Pengantar
HAM dipercaya sebagai memiliki nilai universal, yang berarti tidak mengenal
batas dan ruang waktu. Nilai universal HAM tersebut dikukuhkan dalam instrumen
internasional yang juga memuat institusi (lembaga) internasional sebagai
lembaga pengawas dan penegakan HAM
Perjanjian internasional sebagai instrumen internasional, pada Statuta International Court of Justice
(ICJ) Pasal 38 (1) secara tegas menyebutkan bahwa perjanjian (konvensi)
internasional yang menetapkan norma hukum yang diakui oleh negara pihak yang
terlibat, merupakan sumber utama dalam hukum internasional HAM. Selain itu,
instrumen internasional tentang HAM dapat berbentuk kebiasaan internasional,
prinsip umum hukum yang diakui bangsa beradab (ius cogens), dan keputusan yudisial serta ajaran para ahli hukum.
Perkembangan instrumen internasional tentang HAM, mengalami kemajuan yang
pesat di bawah PBB, baik berupa perjanjian internasional dalam bentuk konvensi,
kovenan, statuta serta standar internasional lainnya. Selain itu, terdapat
deklarasi, proklamasi, kode etik, aturan bertindak, prinsip-prinsip dasar dan
rekomendasi.
The Bill of Human
Rights International adalah instrumen
umum HAM yang terdiri dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan 2 kovenan
internasional, yakni Kovenan tentang hak sipol, dan Konvenan tentang hak ekosob.
The Bill of Human Rights International sebagai
instrumen umum HAM ditetapkan oleh Majelis Umum PBB. Selain itu, terdapat instrumen HAM yang ditetapkan oleh lembaga atau badan
PBB lainnya seperti UNESCO, dan ILO. Badan atau Lembaga PBB tersebut menetapkan
instrumen khusus, baik dalam bentuk konvensi maupun pernyataan atau resolusi
serta rekomendasi guna melindungi dan pemenuhan hak asasi manusia. Beberapa
instrumen khusus yang perlu mendapat perhatian, antara lain: hak menentukan
nasib senidiri, pencegahan diskriminasi, hak hak perempuan, hak hak anak, dan
larangan penyiksaan.
Prosedur dan lembaga pengawasan HAM berdasarkan instrumen internasional
dapat dibedakan pada yang berdasarkan Perjanjian Internasional, dan yang
berdasarkan wewenang dari Piagam PBB. Setidaknya terdapat tujuh mekanisme
pengawasan dan lembaga pengawasan yang disebut Komite. Ketujuh perjanjian yang
membentuk Komite tersebut adalah; Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob,
Kovenan Hak Sipol, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial, Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan, Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat.Konvensi
Tentang Hak-hak Anak, dan Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak-hak
Semua Buruh dan Anggota Keluarganya.
Prosedur
berdasarkan Piagam PBB dikembangkan dengan resolusi ECOSOC yang menentukan
prosedur umum sesuai Resolusi 1235, yang terdiri prosedur pengawasan yang
ditujukan kepada negara, dan yang ditujukan secara tematis. Sedangkan Resolusi
1503, mengatur prosedur khusus atau rahasia (konfidensial). Selain itu,
terhadap kejahatan HAM berat, PBB mengadopsi Statuta Roma Mengenai Pengadilan
Pidana Internasional (Rome Statute of the
Criminal Court), di mana pelakunya dapat diadili oleh Pengadilan Pidana
Internasional berdasarkan yuridiksi (kewenangan) yang ditentukannya.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia telah meratifikasi beberapa
instrumen internasional tentang HAM. Ratifikasi dilakukan melalui peraturan
perundang-undangan dalam bentuk Undang-undang (UU) dan Keputusan Presiden
(Keppres). Sampai tahun 2006 terdapat 6 instrumen internasional HAM yang telah
diratifikasi, dan 17 instrumen ILO yang berkaitan dengan hak hak perburuhan.
A. Pendahuluan
Abad XX ditandai dengan usaha untuk mengkonversikan hak hak individu yang
sifatnya kodrati menjadi hak hukum. Usai Perang Dunia II, hukum hak asasi
internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas. Adanya kekejaman
Nazi terhadap rakyatnya sendiri menjadikan komitmen internasional melalui
organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk menciptakan aturan (orde)
internasional yang adil dan mantap di bawah naungan PBB.
Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai memiliki nilai universal, yang berarti
tidak mengenal batas dan ruang waktu. Nilai universal HAM tersebut dikukuhkan
dalam instrumen internasional, yang juga memuat institusi (lembaga)
internasional sebagai lembaga pengawas dan penegakan HAM.
B. Instrumen HAM sebagai Hukum Internasional
Pada umumnya, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan
peraturan dan ketentuan ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara
negara-negara dan subyek-subyek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat
internasional. Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar hukum
terkenal di masa lalu, terbatas pada negara sebagai subyek hukum. Namun dengan
perkembangan pesat abad XX, terutama meningkatnya hubungan kerjasama dan
ketergantungan antar negara, menjamurnya organisasi internasional, menyebabkan
ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya, hukum
internasional bukan saja mengatur hubungan antara negara, tetapi juga subyek-subyek
hukum lainnya seperti organisasi internasional, kelompok kelompok
supranasional, dan gerakan pembebasan nasional.
Hukum internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam
hubungannya dengan negara-negara. Dengan demikian, hukum internasional dapat
dirumuskan sebagai suatu kaidah atau norma-norma yang mengatur hak dan
kewajiban para subyek hukum internasional, yaitu negara, lembaga dan organisasi
internasional, serta individu dalam hal tertentu.[i]
Hukum internasional saat ini bukan saja mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan perdamaian dan keamanan, tetapi juga menyangkut masalah politik,
dekolonisasi, ekonomi, teknologi, masalah lingkungan, dan HAM demi tercapainya
kesejahteraan dan keserasian dan kehidupan antarbangsa.
Adapun sumber materiil hukum dari
hukum internasional menurut JG Starke, didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual
yang digunakan para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang
berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu. Bahan-bahan hukum tersebut
dikategorikan ke dalam 5 bentuk, yaitu kebiasaan, tarktat atau perjanjian,
keputusan pengadilan atau badan arbitrase, karya atau ajaran hukum, serta
keputusan atau ketetapan lembaga internasional.[ii]
Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional tidak memasukkan
keputusan keputusan badan arbitrase internasional karena dalam praktik
penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase hanya merupakan pilihan hukum dan
kesepakatan para pihak pada perjanjian.
Dalam perjanjian internasional,
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 38 (1) Statuta International Court of Justice (ICJ) dinyatakan: “konvensi
(perjanjian) internasional, yang bersifat umum dan khusus, yang menetapkan
norma hukum yang diakui oleh negara pihak yang terlibat merupakan sumber utama
dalam hukum internasional hak asasi manusia”
Pasal 38 (1) ICJ juga menguraikan
kebiasaan internasional sebagai praktik umum yang dilakukan, yang dapat diterima
dan disebut sebagai hukum, dengan syarat paling tidak memenuhi 2 unsur, yakni
unsur materiil berupa praktik pengulangan tindakan, sehingga bisa
dikualifikasikan sebagai kebiasaan, serta unsur psikologis di mana tindakan itu
memang sudah seharusnnya dilakukan untuk pemenuhan kewajiban yuridis yang tidak
termuat dalam norma tertulis atau disebut opinio
iuris sivenenecessitatis.
Prinsip prinsip umum hukum yang diakui bangsa-bangsa beradab, juga dimuat
dalam Pasal 38 (1) ICJ, sebagai sumber hukum internasion HAM. Prinsip-prinsip
umum hukum ini merupakan prinsip yang bersifat mendasar sehingga harus diadopsi
menjadi bagian dari tata hukum, walaupun prinsip ini tidak dimuat dalam
peraturan secara eksplisit, misalnya persamaan perempuan dan laki laki. Prinsip
umum ini, juga disebut sebagai ius cogens,
dimana peraturan-peraturan yang dibuat tidak diperbolehkan menyimpang dari
prinsip hukum umum.
Keputusan yudisial dan ajaran
para ahli hukum, sebagai sumber hukum internasioanl HAM juga dinyatakan oleh
Pasal 38 (1) ICJ. Dalam konteks ini putusan yang ditetapkan oleh Mahkamah
Pengadilan Internasional (ICJ), mempunyai posisi khusus, sebagai putusan yang
dapat dijadikan sumber hukum internasional.
Selain keempat sumber hukum
tersebut, keputusan-keputusan organisasi internasional juga dapat disebut
sebagai sumber hukum internasional yang penting dalam HAM, terutama disebabkan
dapat munculnya hak dan kewajiban internasional di bidang HAM. Sebagai contoh,
resolusi-resolusi yang diadopsi dan ditetapkan Majelis Umum (General Assembly-GA) , Dewan Ekonomi dan
Sosial (Economic and Social
Council-ECOSOC) atau Komisi Hak hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights-CHR) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).[iii]
C. Instrumen
Umum HAM
Perkembangan instrumen internasional HAM, megalami kemajuan yang sangat
pesat di bawah perjuangan PBB. Intsrumen ini meliputi perjanjian internasional,
baik berupa kovenan, konvensi dan statuta, serta standar internasional lainnya.
Selain itu, instrumen internasional HAM ini juga tidak terbatas pada deklarasi,
proklamasi, kode etik, aturan bertindak (code
of conduct), prinsip-prinsip dasar, dan rekomendasi.
Kemajuan yang mengesankan dalam tataran normatif, bisa dilihat dari
bertambahnya negara yang menjadi negara pihak, yang mengikatkan diri,
meratifikasi perjanjian internasional, sehingga hukum internasional mempunyai
kekuatan hukum dalam sistem hukum nasional (domestik). Dengan demikian, negara
yang bersangkutan telah menerima obligasi (kewajiban) masyarakat internasional
untuk mempromosikan, menghormati, melindungi dan memenuhi, memfasilitasi dan
menyediakan hak asasi dan kebebasan-kebebasan manusia yang fundamental.
Adapun yang dimaksud dengan instrumen umum HAM terdiri dari DUHAM dan Kovenan
Internasional tentang hak ekosob, serta Kovenan Internasional tentang hak sipol.
Instrumen
umum ini dikenal dengan the Bill of Human
Rights International.
1. Deklarasi Universal Hak Hak Asasi Manusia. (DUHAM)
Tidak dapat disangkal bahwa PBB
mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam pemajuan dan perlindungan HAM di
seluruh dunia. 3 tahun setelah PBB berdiri, Majelis Umum mencanangkan
Pernyataan Umum tentang HAM (Universal
Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948. Dapat dikatakan bahwa
deklarasi tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan HAM, sebagai
standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa. Saat sidang umum, 48 negara menyatakan persetujuannya,
sementara 8 negara menyatakan abstain atau tidak menolak dan tidak menerima.
Deklarasi tersebut terdiri dari 30 Pasal yang mengumandangkan seruan agar
rakyat menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan HAM
dan kebebasan yang telah ditetapkan dalam deklarasi. Hak-hak yang diuraikan
dalam deklarasi tersebut dapat dikatakan sebagai sintesis antara konsepsi
liberal yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan dan persaudaraan
yang berasal dari revolusi Prancis, dan konsepsi sosialis berupa hak ekonomi,
sosial dan budaya secara kolektif. Meskipun bila dilihat rumusan pasal-pasalnya,
deklarasi lebih mengakomodasi hak individual, karena hampir semua pasal dimulai
dengan kata “setiap orang” berhak atau mempunyai hak.
Pasal 1 dan 2 DUHAM menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat
dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang
ditetapkan oleh deklarasi tanpa membeda bedakan baik dari segi ras, warna
kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal usul
kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain.
Selanjutnya, kebebasan fundamental hak-hak sipil diatur pada Pasal 3-19, hak
hak politik terdapat dalam Pasal 20–21, sedangkan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya terdapat dalam Pasal 22-28.
Hak asasi serta kebebasan dasar dan fundamental manusia dalam DUHAM, secara
garis besar adalah sebagai berikut:
a.
Kebebasan fundamental hak hak
sipil, Pasal 3-19 :
1)
Hak untuk hidup dalam kebebasan dan keselamatan diri
2)
Bebas dari perbudakan
3)
Bebas dari penyiksaan, hukuman atau perbuatan keji lainnya yang tidak
berprikemanusiaan dan merendahkan martabat
4)
Hak atas pengakuan yang sama di depan hukum
5)
Hak yang sama di depan hukum
6)
Hak mendapat bantuan saat hak hak hukumnya tidak dipenuhi
7)
Bebas dari penangkapan, pemenjaraan,
atau pembuangan tanpa alas an yang jelas
8)
Hak atas proses peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang
independen dan tidak memihak
9)
Hak menikmati perlakuan sebagai orang yang tidak bersalah sampai dinyatakan
terbukti bersalah oleh pengadilan
10)
Hak pribadi atas rumah. keluarga dan komunikasi.
11)
Bebas tinggal di manapun di dalam negeri, atau berpindah, bepergian dan
kembali ke kampung halaman
12)
Hak mencari suaka di negara lain untuk menghindari pengejaran di negerinya
13) Hak
atas kewarganegaraan
14)
Hak laki laki dan perempuan menikah dan membentuk suatu keluarga
15) Hak
atas harta kekayaan
16)
Hak bebas berpikir, berkesadaran, beragama dan kepercayaan
17)
Bebas memiliki dan menyatakan pendapat.
b.
Hak fundamental berupa hak hak politik, Pasal 20-21:
1)
Hak berserikat, berkumpul yang bertujuan damai, serta hak memilih untuk
tidak terlibat dalam sebuah perkumpulan
2)
Hak berpartisipasi dalam pemerintahan, termasuk hak terlibat dalam
pemerintahan di negaranya
c.
Hak fundamental dalam hak ekonomi, social dan budaya, Pasal 22-28:
1)
Hak atas jaminan sosial, ekonomi serta jaminan hak hak sosial dan budaya
2)
Hak untuk bekerja dengan layak, mendapat penghasilan yang adil, dan
memiliki hak bergabung dalam serikat buruh
3)
Hak atas waktu istirahat dan hari libur di antara waktu (jam) kerja
4)
Hak atas standar kehidupan yang memadai
5)
Hak atas pendidikan
6)
Hak untuk ikut serta secara bebas dalam kehidupan kebudyaan masyarakatnya
7)
Hak atas tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak pada deklarasi
ini diakui.
DUHAM dari segi hukum tidak mempunyai daya ikat seperti konvensi atau
perjanjian internasional. Hal tersebut sejalan dengan kompromi dalam penyusunan
“the bill of human rights”, yang
memandatkan kepada sebuah komisi berdasarkan Pasal 68 Piagam PBB, untuk promosi
HAM. Saat itu muncul 2 aliran tentang sifat daya ikat keberlakuan aturan
tentang HAM, yang nantinya disusun oleh komisi. Amerika Serikat, merupakan
pendukung utama aliran hukum yang sifatnya tidak mengikat, dalam bentuk
misalnya dirumuskan dalam sebuah deklarasi. Sebaliknya aliran yang didukung
negara negara Eropa, cenderung mendukung perumuusan aturan hukum HAM yang sifat
kewajibannya mengikat (legally binding).
Kompromi yang terjadi adalah disepakatinya dokumen “the bill of rights” akan disusun dalam 3 elemen pokok, yakni
deklarasi yang memunculkan DUHAM dan 2 perjanjian internasional (covenan) serta sistem pengawasan
internasional. Kedua perjanjian internasional dan sistem pengawasannya tersebut
dikenal dengan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik, dan kovenan
internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya[iv]
Walaupun DUHAM tidak mengikat secara yuridis sebagaimana perjanjian
internasional, tetapi ia mempunyai arti penting secara historis dan politik serta
yuridis. DUHAM telah menjadi dokumen yang dimanfaatkan dalam forum politik dan
yuridis, serta dijadikan referensi pokok dalam penyusunan perjanjian
internasional hak-hak asasi di level regional seperti Konvensi Eropa, Konvensi
Amerika dan Piagam Eropa. Demikian juga, DUHAM telah menjadi referensi penting
dalam perumusan HAM di level konstitusi sebuah negara atau nasional. Bahkan, deklarasi
digunakan oleh bangsa-bangsa yang menuntut kemerdekaan, bebas dari praktik
penjajahan/kolonial, serta digunakan dalam perjuangan praktik diskriminasi
rasial.
Karena perkembangan tersebut, maka DUHAM telah menjadi bagian dari hukum
internasional yakni sebagai hukum kebiasaan. Ia mempunyai sifat dokumen yang
mengikat secara politis, serta status pengikatannya secara perlahan lahan
menjadi tidak ditolak negara-negara anggota PBB, khususnya karena keterlibatan
negara-negara dunia ketiga dalam proses perumusannya. DUHAM telah
menjadi “common standard of achievement“
atau “un ideal commun of atteindre”.
Terutama sejak tahun 1968, dalam Proklamasi Teheran, yang tidak kurang dari 100
negara berbicara dan merumuskannya, yang menegaskan secara aklamasi bahwa DUHAM
diposisikan sebagai dokumen “yang memuat pengertian bersama bangsa bangsa di
dunia mengenai hak hak yang tidak dapat dicabut dan diganggu gugat dari manusia
dan merupakan kewajiban bagi anggota internasional” Perumusan pernyataan
tersebut dengan mempertimbangkan penilaian negara-negara terhadap situasi dan
kondisi politik, ekonomi dan kebudayaan yang menjadi perhatian selama
penyelenggaran konferensi, 22 April–13 Mei 1968.[v]
2.
Perjanjian (Kovenan) Internasional
Rumusan mengenai perjanjian internasional
dalam arti yang luas dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai berikut: “perjanjian
internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa
yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”[vi]
Dari batasan tersebut, dapat dipahami bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian
internasional, maka perjanjian tersebut harus diadakan oleh subyek hukum
internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Jadi, pertama tama termasuk di dalamnya adalah perjanjian
antarnegara, antaranegara dengan organisasi internasional dan di antara
organisasi internasional itu sendiri.[vii] Pengertian yang lebih luas tentang perjanjian
internasional, beberapa istilah digunakan bagi perjanjian internasional itu
sendiri. Dalam
hal ini diketemukan istilah seperti treaty,
convention, protocol, declaration, agreement, charter, covenant, pact, statue, exchange of notes,
modus vivendi, accord, dan sebagainya. Dilihat secara
yuridis, semua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama sebagai
perjanjian internasioanal .[viii]
Secara fungsional sebagai sumber hukum, maka pengertian perjanjian
internasional itu dapat berfungsi sebagai “law
making treaties”. Pengertian law
making treaties ini adalah bahwa perjanjian internasional tersebut meletakkan
ketentuan ketentuan atau kaidah kaidah hukum bagi masyarakat internasional
secara keseluruhan.[ix]
Kovenan internasional berkaitan dengan HAM sebagai the bill of rights internasional membutuhkan waktu 18 tahun untuk
dapat disahkan dan diadopsi Majelis Umum PBB pada 16 Desember 1966. Dengan
suara bulat negara-negara menyetujui 2 kovenan internasional, yakni kovenan
tentang hak sipol, serta kovenan tentang hak ekosob. Sementara untuk protokol
opsional kovenan ini, dalam Sidang Majelis Umum PBB, 66 negara menyatakan
persetujuannya, hanya 2 negara yang menolak (Nigeria dan Togo). Sedangkan 38
perwakilan negara dari Eropa Timur dan Afro-Asia tidak memberikan suara (abstain) terhadap ketentuan tambahan
mengenai hak individu untuk menyampaikan pengaduan (complaint).[x]
Kedua kovenan tersebut, selanjutnya membutuhkan 10 tahun untuk dapat
diberlakukan. Kovenan hak ekosob berlaku sejak 3 Januari 1976. Sementara kovenan
hak sipol termasuk protokol opsionalnya dimulai 23 Maret 1976. Perkembangan
selanjutnya pada 15 Desember 1989, Majelis Umum PBB mengadopsi protokol opsional
ke-2 untuk kovenan hak sipol.
Kovenan internasional tentang hak ekosob terdiri dari Mukadimah dan 5 bab dengan 31 Pasal yang memuat jaminan
perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak tersebut, mulai dari
hak untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan hingga hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan budaya. Sampai Januari 2006, telah 152 negara meratifikasi
kovenan ini.[xi]
Kovenan internasional tentang hak sipol terdiri dari Mukadimah dan 6 bab dengann 53 Pasal. Pada ketentuan umumnya dimuat
rumusan yang memberikan obligasi (kewajiban) negara berupa: untuk menghormati
dan memastikan pemenuhan hak asasi tanpa pembedaan (diskriminasi) berdasarkan
apapun, mengupayakan persamaaan hak antara laki laki dan perempuan dalam
menikmati jaminan hak sipol, bahwa pengecualian tentang penundaan pemenuhan hak
sipol dalam situasi darurat yang mengancam kehidupan dan eksisitensi bangsa,
hanya bisa dilakukan dengan memenuhi asas proporsional dan non diskriminasi berdasarkan
aturan hukum yang jelas. Konvenan internasional ini telah diratifikasi oleh 155
negara per Januari 2006.[xii]
Adapun protokol opsional kovenan hak sipol pertama, memuat ketentuan
kewenangan Komite HAM sebagai lembaga pengawas, dan memeriksa laporan
pelaksanaan hak sipol. Sampai dengan Januari 2006 telah diratifikasi oleh 105
negara. Sedangkan protokol opsional ke dua kovenan hak sipol, yang yang memuat
larangan atau penghapusan hukum mati, sampai dengan Januari 2006 baru 105
negara yang meratifikasi.[xiii]
D. Instrumen
Khusus HAM
Norma “Bill of Rights” internasional adalah instrumen internasional HAM yang
ditetapkan oleh Majelis Umum PBB. Selain itu terdapat instrumen hak asasi
manusia yang disusun dan ditetapkan oleh lembaga atau badan PBB lainnya, seperti
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation/UNESCO),
dan Organisasi Buruh Internasional (Internasional
Labor Organisation/ILO). Badan atau lembaga
PBB tersebut menetapkan instrumen khusus baik dalam bentuk perjanjian
(konvensi) maupun pernyataan atau resolusi, dan rekomendasi guna melindungi dan
pemenuhan HAM.
Beberapa instrumen khusus yang berkaitan dengan masalah yang perlu mendapat
perhatian anatara lain; hak menentukan nasib sendiri, pencegahan diskriminasi,
hak-hak perempuan, hak-hak anak, dan larangan penyiksaan[xiv]
1. Hak Menentukan
Nasib Sendiri
Jaminan tentang hak menentukan
nasib sendiri dirumuskan dalam deklarasi tentang pemberian kemerdekaan kepada negara
dan bangsa jajahan (declaration on the granting
of independence to colonial countries and people) pada 14 Desember 1960
oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi No. 1514, jauh sebelum 2 kovenan internasional
mengenai hak sipol serta hak ekosob ditetapkan. Deklarasi ini dikenal juga
dengan sebutan deklarasi dekolonisasi.
Hak menentukan nasib sendiri
dirumuskan tidak saja mempunyai makna bebas untuk menentukan status politik
dalam ketatanegaraan, namun juga bebas untuk mengupayakan pembangunan ekonomi,
sosial dan budaya, termasuk hak semua bangsa untuk bebas mengelola dan
memanfaatkan sumber dan kekayaan alam untuk tujuan pemenuhan HAM, yang pada
tataran selanjutnya dielaborasi oleh deklarasi tentang kedaulatan permanen atas
sumber daya alam (permanent soveerignty
over natural resources) pada tahun 1962 melalui resolusi 1803 Majelis Umum
PBB.
Dalam perkembangannya, istilah
penentuan nasib sendiri diartikan bukan saja tentang hak merdeka berkaitan
dengan dekolonisasi sebuah negara, tetapi berkembang menjadi kebebasan kolektif
(penduduk) untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan serta
implementasinya di dalam kehidupan bernegara.
Instrumen lain yang berkaitan
dengan hak menentukan nasib sendiri adalah konvensi internasional larangan
rekrutmen, penggunaan, pembiayaan dan pelatihan tentara bayaran (internasional convention against the
recruitment, use, financing and training of mercenairies, entry into force)
pada 20 Oktober 2001. Dalam konvensi ini tentara
bayaran juga dianggap sebagai kejahatan berat dan semua orang yang terlibat
dalam praktik ini harus diproses secara hukum dan diekstradisi.
2. Pencegahan Diskriminasi
Setidaknya ada 8 instrumen pokok internasional yang diadopsi PBB berkaitan
dengan pencegahan diskriminasi, yakni: (1) Konvensi ILO No. 100 (1951), (2) Konvensi
ILO No. 111 (1958), (3) Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial (1965), (4) Konvensi UNESCO menentang diskriminasi di
bidang pendidikan (1960), (5) Deklarasi Tentang Praduga Rasial dan Ras (1963),
(6) Protokol Pembentukan Sebuah Komisi dan Konsiliasi yang bertanggung jawab
untuk menyelesaikan sengketa antara Negara Pihak berkaitan dengan Konvensi
Menentang Penyiksaan di Bidang Pendidikan (1962), (7) Deklarasi tentang
Penghapusan semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan
Kepercayaan (1981), serta (8) Deklarasi dan Program Aksi Durban, yang
dihasilkan konferensi dunia menentang rasisme (2001).
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memberikan perhatian amat serius
terhadap problem diskriminasi. Konvensi ILO No 100 menentukan tentang
pengupahan yang sama untuk laki-laki dan perempuan terhadap pekerjaan yang
sejenis. Sementara Konvensi ILO No 111 menentukan tentang penghapusan
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan antara laki laki dan perempuan.
Organisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO), juga mengadopsi
setidaknya 2 instrumen pokok yang memuat larangan dan pencegahan diskriminasi di bidang
pendidikan.
Upaya penghapusan praduga rasial dan diskriminasi mendapat perhatian
khusus. Majelis Umum PBB mengadopsi deklarasi (1963) dan konvensi (1965).
Kemudian Majelis Umum juga menghasilkan konvensi internasional tentang
Pemberantasan dan Penghukuman Kejahatan Pembedaan Warna Kulit (1975). Sementara
larangan praktik diskriminasi terhadap perempuan, mendapatkan perhatian khusus
dengan diadopsinya konvensi tentang Penghapusan semua Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (1979).
Untuk penghapusan semua bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan
Agama dan Kepercayaan, Majelis Umum PBB baru mampu memproklamasikan deklarasi
tentang hal tersebut pada tahun 1081, yang diterima tanpa pemungutan suara (hal
yang sama dilakukan Majelis Umum ketika memproklamasikan Deklarasi tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak dalam situasi Darurat dan Konflik bersenjata
pada 1974).
3. Hak-hak
Perempuan
Dalam konteks hak-hak perempuan,
selain konvensi dan protokol opsional tentang penghapusan semua bentuk
diskriminasi terhadap perempuan, yang telah dikemukakan di atas, terdapat 2
instrumen pokok lain, yakni: Deklarasi Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak
anak dalam Situasi Darurat dan Konflik Bersenjata (1974), serta Deklarasi
tentang Penghapusan terhadap Perempuan (1993).
Aturan tentang hak-hak perempuan
dapat dikatakan menyebar dalam “payung” klasifikasi lainnya, seperti protokol
untuk mencegah, menghapus dan menghukum perdagangan perempuan, terutama perempuan
dan anak. Protokol tambahan konvensi menentang kejahatan terorganisir
internasional (2000). Terdapat juga sejumlah jaminan hak-hak perempuan,
terutama persamaan hak-hak perempuan dan laki laki, misalnya pada konvensi
tentang persetujuan perkawinan, usia minimum untuk menikah dan pencatatan
perkawinan (1962)
4. Hak-hak Anak
Hak-hak anak dalam Konvensi Hak –hak Anak (1989), secara umum dapat
diklasifikasikan ke dalam 3 kategori. Pertama,
hak hak yang merupakan hak setiap anak dengan tidak memandang usia, namun dalam
konvensi ini dinyatakan dan ditugaskan kembali. Sebagai contoh, jaminan
perlindungan terhadap penyiksaan, hak atas nama dan identitas kewarganegaraan,
atau hak jaminan sosial.
Kedua, HAM secara umum,
namun dalam konvensi diberikan penekanan, dan jaminan atas hak perlu diperkuat
dan dilaksanakan secara khusus, seperti hak dan persyaratan bagi anak (remaja)
yang (hendak) bekerja, atau hak-hak anak dalam konteks perampasan
kemerdekaannya (penahanan/pemenjaraan). Ketiga,
adalah hak-hak yang khusus berkaitan dengan anak, seperti adopsi, hak atas
pendidikan dasar dan komunikasi dengan orang tuanya.
Selain itu, konvensi hak-hak anak, juga memuat jaminan yang ditujukan untuk
memberikan perlindungan serta pencegahan kepada anak agar terhindar dari
praktik pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Secara khusus, juga memuat
perhatian dan perlindungan yang khusus, seperti terhadap anak cacat, anak dalam
status tanpa keluarga dan dalam pengungsian, termasuk anak anak dari kelompok
asli dan minoritas. Konvensi ini juga mendorong pemenuhan hak partisipasi anak,
seperti mengemukakan pendapat dan aktif dalam kehidupan sosial dan politik
lingkungannya. Saat ini sudah diadopsi 2 protokol opsional dari konvensi, yakni
berkaitan dengan perdagangan, prostitusi dan pornografi anak, serta protokol
tentang keterlibatan anak-anak dalam konflik senjata.
Sebelum konvensi hak hak anak diadopsi oleh majelis umum PBB, ILO pada tahun
1973 telah mengadopsi konvensi tentang usia minimum untuk bekerja. Sementara
Tahun 1999, ILO menetapkan konvensi No. 182 tentang bentuk bentuk terburuk
buruh anak.
5. Larangan
Penyiksaan
Praktik penyiksaan terhadap manusia, telah menjadi perhatian yang serius
dari komunitas internasional. Tidak mengherankan maka ketentuan hukum yang
berkaitan dengan larangan penyiksaan, terdapat dalam banyak instrumen pokok
internasional dan regional.
DUHAM dalam Pasal 5 dan Kovenan Internasional Hak hak Sipil dan Politik
pada Pasal 7, dengan tegas mengatur jaminan setiap orang untuk bebas dari
segala bentuk praktik dan kejahatan
penyiksaan. Kejahatan ini, jika dilakukan sebagai serangan yang sisitematik dan
meluas dikategorikan sebagai kejahatan HAM yang berat, dengan kualifikasi
kejahatan kemanusian. Hal
tersebut tercantum dalam Statuta Roma tentang Peradilan Pidana Internasional (Rome Statute of the Criminal Court) 1998
dan berlaku 1 Juli 2001.
Pengadopsian Konvensi anti
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam (Convention against Torture and Other Cruel Inhuman or Deagrading
Treatment or Punishment) pada tahun 1984, berlaku efektif 26 juni 1987. Sebelum konvensi, tahun 1975 didahului dengan Deklarasi
tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan Hukuman yang
Kejam. Dengan demikian butuh waktu 9 tahun bagi Majelis Umum PBB untuk dapat
mengadopsi Konvensi setelah deklarasi. Ketika diberlakukan, 20 negara telah
menyatakan mengikatkan diri pada perjanjian ini dan sekaligus meratifikasinya.
Larangan melakukan penyiksaan juga dinyatakan dalam Konvensi Jenewa yang
diadopsi Majelis Umum PBB pada tahun 1949. Para tahanan perang tidak boleh
diperlakukan dengan kejam, penyiksaan atau pemotongan bagian-bagian tubuhnya.
Hal yang sama berlaku untuk korban konflik bersenjata internasional dan konflik
bersenjata dalam sebuah negara.
Secara khusus, terdapat larangan
penyiksaan terhadap anak yang termuat dalam Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
tahun 1989.
Selain itu, telah diadopsi
instrumen yang mengatur perlindungan tahanan dan narapidana dari praktik
penyiksaan yang dilakukan aparat atau petugas penegak hukum (United Nations Rules for the Protection of
Juveniles Deprived of Their Liberty) tahun 1990. Kiranya perlu dikemukakan
pula, bahwa dalam rangka pencegahan terhadap penyiksaan, maka konvensi anti
penyiksaan menentukan larangan menyerahkan atau mengembalikan orang ke sebuah
negara, jika dipercaya bahwa orang tersebut akan menjadi korban penyiksaan.
E. Prosedur dan
Lembaga Pengawas HAM
Prosedur dan lembaga pengawasan
pelaksanaan HAM berdasarkan instrumen internasional yang ada, dapat dibedakan
berupa prosedur dan lembaga pengawasan yang berdasarkan perjanjian
internasional (kovenan, konvensi), serta prosedur serta pengawasan yang melekat
wewenangnya dari Piagam PBB. Selain itu,
terdapat Pengadilan Pidana Internasional berdasar Statuta Roma 1998.
1. Prosedur dan Lembaga Pengawas berdasarkan Perjanjian
Internasional
Perjanjian internasional berupa kovenan atau konvensi sebagai instrumen
internasional HAM memuat mekanisme dan prosedur pengawasan serta membentuk
lembaga (institusi) guna menjalankan fungsi pengawasan . Setidaknya terdapat 7
mekanisme pengawasan yang dimandatkan perjanjian internasional tentang HAM.
Ketujuh intrumen ini mengatur mekanisme pengawasan terhadap negara negara yang
sudah mengikatkan diri atau menerima dengan meratifikasi perjanjian. Selain itu
mekanisme juga hanya berlaku jika negara pihak, menerima aturan yang ditetapkan
secara fakultatif (menyeluruh) tanpa pelunakan (reservasi). Ketujuh Instrumen yang memuat ketentuan mekanisme dan
lembaga pengawasan yang disebut Komite adalah: [xv]
a.
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob)
Komite
hak Ekosob (Committee on Economic, Social
and Cultural Rights/ CESCR) mulai menjalankan fungsinya sebagai lembaga
pengawas pada tahun 1986, menggantikan sebuah kelompok kerja (working group) yang dibentuk dewan ekonomi
dan sosial (economic and social council/ECOSOC).
Dalam menjalankan fungsinya, komite bekerjasama dengan
lembaga-lembaga khusus PBB yang lain. Sebagai contoh, dalam memeriksa laporan
yang berkaitan dengan kewajiban negara untuk memenuhi hak pangan, komite
bekerjasama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organisation/FAO). Di bidang pendidikan,
Komite mengambil manfaat dan kerjasama dengan pakar yang bekerja pada
Organisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudyaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation/UNESCO).
Disamping itu, Komite juga mendengarkan pendapat dan masukan dari para ahli
lainnya, seperti Pelapor Khusus yang dibentuk untuk mempromosikan perlindungan
ekonomi, sosial dan budaya. Juga terhadap Sub Komisi untuk Pencegahan
Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas, serta masukan-masukan dari
organisasi organisasi non pemerintah (NGO/LSM) ketika memeriksa laporan yang
disampaikan negara pihak.
b.
Kovenan Internasional tentang Hak hak Sipil dan Politik (Sipol)
Kovenan
ini mempunyai suatu komite yang diberi nama Komite HAM (Human Rights Committee), yang beranggotakan 18 orang pakar dalam
kapasitas pribadi dan dipilih oleh negara pihak. Tugas komite adalah untuk
mempelajari laporan-laporan yang disampaikan oleh negara-negara pihak tentang
tindakan yang diambil dalam melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian. Berdasarkan kovenan,
prosedur dan mekanisme pengawasan dikelompokan ke dalam 3 cara, yakni: (1)
penyampaian laporan dari negara pihak, (2) prosedur pengaduan sebuah negara
terhadap negara yang berlaku fakultatif, dan (3) pengaduan yang disampaikan oleh
individu secara perorangan. Mekanisme ini
berlaku secara fakultatif bergantung sebuah negara menerima atau tidak
ketentuan Protokol Opsional yang mengatur tentang komunikasi perorangan
(individual)
c.
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial
Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, dibentuk
berdasarkan konvensi yang dibuat tahun 1965 dan berlaku 4 Januari 1969, berarti
lebih dahulu dibandingkan dua Kovenan Internasional HAM. Dalam perjanjian
internasional melawan diskriminasi rasial, dikenal 3 cara pengawasan, yakni; Pertama, kewajiban negara menyampaikan
laporan secara periodik tentang upaya-upaya yang dilakukan guna pemenuhan HAM
sesuai konvensi, termasuk upaya legislatif, hukum, dan administratif, setiap
dua tahun sekali. Kedua, hak
penyampaian keluhan dari sebuah negara terhadap negara lain, karena dinilai
tidak menjalankan kewajiban memenuhi ketentuan dalam konvensi. Dalam hal ini,
keluhan dari negara disampaikan kepada Komite, untuk selanjutnya disampaikan
kepada negara yang bersangkutan. Negara yang diadukan, dalam waktu 3 bulan
diwajibkan untuk menyampaikan penjelasan dan jawaban atas masalah yang
diadukan, termasuk jika ada langkah perbaikan yang telah dilakukan. Ketiga, hak individual untuk (perorangan)
untuk menyampaikan pengaduan/keluhan. Mekanisme pengaduan individual ini mulai
berlaku 1982. Ketika ada pengaduan yang disampaikan seorang perempuan Turki
yang bertempat tinggal di Belanda berkenaan kasus pemutusan kontraknya yang
diskriminatif.
d.
Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pasal
17 Konvensi memandatkan dibentuknya sebuah Komite Penghapusan Diskriminasi
Terhadap Perempuan yang bertugas mengawasi kemajuan implemantasi pemenuhan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional. Komite ini
beranggotakan 23 pakar yang dipilih dari usulan negara pihak yang terikat.
Pembentukan pertama kali, selambat
lambatnya 6 bulan setelah konvensi dinyatakan berlaku (3 September 1981). Komite
dipilih untuk jangka waktu 4 tahun, namun untuk 9 anggota yang dipilih dalam
pemilihan anggota pertama kali, hanya dibatasi menjadi anggota untuk jangka
waktu 2 tahun, yang nama-namanya dipilih oleh Ketua Komite. Berdasarkan
ketentuan Konvensi, Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan tidak
mempunyai kewenangan untuk menangani pengaduan dari negara terhadap negara
lain, juga pengaduan yang disampaikan individual. Dengan demikian, Komite hanya
berhak menuntut kewajiban negara pihak untuk memberikan laporan dan mengklarifikasinya,
serta mengawasi implementasi perjanjian di negara pihak.
e.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang
Kejam, tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat.
Konvensi ini membentuk Komite Menentang Penyiksaan, sejak
1 Januari 1991 dapat melaksanakan wewenang memeriksa laporan individu. Wewenang
Komite juga mencakup wewenang khusus untuk meminta informasi tambahan jika
diperlukan, saat Komite memiliki informasi dugaan telah terjadi penyiksaan
sistematis di wilayah Negara Pihak. Jika diperlukan Komite juga dapat menunjuk
anggotannya untuk melakukan pemeriksaan secara rahasia. Selanjutnya, hasil
pemeriksaan yang mencakup komentar dan rekomendasi disampaikan kepada Negara
Pihak yang bersangkutan. Namun untuk wewenang khusus ini, Negara Pihak saat
menandatangani atau meratifikasi konvensi diberi peluang untuk tidak menerima
wewenang khusus ini (reservasi), yang diistilahkan dengan skema “option-out” untuk tidak menyetujui
wewenang khusus prosedur rahasia. Hasil pemeriksaan yang dilakukan Komite,
termasuk hasil dialog dengan Negara Pihak, disampaikan juga kepada Majelis
Umum, Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Komite Hak-hak Anak,
melalui Dewan Ekonomi dan Sosial PBB.
f.
Konvensi Mengenai Hak-hak Anak
Komite Hak-hak Anak, seperti halnya Komite Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan, tidak memiliki wewenang memeriksa pengaduan
dan penyelidikan khusus. Dalam melakukan wewenangnya memeriksa laporan, komite
meminta dukungan dari lembaga lembaga khusus PBB lain seperti UNESCO, UNICEF,
ILO, juga dapat meminta kontribusi masukan dari lembaga-lembaga non pemerintah
(NGO,LSM). Jika memang diperlukan, Komite dapat menyampaikan rekomendasi kepada
Majelis Umum, untuk meminta Sekretaris Jenderal PBB guna kepentingan Komite,
melakukan kajian khusus tertentu tentang masalah hak-hak anak.
g.
Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Buruh Migran dan
Anggota Keluarganya
Komite
Buruh Migran, dibentuk setelah konvensi disetujui oleh 10 Negara Pihak, dan
selanjutnya anggota anggota Komite sejumlah 14 Pakar dipilih setelah perjanjian
internasional ini disetujui 41 negara. Para pakar
yang menjadi anggota Komite harus memiliki persyaratan moral yang baik dan
telah diakui memiliki kompetensi dalam bidang yang diatur dalam Konvensi.
Walaupun diusulkan oleh Negara Pihak, dalam melakukan fungsinya, anggota Komite
bekerja atas dasar kapasitas pribadi bukan kepentingan negara yang mengusulkan.
Dalam Konvensi ini Negara Pihak diminta menyampaikan laporan mengenai upaya
legislatif, peradilan, administratif dan lainnya kepada Komite setiap 5 tahun
sekali dan manakala Komite memintanya, Komite harus memeriksa laporan yang
disampaikan oleh setiap Negara Pihak dan menyampaikan komentar yang dianggap
perlu pada Negara Pihak yang bersangkutan. Negara Pihak dapat ini menyampaikan
kepada Komite pandangan atas komentar yang diberikan oleh Komite. Sementara
itu, Komite juga dapat meminta informasi tambahan dari Negara Pihak manakala
tengah mempertimbangkan. Selain itu, Komite dapat meminta bantuan kepada ILO
dan wajib mempertimbangkan pendapat ILO bila hal-hal yang dibahasnya terkait
dengan masalah ruang lingkup kewenangan ILO.
2. Prosedur dan Pengawasan
Berdasarkan Wewenang dari Piagam PBB
Selain prosedur dan lembaga pengawasan
HAM berdasarkan perjanjian internasional, PBB juga mengembangkan prosedur
pengawasan berdasarkan Piagam PBB, khususnya Pasal 55 dan 56 Bab IX tentang
Kerjasama Ekonomi dan Sosial Internasional. Pasal 55 antara lain menentukan
adanya keperluan untuk membangun kondisi stabilitas dan situasi yang baik yang
dibutuhkan bagi perdamaian dan hubungan persahabatan di antara negara-negara
berdasarkan penghormatan pada prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri.
Untuk itu PBB mempromosikan; pertama, peningkatan standar hidup umat manusia, dengan menyediakan
lapangan kerja dan peningkatan pembangunan ekonomi dan sosial. Kedua, menyediakan beragam solusi bagi
masalah masalah yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, dan mengadakan kerjasama
internasional di bidang tersebut. Ketiga,
penghormatan universal untuk pengawasan bagi HAM dan kebebasan fundamental
untuk semua umat, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa serta agama.
Sementara Pasal 56 Piagam PBB memuat ketentuan kewajiban semua anggota PBB berperan secara bersama-sama maupun dilakukan
mandiri untuk tercapainya tujuan PBB.
Prosedur berdasarkan Piagam PBB, dikembangkan dengan resolusi Dewan Ekonomi
dan Sosial (ECOSOC) yang menentukan prosedur umum sesuai resolusi 1235.
Prosedur umum ini terdiri prosedur pengawasan yang ditujukan kepada negara ,dan
yang ditujukan secara tematis. Sedangkan Resolusi 1503, mengatur prosedur khusus
atau rahasia (konfidensial). [xvi]
a.
Prosedur Umum
Prosedur ini, dilakukan melalui
resolusi dan keputusan badan badan PBB di bidang HAM dengan memberikan mandat
kepada lembaga lembaga yang dibentuk seperti kelompok kerja (working group) dan pelapor khusus (special reporter) untuk menjalankan
prosedur umum. Mekanisme ini dijalankan, didahului adanya peristiwa
kejahatan HAM yang sistematis dan serius di suatu negara. Yang kemudian
peristiwa atau negara bersangkutan dimasukan ke dalam agenda pembahasan dalam
sidang Majelis Umum dan sidang Komisi HAM. Pada akhirnya, diharapkan dapat
terpenuhinya tanggung jawab negara atas peristiwa kejahatan HAM tersebut,
melalui tekanan politik dan moril terhadap negara bersangkutan.
Dalam menjalankan mandatnya, lembaga khusus yang dibentuk senantiasa
meminta informasi dari organisasi non pemerintah internasional dan nasional
yang mempunyai informasi relevan dengan fungsi lembaga khusus tersebut. Laporan
yang disusun kemudian, akan memuat kesimpulan dan rekomendasi, yang juga
dipergunakan untuk penetapan keputusan politik oleh Majelis Umum dan
Komisi HAM (Comimission on Human Rights). Prosedur yang digunakan adalah
bersifat yuridis, dengan sanksi yang muncul berupa publikasi apa yang terjadi.
Sejauh ini prosedur tematis lebih banyak dilakukan, dibandingkan dengan
prosedur yang ditujukan kepada negara dalam pelaksanaan prosedur umum ini.
Prosedur tematis akan menghilangkan nama negara dalam resolusi yang dikeluarkan
Majelis Umum menyangkut peristiwa kejahatan hak asasi manusia yang berat.
Misalnya, resolusi tahun1979 yang menentang praktik penghilangan orang secara
paksa . Resolusi ini dikeluarkan dengan tanpa menyebut negara Argentina dimana
terjadi peristiwa yang mendapat sorotan tersebut.
Dalam perkembangan terbaru, Komisi HAM telah diganti dengan dibentuknya
Dewan HAM (Human Rights Council) di bawah
Majelis Umum PBB. Dewan ini berbeda dengan Komisi HAM yang berada di bawah
ECOSOC, sehingga diharapkan upaya perlindungan dan pemenuhan HAM dapat lebih
maksimal.
b.
Prosedur Khusus atau Rahasia
(Konfidensial)
Resolusi 1503 telah memunculkan harapan baru untuk mengupayakan
perlindungan internasional yang lebih efektif terhadap HAM. Dalam resolusi ini
diatur kewenangan ECOSOC untuk memeriksa laporan yang tidak saja datang dari
korban, tetapi juga yang berasal dari individu (perorangan) dan organisasi non
pemerintah.. Laporan yang diterima secara selektif didasarkan kriteria adanya
indikasi atau dugaan yang kuat dan dapat dipercaya bahwa telah terjadi
kejahatan HAM yang sistematis.
Kelompok Kerja yang beranggotakan 5 orang anggota Sub Komisi dan Komisi HAM,
memutuskan untuk melakukan studi mendalam atas laporan yang diterima guna
mempersiapkan pembentukan Komite Penyelidik ad hoc, dengan persetujuan
kerjasama penuh dari negara yang dituju.
Tiap tahun Komisi membentuk
Kelompok Kerja untuk terlebih dahulu memeriksa laporan, termasuk laporan yang
memuat komentar pemerintah. Jika laporan berkaitan dengan negara yang tidak
menjadi anggota Komisi, maka Komisi biasanya mengundang wakil pemerintah untuk
membahas laporan dalam sidang tertutup dan hasilnya tidak boleh dibahas dalam
pembicaraan umum. Akan tetapi, dengan tekanan politik suatu masalah yang
dibahas dengan prosedur rahasia, dapat berubah pembahasannya melalui prosedur
umum. Sebagai contoh pada tahun 1979, Komisi menetapkan sebuah prosedur rahasia
terhadap negara Guinea Equatorial, tetapi karena pihak penguasa negara menolak
untuk bekerjasama akhirnya digunakan prosedur umum.
3. Pengadilan
Pidana Internasional
Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana Internasional, diadopsi oleh Konferensi
Diplomatik Duta Besar Berkuasa Penuh pada PBB tahun 1998, dan berlaku mulai 2
Juli 2002. Pengadilan Pidana Internasional berkedudukan di Den Haag Belanda.
Kejahatan yang termasuk yurisdiksi atau kewenangan pengadilan terbatas pada
kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara
keseluruhan, meliputi: kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan kejahatan agresi (Pasal 5). Hukuman pidana yang diancamkan
terhadap kejahatan tersebut adalah hukuman penjara paling lama 30 tahun dan
penjara seumur hidup, serta hukuman tambahan berupa denda dan pengambilalihan
hasil berupa kekayaan dan aset yang berasal langsung atau tidak langsung dari
kejahatan. (Pasal 77).
Berdasarkan Pasal 17 Statuta Roma, Kejahatan yang menjadi yuridiksi
Pengadilan Internasional tersebut tidak dapat diterima bila:
a.
Kasusnya sedang diselidiki atauu dituntut oleh suatu negara yang mempunyai
yuridiksi atas kasus tersebut, kecuali kalau negara tersebut tidak bersedia
atau benar-benar tidak dapat melakukan penyelidikan atau penuntutan
b.
Kasusnya telah diselidiki oleh suatu negara yang mempunyai yuridiksi atas
kasus tersebut dan negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang
bersangkutan. Kecuali kalau keputusan itu timbul dari keengganan atau
ketidakmampuan negara tersebut untuk benar-benar melakukan penuntutan
c.
Orang yang bersangkutan telah diadili atas perbuatan yang merupakan pokok
pengaduan, dan suatu sidang oleh Pengadilan tidak diperkenankan karena nebis in idem
d.
kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih lanjut oleh
Pengadilan Internasional
F. Ratifikasi
Indonesia
Menurut Pasal 11 Konvensi Wina,
kesepakatan mengikatkan diri pada perjanjian dapat dinyatakan melalui berbagai
cara, yaitu penandatanganan, pertukaran instrumen yang membentuk perjanjian,
ratifikasi, akseptasi, approval dan
aksesi atau melalui cara lain yang disetujui. Ratifikasi diartikan dengan penerimaan (acceptance)
dan pengikutsertaan (accesion)
sebagai tindakan internasional dari suatu negara yang menyatakan kesepakatan
dirinya untuk terikat pada suatu perjanjian. Meskipun demikian, dilihat dari
segi nasional ratifikasi dapat diartikan sebagai tindakan pengesahan atas suatu
perjanjian internasional menurut ketentuan hukum nasional yang bersangkutan.[xvii]
Indonesia sebagai negara anggota PBB, yang
menyatakan sebagai negara berkedaulatan
rakyat (demokratis) dan negara hukum. Persoalan HAM perlu mendapat perhatian
dan perlindungan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia telah
meratifikasi beberapa instrumen internasional tentang HAM. Ratifikasi dilakukan
melalui peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-undang dan Keputusan
Presiden. Sampai tahun 2006, terdapat 6 instrumen internasional tentang HAM yang telah
diratifikasi,[xviii] dan 17 instrumen ILO yang berkaitan dengan hak-hak
perburuhan.[xix]
Keenam instrumen internasional yang telah diratifikasi adalah sebagai
berikut:
1.
UU No 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai
Penghapusan semua Bentuk Diskriminasi Rasial (Internasional Convention on the Elimination of Racial Descimination,1965)
2.
UU No 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights,1966)
3.
UU No 22 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights, 1966)
4.
UU No 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination against Women, 1979)
5.
UU No 5 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang
merendahkan Martabat, Tidak Manusiawi dan Kejam lainnya (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment,1984)
6.
Keputusan Presiden No 36 Tahun
1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on Rights of the Child, 1989)
[i]Boer
Manna, Hukum Internasional-Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
Alumni, Bandung, 2001, hal 2
[ii]JG Starke, Introduction to
International Law, Butter Worth & Co, London, 1977, hal 429
[iii]Adnan Buyung Nasution dan A.
Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor
Indonesia-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum- Kelompok Kerja Ake Arif, Jakarta 2006,
hal 10
[iv]
Ibid, hal 19-20
[v]
Ibid, hal 20-21
[vi]
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung,2003, hal
117
[vii]
Ibid, hal 111
[viii]
Yudha Bhakti Ardhiwisasatra, Hukum Internasional-Bunga Rampai, Alumni, Bandung,
hal 108
[ix] J.G.Starke, Op cit, hal 42-43
[x] Adnan Buyung, Op cit, hal 22
[xi] Ibid, hal 23
[xii] Ibid
[xiii] ibid, hal 24
[xiv] Ibid, hal 33-40
[xv] Ibid, hal 43-50
[xvi] Ibid, hal 50-56
[xvii] Yudha, Op cit, hal 110
[xviii] Adnan Buyung, Op cit, hal 43
[xix] Ibid, hal 27-28.
tulisan ini hampir sama seperti tulisan dalam e-jurnal UIN Jakarta karya salah satu dosen di Fakultas Syariah dan Hukum, apa memang rujukannya kesitu?
BalasHapus