Selasa, 31 Maret 2015

PIAGAM MADINAH, DEKLARASI KAIRO, DAN MAQÂSID AL-SYARÎ’AH

Pengantar
Piagam Madinah merupakan konstitusi yang berfungsi menjadi dasar hidup bersama yang disepakati masyarakat Madinah yang heterogen di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. pada paruh akhir tahun 1 H. Sementara Deklarasi Kairo merupakan common platform yang disepakati negara-negara muslim anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1993.
Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo mengandung prinsip-prinsip HAM dan punya relevansi dengan universalitas HAM. Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang dikandung oleh Piagam Madinah dan punya relevansi dengan universalitas HAM, ialah: (1) Hak atas kebebasan beragama; (2) Hak atas persamaan di hadapan hukum; (3) Hak untuk hidup; dan (4) Hak memperoleh keadilan. Adapun prinsip-prinsip HAM yang dikandung oleh Deklarasi Kairo dan punya relevansi dengan universalitas HAM, ialah: (1) Landasan Dasar HAM, (2) Hak untuk hidup, (3) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, (4) Hak atas pendidikan, (5) Hak atas kebebasan berpendapat, (6) Hak memperoleh keadilan, (7) Hak atas kebebasan beragama, (8) Hak atas kemerdekaan diri, (9) Hak atas kebebasan berdomisili dan bermigrasi, (10) Hak memperoleh suaka negara lain, (11) Hak atas rasa aman, (12) Hak atas kesejahteraan, (13) Hak atas kepemilikan, (14) Hak turut serta dalam pemerintahan, (15) Hak perempuan, dan (16) Hak anak.

Intisari dari prinsip Maqâsid al-Syarî’ah mewujudkan maslahah dan mengeliminasi mafsadah. Dalam rangka mewujudkan maslahah itu, terdapat lima unsur pokok (al-kulliyyât al-khams) yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok tersebut ialah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maslahah akan tercapai manakala dapat dipelihara kelima unsur pokok itu. Sebaliknya, maslahah tidak akan tercapai , tetapi mafsadah yang terwujud manakala kelima unsur pokok itu tidak dapat dipelihara dengan baik. Dalam upaya mewujudkan dan memelihara 5  unsur pokok itu, Maqâsid al-Syarî’ah  dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: (1) darûriyyât; (2) hâjiyyât; dan (3) tahsîniyyât. Darûriyyât dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia. Hâjiyyât dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok itu menjadi lebih baik lagi. Sedangkan Tahsîniyyât dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok itu.

A.    Sejarah Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo
1. Sejarah Lahirnya Piagam Madinah
Hijrah Nabi Muhammad saw. dari Mekah ke Madinah telah membuka era baru bagi perjuangan menyampaikan tugas kerasulan. Di Madinah, di samping berfungsi sebagai Rasul, Nabi merangkap pula sebagai kepala negara di mana warganya terdiri atas berbagai macam aliran dan golongan yang sebelumnya saling bersengketa dan bermusuhan.[i] Untuk menyatukan warga yang majemuk itu, sebagai upaya pendukung bagi negara yang dibangunnya, diperlukan adanya satu konsensus yang mewajibkan semua pihak tunduk pada persetujuan bersama itu. Persetujuan bersama inilah yang diberi nama Piagam Madinah, satu konstitusi negara yang dipimpin Nabi Muhammad saw.[ii]
Dokumen Piagam Madinah merupakan sumber ide yang mendasari negara Islam pada awal pembentukannya. Dokumen ini telah diakui otentik.[iii] Dalam teori ketatanegaraan, lahir atau terbentuknya konstitusi dapat melalui keputusan (dekrit) yang bersifat “anugerah” atau “pemberian” (grant) tokoh yang berkuasa, atau melalui penyusunan oleh suatu badan/panitia, atau oleh suatu lembaga khusus yang diberi wewenang membuat konstitusi.[iv] Sesuai dengan keadaan zamannya, Konstitusi Madinah dilahirkan melalui bentuk pertama, yakni melalui keputusan (dekrit) Muhammad sebagai pimpinan masyarakat Madinah.
Kelahiran Piagam Madinah memiliki konteks tersendiri. Ketika Nabi saw. tiba di Madinah, penduduk kota ini -dilihat dari segi agama- terdiri atas tiga golongan besar, yaitu: warga muslim, musyrik, Yahudi, dan Nasrani. Warga muslim terdiri atas unsur golongan Muhajirin dan unsur golongan Anshar. Golongan Muhajirin adalah warga imigran yang bermigrasi dari Mekah. Mereka adalah orang-orang suku Quraisy yang telah masuk Islam, yang terdiri atas beberapa klan, di antaranya Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Sedangkan Anshar adalah warga pribumi kota Madinah yang unsur utamanya meliputi dua suku besar, yaitu: suku Aus dan suku Khazraj. Mereka juga terdiri atas beberapa klan. Warga musyrik adalah orang-orang Arab yang masih menyembah berhala (paganisme). Sementara warga Yahudi terdiri atas keturunan Yahudi pendatang dan keturunan Arab yang masuk agama Yahudi atau kawin dengan orang Yahudi pendatang. Terdapat tiga kelompok besar keturunan Yahudi pendatang ialah Bani Nadlir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizhah. Adapun warga Nasrani merupakan kelompok minoritas yang umumnya mendiami daerah Najran[v]
Di tengah kemajemukan penduduk Madinah itu, Nabi saw. berusaha membangun tatanan hidup bersama, mencakup semua golongan yang ada di kota Madinah. Sebagai langkah awal, ia “mempersaudarakan” antara golongan Muhajirin dan golongan Anshar. Persaudaraan (al-mu’âkhâkh) itu bukan hanya termanifestasikan dengan sikap tolong-menolong, tetapi sedemikian mendalam hingga ke tingkat saling mewarisi. Kemudian, diadakan perjanjian hidup bersama secara damai di antara berbagai golongan penduduk yang ada di Madinah, baik di antara warga muslim, warga musyrik, warga Yahudi  maupun warga Nasrani. Kesepakatan antara golongan Muhajirin dan golongan Anshar, dan perjanjian mereka dengan golongan Yahudi dan lainnya itu, secara formal, ditulis dalam suatu naskah yang disebut sahîfah (piagam).[vi]
Nabi saw. pernah, untuk pertama kalinya, mempertemukan golongan Muhajirin dan golongan Anshar di rumah Anas Ibn Malik. Hal ini terjadi pada awal-awal keberadaan beliau di Madinah. Pertemuan-pertemuan itu agaknya dipergunakan oleh beliau untuk bermusyawarah mengenai urusan kehidupan bersama warga Madinah. Pertemuan dengan warga Yahudi dan warga musyrik sering terjadi sejak awal-awal Nabi saw. tiba di Madinah. Warga Yahudi, pada awal-awal Nabi berada di Madinah, umumnya bersikap baik. Ia sering berbincang-bincang dengan para pemimpin dan tokoh mereka. Serombongan rahib dan tokoh elit Yahudi, misalnya, datang kepada Nabi pada awal beliau tiba di Madinah. Dari dialog Nabi dengan mereka terungkap bahwa Abdullah Ibn Salam, tokoh terkemuka Bani Qainuqa’, adalah benar-benar tokoh mereka yang paling alim. Akan tetapi, sesudah Abdullah Ibn Salam mengakui kerasulan Muhammad di hadapan mereka dan beliau sendiri, mereka berbalik membenci Abdullah Ibn Salam dan menistanya sebagai orang yang paling buruk.[vii]
Data di atas menunjukkan keakraban Nabi dengan warga Yahudi di masa awal keberadaannya di Madinah, sekalipun mereka tidak masuk Islam. Sementara orang Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah Ibn Salam, dibenci oleh mereka. Fakta tersebut menunjukkan kemungkinan perjanjian hidup bersahabat dengan warga Yahudi dibuat pada awal mula Muhammad berada di Madinah.
Mengenai waktu pembuatan naskah, ada yang berpendapat itu terjadi sebelum perang Badar. Ada yang mengatakan hal tersebut terjadi sesudah perang Badar. Dimasukkannya golongan Yahudi ke dalam umat merupakan argumen penting untuk menentukan bahwa dokumen itu dibuat sebelum perang Badar. Jika dilihat dari pertemuan-pertemuan di lingkungan golongan Muhajirin dan golongan Anshar, dan keakraban Nabi saw. dengan golongan Yahudi, maka diduga kuat bahwa naskah itu dibuat sebelum perang Badar.[viii]
Subhi al-Sâlih menyatakan bahwa penulisan naskah Piagam itu dilakukan pada tahun pertama Hijrah.[ix] Ahmad Ibrahim al-Syarif menegaskan penulisan itu terjadi sebelum habis tahun pertama Hijrah.[x] Al-Tabari mengatakan bahwa Nabi telah mengikat perjanjian damai dengan Yahudi Madinah ketika ia baru berdiam di Madinah. Menurut al-Tabari, Yahudi yang pertama kali melanggar perjanjian itu ialah Bani Qainuqa’, yakni pada bulan Syawal tahun 2 H.[xi] Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Piagam Madinah itu otentik, dan penyusunannya dilakukan sebelum terjadi perang Badar. Waktunya, agaknya, masih pada tahun 1 H.[xii]
Negara yang terbentuk pada masa Nabi saw.  sejak awal berdirinya sudah memiliki konstitusi, yakni Piagam Madinah. Konstitusi bukan merupakan unsur pokok, tetapi merupakan unsur kelengkapan berdirinya negara. Pembentuk Piagam Madinah adalah Nabi saw. yang dibantu para sahabatnya, dan terlebih dahulu dilakukan pertemuan dan musyawarah dengan berbagai golongan yang ada di Madinah. Negara yang terbentuk pada masa Nabi saw, dengan Piagam Madinah, mula-mula berupa negara kota (city state), yang kemudian wilayahnya bertambah luas. Pada akhir hayat Nabi saw., negara Madinah itu meliputi hampir seluruh Jazirah Arab.[xiii]
Piagam Madinah lahir di Jazirah Arab yang sebelumnya diliputi tradisi kemusyrikan, konflik antar suku, permusuhan kaum kafir Quraisy dengan umat Islam, ketidakjelasan batas satu negara dengan negara lainnya, dan belum dikenalnya hukum internasional. Dalam pada itu, semangat Nabi saw. dan para pengikutnya untuk menegakkan ajaran tauhid dan syariah menyala-nyala. Keinginan bersatu di kalangan orang-orang Arab yang telah masuk Islam tumbuh begitu kuat. Tekad Nabi saw. untuk membangun tatanan hidup bersama sangat mantap dan realistis, dengan mengikutsertakan semua golongan sekalipun berbeda ras, keturunan, golongan, dan agama. Itulah, tampaknya, motivasi dibuatnya Piagam Madinah.[xiv]
Konfigurasi Piagam Madinah menggambarkan kalimat-kalimat sahîfah (Piagam) yang tersusun secara bersambung, tidak terbagi atas pasal-pasal dan tidak berbentuk syair; dan kalimat Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm tertulis pada awal naskah, disusul dengan rangkaian kalimat berbentuk prosa.[xv] Hal demikian cukup logis mengingat tradisi bernegara yang masih sederhana.

  2. Sejarah Lahirnya Deklarasi Kairo
The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi Kairo tentang HAM Menurut Islam) disampaikan dalam suatu Konferensi Internasional HAM di Wina, Austria, tahun 1993, oleh Menteri Luar Negeri Arab Saudi yang menegaskan bahwa Piagam itu merupakan konsensus dunia Islam tentang HAM.[xvi]
Deklarasi itu merupakan hal sangat penting karena ia melanjutkan kecenderungan-kecenderungan yang pernah ada dalam skema HAM versi Islam pada masa-masa sebelumnya, dan karena ia telah disampaikan pada bulan Agustus 1990 oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam). Selanjutnya, ia muncul -pada tingkat yang sangat superfisial membentuk suatu konsensus yang lebih luas-sekalipun hanya level pemerintah- mengenai bagaimana Islam seharusnya memengaruhi isu HAM internasional. Akan tetapi, lahirnya konsensus ini diingkari oleh sikap pendirian yang diambil oleh sebagian negara anggota OKI, yang masih bersikukuh berbeda pandangan sesudah bergulirnya deklarasi yang juga dimotori oleh mereka sebelumnya.[xvii]
Konferensi Dunia tentang HAM di Wina, Austria tahun 1993 merupakan daya pendorong bagi negara-negara muslim untuk menentukan sikap pendirian mereka tentang HAM. Pertentangan mengenai apakah HAM itu berhubungan dengan -tanpa bisa melepaskan diri dari- budaya Barat dan apakah HAM itu bersifat universal, merupakan daya pikat utama Konferensi tersebut. Pada masa-masa menjelang konferensi itu, Arab Saudi dan Iran masih mendukung penuh proposal Deklarasi Kairo tahun 1990.[xviii]
Pada sisi lain, Irak mengikuti jejak Iran dengan melakukan upaya menekan Komisi HAM PBB untuk menerima Deklarasi Kairo sebagai alternatif islami bagi HAM internasional. Sangat tidak mungkin rezim-rezim ini, dengan pola pikir mereka yang sangat beragam, hendak mempromosikan suatu piagam yang bernafaskan ajaran Islam secara substantif. Islam Wahabi, aliran resmi Islam Arab Saudi, yang mendukung pemerintahan monarki absolut dan memiliki sikap bias yang kuat terhadap Islam Syiah, dicela oleh Iran. Saddam Hussein, sang diktator Irak, dicela oleh Ayatullah Khomeini. Sebagai minoritas Sunni Irak, Saddam Hussein menganut ideologi nasionalisme Arab-sekuler, dan juga ia menindas dan menyiksa kaum Syiah Irak.[xix]
Betapapun tidak sejalannya kebijakan keagamaan yang dibuat ketiga rezim itu, mereka memperlihatkan secara umum praktik pengingkaran atas hak dan kebebasan dasar warganegara, dan menempuh tindakan-tindakan destruktif untuk menindas dan menyingkirkan lawan-lawan (politik) dan para pengkritik mereka; dan ketiganya juga masing-masing membuat kalkulasi bahwa mereka tetap memperoleh keuntungan dari upaya mempromosikan suatu alternatif hukum HAM internasional yang dianggap sejalan dengan Islam.[xx]
Dalam kesempatan pertemuan OKI di Teheran pada Desember 1997, Iran dan sejumlah negara OKI lainnya tetap terus menyampaikan gagasan bahwa sistem HAM PBB yang ada sangat diwarnai oleh Barat dan perlu diadakan penyesuaian agar mampu mengakomodasi budaya dan nilai-nilai religius negara-negara muslim-suatu pandangan yang ditolak oleh Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan yang menandaskan bahwa HAM itu berwatak universal.[xxi]
Bagaimanapun, Deklarasi Kairo merupakan prestasi penting umat Islam sedunia dalam menggalang kesepakatan pemikiran mengenai promosi hak-hak asasi manusia. Hal ini juga diakui oleh kalangan pengamat internasional, meskipun ada juga yang memberikan penilaian buruk.
  
B.     Isu HAM dalam Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo
1. Isu HAM dalam Piagam Madinah
Adapun isu HAM yang dikandung oleh Piagam Madinah, ialah: (1) Hak atas kebebasan beragama; (2) Hak atas persamaan di depan hukum; (3) Hak untuk hidup; dan (4) Hak memperoleh keadilan.[xxii]

a.   Hak atas Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama merupakan salah satu isu HAM yang penting dan dikandung oleh Pasal 25 Piagam Madinah, yakni:

Etnis Yahudi dari Suku ‘Awf adalah satu umat dengan orang mukmin. Bagi etnis Yahudi agama mereka; dan bagi orang muslim agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.”

b.   Hak atas Persamaan di depan Hukum
Hak atas persamaan di depan hukum diungkapkan dalam Pasal 26 s/d Pasal 35, sebagaimana tersebut berikut ini:
Pasal 26
Etnis Yahudi suku Najjar diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.
        
Pasal 27
 Etnis Yahudi suku Harts diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
      
Pasal 28
 Etnis Yahudi suku Sâ’idah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
     
Pasal 29
 “Etnis Yahudi suku Jusyam diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
      
Pasal 30
 “Etnis Yahudi suku Aus diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf.”
      Pasal 31
 Etnis Yahudi suku Tsa’labah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Auf, kecuali orang yang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.”

Pasal 32
 “Suku Jafnah dari Tsa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Dinasti  Tsa’labah).”

Pasal 33
 Etnis Yahudi suku Syutaibah diperlakukan sama seperti etnis Yahudi suku ‘Awf.  Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).”
       
Pasal 34
Sekutu-sekutu Tsa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (suku Tsa’labah).
       
Pasal 35
 Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).
  
c.   Hak untuk Hidup
Hak untuk hidup merupakan dinyatakan dalam Pasal 14:
Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang mukmin.”

d.   Hak Memperoleh Keadilan
Hak memperoleh keadilan dinyatakan dalam Pasal 2 s/d Pasal 13.
Pasal 2
Kaum Muhajirin dari suku Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka, dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara kaum mukmin.”
Pasal 3
Suku ‘Auf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 4
Suku Sâ’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 5
Suku Harts, sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 6
Suku Jusyam, sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 7
Suku Najjar, sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”



Pasal 8
Suku ‘Amr ibn ‘Auf, sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”

Pasal 9
Suku Nabit, sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum mukmin.”
Pasal 10
Suku Aus, sesuai (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara orang-orang mukmin.

Pasal 11
Sesungguhnya orang mukmin tidak boleh membiarkan orang yang terbelit utang, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diyat.

Pasal 12
Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan daripadanya.

Pasal 13
Orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan orang mukmin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.

   2. Isu HAM dalam Deklarasi Kairo
Deklarasi Kairo atau lengkapnya Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam memuat asas-asas dasar HAM dan komponen HAM yang meliputi: (1) Hak untuk hidup; (2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; (3) Hak atas kekayaan intelektual; (4) Hak kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi; (5) Hak memperoleh keadilan; (6) Hak kebebasan beragama; (7) Hak atas kemerdekaan diri; (8) Hak kebebasan berdomisili dan memperoleh suaka negara lain; (9) Hak atas rasa aman, (10) Hak atas kesejahteraan; (11) Hak kepemilikan; (12) Hak turut serta dalam pemerintahan; (13) Hak perempuan; dan (14) Hak anak.[xxiii]

a. Landasan Dasar HAM
Mengenai dasar HAM dimuat dalam ketentuan Pasal 1, Pasal 24, dan Pasal 25.
Pasal 1
(1). Semua manusia merupakan satu keluarga besar di mana setiap anggotanya dipersatukan dengan ketundukan kepada Tuhan dan dengan satu keturunan dari Nabi Adam. Semua manusia setara dan sederajat dalam hal harkat, martabat, kewajiban dan tanggung jawab, tanpa perbedaan sedikitpun atas dasar ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, agama/aliran kepercayaan, afiliasi politik, status sosial ataupun hal lainnya. Keimanan yang sejati merupakan jaminan bagi peningkatan martabat tersebut dalam rangka menuju kemanusiaan yang paripurna.
(2). Semua manusia adalah makhluk Tuhan; dan makhluk yang paling disayangi-Nya ialah yang paling berguna bagi hamba-Nya yang lain; dan tidak seorang pun memiliki keistimewaan atas  yang lainnya kecuali atas dasar ketakwaan dan amal baik (yang dicapainya).

   Pasal 24
Semua hak dan kebebasan yang dinyatakan di dalam Deklarasi ini tunduk kepada   syariat Islam.”

 Pasal 25
 Syariat Islam adalah satu-satunya sumber acuan bagi penjelasan atau uraian berbagai pasal dalam Deklarasi ini.”

b. Hak untuk Hidup
Hak untuk hidup dinyatakan oleh Pasal 2,  Pasal 3, dan Pasal 17.
Pasal 2
(1). Kehidupan adalah anugerah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap orang. Setiap orang, masyarakat dan negara berkewajiban melindungi hak ini dari segala bentuk pelanggaran apapun, dan dilarang untuk mencabut hak hidup seseorang kecuali berdasarkan alasan yang ditentukan syariat.
(2). Dilarang untuk memilih jalan yang dapat mengakibatkan cara yang memperbolehkan pemusnahan suatu bangsa umat manusia.
(3). Melindungi kehidupan setiap manusia sepanjang waktu yang dikehendaki Tuhan merupakan kewajiban yang ditetapkan syariat Islam.
(4). Rasa aman dari penganiayaan fisik merupakan hak seseorang yang dijamin. Negara berkewajiban untuk menjamin rasa aman tersebut. Hak ini dilarang untuk melanggarnya tanpa berdasarkan alasan yang ditentukan syariat Islam.

Pasal 3
(1).  Dalam peristiwa yang menggunakan kekuatan dan dalam konflik bersenjata, tidak diizinkan untuk membunuh mereka yang tidak terlibat seperti orang tua-renta, kaum perempuan dan anak-anak. Orang yang terluka dan yang sakit berhak untuk mendapatkan perawatan medis dan para tawanan perang berhak untuk memperoleh makanan, tempat perlindungan dan pakaian. Dilarang pula merusak tubuh orang yang sudah mati. Diwajibkan untuk mengadakan pertukaran tawanan perang dan memberikan kesempatan berkunjung atau bertemu bagi keluarga tawanan yang terpisah jauh lantaran situasi perang.
(2). Dilarang menebangi pohon-pohon, merusak hasil panen atau ternak, dan menghancurkan bangunan-bangunan dan instalasi-instalasi sipil dengan pengeboman, peledakan atau dengan cara-cara lain.

Pasal 17
(1). Setiap orang berhak untuk hidup di lingkungan yang bersih, jauh dari sifat keburukan dan penyelewengan moral, suatu lingkungan yang akan memperkukuh pengembangan diri pribadinya; dan pejabat pemerintah serta masyarakat pada umumnya wajib memberikan hak itu.
(2). Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial, dan (berhak memperoleh) kesejahteraan umum yang diberikan oleh masyarakat dan negara menurut batas sumber-sumber daya yang ada.
(3). Pemerintah menjamin hak setiap orang  atas penghidupan yang layak, yang terpenuhi segala kebutuhan pokok hidup dirinya dan keluarganya, seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, perawatan kesehatan dan kebutuhan pokok lainnya.

c. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan dinyatakan oleh Pasal 5 dan Pasal 6.
Pasal 5
(1). Keluarga merupakan fondasi masyarakat, dan pernikahan merupakan landasan pembentukannya. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk menikah, dan tidak ada pembatasan apapun yang berdasarkan ras, warna kulit atau kebangsaan yang mengahalangi mereka untuk menikmati hak ini.
(2). Masyarakat dan pemerintah harus melenyapkan semua hambatan untuk menikah dan harus memberi fasilitas kemudahan prosedur pernikahan. Mereka harus memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan bagi kehidupan keluarga (setiap orang).

Pasal 6
(1). Perempuan memiliki martabat dan harkat yang sama dengan laki-laki; dan ia memiliki hak-hak yang bisa dinikmatinya di samping kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya; ia memiliki hak keperdataan serta kebebasan finansial, dan juga  memiliki hak mempertahankan nama baik diri pribadi dan anak keturunannya.
(2). Suami berkewajiban memberikan nafkah dan mewujudkan kesejahteraan bagi keluarganya.

d. Hak atas Pendidikan
Hak atas pendidikan dinyatakan oleh Pasal 9:
(1). Penyelidikan ilmu pengetahuan merupakan kewajiban; dan penyelenggaran pendidikan merupakan kewajiban masyarakat dan pemerintah (negara). Pemerintah harus menjamin tersedianya sarana prasarana penyelenggaraan pendidikan, dan juga harus menjamin terwujudnya ragam pendidikan, sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga memungkinkan setiap orang memahami agama Islam dan fakta-fakta alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.
(2). Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan agama dan pendidikan umum dari berbagai lembaga pendidikan dan pengajaran, termasuk pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, pendidikan universitas, pendidikan media massa, dan sebagainya, di mana hal tersebut secara terpadu dan seimbang mengarah pada pengembangan kepribadiannya, peningkatan keimanannya kepada Tuhan, dan penguatan sikap menghargai dan membela hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. 

e. Hak Kebebasan Berpendapat
Hak kebebasan berpendapat dinyatakan oleh Pasal 22 ayat (1) dan (2), yakni:
(1). Setiap orang berhak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas sejauh tidak bertentangan dengan ajaran prinsipiil syariat Islam.
(2). Setiap orang berhak untuk membela apa yang menjadi haknya, mendukung sesuatu yang baik dan memperingatkan sesuatu yang salah dan buruk, sesuai dengan ajaran syariat Islam.

f. Hak Memperoleh Keadilan
Hak memperoleh keadilan dinyatakan oleh Pasal 8, Pasal 19, Pasal 20, dan  Pasal 21.


Pasal 8
Setiap orang berhak untuk memperoleh kecakapan hukum dalam arti memiliki kewajiban dan tanggung jawab; (dan) seandainya kecakapan ini hilang atau terhalang, maka ia diwakili oleh walinya.”

Pasal 19
(1). Semua orang adalah sama dan sederajat di hadapan hukum, tanpa ada perbedaan antara pemerintah dan rakyat.
(2). Hak memperoleh keadilan dijamin bagi setiap orang
(3). Pertanggungjawaban pada hakikatnya bersifat personal (diri pribadi).
(4). Tidak ada tindak pidana atau penjatuhan pidana kecuali sesuai dengan yang ditetapkan dalam syariat Islam.
(5). Terdakwa dinyatakan tidak bersalah sampai ia terbukti bersalah di hadapan sidang pengadilan di mana ia diberikan hak untuk membela diri.

Pasal 20
Tidak boleh seorang pun ditangkap, ditahan, dibatasi kemerdekaannya, diasingkan atau disiksa tanpa alasan yang sah menurut hukum. Tidak boleh pula melakukan penyiksaan secara fisik ataupun psikis, penghinaan, kekejaman, dan pelecehan martabat seorang pun. Tidak boleh pula melakukan percobaan medis atau percobaan ilmiah tanpa persetujuan orang yang bersangkutan, atau ketika mengandung risiko atas kesehatan atau kehidupannya. Tidak boleh pula mengesahkan undang-undang darurat untuk mendapat kewenangan eksekusi atas tindakan yang demikian.”

Pasal 21
Memanfaatkan para tahanan dalam bentuk apapun dan dengan tujuan apapun sungguh dilarang.”

g. Hak atas Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama dinyatakan oleh Pasal 10, yakni:
Islam adalah agama yang memiliki hakikat yang kukuh. Dilarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun terhadap seseorang, atau dilarang mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang agar ia berpindah agama atau menjadi ateis.”

 h. Hak atas Kemerdekaan Diri
Hak atas kemerdekaan diri dinyatakan oleh Pasal 11, yakni:
(1). Setiap manusia dilahirkan merdeka dan tak seorang pun berhak memperbudak, menghina, menindas atau mengeksploitasi mereka, dan tak seorang pun boleh menyembah kecuali kepada Allah Yang Maha Agung.
(2). Kolonialisme merupakan salah satu bentuk perbudakan yang dilarang secara mutlak. Orang-orang yang menderita akibat kolonialisme sepenuhnya mempunyai hak untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri. Semua negara dan masyarakat berkewajiban mendukung perjuangan rakyat yang berada di bawah kolonialisme untuk menghapus segala bentuk kolonialisme dan penjajahan; dan semua negara dan masyarakat berhak mempertahankan kemerdekaan mereka dan menerapkan upaya perlindungan atas kekayaan negara dan sumber daya alamnya.

i. Hak atas Kebebasan Berdomisili, Bermigrasi,  Memperoleh Suaka Negara lain
Hak ini dinyatakan oleh Pasal 12, yakni:
Setiap orang harus punya hak, sesuai dengan Syariat Islam, untuk bebas melakukan perpindahan dan untuk memilih tempat kediamannya, baik di dalam atau di luar negaranya, dan jika ia dianiaya, ia berhak mendapat suaka dari negara lain. Negara yang memberikan perlindungan (suaka) harus menjamin perlindungan (suaka)-nya itu sehingga ia merasa aman, terkecuali suaka yang dimotivasi oleh tindakan yang dipandang Syariat Islam sebagai kejahatan.”

j. Hak atas Rasa Aman
Hak atas rasa aman dinyatakan oleh Pasal 4 dan  Pasal 18.
Pasal 4
Setiap manusia berhak untuk tidak diganggu dan berhak mendapat perlindungan atas nama baik dan kehormatannya sepanjang hidupnya dan sesudah wafatnya. Pemerintah dan masyarakat harus melindungi jenazahnya dan tempat pemakamannya.”

Pasal 18
(1). Setiap orang berhak untuk hidup dengan aman, baik bagi dirinya, agamanya, keluarganya, kehormataannya, dan kekayaannya.
(2). Setiap orang berhak atas privasi dalam menjalankan urusan-urusan pribadinya, baik di dalam rumahnya, di antara keluarganya,  yang berhubungan dengan harta kekayaannya dan keluarganya. Dilarang memata-matai diri pribadinya, menempatkan dirinya di bawah pengawasan, atau mencemarkan nama baiknya. Pemerintah harus melindungi dirinya dari campur tangan yang sewenang-wenang.
(3). Tempat kediaman pribadi seseorang tidak boleh diganggu. Ia tidak boleh dimasuki tanpa seizin penghuninya atau dengan cara melawan hukum; dan tidak boleh pula merusak, menyita, atau mengusir penghuninya.

k. Hak atas Kesejahteraan
Hak atas kesejahteraan dinyatakan oleh Pasal 13 dan Pasal 14.
Pasal 13
  Bekerja merupakan hak yang dijamin oleh pemerintah dan masyarakat bagi siapa saja  yang mampu bekerja. Setiap orang berhak memilih pekerjaan yang paling sesuai dan berguna bagi dirinya dan masyarakat. Setiap pekerja memiliki hak keselamatan dan keamanan dan jaminan sosial lainnya. Setiap pekerja tidak boleh diberi pekerjaan yang melebihi kemampuannya, dipaksa, ditekan atau dirugikan dalam bentuk apapun. Ia memperoleh hak tanpa ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan upah yang layak atas hasil kerjanya tanpa ada penundaan waktu, juga berhak menikmati liburan, uang saku (lembur) dan kenaikan pangkat yang menjadi haknya. Dalam hal ini, dia wajib berdedikasi dan bertindak teliti dalam bekerja. Bila pekerja dan pegawai berselisih dalam suatu urusan, pemerintah harus campur tangan untuk menyelesaikan perselisihan itu dan memiliki keluhan yang diperbaiki; hak-hak dikukuhkan dan keadilan ditegakkan tanpa penyelewengan sedikitpun.”

Pasal 14
Setiap orang berhak memperoleh keuntungan yang sah tanpa usaha monopoli, penipuan atau usaha merugikan lainnya, baik terhadap dirinya maupun orang lain. Riba dilarang secara mutlak.

l. Hak atas Kepemilikan
Hak atas Kepemilikan merupakan salah satu komponen HAM. Hak ini dinyatakan oleh Pasal 15, yakni;
(1). Setiap orang berhak untuk memiliki harta kekayaan dengan cara yang sah, dan diberi hak untuk memiliki harta kekayaan tanpa prasangka terhadap diri sendiri, orang lain atau masyarakat pada umumnya. Pengambilalihan tidak dibolehkan kecuali untuk kepentingan umum dengan pembayaran ganti rugi yang adil dan segera.
(2). Penyitaan dan perampasan harta kekayaan dilarang kecuali untuk suatu kepentingan berdasarkan hukum.




m. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Hak turut serta dalam pemerintahan dinyatakan oleh Pasal 23, yakni:
(1). Jabatan merupakan kepercayaan (amanat) dan pelanggaran atau eksploitasi sangat terlarang sehingga hak-hak asasi manusia terlindungi.
(2). Setiap orang berhak untuk berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung dalam urusan-urusan tata pemerintahan. Ia pun berhak menjabat jabatan pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prisnip syariat Islam.

n. Hak Perempuan
Hak perempuan merupakan salah satu komponen HAM. Hak ini dinyatakan dalam Pasal 6, yakni:
(1). Perempuan memiliki martabat dan harkat yang sama dengan laki-laki; dan ia memiliki hak-hak yang bisa dinikmatinya di samping kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya; ia memiliki hak keperdataan serta kebebasan finansial, dan juga  memiliki hak mempertahankan nama baik diri pribadinya dan anak keturunannya.
(2). Suami berkewajiban memberikan nafkah dan mewujudkan kesejahteraan bagi keluarganya.

o. Hak Anak
     Hak anak dinyatakan dalam Pasal 7, yakni:
(1). Sejak anak dilahirkan, ia mempunyai hak-hak dari orang tuanya, masyarakat dan pemerintah, seperti hak atas perawatan, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan dan hak atas pembinaan moral.
(2). Orang tua punya kewenangan tersebut dan berhak untuk memilihkan jenis pendidikan sesuai dengan keinginan anak-anaknya. Mereka mempertimbangkan minat dan masa depan anak-anaknya, sesuai dengan nilai-nilai akhlak mulia dan ajaran prinsipiil syariat Islam.
(3). Kedua orang tua mempunyai hak-hak tertentu dari anak-anaknya, demikian juga sanak keluarga dari keturunannya, agar mereka menghormati ketentuan-ketentuan hukum yang berdasarkan ajaran prinsipil syariat.


C.  Relevansi Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo dengan Universalitas HAM
1. Relevansi Piagam Madinah dengan Universalitas HAM
Adapun relevansi Piagam Madinah dengan universalitas HAM dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Hak atas Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama dikandung oleh Pasal 25. Pasal Piagam Madinah ini sejalan dengan DUHAM Pasal 18, yakni:
Setiap orang punya hak kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau aliran kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya itu dalam bentuk pengajaran, pengamalan, dan peribadatan, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun di tempat pribadi.”

b. Hak atas Persamaan di depan Hukum
Hak atas persamaan di depan Hukum diungkapkan dalam Pasal 26 s/d Pasal 35. Pasal-pasal Piagam Madinah ini sejalan dengan DUHAM Pasal 2 yang menyatakan:
Setiap orang mempunyai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau paham yang lain, asal-usul kebangsaan atau asal-usul sosial lainnya, hak milik, status kelahiran, atau pun status yang lainnya.

c. Hak untuk Hidup
Hak untuk hidup dinyatakan dalam Pasal 14. Pasal Piagam Madinah ini sejalan dengan DUHAM Pasal 3 s/d Pasal 5, yakni:
Pasal 3
Setiap orang mempunyai hak hidup, hak kebebasan, dan hak perlindungan.

Pasal 4
Tiada seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba; perbudakan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun dilarang.

Pasal 5
Tiada seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam atau dihina atau dihukum dengan tidak berperikemanusiaan.”

d. Hak Memperoleh Keadilan
          Hak memperoleh keadilan dinyatakan dalam Pasal 2 s/d Pasal 13. Pasal-pasal Piagam Madinah ini sejalan dengan DUHAM, yakni Pasal 7 yang menyatakan:
Semua orang adalah setara di hadapan hukum dan berhak memperoleh perlindungan yang sama dari hukum tanpa dibeda-bedakan. Semua orang berhak memperoleh perlindungan yang sama dari diskriminasi apapun yang melanggar Deklarasi ini dan dari hal-hal yang mengarah kepada terjadinya diskriminasi tersebut.”

2. Relevansi Deklarasi Kairo dengan Universalitas HAM
Adapun relevansi Deklarasi Kairo dengan universalitas HAM dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Landasan Dasar HAM
Mengenai dasar HAM dimuat dalam ketentuan Pasal 1, Pasal 24 dan Pasal 25. Pasal-pasal Deklarasi Kairo ini sejalan DUHAM, yakni Pasal 1 dan Pasal 2.
Pasal 1
Semua orang dilahirkan dengan merdeka dan sederajat dalam kedudukan dan hak-haknya. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus berperilaku terhadap sesamanya dengan semangat persaudaraan.”
           
Pasal 2
Setiap orang mempunyai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau paham yang lain, asal-usul kebangsaan atau asal-usul sosial lainnya, hak milik, status kelahiran ataupun status yang lainnya. Lebih dari itu, tidak boleh melakukan pembeda-bedaan atas dasar perbedaan  yang bersifat politik, atau bersifat yuridis atau status internasional negara atau wilayah yang didiami seseorang, baik negara/wilayah yang merdeka, negara/wilayah protektorat, negara/wilayah yang tidak punya pemerintahan mandiri atau yang berada di bawah pembatasan kedaulatan oleh negara/wilayah lain.

b. Hak untuk Hidup
Hak untuk hidup dinyatakan oleh Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 17. Pasal-pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 3 s/d Pasal 5 DUHAM,  yakni:
Pasal 3
Setiap orang mempunyai hak hidup, hak kebebasan dan hak perlindungan.

Pasal 4
Tiada seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba; perbudakan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun dilarang.

Pasal 5
Tiada seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam atau dihina atau dihukum dengan tidak berperikemanusiaan.”


Pasal 6
Setiap orang berhak di mana saja pun untuk diakui pribadinya sebagai manusia di depan hukum.”

c. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan dinyatakan oleh Pasal 5 dan Pasal 6 . Kedua Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 16 DUHAM:
(1). Laki-laki dan perempuan yang telah dewasa, tanpa pembatasan atas dasar perbedaan ras, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk menikah dan mendirikan rumah tangga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam pernikahan selama pernikahan masih berlangsung dan juga pada waktu perceraian.
(2). Pernikahan dianggap terjadi hanya dengan persetujuan yang benar-benar bebas dari kedua calon mempelai yang berkehendak (menikah).
(3). Keluarga adalah unit kelompok masyarakat yang alami dan asasi dan yang berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.

d. Hak atas Pendidikan
Hak atas pendidikan dinyatakan dalam Pasal 9. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 26 DUHAM:
(1). Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus diberikan dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya pada tingkat pendidikan dasar. Pendidikan dasar harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan harus terbuka secara umum bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus memberi kesempatan yang sama kepada semua orang berdasarkan tingkat kecerdasan yang dimilikinya.
(2). Pendidikan harus diarahkan kepada perkembangan kepribadian manusia dan untuk memperkuat sikap penghormatan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Pendidikan harus meningkatkan kualitas sikap saling pengertian, toleransi, persaudaraan antarbangsa, antarras atau antarkelompok agama, dan harus memajukan segenap aktivitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian dunia.
(3). Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih macam pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.

e. Hak Kebebasan Berpendapat
Hak kebebasan berpendapat dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2). Pasal Deklarasi Kairo di atas sejalan dengan Pasal 26 DUHAM:
(1). Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus diberikan dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya pada tingkat pendidikan dasar. Pendidikan dasar harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan harus terbuka secara umum bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus memberi kesempatan yang sama kepada semua orang berdasarkan tingkat kecerdasan yang dimilikinya.
(2). Pendidikan harus diarahkan kepada perkembangan kepribadian manusia dan untuk memperkuat sikap penghormatan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Pendidikan harus meningkatkan kualitas sikap saling pengertian, toleransi, persaudaraan antarbangsa, antarras atau antarkelompok agama, dan harus memajukan segenap aktivitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian dunia.
(3). Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih macam pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.

f. Hak Memperoleh Keadilan
Hak memperoleh keadilan dinyatakan oleh Pasal 8, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21. Pasal-pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 7 DUHAM:
Semua orang adalah setara di hadapan hukum dan berhak memperoleh perlindungan yang sama dari hukum tanpa dibeda-bedakan. Semua orang berhak memperoleh perlindungan yang sama dari diskriminasi apapun yang melanggar Deklarasi ini dan dari hal-hal yang mengarah kepada terjadinya diskriminasi tersebut.”

g. Hak atas Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama dinyatakan oleh Pasal 10. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan DUHAM:
Setiap orang punya hak kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau aliran kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya itu dalam bentuk pengajaran, pengamalan, dan peribadatan, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun di tempat pribadi.”

 h. Hak atas Kemerdekaan Diri
Hak atas kemerdekaan diri dinyatakan oleh Pasal 11. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan DUHAM Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
Pasal 3
Setiap orang mempunyai hak hidup, hak kebebasan, dan hak atas rasa aman.

Pasal 4
Tiada seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba; perbudakan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun dilarang.

Pasal 5
Tiada seorangpun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam atau dihina atau dihukum dengan tidak berperikemanusiaan.”

i. Hak atas Kebebasan Berdomisili dan Bermigrasi
Hak atas kebebasan berdomisili dan bermigrasi dinyatakan oleh Pasal 12. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan DUHAM Pasal 13:
(1). Setiap orang berhak untuk bebas bergerak dan bertempat tinggal di dalam wilayah setiap negara.
(2). Setiap orang mempunyai kebebasan untuk meninggalkan setiap negara manapun termasuk negaranya sendiri, dan untuk pulang kembali ke negaranya itu.

j. Hak Memperoleh Suaka Negara lain
Hak memperoleh suaka dinyatakan oleh Pasal 12. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan DUHAM Pasal 14:
(1). Setiap orang mempunyai hak untuk mencari dan menikmati suaka dari negara lain untuk menghindari penangkapan dan penuntutan
(2). Hak ini tidak berlaku dalam kasus penuntutan hukum yang sungguh-sungguh timbul dari kejahatan yang tidak bersifat politik atau dari tindakan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

k. Hak atas Rasa Aman
Hak atas rasa aman dinyatakan oleh Pasal 4 dan  Pasal 18. Kedua pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 3 DUHAM:
Setiap orang mempunyai hak hidup, hak kebebasan, dan hak atas rasa aman.

l. Hak atas Kesejahteraan
Hak atas kesejahteraan dinyatakan oleh Pasal 13 dan Pasal 14. Kedua pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 23 DUHAM:
(1). Setiap orang berhak untuk memperoleh pekerjaan, bebas memilih pekerjaan, berhak atas lingkungan pekerjaan yang adil dan menyenangkan, dan berhak mendapat perlindungan dari pengangguran.
(2). Setiap orang, tanpa dibeda-bedakan, berhak memperoleh upah yang adil atas pekerjaan yang sama.
(3). Setiap orang yang bekerja berhak atas upah/gaji yang adil, menyenangkan dan yang mampu menjamin kebutuhan hidup dirinya sendiri dan keluarganya sesuai dengan harkat martabat manusia, dan ditambah pula -bila perlu- dengan jaminan sosial lainnya.
(4). Setiap orang berhak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat-serikat pekerja dalam rangka melindungi kepentingan dirinya.

m. Hak atas Kepemilikan
Hak atas kepemilikan dinyatakan oleh Pasal 15. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 17 DUHAM:
(1). Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2). Tidak boleh seorangpun dicabut hak miliknya secara sewenang-wenang.

n. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Hak turut serta dalam pemerintahan dinyatakan oleh Pasal 23. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 21 DUHAM:
(1). Setiap orang berhak untuk ikut ambil bagian di dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilihnya secara bebas.
(2). Setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan pemerintahan negaranya.
(3). Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintahan; kehendak rakyat tersebut harus diwujudnyatakan dalam bentuk pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala dan dengan jujur, yang dilakukan secara terbuka untuk setiap orang dan secara adil, baik dilakukan pula dengan jalan pemberian suara secara rahasia atau pemberian suara secara bebas.

o. Hak Perempuan
Hak perempuan dinyatakan dalam Pasal 6. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 2 DUHAM:
Setiap orang mempunyai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau paham yang lain, asal-usul kebangsaan atau asal-usul sosial lainnya, hak milik, status kelahiran ataupun status yang lainnya. Lebih dari itu, tidak boleh melakukan pembeda-bedaan atas dasar perbedaan  yang bersifat politik, atau bersifat yuridis atau status internasional negara atau wilayah yang didiami seseorang, baik negara/wilayah yang merdeka, negara/wilayah protektorat, negara/wilayah yang tidak punya pemerintahan mandiri atau yang berada di bawah pembatasan kedaulatan oleh negara/wilayah lain.”

p. Hak Anak
     Hak anak dinyatakan dalam Pasal 7. Pasal Deklarasi Kairo ini sejalan dengan Pasal 25 DUHAM:
(1). Setiap orang berhak atas taraf hidup yang layak, yang menyangkut kesehatan dan kesejahteraan pribadinya dan keluarganya, termasuk kebutuhan sandang, kebutuhan pangan, dan perawatan kesehatan serta pelayanan dan jaminan sosial lainnya pada waktu ia mengalami pengangguran, sakit, cacat, menjanda, usia lanjut, atau tidak memiliki mata pencaharian di luar kemampuannya.
(2). Ibu-ibu dan anak-anak berhak untuk memperoleh perawatan dan bantuan khusus. Semua anak yang dilahirkan, baik di dalam maupun di luar pernikahan, harus memperoleh perlindungan dan jaminan sosial yang sama.


D. Prinsip Maqâsid al-Syarî’ah dan Perlindungan HAM
     1. Prinsip Maqâsid al-Syarî’ah
Dalam karyanya al-Muwâfaqât, al-Syâtibi menggunakan istilah yang berbeda-beda sehubungan dengan isu Maqâsid al-Syarî’ah, yakni: Maqâsid al-Syarî’ah, al-Maqâsid al-Syar’iyyah fi al-Syarî’ah, dan Maqâsid min Syar’i al-hukm. Meskipun demikian, semua itu mengandung pengertian yang sama, yaitu: tujuan-tujuan hukum yang ditetapkan oleh Allah swt.[xxiv]
Al-Syâtibi mengatakan: “Sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan maslahah bagi manusia di dunia dan di akhirat.”[xxv] Pada bagian lain, ia mengungkapkan: “ Hukum-hukum ditetapkan untuk mewujudkan maslahah bagi umat manusia.”[xxvi] Dengan demikian, jelaslah bahwa al-Syâtibi memandang intisari dari Maqâsid al-Syarî’ah adalah maslahah bagi umat manusia. Oleh karena itu, isu maslahah menjadi fokus analisis penting dalam rangka memahami Maqâsid al-Syarî’ah.
Sementara menurut Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Tasyrî’  adalah pesan-pesan dan hikmah-hikmah yang diungkapkan secara tersirat oleh Tuhan dalam semua penetapan hukum-Nya.[xxvii] Intisari dari Maqâsid al-tasyrî’ ialah mewujudkan maslahah dan menghilangkan mafsadah (kerusakan).[xxviii]
Al-Syâtibi mencatat bahwa tujuan Allah swt. mensyariatkan hukum-Nya untuk memelihara maslahah bagi manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif (pembebanan), yang pelaksanaannya sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Alquran dan Hadis. Dalam rangka mewujudkan maslahah di dunia dan di akhirat, ada lima unsur pokok (al-kulliyyât al-khams) yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok tersebut ialah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seseorang akan memperoleh maslahah manakala ia dapat memelihara kelima unsur pokok itu. Sebaliknya, ia akan merasakan adanya mafsadah manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur pokok itu dengan baik.[xxix]
Dalam upaya mewujudkan dan memelihara 5 unsur pokok itu, Maqâsid al-Syarî’ah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: (1) al-darûriyyât; (2) al-hâjiyyât; dan (3) al-tahsîniyyât.[xxx] Darûriyyât dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia tersebut di atas. Hâjiyyât dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Sedangkan Tahsîniyyât dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok itu.
Pengelompokkan ini didasarkan pada tingkat kepentingannya dan skala prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya manakala maslahah yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama lain bertentangan. Dalam hal ini peringkat darûriyyât menempati urutan pertama, disusul oleh peringkat hâjiyyât, kemudian diikuti oleh peringkat tahsîniyyât. Namun, dari sisi lain dapat dilihat bahwa peringkat tahsîniyyât melengkapi peringkat hâjiyyât, dan peringkat hâjiyyât melengkapi peringkat darûriyyât. Terlihat jelas, tingkat hâjiyyât adalah penyempurna tingkat darûriyyât; dan tingkat tahsîniyyât merupakan penyempurna lagi bagi tingkat hâjiyyât; sedang darûriyyât menjadi pokok hâjiyyât dan tahsîniyyât. Kategorisasi ketiga macam maqâsid itu menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Kategorisasi ini mengacu bukan hanya kepada pemeliharaan lima unsur pokok, tetapi juga kepada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang ditetapkan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan maslahah bagi umat manusia.
Tidak terwujudnya aspek darûriyyât dapat merusak kehidupan manusia di dunia dan di akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hâjiyyât tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia sebagai mukalaf dalam merealisasikannya. Pengabaian aspek tahsîniyyât membawa upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.
Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr menjelaskan bahwa maslahah itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu maslahah ‘âmmah dan maslahah khâssah. Adapun maslahah ‘âmmah adalah sesuatu yang mengandung kebaikan bagi keseluruhan atau mayoritas umat manusia, tanpa mengacu kepada individu perindividu. Adapun maslahah khâssah adalah sesuatu yang mengandung kebaikan bagi individu per individu, hanya dengna itu akan terwujud kebaikan bagi keseluruhan atau mayoritas umat manusia.[xxxi]
Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr juga mencatat bahwa untuk menentukan sesuatu itu  maslahah atau tidak, harus terpenuhi salah satu dari lima hal:
(1) Kemanfaatan atau kemudaratan itu benar-benar nyata dan meluas;
(2) Kemanfaatan atau kemudaratan itu nampak nyata;
(3) Ketidakmungkinan memilah kemanfaatan yang terwujud dengan keburukan yang juga terwujud;  
(4) Adanya unsur penguat bagi satu dari dua kemanfaatan atau kemudaratan yang saling setara; atau    
(5) Adanya satu yang tegas dan nyata dari dua kemanfaatan atau kemudaratan yang ada.[xxxii]
            Yang dimaksud dengan memelihara kelompok darûriyyât ialah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang esensial itu ialah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, dalam batas tidak terancamnya eksistensi kelima unsur pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima unsur pokok di atas. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok hâjiyyât tidak termasuk kebutuhan yang esensial, tetapi termasuk kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kelompok kebutuhan ini tidak akan mengancam eksistensi kelima unsur pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukalaf. Kelompok kebutuhan ini erat kaitannya dengan rukhsah atau keringanan (dispensasi) yang ditetapkan syariat Islam. Sementara kebutuhan dalam kelompok tahsîniyyât ialah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.
            Pada hakikatnya, baik kelompok darûriyyât, hâjiyyât, maupun tahsîniyyât dimaksudkan untuk memelihara atau mewujudkan kelima unsur pokok di atas. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda satu sama lain. Kebutuhan dalam kelompok darûriyyât dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer, yang kalau kelima unsur pokok itu diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi kelima unsur pokok itu. Kebutuhan dalam kelompok hâjiyyât dapat dikatakan sebagai kebutuhan sekunder. Artinya, kalau kelima pokok itu diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensinya, tetapi akan mempersulit dan mempersempit kehidupan manusia. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok tahsîniyyât erat kaitannya dengan upaya untuk mematuhi etiket sesuai dengan kepatutan, dan tidak akan mempersulit, apalagi mengancam, eksistensi kelima unsur pokok itu. Maka, dapat dikatakan bahwa kebutuhan dalam kelompok tahsîniyyât lebih bersifat komplementer (pelengkap).
Mengetahui urutan peringkat maslahah di atas menjadi penting apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya ketika maslahah yang satu berbenturan dengan maslahah yang lain. Dalam hal ini, peringkat pertama (darûriyyât), harus didahulukan dari pada peringkat kedua (hâjiyyât) dan peringkat ketiga (tahsîniyyât). Ketentuan ini menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk peringkat kedua dan ketiga manakala maslahah yang masuk peringkat pertama terancam eksistensinya.
Keadaan di atas hanya terbatas pada yang berbeda peringkat. Adapun dalam kasus yang peringkatnya sama, seperti peringkat darûriyyât dengan peringkat darûriyyât, dan seterusnya, maka kemungkinan penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
a.      Jika perbenturan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima pokok maslahah tersebut maka skala prioritas didasarkan pada urutan yang sudah baku, yakni agama harus didahulukan daripada jiwa, dan jiwa harus didahulukan daripada akal, dan begitu seterusnya. Tegasnya, urutan kelima unsur pokok maslahah itu sudah dianggap baku dan mempunyai pengaruh atau akibat tersendiri.
b.      Jika perbenturan itu terjadi dalam peringkat dan urutan yang sama, seperti sama-sama memelihara harta atau memelihara jiwa dalam peringkat darûriyyât, maka mujtahid berkewajiban untuk meneliti dari segi cakupan maslahah itu sendiri atau adanya faktor lain yang menguatkan salah satu maslahah yang harus didahulukan.[xxxiii]

2. Relevansi Prinsip Maqâsid al-Syarî’ah dengan Perlindungan HAM
a. Prinsip Memelihara Agama  حفظ الدين) (   
Prinsip memelihara agam  حفظ الدين) ( merupakan salah satu prinsip Maqâsid al-Syarî’ah yang mempunyai relevansi dengan perlindungan HAM, yakni hak atas kebebasan beragama. Prinsip ini melandasi ketentuan bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu.

b. Prinsip Memelihara Jiwa  (حفظ  النفس (
Prinsip memelihara jiwa  (حفظ  النفس ( merupakan salah satu prinsip Maqâsid al-Syarî’ah yang berhubungan dengan perlindungan HAM, yakni hak untuk hidup. Prinsip ini melandasi ketentuan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; bahwa setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, baik lahiriah maupun batiniah; dan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta berhak atas perlindungan terhadap ancaman ketakutan.


c. Prinsip Memelihara Akal   (حفظ  العقل (
 Prinsip Memelihara Akal   (حفظ  العقل ( merupakan salah satu prinsip Maqâsid al-Syarî’ah yang berkait erat dengan perlindungan HAM. Prinsip ini melandasi ketentuan bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Prinsip ini melandasi ketentuan bahwa setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia; bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan diri pribadi dan lingkungan sosialnya.
Prinsip ini juga melandasi ketentuan bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; bahwa setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyerbarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan tulisan.

d. Prinsip Memelihara Keturunan  (حفظ  النسل (
Prinsip memelihara keturunan  (حفظ  النسل ( merupakan salah satu prinsip Maqâsid al-Syarî’ah yang relevan dengan perlindungan HAM. Prinsip ini melandasi ketentuan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; bahwa setiap orang berhak atas perlindungan keluarganya dan kehormatannya.

e. Memelihara Harta  (حفظ  المال )
Prinsip memelihara harta  (حفظ  المال ) merupakan salah satu prinsip Maqâsid al-Syarî’ah yang terkait dengan perlindungan HAM. Prinsip ini melandasi ketentuan bahwasetiap orang berhak mempunyai milik, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum; bahwa tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum; dan  bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak miliknya.


[i]Nourouzzaman Shiddiqi, Piagam Madinah, dalam M.Luqman Hakiem, Deklarasi Islam tentang HAM, (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), h. 178.         
[ii] ibid.
[iii] W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina, (London: Oxford University Press, 1972), h. 225.
[iv] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 95-102.
[v] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), h. 36; Lihat pula J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Alquran, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 54-61.
[vi]Wolfgang Behn, Muhammad and The Jewes of Medina, terj. Arent Jan Wensinck, (Berlin: Klaus Schwarz Verlag-Freiburg im Breisgou, 1975), h. 66-67.
[vii] Muhammad Husayn Haykal, Hayat Muhammad, (t.tp.: t.np., t.th.),  h. 149.
[viii]Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk,  h. 41.
[ix]Subhi Sâlih, ‘Ulûm al-Hadîs wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malâyin, 1977), h. 145.
[x]Ahmad Ibrahim al-Syarif, Daulah al-Rasûl fi al-Madînah, (Kuwait: Dâr al-Bayân, 1972), h. 89.
[xi]Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), Juz ke-3, h. 84-85
[xii]Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, h. 42.
[xiii]ibid., h. 44
[xiv]ibid.
[xv] ibid., h. 45.
[xvi] Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights : Tradition and Politics, (Colorado, USA: Westview Press, 1999), Edisi Ketiga, h. 22.
[xvii] ibid.
[xviii] ibid.
[xix] ibid., h. 23.
[xx] ibid.
[xxi] ibid.
[xxii] Naskah Piagam Madinah dimaksud ialah yang didokumentasikan dalam Ibn Hisyâm, Sîrah al-Nabiy, (t.tp.: Dar al-Fikr, 1981), Juz ke-2, h. 119.
[xxiii]Naskah Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam ialah yang idokumentasikan dalam Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Tradition and Politics,  (Colorado, USA: Westview Press, 1999), h. 203-208.
[xxiv] Abu Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usul al-Syarî’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,  t.th.), Juz I, h. 21.
[xxv] ibid., h. 6
[xxvi] ibid., h. 54
[xxvii] Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dar al-Salâm, 1427 H/2006 M,  h. 49.
[xxviii] ibid.,  h. 62.
[xxix] al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usul al-Syarî’ah, h. 5
[xxx] ibid., Juz II, h. 8.
[xxxi] Ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, , h. 63
[xxxii] ibid., h. 65-66
[xxxiii] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 40-47.



2 komentar :