Pengantar
Piagam Madinah
merupakan konstitusi yang berfungsi menjadi dasar hidup bersama yang disepakati
masyarakat Madinah yang heterogen di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. pada
paruh akhir tahun 1 H. Sementara Deklarasi Kairo merupakan common platform
yang disepakati negara-negara muslim anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI)
pada tahun 1993.
Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo mengandung prinsip-prinsip HAM dan punya
relevansi dengan universalitas HAM. Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang
dikandung oleh Piagam Madinah dan punya relevansi dengan universalitas HAM,
ialah: (1) Hak atas kebebasan beragama; (2) Hak atas persamaan di hadapan
hukum; (3) Hak untuk hidup; dan (4) Hak memperoleh keadilan. Adapun prinsip-prinsip
HAM yang dikandung oleh Deklarasi Kairo dan punya relevansi dengan
universalitas HAM, ialah: (1) Landasan Dasar HAM, (2) Hak untuk hidup, (3) Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan, (4) Hak atas pendidikan, (5) Hak atas
kebebasan berpendapat, (6) Hak memperoleh keadilan, (7) Hak atas kebebasan
beragama, (8) Hak atas kemerdekaan diri, (9) Hak atas kebebasan berdomisili dan
bermigrasi, (10) Hak memperoleh suaka negara lain, (11) Hak atas rasa aman,
(12) Hak atas kesejahteraan, (13) Hak atas kepemilikan, (14) Hak turut serta
dalam pemerintahan, (15) Hak perempuan, dan (16) Hak anak.
Intisari dari prinsip Maqâsid al-Syarî’ah mewujudkan maslahah
dan mengeliminasi mafsadah. Dalam rangka mewujudkan maslahah
itu, terdapat lima unsur pokok (al-kulliyyât al-khams) yang harus dipelihara
dan diwujudkan. Kelima unsur pokok tersebut ialah agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Maslahah akan tercapai manakala dapat
dipelihara kelima unsur pokok itu. Sebaliknya, maslahah
tidak akan tercapai , tetapi mafsadah yang terwujud manakala kelima
unsur pokok itu tidak dapat dipelihara dengan baik. Dalam upaya mewujudkan dan
memelihara 5 unsur pokok itu, Maqâsid
al-Syarî’ah dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu: (1) darûriyyât; (2) hâjiyyât; dan
(3) tahsîniyyât. Darûriyyât dimaksudkan untuk memelihara
lima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia. Hâjiyyât dimaksudkan
untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur
pokok itu menjadi lebih baik lagi. Sedangkan Tahsîniyyât
dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan
pemeliharaan terhadap lima unsur pokok itu.
A.
Sejarah Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo
1. Sejarah
Lahirnya Piagam Madinah
Hijrah Nabi Muhammad saw. dari Mekah ke Madinah telah membuka era baru bagi
perjuangan menyampaikan tugas kerasulan. Di Madinah, di samping berfungsi
sebagai Rasul, Nabi merangkap pula sebagai kepala negara di mana warganya
terdiri atas berbagai macam aliran dan golongan yang sebelumnya saling
bersengketa dan bermusuhan.[i] Untuk menyatukan warga yang majemuk itu, sebagai upaya
pendukung bagi negara yang dibangunnya, diperlukan adanya satu konsensus yang
mewajibkan semua pihak tunduk pada persetujuan bersama itu. Persetujuan bersama
inilah yang diberi nama Piagam Madinah, satu konstitusi negara yang dipimpin Nabi
Muhammad saw.[ii]
Dokumen Piagam Madinah merupakan sumber ide yang mendasari negara Islam
pada awal pembentukannya. Dokumen ini telah diakui otentik.[iii] Dalam teori ketatanegaraan, lahir atau terbentuknya
konstitusi dapat melalui keputusan (dekrit) yang bersifat “anugerah” atau
“pemberian” (grant) tokoh yang berkuasa, atau melalui penyusunan oleh
suatu badan/panitia, atau oleh suatu lembaga khusus yang diberi wewenang
membuat konstitusi.[iv] Sesuai dengan keadaan zamannya, Konstitusi Madinah
dilahirkan melalui bentuk pertama, yakni melalui keputusan (dekrit) Muhammad
sebagai pimpinan masyarakat Madinah.
Kelahiran Piagam Madinah memiliki konteks tersendiri. Ketika Nabi saw. tiba
di Madinah, penduduk kota ini -dilihat dari segi agama- terdiri atas tiga
golongan besar, yaitu: warga muslim, musyrik, Yahudi, dan Nasrani. Warga muslim
terdiri atas unsur golongan Muhajirin
dan unsur golongan Anshar.
Golongan Muhajirin adalah warga
imigran yang bermigrasi dari Mekah. Mereka adalah orang-orang suku Quraisy yang telah masuk Islam, yang
terdiri atas beberapa klan, di antaranya Bani
Hasyim dan Bani Muthallib.
Sedangkan Anshar adalah warga pribumi
kota Madinah yang unsur utamanya meliputi dua suku besar, yaitu: suku Aus dan suku Khazraj. Mereka juga terdiri
atas beberapa klan. Warga musyrik adalah orang-orang Arab yang masih menyembah
berhala (paganisme). Sementara warga Yahudi terdiri atas keturunan Yahudi
pendatang dan keturunan Arab yang masuk agama Yahudi atau kawin dengan orang
Yahudi pendatang. Terdapat tiga kelompok besar keturunan Yahudi pendatang ialah
Bani Nadlir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizhah. Adapun warga Nasrani
merupakan kelompok minoritas yang umumnya mendiami daerah Najran[v]
Di tengah
kemajemukan penduduk Madinah itu, Nabi saw. berusaha membangun tatanan hidup
bersama, mencakup semua golongan yang ada di kota Madinah. Sebagai langkah awal, ia “mempersaudarakan” antara golongan
Muhajirin dan golongan Anshar. Persaudaraan (al-mu’âkhâkh)
itu bukan hanya termanifestasikan dengan sikap tolong-menolong, tetapi
sedemikian mendalam hingga ke tingkat saling mewarisi. Kemudian, diadakan
perjanjian hidup bersama secara damai di antara berbagai golongan penduduk yang
ada di Madinah, baik di antara warga muslim, warga musyrik, warga Yahudi maupun warga Nasrani. Kesepakatan antara golongan
Muhajirin dan golongan Anshar, dan perjanjian mereka dengan
golongan Yahudi dan lainnya itu, secara formal, ditulis dalam suatu naskah yang
disebut sahîfah (piagam).[vi]
Nabi saw. pernah, untuk pertama kalinya, mempertemukan golongan Muhajirin dan golongan Anshar di rumah Anas Ibn Malik. Hal ini
terjadi pada awal-awal keberadaan beliau di Madinah. Pertemuan-pertemuan itu
agaknya dipergunakan oleh beliau untuk bermusyawarah mengenai urusan kehidupan
bersama warga Madinah. Pertemuan dengan warga Yahudi dan warga musyrik sering
terjadi sejak awal-awal Nabi saw. tiba di Madinah. Warga Yahudi, pada awal-awal
Nabi berada di Madinah, umumnya bersikap baik. Ia sering berbincang-bincang dengan
para pemimpin dan tokoh mereka. Serombongan rahib dan tokoh elit Yahudi, misalnya, datang kepada Nabi pada
awal beliau tiba di Madinah. Dari dialog Nabi dengan mereka terungkap bahwa
Abdullah Ibn Salam, tokoh terkemuka Bani
Qainuqa’, adalah benar-benar tokoh mereka yang paling alim. Akan tetapi, sesudah Abdullah
Ibn Salam mengakui kerasulan Muhammad di hadapan mereka dan beliau sendiri,
mereka berbalik membenci Abdullah Ibn Salam dan menistanya sebagai orang yang
paling buruk.[vii]
Data di atas menunjukkan keakraban Nabi dengan warga Yahudi di masa awal keberadaannya
di Madinah, sekalipun mereka tidak masuk Islam. Sementara orang Yahudi yang
masuk Islam, seperti Abdullah Ibn Salam, dibenci oleh mereka. Fakta tersebut
menunjukkan kemungkinan perjanjian hidup bersahabat dengan warga Yahudi dibuat
pada awal mula Muhammad berada di Madinah.
Mengenai waktu pembuatan naskah, ada yang berpendapat itu terjadi sebelum perang
Badar. Ada yang mengatakan hal tersebut terjadi sesudah perang Badar. Dimasukkannya golongan Yahudi
ke dalam umat merupakan argumen
penting untuk menentukan bahwa dokumen itu dibuat sebelum perang Badar. Jika dilihat dari
pertemuan-pertemuan di lingkungan golongan Muhajirin dan golongan Anshar,
dan keakraban Nabi saw. dengan golongan Yahudi, maka diduga kuat bahwa naskah
itu dibuat sebelum perang Badar.[viii]
Subhi al-Sâlih menyatakan bahwa penulisan naskah Piagam itu
dilakukan pada tahun pertama Hijrah.[ix] Ahmad Ibrahim al-Syarif menegaskan penulisan itu terjadi
sebelum habis tahun pertama Hijrah.[x] Al-Tabari mengatakan bahwa Nabi telah mengikat
perjanjian damai dengan Yahudi Madinah ketika ia baru berdiam di Madinah. Menurut
al-Tabari, Yahudi yang pertama kali melanggar perjanjian itu ialah Bani Qainuqa’, yakni pada bulan Syawal
tahun 2 H.[xi] Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Piagam
Madinah itu otentik, dan penyusunannya dilakukan sebelum terjadi perang Badar. Waktunya, agaknya, masih pada
tahun 1 H.[xii]
Negara yang terbentuk pada masa Nabi saw. sejak awal berdirinya sudah memiliki
konstitusi, yakni Piagam Madinah. Konstitusi bukan merupakan unsur pokok,
tetapi merupakan unsur kelengkapan berdirinya negara. Pembentuk Piagam Madinah
adalah Nabi saw. yang dibantu para sahabatnya, dan terlebih dahulu dilakukan
pertemuan dan musyawarah dengan berbagai golongan yang ada di Madinah. Negara
yang terbentuk pada masa Nabi saw, dengan Piagam Madinah, mula-mula berupa negara
kota (city state), yang kemudian wilayahnya bertambah luas. Pada akhir
hayat Nabi saw., negara Madinah itu meliputi hampir seluruh Jazirah Arab.[xiii]
Piagam Madinah lahir di Jazirah Arab yang sebelumnya diliputi tradisi kemusyrikan,
konflik antar suku, permusuhan kaum kafir Quraisy dengan umat Islam,
ketidakjelasan batas satu negara dengan negara lainnya, dan belum dikenalnya
hukum internasional. Dalam pada itu, semangat Nabi saw. dan para pengikutnya
untuk menegakkan ajaran tauhid dan syariah menyala-nyala. Keinginan bersatu di
kalangan orang-orang Arab yang telah masuk Islam tumbuh begitu kuat. Tekad Nabi
saw. untuk membangun tatanan hidup bersama sangat mantap dan realistis, dengan
mengikutsertakan semua golongan sekalipun berbeda ras, keturunan, golongan, dan
agama. Itulah, tampaknya, motivasi dibuatnya Piagam Madinah.[xiv]
Konfigurasi Piagam Madinah menggambarkan kalimat-kalimat sahîfah
(Piagam) yang tersusun secara bersambung, tidak terbagi atas pasal-pasal dan
tidak berbentuk syair; dan kalimat Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm
tertulis pada awal naskah, disusul dengan rangkaian kalimat berbentuk prosa.[xv] Hal demikian cukup logis mengingat tradisi bernegara yang
masih sederhana.
2.
Sejarah Lahirnya Deklarasi Kairo
The Cairo
Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi Kairo tentang HAM Menurut
Islam) disampaikan dalam suatu Konferensi Internasional HAM di Wina, Austria,
tahun 1993, oleh Menteri Luar Negeri Arab Saudi yang menegaskan bahwa Piagam
itu merupakan konsensus dunia Islam tentang HAM.[xvi]
Deklarasi itu merupakan hal sangat penting karena ia melanjutkan
kecenderungan-kecenderungan yang pernah ada dalam skema HAM versi Islam pada
masa-masa sebelumnya, dan karena ia telah disampaikan pada bulan Agustus 1990
oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara anggota OKI (Organisasi Konferensi
Islam). Selanjutnya, ia muncul -pada tingkat yang sangat superfisial membentuk
suatu konsensus yang lebih luas-sekalipun hanya level pemerintah- mengenai
bagaimana Islam seharusnya memengaruhi isu HAM internasional. Akan tetapi,
lahirnya konsensus ini diingkari oleh sikap pendirian yang diambil oleh sebagian
negara anggota OKI, yang masih bersikukuh berbeda pandangan sesudah bergulirnya
deklarasi yang juga dimotori oleh mereka sebelumnya.[xvii]
Konferensi Dunia tentang HAM di Wina, Austria tahun 1993 merupakan daya
pendorong bagi negara-negara muslim untuk menentukan sikap pendirian mereka
tentang HAM. Pertentangan mengenai apakah HAM itu berhubungan dengan -tanpa
bisa melepaskan diri dari- budaya Barat dan apakah HAM itu bersifat universal,
merupakan daya pikat utama Konferensi tersebut. Pada masa-masa menjelang konferensi
itu, Arab Saudi dan Iran masih mendukung penuh proposal Deklarasi Kairo tahun 1990.[xviii]
Pada sisi lain, Irak mengikuti jejak Iran dengan melakukan upaya menekan
Komisi HAM PBB untuk menerima Deklarasi Kairo sebagai alternatif islami bagi
HAM internasional. Sangat tidak mungkin rezim-rezim ini, dengan pola pikir
mereka yang sangat beragam, hendak mempromosikan suatu piagam yang bernafaskan
ajaran Islam secara substantif. Islam Wahabi, aliran resmi Islam Arab Saudi,
yang mendukung pemerintahan monarki absolut dan memiliki sikap bias yang kuat terhadap Islam Syiah,
dicela oleh Iran. Saddam Hussein, sang diktator Irak, dicela oleh Ayatullah
Khomeini. Sebagai minoritas Sunni Irak, Saddam Hussein menganut ideologi
nasionalisme Arab-sekuler, dan juga ia menindas dan menyiksa kaum Syiah Irak.[xix]
Betapapun tidak sejalannya kebijakan keagamaan yang dibuat ketiga rezim itu,
mereka memperlihatkan secara umum praktik pengingkaran atas hak dan kebebasan
dasar warganegara, dan menempuh tindakan-tindakan destruktif untuk menindas dan
menyingkirkan lawan-lawan (politik) dan para pengkritik mereka; dan ketiganya
juga masing-masing membuat kalkulasi bahwa mereka tetap memperoleh keuntungan
dari upaya mempromosikan suatu alternatif hukum HAM internasional yang dianggap
sejalan dengan Islam.[xx]
Dalam kesempatan pertemuan OKI di Teheran pada Desember 1997, Iran dan
sejumlah negara OKI lainnya tetap terus menyampaikan gagasan bahwa sistem HAM
PBB yang ada sangat diwarnai oleh Barat dan perlu diadakan penyesuaian agar
mampu mengakomodasi budaya dan nilai-nilai religius negara-negara muslim-suatu
pandangan yang ditolak oleh Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan yang
menandaskan bahwa HAM itu berwatak universal.[xxi]
Bagaimanapun, Deklarasi Kairo merupakan prestasi penting umat Islam sedunia
dalam menggalang kesepakatan pemikiran mengenai promosi hak-hak asasi manusia.
Hal ini juga diakui oleh kalangan pengamat internasional, meskipun ada juga
yang memberikan penilaian buruk.
B.
Isu HAM dalam Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo
1. Isu HAM dalam Piagam Madinah
Adapun isu HAM yang dikandung oleh Piagam Madinah, ialah: (1) Hak atas
kebebasan beragama; (2) Hak atas persamaan di depan hukum; (3) Hak untuk hidup;
dan (4) Hak memperoleh keadilan.[xxii]
a. Hak atas
Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama merupakan salah satu isu HAM yang penting dan dikandung
oleh Pasal 25 Piagam Madinah, yakni:
“Etnis Yahudi dari Suku ‘Awf adalah satu umat
dengan orang mukmin. Bagi etnis Yahudi agama mereka; dan bagi orang muslim
agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka
sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan
keluarganya.”
b. Hak atas
Persamaan di depan Hukum
Hak atas persamaan di depan hukum diungkapkan dalam Pasal 26 s/d Pasal 35,
sebagaimana tersebut berikut ini:
Pasal 26
“Etnis Yahudi suku Najjar
diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
Pasal 27
“Etnis Yahudi suku Harts diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
Pasal 28
“Etnis Yahudi suku Sâ’idah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku
‘Auf.”
Pasal 29
“Etnis Yahudi suku Jusyam diperlakukan sama seperti etnis
Yahudi suku ‘Auf.”
Pasal 30
“Etnis Yahudi suku Aus diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
Pasal 31
“Etnis Yahudi suku Tsa’labah diperlakukan sama seperti
etnis Yahudi suku ‘Auf, kecuali orang yang zalim atau khianat.
Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.”
Pasal 32
“Suku Jafnah dari Tsa’labah (diperlakukan) sama seperti
mereka (Dinasti Tsa’labah).”
Pasal 33
“Etnis Yahudi suku Syutaibah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi
suku ‘Awf. Sesungguhnya
kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).”
Pasal 34
“Sekutu-sekutu Tsa’labah
(diperlakukan) sama seperti mereka (suku Tsa’labah).”
Pasal 35
“Kerabat Yahudi (di luar
kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).”
c. Hak untuk Hidup
Hak untuk hidup merupakan dinyatakan dalam Pasal 14:
“Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang
beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin
membantu orang kafir untuk (membunuh) orang mukmin.”
d. Hak Memperoleh Keadilan
Hak memperoleh keadilan
dinyatakan dalam Pasal 2 s/d Pasal 13.
Pasal 2
“Kaum Muhajirin
dari suku Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu
membayar diyat di antara mereka, dan mereka membayar tebusan tawanan dengan
cara yang baik dan adil di antara kaum mukmin.”
Pasal 3
“Suku ‘Auf,
sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara mereka
seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara kaum mukmin.”
Pasal 4
“Suku Sâ’idah,
sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara mereka
seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara kaum mukmin.”
Pasal 5
“Suku Harts, sesuai
(kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti
semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara
kaum mukmin.”
Pasal 6
“Suku Jusyam,
sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti
semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara
kaum mukmin.”
Pasal 7
“Suku Najjar,
sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti
semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara
kaum mukmin.”
Pasal 8
“Suku ‘Amr
ibn ‘Auf, sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan
adil di antara kaum mukmin.”
Pasal 9
“Suku Nabit,
sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti
semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara
kaum mukmin.”
Pasal 10
“Suku Aus,
sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti
semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara
orang-orang mukmin.”
Pasal 11
“Sesungguhnya orang mukmin tidak boleh membiarkan orang yang
terbelit utang, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau
diyat.”
Pasal 12
“Seorang mukmin tidak
dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan
daripadanya.”
Pasal 13
Orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang
di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan
permusuhan atau kerusakan di kalangan orang mukmin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia
anak dari salah seorang di antara mereka.
2. Isu HAM dalam
Deklarasi Kairo
Deklarasi Kairo atau lengkapnya Deklarasi Kairo tentang HAM dalam
Islam memuat asas-asas dasar HAM dan komponen HAM yang meliputi: (1) Hak untuk
hidup; (2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; (3) Hak atas kekayaan intelektual;
(4) Hak kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi; (5) Hak memperoleh keadilan;
(6) Hak kebebasan beragama; (7) Hak atas kemerdekaan diri; (8) Hak kebebasan
berdomisili dan memperoleh suaka negara lain; (9) Hak atas rasa aman, (10) Hak
atas kesejahteraan; (11) Hak kepemilikan; (12) Hak turut serta dalam pemerintahan;
(13) Hak perempuan; dan (14) Hak anak.[xxiii]
a. Landasan Dasar HAM
Mengenai dasar HAM dimuat dalam ketentuan Pasal 1, Pasal 24, dan Pasal 25.
Pasal 1
(1). Semua manusia merupakan satu keluarga besar di mana
setiap anggotanya dipersatukan dengan ketundukan kepada Tuhan dan dengan satu
keturunan dari Nabi Adam. Semua manusia setara dan sederajat dalam hal harkat,
martabat, kewajiban dan tanggung jawab, tanpa perbedaan sedikitpun atas dasar
ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, agama/aliran kepercayaan, afiliasi
politik, status sosial ataupun hal lainnya. Keimanan yang sejati merupakan
jaminan bagi peningkatan martabat tersebut dalam rangka menuju kemanusiaan yang
paripurna.
(2). Semua
manusia adalah makhluk Tuhan; dan makhluk yang paling disayangi-Nya ialah yang
paling berguna bagi hamba-Nya yang lain; dan tidak seorang pun memiliki keistimewaan
atas yang lainnya kecuali atas dasar
ketakwaan dan amal baik (yang dicapainya).
Pasal 24
“Semua hak dan kebebasan yang dinyatakan di
dalam Deklarasi ini tunduk kepada syariat
Islam.”
Pasal 25
”Syariat Islam
adalah satu-satunya sumber acuan bagi penjelasan atau uraian berbagai pasal
dalam Deklarasi ini.”
b. Hak untuk Hidup
Hak untuk hidup
dinyatakan oleh Pasal 2, Pasal 3, dan
Pasal 17.
Pasal 2
(1).
Kehidupan adalah anugerah Tuhan
dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap orang. Setiap orang, masyarakat dan
negara berkewajiban melindungi hak ini dari segala bentuk pelanggaran apapun,
dan dilarang untuk mencabut hak hidup seseorang kecuali berdasarkan alasan yang
ditentukan syariat.
(2).
Dilarang untuk memilih jalan yang
dapat mengakibatkan cara yang memperbolehkan pemusnahan suatu bangsa umat
manusia.
(3).
Melindungi kehidupan setiap
manusia sepanjang waktu yang dikehendaki Tuhan merupakan kewajiban yang
ditetapkan syariat Islam.
(4).
Rasa aman dari penganiayaan fisik merupakan hak seseorang yang dijamin.
Negara berkewajiban untuk menjamin rasa aman tersebut. Hak ini dilarang untuk
melanggarnya tanpa berdasarkan alasan yang ditentukan syariat Islam.
Pasal 3
(1). Dalam peristiwa
yang menggunakan kekuatan dan dalam konflik bersenjata, tidak diizinkan untuk
membunuh mereka yang tidak terlibat seperti orang tua-renta, kaum perempuan dan
anak-anak. Orang yang terluka dan yang sakit berhak untuk mendapatkan perawatan
medis dan para tawanan perang berhak untuk memperoleh makanan, tempat
perlindungan dan pakaian. Dilarang pula merusak tubuh orang yang sudah mati.
Diwajibkan untuk mengadakan pertukaran tawanan perang dan memberikan kesempatan
berkunjung atau bertemu bagi keluarga tawanan yang terpisah jauh lantaran
situasi perang.
(2). Dilarang menebangi pohon-pohon, merusak hasil panen atau
ternak, dan menghancurkan bangunan-bangunan dan instalasi-instalasi sipil
dengan pengeboman, peledakan atau dengan cara-cara lain.
Pasal 17
(1). Setiap
orang berhak untuk hidup di lingkungan yang bersih, jauh dari sifat keburukan
dan penyelewengan moral, suatu lingkungan yang akan memperkukuh pengembangan
diri pribadinya; dan pejabat pemerintah serta masyarakat pada umumnya wajib
memberikan hak itu.
(2). Setiap
orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial, dan
(berhak memperoleh) kesejahteraan umum yang diberikan oleh masyarakat dan
negara menurut batas sumber-sumber daya yang ada.
(3). Pemerintah
menjamin hak setiap orang atas
penghidupan yang layak, yang terpenuhi segala kebutuhan pokok hidup dirinya dan
keluarganya, seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, perawatan
kesehatan dan kebutuhan pokok lainnya.
c. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan dinyatakan oleh Pasal 5 dan Pasal
6.
Pasal 5
(1).
Keluarga merupakan fondasi masyarakat, dan pernikahan merupakan landasan
pembentukannya. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk menikah, dan tidak
ada pembatasan apapun yang berdasarkan ras, warna kulit atau kebangsaan yang
mengahalangi mereka untuk menikmati hak ini.
(2).
Masyarakat dan pemerintah harus melenyapkan semua hambatan untuk menikah
dan harus memberi fasilitas kemudahan prosedur pernikahan. Mereka harus
memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan bagi kehidupan keluarga
(setiap orang).
Pasal 6
(1). Perempuan
memiliki martabat dan harkat yang sama dengan laki-laki; dan ia memiliki
hak-hak yang bisa dinikmatinya di samping kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakannya; ia memiliki hak keperdataan serta kebebasan finansial, dan
juga memiliki hak mempertahankan nama
baik diri pribadi dan anak keturunannya.
(2). Suami
berkewajiban memberikan nafkah dan mewujudkan kesejahteraan bagi keluarganya.
d. Hak atas Pendidikan
Hak atas pendidikan dinyatakan oleh Pasal 9:
(1).
Penyelidikan ilmu pengetahuan merupakan kewajiban; dan penyelenggaran
pendidikan merupakan kewajiban masyarakat dan pemerintah (negara). Pemerintah
harus menjamin tersedianya sarana prasarana penyelenggaraan pendidikan, dan
juga harus menjamin terwujudnya ragam pendidikan, sesuai dengan kebutuhan
masyarakat sehingga memungkinkan setiap orang memahami agama Islam dan
fakta-fakta alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.
(2).
Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan agama dan
pendidikan umum dari berbagai lembaga pendidikan dan pengajaran, termasuk
pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, pendidikan universitas, pendidikan
media massa, dan sebagainya, di mana hal tersebut secara terpadu dan seimbang
mengarah pada pengembangan kepribadiannya, peningkatan keimanannya kepada
Tuhan, dan penguatan sikap menghargai dan membela hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya.
e. Hak Kebebasan Berpendapat
Hak kebebasan berpendapat dinyatakan oleh Pasal 22 ayat (1) dan (2), yakni:
(1).
Setiap orang berhak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas sejauh
tidak bertentangan dengan ajaran prinsipiil syariat Islam.
(2). Setiap
orang berhak untuk membela apa yang menjadi haknya, mendukung sesuatu yang baik
dan memperingatkan sesuatu yang salah dan buruk, sesuai dengan ajaran syariat
Islam.
f. Hak Memperoleh Keadilan
Hak memperoleh keadilan
dinyatakan oleh Pasal 8, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21.
Pasal 8
“Setiap
orang berhak untuk memperoleh kecakapan hukum dalam arti memiliki kewajiban dan
tanggung jawab; (dan) seandainya kecakapan ini hilang atau terhalang, maka ia
diwakili oleh walinya.”
Pasal 19
(1).
Semua orang adalah sama dan sederajat di hadapan hukum, tanpa ada perbedaan
antara pemerintah dan rakyat.
(2).
Hak memperoleh keadilan dijamin bagi setiap orang
(3). Pertanggungjawaban
pada hakikatnya bersifat personal (diri pribadi).
(4).
Tidak ada tindak pidana atau penjatuhan pidana kecuali sesuai dengan yang
ditetapkan dalam syariat Islam.
(5).
Terdakwa dinyatakan tidak bersalah sampai ia terbukti bersalah di hadapan
sidang pengadilan di mana ia diberikan hak untuk membela diri.
Pasal 20
“Tidak boleh seorang pun ditangkap, ditahan,
dibatasi kemerdekaannya, diasingkan atau disiksa tanpa alasan yang sah menurut
hukum. Tidak boleh pula melakukan penyiksaan secara fisik ataupun psikis,
penghinaan, kekejaman, dan pelecehan martabat seorang pun. Tidak boleh pula
melakukan percobaan medis atau percobaan ilmiah tanpa persetujuan orang yang
bersangkutan, atau ketika mengandung risiko atas kesehatan atau kehidupannya.
Tidak boleh pula mengesahkan undang-undang darurat untuk mendapat kewenangan
eksekusi atas tindakan yang demikian.”
Pasal 21
“Memanfaatkan para tahanan dalam bentuk
apapun dan dengan tujuan apapun sungguh dilarang.”
g. Hak atas Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama dinyatakan oleh Pasal 10, yakni:
“Islam adalah agama yang memiliki hakikat
yang kukuh. Dilarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun terhadap seseorang,
atau dilarang mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang agar ia berpindah
agama atau menjadi ateis.”
h. Hak atas Kemerdekaan Diri
Hak atas kemerdekaan diri dinyatakan oleh Pasal 11, yakni:
(1).
Setiap manusia dilahirkan merdeka dan tak seorang pun berhak memperbudak,
menghina, menindas atau mengeksploitasi mereka, dan tak seorang pun boleh
menyembah kecuali kepada Allah Yang Maha Agung.
(2).
Kolonialisme merupakan salah satu bentuk perbudakan yang dilarang secara
mutlak. Orang-orang yang menderita akibat kolonialisme sepenuhnya mempunyai hak
untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri. Semua negara dan masyarakat
berkewajiban mendukung perjuangan rakyat yang berada di bawah kolonialisme untuk
menghapus segala bentuk kolonialisme dan penjajahan; dan semua negara dan
masyarakat berhak mempertahankan kemerdekaan mereka dan menerapkan upaya
perlindungan atas kekayaan negara dan sumber daya alamnya.
i. Hak atas Kebebasan Berdomisili, Bermigrasi, Memperoleh Suaka Negara lain
Hak ini dinyatakan oleh Pasal 12, yakni:
“Setiap orang harus punya hak, sesuai dengan Syariat Islam, untuk
bebas melakukan perpindahan dan untuk memilih tempat kediamannya, baik di dalam
atau di luar negaranya, dan jika ia dianiaya, ia berhak mendapat suaka dari
negara lain. Negara yang memberikan
perlindungan (suaka) harus menjamin perlindungan (suaka)-nya itu sehingga ia
merasa aman, terkecuali suaka yang dimotivasi oleh tindakan yang dipandang
Syariat Islam sebagai kejahatan.”
j. Hak atas Rasa Aman
Hak atas rasa aman dinyatakan oleh Pasal 4 dan Pasal 18.
Pasal 4
“Setiap manusia berhak untuk tidak diganggu
dan berhak mendapat perlindungan atas nama baik dan kehormatannya sepanjang
hidupnya dan sesudah wafatnya. Pemerintah dan masyarakat harus melindungi
jenazahnya dan tempat pemakamannya.”
Pasal 18
(1).
Setiap orang berhak untuk hidup dengan aman, baik bagi dirinya, agamanya,
keluarganya, kehormataannya, dan kekayaannya.
(2). Setiap
orang berhak atas privasi dalam menjalankan urusan-urusan pribadinya, baik di
dalam rumahnya, di antara keluarganya,
yang berhubungan dengan harta kekayaannya dan keluarganya. Dilarang memata-matai diri pribadinya, menempatkan
dirinya di bawah pengawasan, atau mencemarkan nama baiknya. Pemerintah harus
melindungi dirinya dari campur tangan yang sewenang-wenang.
(3).
Tempat kediaman pribadi seseorang tidak boleh diganggu. Ia tidak boleh
dimasuki tanpa seizin penghuninya atau dengan cara melawan hukum; dan tidak
boleh pula merusak, menyita, atau mengusir penghuninya.
k. Hak atas Kesejahteraan
Hak atas kesejahteraan dinyatakan oleh Pasal 13 dan Pasal 14.
Pasal 13
“Bekerja merupakan hak yang dijamin oleh pemerintah dan masyarakat
bagi siapa saja yang mampu bekerja.
Setiap orang berhak memilih pekerjaan yang paling sesuai dan berguna bagi
dirinya dan masyarakat. Setiap pekerja memiliki hak keselamatan dan keamanan
dan jaminan sosial lainnya. Setiap pekerja tidak boleh diberi pekerjaan yang
melebihi kemampuannya, dipaksa, ditekan atau dirugikan dalam bentuk apapun. Ia
memperoleh hak tanpa ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan untuk
mendapatkan upah yang layak atas hasil kerjanya tanpa ada penundaan waktu, juga
berhak menikmati liburan, uang saku (lembur) dan kenaikan pangkat yang menjadi
haknya. Dalam hal ini, dia wajib berdedikasi dan bertindak teliti dalam
bekerja. Bila pekerja dan pegawai berselisih dalam suatu urusan, pemerintah
harus campur tangan untuk menyelesaikan perselisihan itu dan memiliki keluhan
yang diperbaiki; hak-hak dikukuhkan dan keadilan ditegakkan tanpa penyelewengan
sedikitpun.”
Pasal 14
“Setiap orang berhak memperoleh keuntungan yang sah tanpa usaha
monopoli, penipuan atau usaha merugikan lainnya, baik terhadap dirinya maupun
orang lain. Riba dilarang secara mutlak.”
l. Hak atas Kepemilikan
Hak atas Kepemilikan merupakan salah satu komponen HAM. Hak ini dinyatakan
oleh Pasal 15, yakni;
(1).
Setiap orang
berhak untuk memiliki harta kekayaan dengan cara yang sah, dan diberi hak untuk
memiliki harta kekayaan tanpa prasangka terhadap diri sendiri, orang lain atau
masyarakat pada umumnya. Pengambilalihan
tidak dibolehkan kecuali untuk kepentingan umum dengan pembayaran ganti rugi
yang adil dan segera.
(2).
Penyitaan dan perampasan harta kekayaan dilarang kecuali untuk suatu
kepentingan berdasarkan hukum.
m. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Hak turut serta dalam pemerintahan dinyatakan oleh Pasal 23, yakni:
(1).
Jabatan merupakan kepercayaan (amanat) dan pelanggaran atau eksploitasi
sangat terlarang sehingga hak-hak asasi manusia terlindungi.
(2).
Setiap orang berhak untuk berpartisipasi secara langsung atau tidak
langsung dalam urusan-urusan tata pemerintahan. Ia pun berhak menjabat jabatan
pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prisnip syariat Islam.
n. Hak Perempuan
Hak perempuan merupakan salah satu komponen HAM. Hak ini dinyatakan dalam
Pasal 6, yakni:
(1). Perempuan
memiliki martabat dan harkat yang sama dengan laki-laki; dan ia memiliki
hak-hak yang bisa dinikmatinya di samping kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakannya; ia memiliki hak keperdataan serta kebebasan finansial, dan
juga memiliki hak mempertahankan nama
baik diri pribadinya dan anak keturunannya.
(2). Suami
berkewajiban memberikan nafkah dan mewujudkan kesejahteraan bagi keluarganya.
o. Hak Anak
Hak anak dinyatakan dalam Pasal 7, yakni:
(1).
Sejak anak dilahirkan, ia mempunyai hak-hak dari orang tuanya, masyarakat
dan pemerintah, seperti hak atas perawatan, hak atas pendidikan, hak atas
kesehatan dan hak atas pembinaan moral.
(2).
Orang tua punya kewenangan tersebut dan berhak untuk memilihkan jenis
pendidikan sesuai dengan keinginan anak-anaknya. Mereka mempertimbangkan minat
dan masa depan anak-anaknya, sesuai dengan nilai-nilai akhlak mulia dan ajaran
prinsipiil syariat Islam.
(3).
Kedua orang tua mempunyai hak-hak tertentu dari anak-anaknya, demikian juga
sanak keluarga dari keturunannya, agar mereka menghormati ketentuan-ketentuan
hukum yang berdasarkan ajaran prinsipil syariat.
C. Relevansi Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo dengan Universalitas
HAM
1. Relevansi Piagam Madinah dengan Universalitas HAM
Adapun relevansi Piagam Madinah dengan universalitas HAM dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Hak atas Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama dikandung oleh Pasal 25. Pasal Piagam Madinah ini
sejalan dengan DUHAM Pasal 18,
yakni:
“Setiap orang punya hak kebebasan berfikir, berkeyakinan dan
beragama; hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau aliran kepercayaan,
dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya itu dalam bentuk
pengajaran, pengamalan, dan peribadatan, baik sendiri maupun dilakukan
bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun di tempat pribadi.”
b. Hak atas Persamaan di depan Hukum
Hak atas persamaan di depan Hukum diungkapkan dalam Pasal 26 s/d Pasal 35. Pasal-pasal
Piagam Madinah ini sejalan dengan DUHAM
Pasal 2 yang menyatakan:
“Setiap orang mempunyai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau paham yang lain,
asal-usul kebangsaan atau asal-usul sosial lainnya, hak milik, status kelahiran,
atau pun status yang lainnya.”
c. Hak untuk Hidup
Hak untuk hidup dinyatakan dalam Pasal 14. Pasal Piagam Madinah ini sejalan
dengan DUHAM Pasal 3 s/d Pasal
5, yakni:
Pasal 3
“Setiap orang mempunyai hak hidup, hak kebebasan, dan hak
perlindungan.”
Pasal 4
“Tiada seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba; perbudakan dan
perdagangan budak dalam bentuk apapun dilarang.”
Pasal 5
“Tiada seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam
atau dihina atau dihukum dengan tidak berperikemanusiaan.”
d. Hak Memperoleh Keadilan
Hak memperoleh keadilan dinyatakan
dalam Pasal 2 s/d Pasal 13. Pasal-pasal Piagam Madinah ini sejalan dengan DUHAM, yakni Pasal 7 yang menyatakan:
“Semua orang adalah setara di hadapan hukum dan berhak memperoleh
perlindungan yang sama dari hukum tanpa dibeda-bedakan. Semua orang berhak
memperoleh perlindungan yang sama dari diskriminasi apapun yang melanggar
Deklarasi ini dan dari hal-hal yang mengarah kepada terjadinya diskriminasi
tersebut.”
2. Relevansi
Deklarasi Kairo dengan Universalitas HAM
Adapun relevansi Deklarasi Kairo dengan universalitas HAM dapat diuraikan
sebagai berikut.
a. Landasan Dasar HAM
Mengenai dasar HAM dimuat dalam ketentuan Pasal 1, Pasal 24 dan Pasal 25. Pasal-pasal
Deklarasi Kairo ini sejalan DUHAM,
yakni Pasal 1 dan Pasal 2.
Pasal 1
“Semua orang dilahirkan dengan merdeka dan sederajat dalam kedudukan
dan hak-haknya. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus berperilaku
terhadap sesamanya dengan semangat persaudaraan.”
Pasal 2
“Setiap
orang mempunyai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam
Deklarasi ini tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pandangan politik atau paham yang lain, asal-usul kebangsaan
atau asal-usul sosial lainnya, hak milik, status kelahiran ataupun status yang
lainnya. Lebih dari itu, tidak boleh melakukan pembeda-bedaan atas dasar
perbedaan yang bersifat politik, atau
bersifat yuridis atau status internasional negara atau wilayah yang didiami
seseorang, baik negara/wilayah yang merdeka, negara/wilayah protektorat,
negara/wilayah yang tidak punya pemerintahan mandiri atau yang berada di bawah
pembatasan kedaulatan oleh negara/wilayah lain.
b. Hak untuk Hidup
Hak untuk hidup
dinyatakan oleh Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 17. Pasal-pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 3 s/d Pasal 5 DUHAM, yakni:
Pasal 3
“Setiap orang mempunyai hak hidup, hak kebebasan dan hak perlindungan.”
Pasal 4
“Tiada seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba; perbudakan dan
perdagangan budak dalam bentuk apapun dilarang.”
Pasal 5
“Tiada seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam
atau dihina atau dihukum dengan tidak berperikemanusiaan.”
Pasal 6
“Setiap orang berhak di mana saja pun untuk diakui pribadinya
sebagai manusia di depan hukum.”
c. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan dinyatakan oleh Pasal 5 dan Pasal
6 . Kedua
Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 16 DUHAM:
(1).
Laki-laki dan
perempuan yang telah dewasa, tanpa pembatasan atas dasar perbedaan ras,
kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk menikah dan mendirikan rumah tangga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam pernikahan selama
pernikahan masih berlangsung dan juga pada waktu perceraian.
(2).
Pernikahan dianggap terjadi hanya dengan persetujuan yang benar-benar bebas
dari kedua calon mempelai yang berkehendak (menikah).
(3).
Keluarga adalah unit kelompok masyarakat yang alami dan asasi dan yang
berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.
d. Hak atas Pendidikan
Hak atas pendidikan dinyatakan dalam Pasal 9. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan
dengan Pasal 26 DUHAM:
(1).
Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus diberikan
dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya pada tingkat pendidikan dasar. Pendidikan
dasar harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan harus terbuka secara
umum bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus memberi kesempatan yang sama
kepada semua orang berdasarkan tingkat kecerdasan yang dimilikinya.
(2).
Pendidikan harus diarahkan kepada perkembangan kepribadian manusia dan
untuk memperkuat sikap penghormatan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia. Pendidikan harus meningkatkan kualitas sikap saling pengertian,
toleransi, persaudaraan antarbangsa, antarras atau antarkelompok agama, dan
harus memajukan segenap aktivitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara
perdamaian dunia.
(3).
Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih macam pendidikan yang akan diberikan
kepada anak-anak mereka.
e. Hak Kebebasan Berpendapat
Hak kebebasan berpendapat dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2). Pasal Deklarasi
Kairo di atas sejalan dengan Pasal 26 DUHAM:
(1).
Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus diberikan
dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya pada tingkat pendidikan dasar. Pendidikan
dasar harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan harus terbuka secara
umum bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus memberi kesempatan yang sama
kepada semua orang berdasarkan tingkat kecerdasan yang dimilikinya.
(2).
Pendidikan harus diarahkan kepada perkembangan kepribadian manusia dan
untuk memperkuat sikap penghormatan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia. Pendidikan harus meningkatkan kualitas sikap saling pengertian,
toleransi, persaudaraan antarbangsa, antarras atau antarkelompok agama, dan
harus memajukan segenap aktivitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara
perdamaian dunia.
(3).
Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih macam pendidikan yang akan diberikan
kepada anak-anak mereka.
f. Hak Memperoleh Keadilan
Hak memperoleh keadilan dinyatakan oleh Pasal 8, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal
21. Pasal-pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 7 DUHAM:
“Semua orang adalah setara di hadapan hukum dan berhak memperoleh
perlindungan yang sama dari hukum tanpa dibeda-bedakan. Semua orang berhak
memperoleh perlindungan yang sama dari diskriminasi apapun yang melanggar
Deklarasi ini dan dari hal-hal yang mengarah kepada terjadinya diskriminasi
tersebut.”
g. Hak atas Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama dinyatakan oleh Pasal 10. Pasal Deklarasi Kairo
ini sejalan dengan DUHAM:
“Setiap orang punya hak kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan
beragama; hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau aliran kepercayaan,
dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya itu dalam bentuk
pengajaran, pengamalan, dan peribadatan, baik sendiri maupun dilakukan
bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun di tempat pribadi.”
h. Hak atas Kemerdekaan Diri
Hak atas kemerdekaan diri dinyatakan oleh Pasal 11. Pasal Deklarasi Kairo ini
sejalan dengan DUHAM Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 5.
Pasal 3
“Setiap orang mempunyai hak hidup, hak kebebasan, dan hak atas rasa
aman.”
Pasal 4
“Tiada seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba; perbudakan dan
perdagangan budak dalam bentuk apapun dilarang.”
Pasal 5
“Tiada seorangpun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam atau
dihina atau dihukum dengan tidak berperikemanusiaan.”
i. Hak atas Kebebasan Berdomisili dan Bermigrasi
Hak atas kebebasan berdomisili dan bermigrasi dinyatakan oleh Pasal 12. Pasal Deklarasi
Kairo ini sejalan dengan DUHAM
Pasal 13:
(1).
Setiap orang berhak untuk bebas bergerak dan bertempat tinggal di dalam
wilayah setiap negara.
(2).
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk meninggalkan setiap negara manapun
termasuk negaranya sendiri, dan untuk pulang kembali ke negaranya itu.
j. Hak Memperoleh Suaka Negara lain
Hak memperoleh suaka dinyatakan oleh Pasal 12. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan
dengan DUHAM Pasal 14:
(1).
Setiap orang mempunyai hak untuk mencari dan menikmati suaka dari negara
lain untuk menghindari penangkapan dan penuntutan
(2).
Hak ini tidak berlaku dalam kasus penuntutan hukum yang sungguh-sungguh timbul
dari kejahatan yang tidak bersifat politik atau dari tindakan yang bertentangan
dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
k. Hak atas Rasa Aman
Hak atas rasa aman dinyatakan oleh Pasal 4 dan Pasal 18. Kedua pasal Deklarasi Kairo ini sejalan
dengan Pasal 3 DUHAM:
“Setiap orang mempunyai hak hidup, hak kebebasan, dan hak atas rasa
aman.”
l. Hak atas Kesejahteraan
Hak atas kesejahteraan dinyatakan oleh Pasal 13 dan Pasal 14. Kedua pasal
Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 23 DUHAM:
(1).
Setiap orang berhak untuk memperoleh pekerjaan, bebas memilih pekerjaan,
berhak atas lingkungan pekerjaan yang adil dan menyenangkan, dan berhak
mendapat perlindungan dari pengangguran.
(2).
Setiap orang, tanpa dibeda-bedakan, berhak memperoleh upah yang adil atas pekerjaan
yang sama.
(3).
Setiap orang yang bekerja berhak atas upah/gaji yang adil, menyenangkan dan
yang mampu menjamin kebutuhan hidup dirinya sendiri dan keluarganya sesuai
dengan harkat martabat manusia, dan ditambah pula -bila perlu- dengan jaminan
sosial lainnya.
(4).
Setiap orang berhak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat-serikat
pekerja dalam rangka melindungi kepentingan dirinya.
m. Hak atas Kepemilikan
Hak atas kepemilikan dinyatakan oleh Pasal 15. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan
dengan Pasal 17 DUHAM:
(1).
Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik secara pribadi maupun
bersama-sama dengan orang lain.
(2).
Tidak boleh seorangpun dicabut hak miliknya secara sewenang-wenang.
n. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Hak turut serta dalam pemerintahan dinyatakan oleh Pasal 23. Pasal Deklarasi
Kairo ini sejalan dengan Pasal 21 DUHAM:
(1).
Setiap orang berhak untuk ikut ambil bagian di dalam pemerintahan
negerinya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilihnya secara
bebas.
(2).
Setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan
pemerintahan negaranya.
(3).
Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintahan; kehendak rakyat
tersebut harus diwujudnyatakan dalam bentuk pemilihan umum yang diselenggarakan
secara berkala dan dengan jujur, yang dilakukan secara terbuka untuk setiap
orang dan secara adil, baik dilakukan pula dengan jalan pemberian suara secara
rahasia atau pemberian suara secara bebas.
o. Hak Perempuan
Hak perempuan dinyatakan dalam Pasal 6. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan
dengan Pasal 2 DUHAM:
“Setiap orang mempunyai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau paham yang lain,
asal-usul kebangsaan atau asal-usul sosial lainnya, hak milik, status kelahiran
ataupun status yang lainnya. Lebih dari itu, tidak boleh melakukan
pembeda-bedaan atas dasar perbedaan yang
bersifat politik, atau bersifat yuridis atau status internasional negara atau
wilayah yang didiami seseorang, baik negara/wilayah yang merdeka,
negara/wilayah protektorat, negara/wilayah yang tidak punya pemerintahan
mandiri atau yang berada di bawah pembatasan kedaulatan oleh negara/wilayah
lain.”
p. Hak Anak
Hak anak dinyatakan dalam Pasal 7. Pasal Deklarasi Kairo ini
sejalan dengan Pasal 25 DUHAM:
(1).
Setiap orang berhak atas taraf hidup yang layak, yang menyangkut kesehatan
dan kesejahteraan pribadinya dan keluarganya, termasuk kebutuhan sandang,
kebutuhan pangan, dan perawatan kesehatan serta pelayanan dan jaminan sosial
lainnya pada waktu ia mengalami pengangguran, sakit, cacat, menjanda, usia
lanjut, atau tidak memiliki mata pencaharian di luar kemampuannya.
(2).
Ibu-ibu dan anak-anak berhak untuk memperoleh perawatan dan bantuan khusus.
Semua anak yang dilahirkan, baik di dalam maupun di luar pernikahan, harus
memperoleh perlindungan dan jaminan sosial yang sama.
D. Prinsip Maqâsid al-Syarî’ah dan Perlindungan HAM
1. Prinsip Maqâsid
al-Syarî’ah
Dalam karyanya al-Muwâfaqât, al-Syâtibi menggunakan istilah
yang berbeda-beda sehubungan dengan isu Maqâsid al-Syarî’ah,
yakni: Maqâsid al-Syarî’ah, al-Maqâsid al-Syar’iyyah fi
al-Syarî’ah, dan Maqâsid min Syar’i al-hukm. Meskipun
demikian, semua itu mengandung pengertian yang sama, yaitu: tujuan-tujuan hukum
yang ditetapkan oleh Allah swt.[xxiv]
Al-Syâtibi mengatakan: “Sesungguhnya syariat itu bertujuan
mewujudkan maslahah bagi manusia di dunia dan di akhirat.”[xxv] Pada bagian lain, ia mengungkapkan: “ Hukum-hukum ditetapkan
untuk mewujudkan maslahah bagi umat manusia.”[xxvi] Dengan demikian, jelaslah bahwa al-Syâtibi memandang
intisari dari Maqâsid al-Syarî’ah adalah maslahah
bagi umat manusia. Oleh karena itu, isu maslahah menjadi
fokus analisis penting dalam rangka memahami Maqâsid al-Syarî’ah.
Sementara menurut Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Tasyrî’ adalah pesan-pesan dan hikmah-hikmah yang
diungkapkan secara tersirat oleh Tuhan dalam semua penetapan hukum-Nya.[xxvii] Intisari dari Maqâsid al-tasyrî’ ialah
mewujudkan maslahah dan menghilangkan mafsadah (kerusakan).[xxviii]
Al-Syâtibi mencatat bahwa tujuan Allah swt. mensyariatkan hukum-Nya
untuk memelihara maslahah bagi manusia sekaligus untuk
menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut
hendak dicapai melalui taklif
(pembebanan), yang pelaksanaannya sangat tergantung pada pemahaman
sumber hukum yang utama, Alquran dan Hadis. Dalam rangka mewujudkan maslahah
di dunia dan di akhirat, ada lima unsur pokok (al-kulliyyât al-khams)
yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok tersebut ialah: agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seseorang akan memperoleh maslahah
manakala ia dapat memelihara kelima unsur pokok itu. Sebaliknya, ia akan
merasakan adanya mafsadah manakala ia tidak dapat memelihara kelima
unsur pokok itu dengan baik.[xxix]
Dalam upaya mewujudkan dan memelihara 5 unsur pokok itu, Maqâsid
al-Syarî’ah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: (1) al-darûriyyât;
(2) al-hâjiyyât; dan (3) al-tahsîniyyât.[xxx] Darûriyyât dimaksudkan untuk
memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia tersebut di atas. Hâjiyyât
dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap
lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Sedangkan Tahsîniyyât
dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan
pemeliharaan terhadap lima unsur pokok itu.
Pengelompokkan ini didasarkan pada tingkat kepentingannya dan skala
prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya manakala maslahah
yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama lain bertentangan.
Dalam hal ini peringkat darûriyyât menempati urutan pertama,
disusul oleh peringkat hâjiyyât, kemudian diikuti oleh peringkat tahsîniyyât.
Namun, dari sisi lain dapat dilihat bahwa peringkat tahsîniyyât
melengkapi peringkat hâjiyyât, dan peringkat hâjiyyât melengkapi
peringkat darûriyyât. Terlihat jelas, tingkat hâjiyyât adalah
penyempurna tingkat darûriyyât; dan tingkat tahsîniyyât
merupakan penyempurna lagi bagi tingkat hâjiyyât; sedang darûriyyât
menjadi pokok hâjiyyât dan tahsîniyyât. Kategorisasi
ketiga macam maqâsid itu menunjukkan betapa pentingnya
pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Kategorisasi ini
mengacu bukan hanya kepada pemeliharaan lima unsur pokok, tetapi juga kepada
pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang ditetapkan oleh Tuhan dalam
rangka mewujudkan maslahah bagi umat manusia.
Tidak terwujudnya aspek darûriyyât dapat merusak kehidupan
manusia di dunia dan di akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek
hâjiyyât tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi
hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia sebagai mukalaf dalam merealisasikannya. Pengabaian aspek tahsîniyyât
membawa upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.
Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr menjelaskan bahwa maslahah
itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu maslahah ‘âmmah
dan maslahah khâssah. Adapun maslahah
‘âmmah adalah sesuatu yang mengandung kebaikan bagi keseluruhan atau
mayoritas umat manusia, tanpa mengacu kepada individu perindividu. Adapun maslahah
khâssah adalah sesuatu yang mengandung kebaikan bagi individu per individu,
hanya dengna itu akan terwujud kebaikan bagi keseluruhan atau mayoritas umat
manusia.[xxxi]
Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr juga mencatat bahwa untuk menentukan
sesuatu itu maslahah atau
tidak, harus terpenuhi salah satu dari lima hal:
(1) Kemanfaatan
atau kemudaratan itu benar-benar nyata dan meluas;
(2) Kemanfaatan
atau kemudaratan itu nampak nyata;
(3) Ketidakmungkinan memilah kemanfaatan yang terwujud
dengan keburukan yang juga terwujud;
(4) Adanya unsur penguat bagi satu dari dua kemanfaatan
atau kemudaratan yang saling setara; atau
Yang dimaksud dengan memelihara
kelompok darûriyyât ialah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang esensial itu ialah
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, dalam batas tidak
terancamnya eksistensi kelima unsur pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak
terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi
kelima unsur pokok di atas. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok hâjiyyât
tidak termasuk kebutuhan yang esensial, tetapi termasuk kebutuhan yang
dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpenuhinya
atau tidak terpeliharanya kelompok kebutuhan ini tidak akan mengancam
eksistensi kelima unsur pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan
bagi mukalaf. Kelompok
kebutuhan ini erat kaitannya dengan rukhsah atau keringanan
(dispensasi) yang ditetapkan syariat Islam. Sementara kebutuhan dalam kelompok tahsîniyyât
ialah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam
masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.
Pada hakikatnya, baik kelompok darûriyyât,
hâjiyyât, maupun
tahsîniyyât dimaksudkan untuk memelihara atau mewujudkan kelima
unsur pokok di atas. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda satu sama
lain. Kebutuhan dalam kelompok darûriyyât dapat dikatakan sebagai
kebutuhan primer, yang kalau kelima unsur pokok itu diabaikan maka akan
berakibat terancamnya eksistensi kelima unsur pokok itu. Kebutuhan dalam
kelompok hâjiyyât dapat dikatakan sebagai kebutuhan sekunder.
Artinya, kalau kelima pokok itu diabaikan maka tidak akan mengancam
eksistensinya, tetapi akan mempersulit dan mempersempit kehidupan manusia.
Sedangkan kebutuhan dalam kelompok tahsîniyyât erat kaitannya
dengan upaya untuk mematuhi etiket sesuai dengan kepatutan, dan tidak akan
mempersulit, apalagi mengancam, eksistensi kelima unsur pokok itu. Maka, dapat
dikatakan bahwa kebutuhan dalam kelompok tahsîniyyât lebih
bersifat komplementer (pelengkap).
Mengetahui urutan peringkat maslahah di atas menjadi
penting apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya ketika maslahah
yang satu berbenturan dengan maslahah yang lain. Dalam
hal ini, peringkat pertama (darûriyyât), harus didahulukan dari
pada peringkat kedua (hâjiyyât) dan peringkat ketiga (tahsîniyyât).
Ketentuan ini menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk
peringkat kedua dan ketiga manakala maslahah yang masuk
peringkat pertama terancam eksistensinya.
Keadaan di atas hanya terbatas pada yang berbeda peringkat. Adapun dalam
kasus yang peringkatnya sama, seperti peringkat darûriyyât dengan
peringkat darûriyyât, dan seterusnya, maka kemungkinan
penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
a.
Jika perbenturan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima pokok maslahah
tersebut maka skala prioritas didasarkan pada urutan yang sudah baku, yakni
agama harus didahulukan daripada jiwa, dan jiwa harus didahulukan daripada
akal, dan begitu seterusnya. Tegasnya, urutan kelima unsur pokok maslahah
itu sudah dianggap baku dan mempunyai pengaruh atau akibat tersendiri.
b.
Jika perbenturan itu terjadi dalam peringkat dan urutan yang sama, seperti
sama-sama memelihara harta atau memelihara jiwa dalam peringkat darûriyyât,
maka mujtahid berkewajiban untuk meneliti dari segi cakupan maslahah
itu sendiri atau adanya faktor lain yang menguatkan salah satu maslahah
yang harus didahulukan.[xxxiii]
2. Relevansi Prinsip Maqâsid al-Syarî’ah
dengan Perlindungan HAM
a. Prinsip Memelihara Agama حفظ الدين) (
Prinsip memelihara
agam حفظ الدين)
( merupakan
salah satu prinsip Maqâsid al-Syarî’ah yang mempunyai relevansi dengan
perlindungan HAM, yakni hak atas kebebasan beragama. Prinsip ini melandasi ketentuan bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu.
b. Prinsip Memelihara Jiwa (حفظ النفس (
Prinsip memelihara
jiwa (حفظ النفس ( merupakan
salah satu prinsip Maqâsid al-Syarî’ah yang
berhubungan dengan perlindungan HAM, yakni hak untuk hidup. Prinsip ini melandasi
ketentuan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan
taraf kehidupannya; bahwa setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai,
bahagia, sejahtera, baik lahiriah maupun batiniah; dan bahwa setiap orang
berhak atas rasa aman dan tenteram serta berhak atas perlindungan terhadap
ancaman ketakutan.
c. Prinsip Memelihara Akal (حفظ العقل (
Prinsip Memelihara Akal (حفظ العقل ( merupakan salah satu prinsip Maqâsid
al-Syarî’ah yang berkait erat dengan perlindungan HAM. Prinsip ini
melandasi ketentuan bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Prinsip
ini melandasi ketentuan bahwa setiap orang berhak untuk mengembangkan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya sesuai
dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat
manusia; bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
yang diperlukan untuk mengembangkan diri pribadi dan lingkungan sosialnya.
Prinsip ini juga melandasi ketentuan bahwa setiap orang bebas untuk memilih
dan mempunyai keyakinan politiknya; bahwa setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan
dan menyerbarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan tulisan.
d. Prinsip Memelihara Keturunan (حفظ النسل (
Prinsip memelihara
keturunan (حفظ
النسل ( merupakan
salah satu prinsip Maqâsid al-Syarî’ah yang relevan dengan perlindungan
HAM. Prinsip ini melandasi ketentuan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; bahwa setiap
orang berhak atas perlindungan keluarganya dan kehormatannya.
e.
Memelihara Harta (حفظ المال )
Prinsip memelihara
harta (حفظ المال )
merupakan salah satu prinsip Maqâsid al-Syarî’ah yang terkait dengan perlindungan HAM.
Prinsip ini melandasi ketentuan bahwasetiap orang berhak mempunyai milik, baik
secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya,
keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum; bahwa
tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara
melawan hukum; dan bahwa setiap orang
berhak atas perlindungan hak miliknya.
[i]Nourouzzaman Shiddiqi, Piagam Madinah, dalam M.Luqman
Hakiem, Deklarasi Islam tentang HAM,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1993), h. 178.
[ii] ibid.
[iii] W. Montgomery Watt, Muhammad
at Medina, (London: Oxford University Press, 1972), h. 225.
[iv]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1991), h. 95-102.
[v]
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk,
(Jakarta: UI Press, 1995), h. 36; Lihat pula J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Alquran,
(Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 54-61.
[vi]Wolfgang Behn, Muhammad and
The Jewes of Medina, terj. Arent Jan Wensinck, (Berlin: Klaus Schwarz
Verlag-Freiburg im Breisgou, 1975), h. 66-67.
[vii] Muhammad Husayn Haykal, Hayat
Muhammad, (t.tp.: t.np., t.th.), h.
149.
[viii]Sukardja,
Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan
tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, h. 41.
[x]Ahmad Ibrahim al-Syarif, Daulah
al-Rasûl fi al-Madînah, (Kuwait: Dâr al-Bayân, 1972), h. 89.
[xi]Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1987), Juz ke-3, h. 84-85
[xii]Sukardja,
Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan
tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, h. 42.
[xiv]ibid.
[xv] ibid., h. 45.
[xvi] Ann Elizabeth Mayer, Islam
and Human Rights : Tradition and Politics, (Colorado, USA: Westview Press,
1999), Edisi Ketiga, h. 22.
[xvii] ibid.
[xviii] ibid.
[xix] ibid., h. 23.
[xx] ibid.
[xxi] ibid.
[xxii] Naskah Piagam
Madinah dimaksud ialah yang didokumentasikan dalam Ibn Hisyâm, Sîrah
al-Nabiy, (t.tp.: Dar al-Fikr, 1981), Juz ke-2, h. 119.
[xxiii]Naskah Deklarasi Kairo tentang
HAM dalam Islam ialah yang idokumentasikan dalam Ann Elizabeth Mayer, Islam
and Human Rights: Tradition and Politics,
(Colorado, USA: Westview Press, 1999), h. 203-208.
[xxiv] Abu Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi,
al-Muwâfaqât fi Usul al-Syarî’ah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.th.), Juz I, h. 21.
[xxv] ibid., h. 6
[xxvi] ibid., h. 54
[xxvii] Muhammad Tâhir ibn
‘Âsyûr, Maqâsid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dar al-Salâm,
1427 H/2006 M, h. 49.
[xxviii] ibid., h. 62.
[xxix] al-Syâtibi, al-Muwâfaqât
fi Usul al-Syarî’ah, h. 5
[xxx] ibid., Juz II, h. 8.
[xxxi] Ibn ‘Âsyûr, Maqâsid
al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, , h. 63
[xxxii] ibid., h. 65-66
[xxxiii] Fathurrahman Djamil, Metode
Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
hlm. 40-47.
bagus, ijin bagi ilmu min...makasih :D
BalasHapusizin baca dan berbagi ilmu. semoga manfaat
BalasHapus