de jure.
Pembukaan UUD 1945 sendiri dimulai dengan pernyataan komitmen terhadap HAM:
bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan maupun
perikeadilan. Diatur juga di dalam
pasal-pasal berikutnya tentang komitmen negara dan bangsa terhadap hak
berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Namun, jalannya pemerintahan setelah kemerdekaan belumlah stabil. Belanda
tetap tidak menghendaki kemerdekaan Indonesia. Ada agresi I dan II yang
dilancarkan dengan maksud merebut kembali Indonesia. Ada protes sosial internal
yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan jalan gerilya perang
secara fisik, konsolidasi internal dan perang diplomasi internasional, akhirnya
pihak Belanda dan Indonesia bertemu kembali untuk melahirkan kesepekatan yang
kemudian menjadikan Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan
UUD RIS.
Dilihat dari kacamata HAM, dibanding dengan UUD 1945, UUD RIS yang kelak
dimodifikasi sesuai dengan setting politik menjadi UUD 1950 (Undang-undang
Dasar Sementara), adalah undang-undang yang lebih apresiatif terhadap penegakan
HAM. Terdapat lebih banyak aturan dan rincian tentang jaminan negara bagi
penegakan dan perlindungan HAM: kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat
yang lebih terukur dan tidak semata dibatasi oleh tafsir dan kekuatan
negara.
Sayang, UUD tersebut belum mendapatkan tempat yang layak untuk bertahan.
Kecakapan untuk bernegara masyarakat, kesiapan, pengalaman kultural warganegara
dan penyelenggara negara untuk mengelola negara merdeka belum sepenuhnya
teruji. Kekuatan-kekuatan masyarakat sipil (partai politik, organisasi
masyarakat) justru terlibat dalam political power struggle yang berlarut-larut.
Pemerintahan dan kabinet jatuh bangun dalam waktu yang sangat singkat dan tidak
memungkinkan untuk fokus pada agenda menyejahterakan masyarakat. Meski
demikian, ternyata di bawah UUDS tersebut terselenggara dengan sukses Pemilihan
Umum pertama (1955).
Pemilu yang sukses dan berlangsung secara langsung, umum, rahasia dan jujur
dan adil menghasilkan anggota legislatif (Dewan Konstituante), dengan tugas
pokok menyusun UUD baru. Namun, karena pertentangan ide yang akut, tidak
tercapai mufakat dan kesepakatan tentang UUD baru tersebut. Akhirnya, Presiden
Soekarno merasa mendapatkan legitimasi politik untuk mengeluarkan Dekrit
Presiden yang isinya adalah pembubaran konstituante dan kembali ke UUD 1945.
Hingga jatuhnya Soekarno dari tampuk kekuasaan, praktis penafsiran UUD 1945
dilakukan sendiri oleh Soekarno. Secara materi perundang-undangan, UUD 1945
memang tidak banyak membatasi peran presiden dan lebih cenderung menggantungkan
nasib negara dan pemerintahan kepada presiden. Dibarengi dengan model
kepemimpinan yang sentralistik, maka di era 1960-an, Soekarno selalu
menciptakan pengkondisian yang darurat dengan dalih “revolusi belum selesai”. Pada prakteknya perlindungan HAM masih minimal dan belum
menunjukkan kemajuan.
Kisruh politik yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun
1965, menyebabkan Soekarno jatuh dan diganti oleh Jenderal Soeharto. UUD 1945
tidak berubah, tetapi dibawah semboyan “pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen”, maka menghadirkan praktek ‘demokrasi Pancasila’: adanya repressi
untuk meminimalisir partai politik, pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama,
menjadikan kembali tafsir kekuasaan atas konstitusi sebagai konstitusi itu
sendiri. Prinsip-prinsip utama HAM, atas nama ’demokrasi Pancasila’ sering
diabaikan.
2. Era Reformasi dan HAM
Krisis moneter, tekanan publik dan
pengabaian HAM menyebabkan jatuhnya Soeharto (1998). Salahsatu amanat
reformasi adalah tuntutan ketegasan komitmen negara dan pemerintah terhadap
HAM. Tuntutan tersebut kemudian disuarakan dengan amandemen UUD 1945.
UUD 1945 dipandang telah menciptakan dirinya multitafsir. Penafsiran
sepihak atas UUD 1945 dirasakan telah memberikan iklim negatif bagi tumbuhnya
jaminan dan penegakan HAM. Penguasa bahkan kerap menjadikan UUD 1945 sebagai
‘tameng’ kekuasaan untuk menindas HAM warganegara.
Pengaturan dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 UUD 1945 tentang jaminan kesamaan
warga negara di depan hukum dan jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak serta pasal 28 tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat dipandang sebagai sesuatu yang sudah konvensional, abstrak dan
seringkali ditafsirkan sendiri sesuai dengan selera penguasa.
Berhadapan dengan tuntutan yang demikian, sekurang-kurangnya terdapat empat
kelompok pendapat; pertama, setuju perubahan tetapi tidak menyentuh pembukaan
dan pasal krusial lainnya; kedua, setuju mutlak adanya perubahan: ketiga, tidak
perlu atau belum saatnya ada perubahan; keempat, setuju perubahan tetapi harus
dilakukan kajian matang sebelumnya yang dilakukan oleh komisi independen
(Komisi Konstitusi).
Setelah melalui perdebatan yang alot diantara keempat kelompok tersebut,
maka arah perdebatan menuju kepada pemahaman bahwa: perubahan sebuah konstitusi
harus dipahami secara obyektif-proporsional. Perubahan UUD bukan berarti menghilangkan
jiwa, rasa dan nuansa kesatuan anak bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), tetapi harus dilihat secara realistis sebagai jalan terbaik
bagi kelangsungan masa depan bangsa dalam situasi dan tantangan kontekstualnya.[xxiv]
Searah dengan perkembangan tersebut, setidaknya terjadi empat kali
amandemen UUD 1945. Amandemen kedua UUD 1945 difokuskan kepada tema HAM dalam
konstitusi. Amandemen kedua ini akhirnya memasukkan HAM menjadi satu bab
tersendiri, yakni Bab X A mengenai HAM dengan 10 pasal (pasal 28
A-B-C-D-E-F-G-H-I-J).
Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 tersebut jauh melebihi ketentuan
yang pernah diatur dalam UUD 1945. Selain karena terdapatnya satu bab
tersendiri tentang HAM, hal lain adalah adanya pasal-pasal yang lebih rinci dan
detail yang menegaskan komitmen dan perlindungan HAM pribadi maupun
warganegara.
Jaminan dan komitmen konstitusional tentang perlindungan HAM juga tetap
masih dapat ditemukan pada ketentuan pasal-pasal seperti pasal 27 ayat 1 dan 2
serta pasal 28, tentang persamaan kedudukan di depan hukum, hak atas kehidupan
yang layak dan kemerdekaan berekspresi dan berkumpul. Kesemua pasal ini adalah
teks asli dari UUD 1945 versi sebelum amandemen.[xxv]
D. Perempuan dan HAM
Disamping konfrontasi fisik dengan Belanda, akhir abad XIX ditandai juga
dengan kebangkitan kaum perempuan Indonesia dari keterkungkungan budaya
maskulin dan eksploitasi struktur sosial patriarkal.
Jika Nyi Ageng Serang (1752-1828), Martha Christina Tiahahu (1818), Cut
Nyak Dien (1850-1908) dan Cut Mutia (1870-1910) adalah penggerak semangat
heroik dan pendobrak tradisi kepemimpinan militer-kultural laki-laki, maka
Kartini (1879-1908) merepresentasikan penggagas ide dan gerakan feminis.
Ide-ide feminis Kartini tidaklah timbul spontan tetapi melalui serangkaian
siksaan psikologis yang dialaminya sendiri: ia dimadu sebagai istri keempat,
dijodohkan dengan suami yang tidak ia pilih sendiri, dikungkung oleh adat
priyayi yang maskulin dan pemahaman keagamaan patriarkal yang konservatif.[xxvi]
Kesadaran akan perlunya kesetaraan laki-perempuan kemudian menyebar dan
tersosialisasikan: Muhammadiyah memiliki perkumpulan perempuan sendiri, Sarekat
Islam dan Sarekat Rakyat juga memiliki perhimpunan-perhimpunan perempuan.[xxvii]
”Putri Mardika” yang berdiri di Jakarta tahun 1912 berusaha untuk
memperkuat dan lebih cepat menyadarkan perempuan akan hak-haknya: perempuan
tidak dapat dikungkung dengan peran domestik, ia dapat tampil di depan publik,
ia memiliki kesetaraan dengan laki-laki. ”Putri Mardika” juga memulai berkampanye
tentang perbedaan kodrati dan perbedaan non-kodrati. Perbedaan kodrati tidak
dapat dielakkan, sementara non-kodrati karena konstruk budaya, semestinya dapat
dihilangkan. Organisasi ini juga tidak hanya bergerak secara domestik tetapi
menjalin dan merespon isu-isu feminis yang berkembang secara internasional.[xxviii]
Desember 1945, diadakan kongres pertama perempuan Indonesia setelah perang.
Setahun berikutnya organisasi perempuan yang telah berkembang pesat, disatukan
menjadi Korps Wanita Indonesia (Kowani). Dalam kongresnya di tahun 1949, Kowani
berhasil merumuskan beberapa pernyataan untuk memperjuangkan kepentingan
perempuan; a. kesamaan hak laki-perempuan hendaknya dicantumkan di dalam
konstitusi; b. semua warganegara, termasuk perempuan memiliki hak unuk bekerja;
c. undang-undang perburuhan hendaknya disusun dengan memperhatikan kepentigan
perempuan; d. undang-undang perkawinan dikodifikasi dan diberlakukan sesuai
dengan agama masing-masing.
Di masa awal kemerdekaan hingga runtuhnya Orde Lama hingar bingar politik
dan semaraknya persaingan antar partai-partai politik menjadikan kelompok
perempuan tersubordinasikan dengan kepentingan masing-masing partai. Hampir
tidak ada partai politik yang tidak memiliki organisasi perempuan. Hal ini
menunjukkan peran signifikan organisasi perempuan yang semakin meningkat di
satu sisi, tetapi di sisi lain menunjukkan bahwa ideologi perempuan sebagai
”mengikut dan menyokong” laki-laki menjadi tetap tumbuh subur.
Tahun 1952 Kowani kembali mengadakan kongresnya. Dalam kongres ini Kowani
mengeluarkan resolusi: a. agar perempuan ikut terlibat aktif dan diberi tempat
pada Pengadilan Agama; b. Untuk beberapa pejabat yang menangani masalah hukum
keluarga diberikan pelatihan khusus; c. Dibentuk tim khusus untuk pendidikan
perempuan; d. Dewan penasehat biro tenaga kerja secara lebih luas hendaknya
melibatkan perempuan; e. Penerbitan yang tidak mengindahkan nilai susila
diberikan sanksi hukum tegas.[xxix]
Memasuki era Orde Baru, seiring dengan dominannya politik repressif, maka
gerakan perempuan menjadi semakin tersudut secara sistematis. Di semua lembaga negara dibentuk organisasi perempuan
dengan nama Dharma Wanita. Pada lapisan masyarakat desa serta kelurahan
dibentuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Sayangnya, apa yang dilakukan di dalam PKK dan Dharma Wanita ternyata lebih
cenderung untuk melanggengkan ideologi domestikasi perempuan dan supremasi
laki-laki. Pendidikan yang diberikan di PKK adalah pendidikan
ketrampilan-ketrampilan tugas domestik: memasak, menjahit dan membuat karangan
bunga. Sementara di organisasi Dharma Wanita, istri-istri pegawai negeri
diajarkan untuk tidak berbicara dengan suara keras, tidak mementingkan diri
sendiri dan lebih mengutamakan kepentingan suami, siap untuk membantu suami
sebagai pencari nafkah pendukung.
Tipe kegiatan perempuan Orde Baru ini masih dominan hingga era reformasi
dewasa ini. Hingga sekarang, secara umum gerakan perempuan masih didominasi
oleh kultur subordinatif dan supremasi laki-laki, terutama yang dilakukan oleh
aktivitas dan organisasi non-independen (PKK dan Dharma Wanita).
Di pihak lain, beberapa organisasi perempuan yang lebih independen yang
dimotori oleh Lembaga Swdaya Masyarakat maupun organisasi sosial kemasyarakatan
lebih dapat merespon tantangan terhadap aktualisasi dan revitalisasi
kesejajaran eksistensi dan hak perempuan-laiki-laki secara progressif dan
kontekstual, baik pada level konsep maupun manajemen gerakan.
Isu-isu terkait dengan domestikasi, subordinasi dan kekerasan perempuan, di
ranah sipil, ekonomi, sosial maupun kultural terus dikritisi oleh kelompok yang
terakhir ini. Diantaranya, karena kritisisme mereka maka Indonesia telah
meratifikasi Konvensi PBB 1979 (Convention on the Elimination of Discrimination
against Women), ratifikasi konvensi PBB No. 138/1973 tentang Usia Minimal Untuk
Diperbolehkan Bekerja (UU No. 20/1999), ratifikasi Konvensi PBB No 111/1958
mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan (UU No. 21/1999), ratifikasi
konvensi PBB No. 182/1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan memiliki UU No. 23/2004 tentang
Penghapusan Kekerasan di Dalam rumah Tangga.
Meski
adanya teks perundang-undangan belum menjadi jaminan dari dilindunginya hak-hak
perempuan, tetapi sedikitnya materi UU tersebut menunjukkan adanya tekad kuat
menuju ke arah sana.
[i]
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogya: Kanisius,
1982, hal. 301.
[ii]
Tentang karya-karya penting Locke dapat dilihat di, Two Treaties of
Government, A Letter on Toleration, An Essay Concerning Human
Understanding. Kapita Selekta pemikiran Rousseau, dapat dilihat di Jack
Lively and Andrew Reeve (ed.), Modern Political Theory from Hobbes to Marx:
Key Debates, New York: Routledge, 193.
[iii]
Edward Powell, Kingship, Law and Society: Criminal Justice in the Reign of
Henry V (Oxford: Clarendon Press, 1989), hal. 33.
[iv]
Edward C. Smith, The Constitution of
the United States, New York:
Barnes & Noble, 1966, hal. 17.
[v] Ibid, hal. 20
[vi]
A.Rahman Zainuddin, Hak-hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta:
Obor, 1994, hal. 1-30.
[vii]
Untuk melihat paket-paket kebijakan masyarakat internasional tentang hak-hak
dasar, lihat, United Nations, Human Rights; A Compilation of International
Instruments, vol. 1, New York: United Nation, 1993.
[viii] Lihat: D.W. Weldern-Rengers, The
Failure of a Liberal Colonial Policy, Netherlands East Indies, 1816-1830,
The Hague, t.p., 1974, hal. 132-162; Clive Day, The Policy and
Administration of the Dutch in Java, New York: Cornell Univ. Press,
1904, hal. 249-250; J.E. Stokvis, Van Wingewest naar Zelfbestuur in
Nederlandsch-Indie, Amsterdam: t.p., 1912, hal. 88-95.
[ix]
J.O.M., Broek, Economic Development of the Netherlands Indies, New York:
Cornell Univ. Press, 1942.
[x] Lihat lebih lanjut, Anthony Reid,
Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2004, hal. 336-339.
[xi] Reid, Ibid, 335.
[xii] Harry J. Benda, Bulan Sanit
dan Matahari Terbit, Jakarta: Pustaka Jaya, 1958.
[xiii] Untuk penjelasan tentang
beberapa pernyataan para politisi aliran politik etis, lihat: P. Brooshooft, De
Etische Koers in de Kolniale Politik, Amsterdam, t.p., 1901; lihat juga,
J.E. Stokvis, ”Goede Worden zonder Geld”, dalam De Taak, 1918,
hal. 413; Algemeen Landbouw Weekblad, 1928, hal. 1316-1317.
[xiv] Benda, Bulan Sabit, hal.
27-52.
[xv] Lihat dan bandingkan: A.K.
Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Djakarta: Penerbit
Pustaka Rakjat, 1964, hal. 15; Iwa K. Sumantri, Sedjarah Revolusi Indonesia,
djilid 1, Djakarta: t.p., hal 39 dan 62.
[xvi]
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-1942, Jakarta:
LP3ES, hal. 114-169.
[xvii] Noer, hal. 126.
[xix]
Bandingkan dengan Noer, Gerakan, hal. 114-169.
[xx]
Lebih lanjut, baca, Bernard Dahm, Soekarnos Kampt um Indonesiens
Unabhangigkeit, Werdegang und Ideen eines asiatischen Nationalisten,
Berlin: Humboldt Univ., 1966.
[xxii]
Robert van Neil, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, The Hague
and Bandung; W. van Hoeve, 1960; A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan
Rakjat Indonesia, Jakarta; Pustaka Rakyat, 1950; Ruth Mc Vey, The
Comintern and the Rise of Indonesian Communism, Ithaca; Cornell university,
1961.
[xxiii]
Lebih jauh lihat, Bachtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998.
[xxiv]
Majda El-Nuhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2005, hal, 85 dan 112.
[xxvi]
Lebih jauh, baca, Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Sadja, 2
jilid, Bukittinggi-Djakarta, 1962.
[xxviii]
Lebih jauh, baca, Fauzie Ridjal, dkk (Ed.), Dinamika Gerakan Perempuan di
Indonesia, Yogya: Tiara Wacana, 1993; S. Eleonora Weiringa, Penghancuran
Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garda Budaya, 1999.
[xxix]
Lihat, Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1978.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar