beberapa masalah yang masih menjadi perhatian untuk diselesaikan:
1.
Masih banyak
persoalan-persoalan HAM yang terjadi di Indonesia yang belum tuntas
diselesaikan.
2.
Masalah yang masih
menjadi kendala adalah masih simpang siurnya peraturan perundang-undangan yang
mengatur penegakan HAM
3.
Belum samanya
persepsi para pejabat yang harus menegakkan HAM
4.
Perhatian
pemerintah terhadap masalah HAM masih setengah hati atau belum serius.
Hal tersebut akan kami paparkan sebagai berikut:
A. Pendahuluan
Pergantian rezim pemerintahan di Indonesia pada tahun 1998 memberikan
dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM . Pada saat ini
mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru
yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selain itu, dilakukan
penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM
dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula
dilakukan pengkajian dan rativikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin
ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan
ketentuan hukum nasional khususnya yang
terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional
dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui 2 tahap, yaitu
tahap status penentuan (prescriptive
status) dan tahap penataan aturan secara konsisten (rule
consistent behaviour). Pada tahap status penentuan (prescriptive status) telah
ditetapkannya beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM seperti
amandemen konstitusi negara (UUD 1945), ketetapan MPR (TAP MPR), undang-undang
(UU), peraturan pemerintah dan ketentuan
perundang-undangan lainnya.
Indonesia merupakan negara yang sangat responsif terhadap pembuatan instrumen HAM. Hal itu
tercermin dari lahirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas
Perempuan (untuk melindungi hak-hak perempuan), Komnas Anak (untuk melindungi
hak-hak anak), melahirkan Undang-undang No. 39/1999, UU No 26/2000, UU
KDRT, kovenan-kovenan, mendirikan pengadilan HAM, mengangkat hakim ad-hoc HAM,
dan lain-lain.
Namun dalam tatanan pelaksanaannya, ternyata kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan HAM di
Indonesia belum sepenuhnya terwujud. Dari pengamatan Komnas HAM sampai tahun
2006, belum kondusifnya penegakan hukum tersebut dapat dilihat dari penyelesaian pelanggaran HAM berat, yaitu:
1.
Tetap tidak ditindaklanjutinya dengan penyidikan oleh penyidik sejumlah
perkara dugaan pelanggaran HAM berat meskipun penyelidikannya telah lama
terselesaikan seperti kasus Trisakti 1998, semanggi I 1998, dan semanggi II
1999, kasus kerusuhan Mei 1998, kasus Warsidi 2001-2002, dan Kasus Wamena 2003.
2.
Masih terjadinya penolakan sejumlah aparat negara untuk bekerja sama dengan
penyelidik dalam proses penyelidikan projustisia
dugaan pelanggaran HAM yang berat, dalam hal ini penghilangan orang secara paksa dalam konteks
kejahatan terhadap kemanusiaan.
B. Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Penyelesaiannya
Secara prinsipiil pelanggaran HAM bisa dalam 2 tipe. Pertama, disebut pelanggaran HAM melalui
tindakan langsung (by action/commission). Tipe ini terjadi bila negara
secara langsung melakukan tindakan pelanggaran HAM. Tipe ini terjadi misalnya
dalam kasus Tanjung Priok, Timor Timur (sekarang Timor Leste), Talang Sari, DOM
di Aceh dan lain-lain. Kedua, disebut
pelanggaran HAM melalui tindakan pembiaran (by omission). Tipe ini
terjadi bila pelakunya bisa saja bukan aktor non-negara, namun negara melakukan
pembiaran (dalam hal ini pelaku dibiarkan bebas dan tidak dihukum). Contohnya,
pada kasus kerusuhan Mei 1998 di mana negara membiarkan terjadinya penjarahan,
pembakaran, perkosaan, dan tindakan kekerasan lainnya. Kasus-kasus di wilayah konflik komunal seperti
Ambon, Poso, Sampit, Sambas, atau kasus penyerangan Jemaat Ahmadiyah di Parung-Bogor,
Cianjur, Sumbawa dan lain-lain.
Dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu harus
memenuhi 3 hak dasar korban dan keluarganya, yaitu; the right to know
(hak mengetahui bagi para korban), the right to justice (hak atas
keadilan bagi para korban) dan the right to reparation (hak
pemulihan bagi para korban). Selain korban dan keluarga korban, penyelesaian
HAM di masa lalu juga penting bagi negara dan masyarakat. Pengungkapan
kebenaran dan penegakan keadilan jelas akan memajukan pemahaman negara dan
masyarakat mengenai penegakan HAM dan sekaligus memajukan kualitas demokrasi.
Upaya penyelesaian pelanggaran HAM harus mencerminkan prinsip adanya kewajiban negara
untuk mengingat dan mencegah kemungkinan terjadinya pengulangan pelanggaran HAM
di masa yang akan datang.
Di Indonesia, ada 2 jalan untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM. Pertama, diselesaikan melalui
pengadilan HAM dan kedua, untuk
pelanggaran HAM dimasa lalu (sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000)
diselesaikan melalui pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR).
Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000
tentang pengadilan HAM yang berlaku 23 November 2000. Pengadilan HAM adalah
pengadilan khusus yang dibentuk dalam lingkungan Pengadilan Umum (pasal 2)
dengan kewenangan memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat, contohnya
pengadilan HAM kasus Abepura di Makassar. Sementara itu, yang menjadi objek
pengadilan adalah pelangaran HAM berat yang menurut UU No. 26/2000 Pasal 7
& 8 adalah pelanggaran HAM yang meliputi genosida (pemusnahan bangsa, ras atau kelompok etnis) dan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 9 adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil yang berupa pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran secara paksa, perampasan kemerdekaan,
penyiksaan, pemerkosaan dan perbudakan seksual, penganiayaan suatu kelompok
karena keyakinannya, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid.
Yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam pengadilan HAM
adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan wewenang dapat
membentuk tim ad-hoc/sementara (Pasal 18). Sedangkan yang berwenang melakukan
penyidikan, penuntutan, penangkapan, dan penahanan adalah Jaksa Agung (Pasal
11,12, 21, dan 23). Sedangkan yang menyelesaikan perkara adalah Pengadilan HAM ad-hoc.
Secara prinsipiil, pengadilan ad-hoc dan pengadilan HAM memiliki kesamaan
tanggung jawab dalam konteks penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
Perbedaannya adalah ia bersifat sementara untuk menangani kasus pelanggaran HAM
di masa lalu (sebelum disahkannya UU Pengadilan HAM). Misalnya, pengadilan HAM ad-hoc
untuk kasus Tanjung Priok dan Timor Timur. Pengadilan HAM ad-hoc ini dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Dewan Perwakilan
Rakyat (Pasal 43 UU Pengadilan HAM).
Adapun mekanisme kerja Pengadilan ad-hoc adalah; setelah
mendapatkan pengaduan dari masyarakat, maka
Komnas HAM membentuk tim penyelidikan terhadap kasus tersebut. Setelah tim
bekerja dan menemukan adanya indikasi pelanggaran HAM yang berat, maka melalui
mekanisme internal Komnas HAM dibentuklah Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP)
HAM, contohnya KPP HAM Trisakti-Semanggi, KPP HAM Tanjung Priok, KPP HAM
Kerusuhan Mei dan KPP HAM Penghilangan Paksa 1997/1998. Hasil dari KPP akan
ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung untuk melakukan penuntutan ke Pengadilan ad-hoc.
Jaksa Agung akan memulai persidangan setelah mendapatkan tuntutan.
C. Hak Korban dan Tanggung Jawab Negara
Korban dalam deklarasi PBB tentang keadilan bagi korban pelanggaran
HAM dan korban penyalahgunaan kekuasaan tahun 1985 disebutkan sebagai orang
yang secara individual atau kolektif menderita kerugian akibat tindakan atau
pembiaran yang dilakukan aparatur negara ataupun penyelewengan kekuasaan.
Penderitaan yang dialami ini dapat terjadi baik secara fisik, mental, emosional,
kerugian ataupun tidak terpenuhinya hak-hak dasar. Termasuk dalam pengertian
korban ini adalah keluarga dekat dan orang yang mendapat serangan ketika
membantu atau mencegah tindak pelanggaran HAM. Pengakuan akan pengertian dan
keberadaan korban ini berlaku universal tanpa ada pembedaan ras, jenis kelamin,
umur, bahasa, agama, kewarganegaraan, keyakinan politik, budaya, kekayaan,
status keluarga, etnis atau asal-usul sosial, dan bentuk tubuh. Status dan
keberadaan korban ini tetap harus diakui walaupun pelaku pelanggaran HAM tidak
diketahui atau diproses pengadilan ataupun karena adanya hubungan keluarga
antara korban dengan pelaku.
Korban harus dihargai dan dihormati sebagai manusia yang
bermartabat. Seringkali dalam masyarakat, korban sering dikucilkan dan
dipandang sebagai masalah. Kondisi ini menyebabkan korban hidup dalam
kemiskinan dan kesulitan. Karenanya, korban dan kelompok korban harus
mendapatkan akses pada keadilan dan pemulihan segala luka dan akibat dari
pelanggaran HAM yang dialaminya.
Dalam konteks ini, korban mempunyai hak, yakni sebuah hak
yang melekat pada diri seseorang atau sekelompok orang akibat terjadinya
pelanggaran HAM. Hak-hak korban ini tidak bisa hilang atau dihilangkan karena
negara tidak mengakuinya. Hak korban merupakan hak yang diberikan dan dijamin
oleh mekanisme hukum internasional sebagai sebuah kewajiban negara. Secara umum
hak korban meliputi hak atas keadilan (right to justice), hak untuk
mengetahui (right to know) dan hak atas reparasi (right to reparation).
Hak korban atas keadilan adalah hak yang dimiliki korban
untuk memperoleh keadilan yang dapat berupa penyelidikan atas peristiwa,
penuntutan para pelaku dan penghukuman bagi pelaku. Hak korban untuk mengetahui
adalah hak korban untuk mengetahui kebenaran peristiwa, mendapatkan informasi
mengenai segala hal yang berhubungan dengan kasusnya dan mengetahui proses
penyelesaian kasusnya. Sementara hak korban atas reparasi lebih mengutamakan
pada pemulihan korban dan keluarganya baik secara material maupun non-material.
Hak atas reparasi [i]
yang meliputi; hak kompensasi[ii],
rehabilitasi[iii],
restitusi[iv],
kepuasan dan jaminan tidak berulangnya kembali[v].
Kewajiban pemenuhan hak-hak korban adalah negara. Selain
pemenuhan hak-hak korban, negara juga bertanggung jawab untuk menjamin, memajukan
dan menegakkan HAM. Negara dan masyarakat harus menjamin pemenuhan hak-hak ini
melalui mekanisme formal dan informal yang adil dan sudah dijangkau korban. Selain
itu, menjadi kewajiban negara dan masyarakat untuk memberikan pengetahuan
mengenai hak-hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan melalui
mekanisme-mekanisme yang tersedia.
Bentuk dari kewajiban negara ini meliputi; mencegah
terjadinya pelanggaran HAM, melakukan penyelidikan dan mengambil langkah yang
perlu terhadap pelaku dan mengupayakan penyelesaian dan pemulihan bagi korban.
Perhatian khusus harus diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya
pelanggaran HAM berat dan kewajiban untuk mengadili dan menghukum pelaku di
bawah aturan hukum internasional. Termasuk dalam kewajiban negara adalah
mengadopsi aturan hukum internasional ke dalam hukum nasional. Negara juga
berkewajiban untuk menjamin tersedianya penyelesaian hukum dan mekanisme
penyelesaian lainnya bagi korban yang hak asasinya dilanggar. Negara harus
menjamin korban untuk menempuh upaya hukum nasional dan internasional. Jaminan
ini harus disertai dengan perlindungan bagi korban dari intimidasi dan balas
dendam pelaku.
Tanggung jawab negara atas proses hukum dan administrasi
bagi korban harus dilakukan dengan cara; pertama, memberikan informasi
pada korban mengenai kewenangan mekanisme yang sedang berjalan, jangka waktu
dan keseluruhan proses penanganan kasus. Kedua, apabila bersinggungan
dengan kepentingan korban dalam tahap-tahap tertentu dari proses penanganan
kasus, negara harus mengizinkan korban hadir dan mewakili kepentingannya. Ketiga,
menyediakan bantuan yang diperlukan korban selama proses hukum berlangsung. Keempat,
meminimalisasi ketidaknyamanan dan menjamin keselamatan korban dan keluarganya,
termasuk juga saksi dari intimidasi dan ancaman. Kelima, mencegah
penundaan pemeriksaan kasus dan pelaksanaan vonis serta memerintahkan pemenuhan
hak korban.
Berdasarkan atas hak-hak korban merupakan hak yang
dijamin dan dilindungi oleh hukum dan mekanisme internasional dan persamaan
kepentingan korban dengan masyarakat untuk menciptakan kehidupan di masa depan
tanpa adanya pelanggaran HAM, maka korban dan masyarakat harus bahu-membahu
membangun gerakan korban untuk menuntut pemenuhan hak-hak korban.
D. Penyelesaian Kasus HAM Berat Melalui Pengadilan
1. Tragedi Tanjung Priok.
a. Kronologi Peristiwa
Pada 7 September 1984, seorang anggota ABRI bernama Hermanu, berpangkat Sertu, bertugas sebagai anggota Babinsa di Koja Selatan melihat poster dengan tulisan ''agar para wanita
memakai pakaian jilbab”. Dia meminta agar poster tersebut dicopot, namun para remaja masjid di
lingkungan itu menolak. Esoknya, Hermanu datang lagi dan menghapus poster itu
dengan koran yang dicelup air got. Hermanu masuk musala
tanpa membuka sepatu. Melihat perilaku Hermanu tersebut, massa berkerumun, dan hampir
saja Hermanu dihajar massa jika tak dicegah oleh seorang tokoh masyarakat. Kemudian
Hermanu pergi dengan
meninggalkan sepeda motornya. Setelah peristiwa
tersebut, maka beredarlah desas-desus “ada
tentara masuk mushola tanpa buka sepatu dan mengotorinya”. Isu ini nampaknya ditanggapi serius oleh massa. Sebagai simbol
kemarahan, massa kemudian membakar dan sepeda motor milik Hermanu. Dari peristiwa itu, ABRI “menciduk” 4 orang pemuda yang
diduga telah melakukan pembakaran sepeda motor petugas dan ditahan di Kodim.
Pengurus musala pun meminta
bantuan Amir Biki, seorang tokoh di sana agar membebaskan 4 pemuda yang ditahan
di Kodim itu. Akan tetapi usaha Amir Biki ini gagal. Kegagalan ini kemudian
direspon oleh Amir Biki dengan mengumpulkan massa di jalan Sindang Raya dan
bersama-sama pembicara lain, menyerang pemerintah. Saat itu hampir tengah malam, 3 orang juru dakwah, yakni Amir
Biki, Syarifin Maloko dan M. Nasir berpidato berapi-api di jalan Sindang Raya,
Priok. Mereka menuntut pembebasan 4 pemuda jamaah musala as-Sa'adah
yang ditangkap petugas Kodim Jakarta Utara. Biki dengan mengacungkan badik,
antara lain mengancam RUU Keormasan.
Pembicara lain, seperti Syarifin Maloko, M. Natsir dan
Yayan, mengecam Pancasila dan dominasi Cina atas perekonomian Indonesia. Di
akhir pidatonya yang meledak-ledak, Biki pun mengancam, akan menggerakkan massa
bila 4 pemuda yang ditahan tidak dibebaskan sampai batas waktu pukul
23.00. Akan tetapi sampai batas waktu yang diminta, 4 pemuda
tidak juga dibebaskan, maka Biki pun menggerakkan massa, yang terbagi ke dalam 2 kelompok. Kelompok
pertama menyerang Kodim, dan kelompok
kedua menyerang toko-toko Cina.
Bergeraklah 2.000 sampai 3.000 massa ke Kodim di jalan Yos Sudarso yang berjarak 1,5 Km dari tempat pengerahan
massa. Di tengah jalan, tepatnya di depan Polres Jakarta Utara, mereka
dihadang petugas. Mereka tidak mau bubar, bahkan tak mempedulikan tembakan
peringatan.
Menurut sumber resmi TNI, Biki ketika itu berteriak; “maju...serbu...”. Ketika mendengan teriakan itu, petugas
kemudian “memuntahkan” tembakan ke arah massa dan banyak yang mengenai massa
hingga meninggal. Bahkan, Biki sendiri tewas dalam insiden tersebut.
Keterangan resmi pemerintah menyatakan bahwa korban yang meninggal hanya 28 orang.
Tapi dari pihak korban menyebutkan sekitar 700 jamaah tewas dalam tragedi itu.
Setelah itu, beberapa tokoh yang dinilai terlibat dalam peristiwa itu
ditangkapi, seperti; Qodir Djaelani, Tony Ardy, Mawardi Noor, dan Oesmany Al-Hamidy. Ceramah-ceramah mereka
setahun sebelumnya terkenal keras dengan isu menyerang kristenisasi,
penggusuran, ketidaksetujuan terhadap asas tunggal Pancasila, pembatasan izin dakwah, kebijakan
keluarga berencana (KB), dan dominasi ekonomi oleh Cina. 14 jam setelah peristiwa itu, Pangkopkamtib LB Moerdani
didampingi Harmoko sebagai Menpen dan Try Sutrisno sebagai Pangdam Jaya
memberikan penjelasan pers. Saat itu Benny menyatakan telah terjadi penyerbuan
oleh massa Islam yang dipimpin oleh Biki, Maloko dan M. Natsir, dengan jumlah
korban tewas sebanyak 9 orang dan 53 luka-luka.
b. Penyelesaian Kasus di Pengadilan
Keadilan bagi korban Tanjung Priok nampaknya harus
menempuh perjalanan panjang, apalagi pada masa orde baru yang masih menganggap
tabu untuk mengungkap kasus ini. Secercah cahaya terang memberikan harapan bagi
tegaknya keadilan ketika reformasi bergulir, dan reformasi hukum menjadi bagian
terpenting dari proses reformasi itu. Beberapa LSM, dan tokoh masyarakat dengan
lantang menyuarakan untuk membuka kasus Tanjung Priok secara hukum. Pemerintah
Habibie memberikan lampu hijau bagi pengusutan kasus ini dan membawanya ke meja
hijau. Penyidikan dan penyelidikan kasus ini telah diserahkan kepada Jaksa
Agung pada tahun 2001, dan baru dibawa ke pengadilan pada tanggal 15 September
2003 ketika Jaksa Agung pada waktu itu
dijabat oleh MA. Rachman. Namun patut
disayangkan, karena hanya 14 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dari 23
orang yang layak diduga bertanggung jawab dalam peristiwa jatuhnya korban. Fenomena
yang menarik dari kasus ini adalah justru yang lolos dari jeratan hukum adalah
pimpinan atau orang yang sangat menentukan terjadinya
Dalam proses di pengadilan, sebagian berkas perkara yang
dibawa ke pengadilan HAM ad-hoc justru berakhir dengan lolosnya para terdakwa
dari hukuman. Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung belum
mampu memberikan keadilan bagi korban Tanjung Priok meskipun masih akan melalui
pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung untuk berkas perkara atas nama Pranowo,
Butar-Butar dan Sutrisno Mascung cs. Hingga kini kasus Tanjung Priok belum
mempunyai keputusan final.
Meskipun ada kelemahan, korban tetap berjuang agar
penyelesaian kasus ini mampu mengembalikan harkat dan martabatnya yang telah
hilang dan berharap agar pengadilan yang digelar tidak menjadi alat pembenar
bagi kejahatan yang terjadi dan membebaskan para penjahat kemanusiaan. Sampai
kapanpun korban akan menuntut negara memenuhi hak-hak korban agar ada kejelasan
kebenaran atas peristiwa, penghukuman bagi para pelaku serta pemberian
konpensasi, restitusi dan rehabilitasi atas kerugian yang diderita selama berbulan-bulan.
Pada awal tahun 2005, Komite untuk Orang Hilang dan
Tindak Kekerasan (Kontras) “mencium” ketidakjelasan penanganan kasus ini.
Menurut Kontras, masalah ini sebagai cermin sikap “setengah hati” dalam
menangani berkas Tanjung Priok. Di antara kejanggalan itu adalah; tidak satupun
dari terdakwa yang telah terbukti bersalah yang ditahan. Kontras pernah
mendesak Jaksa Agung untuk segera mengeluarkan surat perintah penahanan kepada
terdakwa yang telah dijatuhkan hukuman oleh pengadilan, menyerahkan memori
banding dan kasasi terhadap terdakwa yang diputus minimal dan bebas,
merealisasikan putusan kompensasi kepada korban dan ahli warisnya. Hal penting
lainnya adalah kebutuhan untuk penyusunan dakwaan lanjutan untuk terdakwa baru.
Hal ini dapat merujuk pada proses pemeriksaan sidang pengadilan ad-hoc HAM.
Selain itu, belum ada kejelasan atas proses banding dan
kasasi terhadap putusan minimal pelaku hingga putusan bebas. Padahal menurut Pasal
233 KUHAP, banding harus segera diajukan 7 hari setelah putusan dijatuhkan.
Biasanya, alasan teknis dan prosedural digunakan untuk kelambatan proses.
Ketidakjelasan pelimpahan berkas ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kekaburan
waktu penyelesaian, seperti yang terjadi saat penyidikan di Kejaksaan Agung.
Begitu pula dengan belum adanya kejelasan realisasi atas kompensasi kepada
korban. Padahal inipun masih belum memenuhi syarat keadilan yang telah
ditetapkan secara universal, dan juga ditetapkan dalam UU Pengadilan HAM serta Peraturan
Pemerintah tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Bila negara serius, maka
hak ini meski dipenuhi segera setelah tindak kejahatan terjadi atau setelah
vonis pengadilan dijatuhkan, karena korban telah menderita selama
bertahun-tahun dan pemulihan hak harus diberikan secara cepat dan layak. Namun
menurut Kejaksaan Agung Suhandoyo, untuk kompensasi baru dapat diberikan bila
keputusan sudah mempunyai hukum tetap. Sementara menurut ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat/Ketua Pengadilan HAM, I Made Karna, meminta permohonan
tertulis berkaitan dengan putusan yang dianggap kurang jelas.
Kekecewaan mulai terasa pada tanggal 29 Mei 2005 dimana
mantan Kepala Operasional II Kodim 0502 Jakarta Utara Sriyanto telah diputus
bebas oleh Majelis Hakim Agung tingkat kasasi yang diketuai oleh Iskandar Kamil,
bahkan Sriyanto diangkat menjadi Pangdam III/Siliwangi menggantikan Mayjen Iwan
Ridwan Sulandjana.
Kekecewaan berikutnya menyusul dengan bebasnya terdakwa
lain Sutrisno Mascung, mantan Komandan Regu III Yon Arhanudse 06 (beserta 10
anak buahnya serta R Butar-Butar, mantan Kodim 0502 Jakarta Utara) melalui
keputusan Pengadilan Tinggi HAM tanggal 31 Mei 2005 yang diketuai H. Basoeki
SH. Keputusan itu membatalkan putusan pengadilan HAM ad-hoc yang diputuskan
pada tanggal 20 Agustus 2004 dan menyatakan bahwa para terdakwa Sutrisno
Mancung cs tidak sah dan menyakinkan melakukan perbuatan pidana.
Selanjutnya, pada tanggal 8 Juni 2005 perkara terdakwa Rudolf
Butar-butar diputus bebas oleh Hakim Sri Handoyo, SH (ketua) berdasarkan No.
Perkara 02/PID/HAM/Ad-Hoc/2005/PT DKI. Majelis Hakim membatalkan putusan
pengadilan HAM ad-hoc pada PN Jakarta Pusat tanggal 30 April 2004 No.
03/PID.B/HAM/Ad Hoc/2003/PN Jkt Pst yang dimintakan banding tersebut serta
menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana. Di lain sisi, kejaksaan Agung yang mewakili
kepentingan korban dan masyarakat luas juga tidak bergerak cepat dalam
menyikapi putusan bebasnya para pelaku tersebut. Sampai-sampai ketua Komnas HAM
Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan bahwa pihaknya telah meminta Kejaksaan
Agung untuk melakukan kasasi.
Dalam menyikapi kasus Tanjung Priok ini Kontras dan para
korban telah mempertanyakan kredibilitas putusan pengadilan tinggi yang
membebaskan para terdakwa. Bagi Kontras, putusan ini dipandang bisa
mengembalikan penegakan HAM ke “titik nol” karena tidak satupun ada yang
bertanggung jawab. Kontras menuntut Jaksa Agung untuk mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung, dan menuntut Presiden memerintahkan Jaksa Agung membuka kembali
kasus ini dengan mengajukan tersangka baru sesuai rekomendasi Komnas HAM.
Kontras juga meminta Presiden dan DPR mengambil keputusan politik berupa rehabilitasi
dan kompensasi sebagai agenda paralel demi keadilan bagi korban, agar
pengadilan tidak digunakan sebagai sarana membebaskan para tertuduh pelanggaran
berat HAM.
2. Kasus Trisakti dan Semanggi I dan Semanggi II
a. Kronologi Peristiwa
Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial yang
mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi ini dipicu oleh “menyalaknya” senapan aparat yang
menewaskan 4 mahasiswa Trisakti. Menurut laporan Relawan Kemanusiaan, kerusuhan tidak berlangsung begitu
saja tanpa sebab, karena banyek terlihat fakta yang aneh terjadi, bahkan setelah
terjadi aksi kerusuhan yang sporadis, aparat tampak menghilang dan hanya sebagian
kecil saja yang memandangi aksi penjarahan tersebut.
Masih menurut laporan Relawan, kerusuhan itu tampak direkayasa. Hal ini
dapat dilihat dari “gaya” kerusuhan yang dilakukan oleh sekelompok provokator
terlatih yang memahami benar aksi gerilya kota. Secara sporadis mereka mengumpulkan dan menghasut massa
dengan orasi-orasi. Ketika massa mulai “terbakar” emosinya, maka mereka meninggalkan kerumunan massa dengan
truk dan bergerak ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama. Dari lokasi
yang baru, kemudian mereka kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, dan merampok
isi mal-mal.
Tragedi Trisakti kemudian disusul dengan tragedi Semanggi I pada 13
November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau
menggagalkan Sidang Istimewa (SI) MPR harus berhadapan dengan kelompok pengamanan swakarsa (Pamswakarsa) yang mendapat sokongan dari petinggi
militer. Pembentukan Pamswakarsa belakangan mendapat respon negatif dari
masyarakat, sehingga mereka berbalik mendukung aksi mahasiswa, yang sempat
bentrok dengan Pam Swakarsa.
Pada tragedi Semanggi I yang menewaskan 5 mahasiswa, salah satunya Wawan
seorang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu
agresif memburu dan menembaki mahasiswa. Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa,
seperti ditayangkan oleh sebuah video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di
DPR Selasa 6 Maret 2001. Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara
yang berada di garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang.
Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke
arah mahasiswa.
Para tentara terus mengambil posisi perang, “merangsek”, dan tiarap di
sela-sela pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam kampus. Pada
saat yang bersamaan, dari atap gedung dari atap gedung BRI I dan II (di daerah Jl. Sudirman) terlihat bola api
kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah saksi sebagai penembak jitu (sniper). Serbuan tembakan hampir
berlangsung selama dua jam.
Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10
orang tewas termasuk Yun Hap (mahasiswa Fakultas Teknik UI) juga ikut tewas.
Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap
disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Menurut Hermawan Sulistyo dari Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) bahwa
kasus ini seperti sudah direkayasa sebelumnya oleh aparat. Lebih lanjut,
Hermawan mengatakan: ''Yun Hap ditembak
pukul 20:40 oleh konvoi aparat keamanan yang menggunakan sekurangnya 6 truk
militer yang mendekat dari arah Dukuh Atas. Konvoi menggunakan
jalan jalur cepat sebelah kanan alias melawan arus. Paling depan tampak mobil
pembuka jalan menyalakan lampu sirene tanpa suara. Sejak masuk area jembatan penyeberangan di depan Bank Danamon, truk
pertama konvoi mulai menembak. Sejumlah saksi mata melihat berondongan peluru dari
atas truk pertama, menyusul tembakan dari truk-truk berikutnya”.
Berdasarkan fakta di lapangan TPFI menegaskan tidak mungkin ada kendaraan
lain selain kendaraan aparat. Sebab, jalur cepat yang dilalui truk-truk itu
masih ditutup untuk umum. Lagi pula truk-truk itu bergerak melawan arus, jadi tidak mungkin ada mobil lain yang
mengikuti.
Akibat peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI dan Polri sedang “diburu” hukum.
Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan
Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan
kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdam jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).
]
b. Menuju Proses Pengadilan
Sudah bertahun-tahun kasus Trisakti dan Semanggi “terkatung-katung nasibnya”
menunggu proses pengadilan. Pada tahun 2005 saja masih harus “bergulat keras”
di Parlemen, padahal rentang waktu dari peristiwa terjadi—dari bulan Mei
1998—hingga sekarang cukup lama. Penyelesaian perkara ini tidak berjalan karena
adanya rekomendasi Panita Khusus (Pansus) DPR 1999-2004. Keluarga korban
beberapa kali menerima dukungan dari berbagai fraksi partai politik di DPR,
hingga janji Ketua DPR Agung Laksono untuk membuka kembali masalah Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II, bahkan keluarga korban Trisakti bersama rektor Universitas
Trisakti dan presiden mahasiswa Universitas Trisakti pernah bertemu Presiden
SBY pada 28 Juli 2005. Pada saat itu, pemerintah akan memberikan apresiasi dan
penghargaan kepada masasiswa korban tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Maksud dan
tujuan Presiden dalam penganugerahan tersebut sebagaimana diungkapkan oleh juru
bicara kepresidenan, Andi Malaranggeng adalah pemerintah akan mencoba
mencarikan “jalan” bagaimana meletakkan tragedi Trisakti itu dalam bingkai
sejarah perjalanan bangsa dan bagaimana menarik pelajaran besar dengan
melakukan perubahan-perubahan serta melakukan penegakkan hukum secara adil.
Presiden juga memberikan pesan agar proses peradilan dilakukan secara bijak.
Penegakan hukum peradilannya dilakukan secara adil, cermat, dan jelas. Oleh
karena itu, pada tanggal 17 Agustus 2005, Presiden menganugerahkan gelar
Pahlawan Reformasi kepada mahasiswa Trisakti yang tewas ditembak aparat pada
tanggal 17 Agustus 2005.
Kemacetan penyelesaian ketiga tragedi berdarah ini disebabkan karena Jaksa
Agung bersikukuh untuk tidak melanjutkan penyidikan sebelum keputusan Pansus
DPR pada tahun 2001 dicabut oleh DPR. Akhirnya keluarga korban kembali
memfokuskan diri untuk menggalang dukungan untuk mencabut putusan Pansus DPR
itu. Hampir 12 kali dilaksanakan pertemuan antara keluarga korban dengan pihak
DPR dari fraksi-fraksi, komisi, hingga ketua DPR. Namun sejauh ini DPR belum
memberikan harapan bagi para korban.
Pada tanggal 25 Januari 2005 keluarga korban didampingi Kontras melakukan
pertemuan dengan anggota DPR untuk mendesak mereka mengambil peran berkaitan
dengan terhambatnya kasus-kasus pelanggaran HAM di Komnas HAM dan Kejaksaan
Agung. Secara khusus korban meminta DPR untuk mencabut rekomendasi DPR 2001
yang menyatakan tidak adanya pelanggaran berat HAM dalam kasus Trisakti dan
Semanggi.
Anggota DPR yang menerima korban pada waktu itu adalah komisi III DPR yang
terdiri dari Nursyahbani Katjasungkana, Gayus Lumbuan, Arbaba Paperweka,
Mahfudz MD, Trimedia Panjaitan dan sejumlah politisi lainnya. Komisi III DPR
menyatakan akan meneliti kasus-kasus yang terhambat di kejaksaan Agung. Khusus
untuk kasus Trisakti dan Semanggi I dan II, Komisi III menegaskan bahwa
rekomendasi DPR 2001 bukanlah produk hukum, melainkan produk politik sehingga
tidak boleh membatasi proses hukum. Dalam hal ini, menurut komisi III, Jaksa
Agung harus mengabaikan rekomendasi dan tetap melakukan penyidikan.
Kasus Trisakti dan Semanggi I & II hingga kini “terlunta-lunta” dan
belum jelas akan berujung di mana. Berkas penuntutan selalu “bolak-balik” dari
Komnas HAM ke Kejaksaan Agung dengan alasan belum lengkap petunjuknya.
Nampaknya ada kendala yang menghadang yaitu adanya perbedaan persepsi yang
substansial antara kejaksaan Agung dan
Komnas HAM menyangkut pemahaman tentang ketentuan formal prosedural, yang antara
lain tentang pembuatan berita acara, proses penyelidikan dan batas-batas tugas
dari kewajiban Komnas HAM selaku penyelidik dengan Kejaksaan Agung selaku
penyidik, sehingga terjadi saling lempar tanggung jawab atas tindakan-tindakan
hukum yang wajib dilaksanakan oleh masing-masing institusi hukum tersebut.
Saling lempar tanggung jawab ini tentu saja sangat merugikan korban dalam upaya
mencari penyelesaian kasus-kasus ini yang sudah 5 tahun lebih belum
terselesaikan.
Satu hal yang cukup menarik dan membuat keluarga korban sedikit “tergugah”
ketika Adnan Buyung Nasution melontarkan wacana untuk meminta Komnas HAM
menghentikan penyelidikan kasus Trisakti dan Semanggi (Tempo, 5 Juli 2005,
Buyung minta Kasus Trisakti Dihentikan). Menurut Adnan, UU Komnas HAM tidak
mengatur kewenangan lembaga tersebut untuk melakukan penyelidikan.
Pembongkaran kasus-kasus HAM masa lalu
tidak realistis serta membongkar luka lama yang bisa menimbulkan luka yang
berkepanjangan. Adnan menyatakan, kasus HAM masa lalu yang bisa diselidiki
hanya meliputi kasus Tanjung Priok dan Timor-Timur sementara kasus lainnya akan
diambil alih oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Tentu saja pernyataan ini langsung mengundang reaksi keras dari keluarga
korban. Misalnya Sumarsih, ibunda Norman Irawan mengingatkan bahwa upaya
meredam terjadinya kembali kekerasan serupa di masa mendatang adalah dengan
menangkap para pelaku pelanggar HAM masa lalu. Oleh karena itu Komnas HAM harus
melakukan penyelidikan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM. Usman Hamid, kordinator
Kontras menegaskan bahwa Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk membongkar
kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
3. Penyerangan Jemaat Ahmadiyah
a. Sejarah Ahmadiyah
Jemaat Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908 M) di India
yang mendapat dukungan dan kerjasama penuh dari pemerintah kolonial Inggris
waktu itu. Mirza Ghulam Ahmad mendeklarasikan dirinya sebagai Imam Mahdi atau al-Masîh
al-Mau'ûd (juru selamat yang dijanjikan), reinkarnasi Isa al-Masîh atau al-Mahdi
yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman. Bahkan para pengikutnya meyakini Mirza sebagai nabi setelah Nabi Muhammad
SAW. Keyakinan Jemaah Ahmadiyah ini memunculkan kontroversi di kalangan umat
Islam secara umum, bahkan muncul pendapat bahwa Jemaat Ahmadiyah sudah
menyimpang dari ajaran Islam.
Tentu saja ajaran ini menimbulkan protes dari seluruh umat Islam yang
meyakini tak ada lagi nabi sesudah Muhammad SAW. Pada tahun 1974, pertemuan
Liga Muslim Dunia di Mekkah, Arab Saudi yang dihadiri delegasi 140 negara
mengeluarkan deklarasi yang menilai Ahmadiyah sebagai sesat. Pemerintah Arab
Saudi menyatakan aliran ini kafir dan tidak boleh ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Demikian
pula pemerintah Brunei Darussalam dan Malaysia yang sejak 1975 melarang ajaran
Ahmadiyah di wilayah masing-masing.
Terlepas dari kontroversi ini, Jemaat Ahmadiyah tetap menjadikan pendapat
mereka tentang Mirza sebagai prinsip aqidah sekaligus ciri khas teologi aliran Ahmadiyah.
Bahkan, untuk menopang kebenaran keyakinan itu, mereka
tak ragu menggunakan ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi.
Di Indonesia aliran ini masuk sejak 1920-an dengan menamakan diri sebagai
Anjuman Ahmadiyah Qodiyan Departemen Indonesia, atau lebih dikenal dengan Islam
Lahore. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional kedua pada Juni
1980 di Jakarta mengeluarkan fatwa, Jamaah Ahmadiyah sebagai aliran sesat.
Fatwa itu dikeluarkan setelah MUI mengkaji berbagai ajaran yang ditemukan dalam
sembilan buku pedoman tentang Ahmadiyah.
Terhadap dua aliran Ahmadiyah ini, MUI telah mengeluarkan fatwa pada 1980
yang berisikan 2 hal; Pertama,
setelah mempelajari dan mendalami fakta dan data ajaran aliran Ahmadiyah
melalui 7 buku ajarannya, maka dinyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah itu di luar
Islam serta sesat dan menyesatkan (dâllun wa mudillun). Kedua, dalam fatwa ini MUI selalu
berkonsultasi dengan pemerintah.
Di Indonesia sendiri, pengikut
aliran Jemaah Ahmadiyah mencapai setengah juta orang (sumber lain menyebutkan
1,5 juta orang) yang tersebar di seluruh wilayah dan pelosok tanah air. Perkembangan pengikut aliran ini, terutama, sejak
pemerintah memberikan ruang kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang merupakan
HAM, sesuai deklarasi HAM PBB, yang juga diratifikasi Indonesia. Menurut salah satu tokoh Jemaat Ahmadiyah, Muhammad
Soleh Jemaah Ahmadiyah ini tidak hanya dikirim ke Indonesia untuk syiar dan
dakwah, tapi juga ke sejumiah negara Asia, yang notebene kebebasan dan
keberagamaannya relatif terbuka.
b. Kronologi Peristiwa
Pada hari Jum’at, tanggal 15
Juli 2005, ratusan jamaah Ahmadiyah yang sedang menggelar muktamar di Kampus
Mubarak, Parung, secara tiba-tiba diserang oleh sekitar 15.000 orang yang
tergabung dalam Gerakan Nasional Umat Islam Indonesia (GNUI) dibawah koordinasi
Habib Abdurrahman Assegaf yang mengganggap aliran ini sesat dan menyesatkan.
Dengan terpaksa seluruh anggota Jemaat Ahmadiyah yang ada di kampus itu
dievakuasi oleh kepolisian setelah didesak keluar oleh belasan ribu orang
tersebut. Evakuasi tersebut bertujuan untuk menghindari jatuhnya korban. Insiden
ini mengakibatkan 4 orang mengalami luka-luka, sedikitnya 73 rumah rusak, 6 masjid
dan 8 musala rusak, serta 2 kendaraan roda empat hangus terbakar dari aksi-aksi
kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah.
Sebelum terjadi peristiwa, Habib Abdurrahman Assegaf beserta ulama lain,
diantaranya; KH. Saarih, KH. Mad Rodja Sukarta, KH. Khaerul Yunus, KH. M.
Nasip, Kyai Ahmad Hasyim, KH. M. Mi'an, dan KH. Mad Hasan memfatwakan tentang
pembubaran dan penutupan Ahmadiyah. Dalam fatwa tersebut, disebutkan: pertama, bahwa hukumnya fardu ain
menghancurkan keberadaan Ahmadiyah di manapun di seluruh wilayah Rl. Kedua, kepada seluruh umat Islam
Indonesia untuk memerangi Ahmadiyah aliran sesat. Ketiga, agar wilayah keberadaan Ahmadiyah di mana saja berada
menjadi wilayah dâr al-harbi,
dan gerakan ini murni gerakan umat Islam dan bukan atas nama golongan apapun
juga. Bahkan, dalam sebuah acara dialog yang diselenggarakan stasiun televisi
swasta, Habib Assegaf menyatakan bahwa penyerangan tersebut didasarkan atas hak
asasi Allah, bukan hak asasi manusia (atau hak memeluk agama).
Pada Senin malam, 19 September 2005 pukul 22.30 WIB, terjadi aksi penyerangan
yang dilakukan sekitar 250 massa terhadap Jemaah Ahmadiyah di kecamatan Campaka-Cianjur.
Dalam aksi itu, sebuah mobil Suzuki Carry terbakar, sedangkan masjid dan rumah
penduduk hanya dilempari dan kerusakannya tidak begitu parah. Menurut pengakuan
Sabri, Ketua Front Pembela Islam (FPI), penyerangan tersebut merupakan aksi
pembalasan terhadap ulah jamaah Ahmadiyah di kecamatan Cibeber yang melakukan
penyerangan di sana.
Pada Februari dan Maret 2006, telah terjadi pengusiran anggota jemaat
Ahmadiyah di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat oleh penduduk di sekitarnya
yang mengakibatkan 141 orang anggota Jemaah Ahmadiyah harus mengungsi.
Pengusiran tersebut dibiarkan oleh aparat pemerintah daerah dan aparat keamanan
setempat. Selain pengusiran, mereka juga mengalami tindak kekerasan.
Jamaah Ahmadiyah juga diserang di Bulukumba, Sulawesi Selatan pada 17
Pebruari 2006. Ditempat itu, Bupati menutup Masjid At-Tohir milik Ahmadiyah
yang terletak di Desa Garanta, kecamatan Ujung Loe, kabupaten Bulukumba
Sulawesi Selatan. Selain penutupan masjid, massa
juga mengancam akan melakukan serangan fisik. Dalam kasus di Bukukumba dan juga
Jeneponto sekitar 100 lebih pengikut Ahmadiyah akhirnya terpaksa harus
mengungsi.
Nampaknya alasan penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap Jemaah Ahmadiyah adalah karena mereka dianggap sebagai gerakan
keagamaan yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar sebagaimana telah
difatwakan oleh MUI Pusat.
c. Versi Komnas HAM dan Jemaah Ahmadiyah
Menurut Komnas HAM, bahwa MUI, FPI, dan
Gabungan Umat Islam Bersatu terlibat pelanggaran HAM berat dalam kasus penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah. Dalam keterangan pers di
Jakarta, (Kamis, 25/1/2007), anggota Komnas HAM; MM. Billah, mengungkapkan indikasi terjadinya pelanggaran HAM berat
itu didasarkan pada temuan mereka. Pelanggaran HAM berat itu berupa penyerangan
tempat ibadah dan penganiayaan terhadap Jamaah Ahmadiyah. MM Billah menyatakan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah telah melanggar
HAM. Namun, selain ormas Islam, Komnas HAM juga menyatakan polisi dan
satuan polisi pamong praja (satpol PP) melakukan pelanggaran HAM berat dalam
penyerangan jamaah Ahmadiyah. Menurut MM Billah,
perlu disayangkan sikap aparat kepolisian yang
membiarkan penyerangan itu berlangsung. Bahkan, hingga kini polisi tidak
mengusut para pelaku. Padahal, polisi sudah mengetahui soal penyerangan dan
pelakunya. Jika kasus seperti ini terus
terjadi tidak hanya polisi yang kredibilitasnya menurun, tapi pemerintah juga
gagal dalam memenuhi hak atas rasa aman warga negara dalam menjalankan ibadah.
MM. Billah memastikan Komnas HAM akan membentuk tim penyelidikan kasus
penyerangan Jamaah Ahmadiyah untuk menuntaskan pekerjaan Tim Pemantau Kasus
Ahmadiyah sebelumnya. Komnas HAM juga mendesak pemerintah pusat dan pemerintah
daerah segera mengembalikan dan melindungi kepemilikan harta benda anggota
jamaah Ahmadiyah yang diusir massa dalam kasus-kasus penyerangan.
d. Versi MUI, dan Pemerintah
Menanggapi tuduhan Komnas HAM, MUI membantah telah melanggar HAM. Ketua
Bidang Fatwa MUI, KH. Ma’ruf Amin keberatan atas laporan Komnas HAM yang menyatakan
MUI melakukan dan terlibat pelanggaran HAM berat pada kasus penyerangan Jamaah
Ahmadiyah tahun 2005-2006.
Menurut Ma’ruf Amin, Ahmadiyah memang
aliran sesat, karena aliran itu secara aqidah memiliki perbedaan mendasar
dengan ajaran Islam. Oleh karenanya, MUI
menganggap wajar jika ada reaksi keras dari umat muslim terhadap Ahmadiyah. Dia
khawatir laporan Komnas HAM yang menyatakan penyerangan terhadap Jamaah
Ahmadiyah merupakan pelanggaran HAM berat itu justru akan memprovokasi dan
menyulut kemarahan umat Islam. Menurut Ma’ruf, Hal
itu justru menguntungkan Ahmadiyah. Pernyataan Komnas HAM itu jelas
memprovokasi umat muslim. Justru MUI
mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sesat sudah benar. Ma’aruf meminta
Komnas HAM mengkaji kembali laporan tersebut agar tidak menimbulkan keresahan
di masyarakat.
Dukungan kepada Gerakan Nasional Umat Islam Indonesia (GNUI) untuk
melakukan tindakan tersebut didukung oleh Pemda
dan aparat setempat yang dinyatakan dalam Surat Pernyataan Bersama. Adapun Surat Pernyataan Bersama itu ditandatangani oleh beberapa pihak,
diantaranya; Bupati Bogor, Ketua DPRD Kab. Bogor, Wakil Ketua DPRD Kab. Bogor,
Dandim 0621 Bogor, Kapolres Bogor, Dan Lanud ATS Bogor, Kepala Kejaksaan Negeri
Cibinong, Kepala Kandepag Kab. Bogor, dan Kabid Fatwa dan Hukum MUI Kab. Bogor. Bunyi Surat Pemyataan Bersama itu sebagai berikut:
“Pada hari ini,
Kamis, tanggal 14 Juli 2005 bertempat di Gedung Pendopo, Cibinong, kami yang
bertandatangan di bawah ini, Unsur Pimpinan Daerah, Kakandepag dan MUI Kabupaten
Bogor, dengan pertimbangan telah terjadinya pengrusakan dan penganiayaan,
berdasarkan laporan Polisi Nomor LP/412/KW2005/RES BGR tanggal 10 Juli 2005
atas Nama Pelapor Mulyadi Sumarto kemudian laporan Rencana Penyerangan dari Tim
Pengamanan Mubarak Jemaat Ahmadiyah Kemang Nomor 110/Kam Kemang tanggal 13 Juli
2005, dan perkiraan eskalasi gangguan keamanan dan ketertiban, dengan ini
Menyatakan Sepakat untuk Menutup Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampus Mubarak,
Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor”.
Dalam suatu kesempatan Menteri Agama, Maftuh Basuni menghimbau agar Jamaah Ahmadiyah untuk membuat agama baru
atau keluar dari Islam. Tentu saja, pernyataan menteri Agama ini lebih berdampak mengeruhkan suasana
ketimbang memberikan solusi.
e. Ancaman atas Kebebasan Beragama dan Kepercayaan
Pembubaran, pelarangan dan
pembatasan terhadap hak untuk beragama dan menjalankan aktivitas keagamaan sesungguhnya memunculkan beberapa pertanyaan. “Mungkinkah
Jemaah Ahmadiyah melakukan aktifitasnya dan muncul ke permukaan di tengah
semaraknya isu HAM, sehingga larangan terhadap Aktivitas Ahmadiyah bisa
ditinjau ulang dan berbalik arah menjadi pembolehan? atau sudah waktunya negara
tidak melakukan intervensi terhadap urusan agama warganegaranya?”
Namun, di atas segalanya patut direnungkan dan perlu mencari jawabannya
secara tuntas dan komprehensif; “mengapa
Jemaah Ahmadiyah dinyatakan sebagai aliran yang menyimpang/sesat sehingga
dilarang beredar di Indonesia? Adakah
korelasi antara Fatwa MUI dan tugas negara dalam melarang Jemaah Ahmadiyah
mengembangkan diri di Indonesia? Kalau Ahmadiyah ternyata benar-benar
sesat, apakah boleh diserang? atau Apakah aliran yang terlarang/sesat tidak
boleh melakukan ibadahnya?. Kalau memang Ahmadiyah itu sesat dan ajarannya
akan membahayakan umat Islam Indonesia, “apa
tindakan negara untuk mencegahnya?, dan kalau mereka benar-benar sesat, apakah boleh mereka diusir dari rumah
mereka?
[i]Reparasi
adalah hak korban, bik korban langsung maupun keluarga atau siapapun yang
berhubungan dengan korban langsung, yang dapat dituntut secara individu maupun
kolektif. Reparasi harus seimbang dengan keseriusan tindak pelanggaran HAM dan
kerusakan yang ditimbulkannya. Negara harus secara resmi mengumumkan mekanisme
yang tersedia bagi hak korban atas reparasi.
[ii]Kompensasi
adalah bagian dari hak korban atas reparasi yang berhubugan dengan pemulihan
atas kerugian secara ekonomi atas akibat dari suatu pelanggaran HAM termasuk
didalamnya kerusakan fisik, mental, kehilangan kesempatan untuk berkembang,
kehilangan pendapatan, dll.
[iii]Rehabilitasi
adalah hak korban yang diberikan pada korban untuk menyembuhkan atau menghadapi
akibat dari sebuah pelanggaran HAM yang dialaminya. Bentuknya berupa pemulihan
dan layanan dukungan baik secara legal, medis, psikologis maupun sosial. Hak
atas rehabilitasi diantaranya adalah
relokasi bagi yang terpakss pindah atau mengungsi, penyediaan layanan
medis dan psikologis buat korban yang
termasuk juga konseling, terapi keluarga maupun pembangunan kelompok mandiri,
dll.
[iv]Restitusi
adalah upaya untuk sejauh mungkin mengembalikan situasi yang ada sebelum
terjadi pelanggaran HAM. Bila dimungkinkan, mengembalikan korban pada keadaan
dimana seseorang belum menjadi korban. Pelaku atau pihak yang bertanggung jawab
menjadi pihak yang harus membayar kerugian-kerugian yang timbul karena
perbuatannya.
[v]Kepuasan
dan jaminan tidak berulang secara umum dikenal sebagai pemulihan yang bersifat
non-materi, dimana didalamnya termasuk kebijakan untuk tidak hanya melihat
sebuah pelanggaran HAM namun juga bagaimana mencegah hal itu tidak terulang.
Pemulihan ini bersifat melayani kebutuhan moral dan fungsi kehidupan sosial
korban.
P o k e r' V i t a Memberikan Bonus Promo Bonus TurnOver, di Permainan Poker Online, Domino Online, Capsa, Bandar Kiu-Kiu, Qiu-Qiu, Live Poker, di Agen Poker Online Terpercaya. Bonus Refferal 15%, Minimal Deposit 10rb!! Nikmati Berbagai Permainan Lainnya Seperti: Sabung Ayam Online Terbaik
BalasHapusHUBUNGI KAMI !!
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker
FESTIFAL POKER 2019
BANDAR POKER TERPERCAYA
JUDI POKER ONLINE INDONESIA