Pengantar:
1.
Dalam Islam kebebasan berekspresi itu dijamin selama tidak berimplikasi
pada timbulnya penodaan terhadap agama, memfitnah, menghasut, dan mendorong
seseorang untuk berbuat kejahatan;
2.
Pengakuan terhadap hak kebebasan memeluk agama mestinya diiringi pula
dengan pengakuan terhadap hak untuk pindah agama (murtad).
3.
Seiring dengan adanya hak kebebasan beragama maka tidak relevan penjatuhan hukuman
mati bagi seseorang yang pindah agama.
4.
Untuk meretas diskriminasi terhadap wanita dan non-muslim dalam
penerapan hudud perlu diformulasikan
sebuah ijtihad baru yang lebih toleran, manusiawi, dan egaliter;
5.
Pengertian non-muslim hendaknya diperluas meliputi semua non-muslim, baik
yang punya maupun yang tidak punya kitab suci.
6.
Peluang pernikahan beda gama sebaiknya juga dibuka untuk wanita muslimah
menikah dengan pria non-muslim;
7.
Posisi non-muslim yang berdomisili di negara muslim sedapat mungkin perlu
disetarakan dengan kaum muslim, sebab mereka yang hidup di dunia muslim pada
saat ini sudah bukan lagi warga negara taklukkan, tetapi merupakan
saudara-saudara sebangsa dan setanah air dengan umat Muslim yang sama-sama
punya jasa dalam membangun dan memajukan negaranya masing-masing;
8.
Untuk menghapus kesan diskriminatif terhadap kaum non-muslim sebaiknya
istilah kaum zimi yang berkonotasi sebagi warga negara kelas dua diganti dengan
istilah al-muwathinun (warga negara),
yang berarti warga negara yang hak dan kewajibannya setara dengan kaum Muslim.
A. Pendahuluan
Pada masa kontemporer sekarang ini
pada umumnya setiap orang sudah begitu sadar HAM. Sehubungan dengan hal
itu, saat ini ada beberapa komponen
ajaran Islam yang perlu ditafsir ulang atau dipahami sesuai dengan konteks dinamika dan perkembangan zaman
Beberapa komponen dimaksud meliputi hal-hal sbagai berikut: kebebasan
berekspresi (freedom of expression),
penodaan terhadap agama (blasphemy),
penerapan hukuman-hukuman fisik berat
(semisal hukuman mati, amputasi, dan cambuk), kebebasan beragama, riddah
(pindah agama), nikah beda agama, dan status serta posisi non-muslim dalam
hukum Islam.
B. Kebebasan Berekspresi dan Penodaan Agama
Menurut Werner Becker, kebebasan berarti seseorang dalam batas-batas
tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang diinginkannya. Sedangkan menurut
Norman P. Barry kebebasan berarti tidak adanya suatu pemaksaan atau rintangan.[i] Dalam kepustakaan Islam kebebasan itu disebut dengan
istilah al-hurriyyah, yang berarti
kemampuan khusus yang dimiliki
setiap orang dalam kapasitasnya
sebagai makhluk yang punya eksistensi dan akal pikiran untuk melakukan
berbagai perbuatan sesuai dengan
kehendaknya sendiri tanpa ada intervensi pihak lain.[ii] Sedangkan ekspresi berarti ungkapan pikiran seseorang.[iii] Dari penjelasan di atas kebebasan berekspresi dapat
didefinisikan sebagai kebebasan yang dimiliki seseorang untuk menyatakan buah
pikirannya sesuai dengan kehendaknya
sendiri, tanpa adanya paksaan, rintangan, atau intervensi pihak lain.
Dalam Islam hak seseorang untuk
berekspresi dijamin sepenuhnya. Namun perlu dicatat, kebebasan seseorang itu tidak bersifat
mutlak, karena kemutlakan itu hanya milik Allah. Karena itu, kebebasan
berbicara, misalnya, tidak boleh menggangu kepentingan umum dan kebebasan untuk
memperoleh kekayaan tidak boleh membahayakan kepentingan umum. Dengan kata lain,
meskipun Islam memberi jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan hak
kebebasannya, namun bukan berarti ia dapat melakukan apa saja yang
dikehendakinya, karena kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kewajibannya. Hak
merupakan milik primordial seseorang, sedangkan kewajiban adalah pembatasan hak
individu oleh hak orang lain. Hal ini relevan dengan sebuah adagium yang
berbunyi: “hurriyat al-mar’i mahdudah bi al-hurriyat siwah” (kebebasan
individu dibatasi oleh kebebasan orang
lain).[iv]
Bila pendapat tersebut diterima, maka dalam soal kebebasan berekspresi pun
seseorang tidak dapat berekspresi sekehendak hatinya saja, tanpa menimbang ada
atau tidaknya pihak-pihak tertentu yang keberatan atau tersinggung dengan hasil
ekspresi yang diciptakannya. Pendapat seperti ini, antara lain, dianut oleh Mohammad Hashim Kamali. Menurut Kamali, Islam menjamin sepenuhnya hak
seseorang untuk mengungkapkan
ekspresinya selama tidak berimplikasi pada timbulnya penodaan terhadap
agama, tidak menghina dan memfitnah, atau memotivasi seseorang untuk
berbuat dosa.[v]
Bila pendapat Kamali tersebut diterima, maka produk kebebasan berekspresi
yang dilahirkan beberapa seniman di negara Denmark dalam bentuk karikatur Nabi
Muhammad yang sosoknya digambarkan sebagai gembong teroris yang menyimpan bom
di sorbannya yang siap diledakkan dalam
sebuah aksi terorisme tidak dapat ditolerir dengan dalih kebebasan berekspresi,
sebab personifikasi Nabi Muhammad dalam ekspresi seni semacam itu merupakan
sesuatu yang bersifat menodai kesucian agama Islam, di samping juga menyimpan
fitnah dan penghinaan yang keji dan tidak bermoral atas Nabi Muhammad dan para
pengikutnya. Oleh karena itu, demonstrasi yang digelar umat Islam di berbagai
penjuru dunia sebagai protes keras terhadap penodaan yang dilakukaan
beberapa seniman Denmark dapat dibenarkan. Ini bisa dijadikan
sebagai salah satu cara untuk mengingatkan
atau menyadarkan negara-negara dan atau pihak-pihak tertentu bahwa
kebebasan berekspresi yang mereka miliki dibatasi oleh hak kebeasan orang lain
untuk mempertahankan harga diri dan kesucian agama yang dipeluknya dari
berbagai fitnah, dan penghinaan.
C. Problematika
Norma Hudûd dan Artikel 7 DUHAM
Hudûd merupakan bentuk jamak dari kata bahasa
Arab hadd, yang berarti pelanggaran-pelanggaran atau tindak pidana
tertentu yang jenis dan kadar hukumannya telah ditetapkan secara tegas baik
dalam Alquran maupun Sunah, yang meliputi enam macam tindak pidana, yaitu (1) sariqah
(pencurian) yang diancam dengan hukuman potong tangan., (2) hirabah (pemberontakkan
atau perampokan besar di jalan) yang diancam dengan hukuman mati, penyaliban,
dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, dan atau dideportasi, (3) zina,
perzinaan yang diancam dengan
hukuman rajam hingga mati bila pelakunya pernah menikah (muhshan) dan
dicambuk seratus kali dan dideportasi bila pelakunya belum pernah menikah (ghair
muhshan), (4) qadzaf (menuduh berzina) tanpa mampu menghadirkan
empat orang saksi yang diancam hukuman delapan puluh kali cambuk, (5) sukr (mabuk) yang
diancam dengan hukuman empat puluh kali cambuk, dan (6) riddah ( keluar
dari Islam) yang diancam dengan hukuman mati.
Sebagian kepustakaan fikih menyebutkan hudûd ketujuh, yakni al-baghyu,
yang berarti pemberontakan bersenjata menentang Negara Islam yang hukumannya
disamakan dengan pelaku tindak pidana perampokan yang telah disebutkan di atas.[vi]
Dalam soal yang bertalian dengan penerapan hudud ini ada beberapa hal yang
menyimpan diskriminasi terhadap wanita dan kaum non-muslim. Sebagai contoh,
antara lain, dapat ditunjuk masalah hadd
qadzaf. Menurut pandangan para fukaha,
hadd qadzaf baru dapat diterapkan
bila korbannya seorang muslim. Menuduh zina non-muslim tanpa bukti mungkin
dihukum berdasarkan takzir, bukan berdasarkan hukuman hadd. Alasan munculnya diskriminasi ini adalah karena non-muslim
dipandang kualitas keluhuran moralnya (ihsan) minim. Alasan yang disebut
terakhir ini merupakan penghinaan serius terhadap martabat non-muslim, sehingga
mereka diklaim rendah kualitas moralnya hanya karena mereka non-muslim. Contoh
lain, dalam soal pembuktian kejahatan hudud juga terjadi diskriminasi terhadap
wanita dan non-muslim. Imam Syafi’i, misalnya, menolak kesaksian non-muslim
untuk selama-lamaya, baik terhadap Muslim maupun sesama non-muslim, sebab
menurutnya, persyaratan untuk bersaksi adalah beragama Islam. Oleh karena itu,
dengan sendirinya kesaksian non-muslim tertolak, kecuali setelah masuk Islam.[vii] Sedangkan dalam soal kesaksian tindak pidana perzinaan
juga terjadi diskriminasi terhadap kaum wanita di mana kesaksian seorang wanita
dianggap setengah kesaksian kaum pria. Oleh karena itu, bila tidak ada empat
orang pria yang bisa diajukan sebagi saksi, maka dapat diganti dengan kesaksian
delapan orang wanita.
Dilihat dari kacamata HAM contoh-contoh yang disebutkan di atas nampak bertentangan
dengan prinsip-prinsip HAM yang tidak membenarkan adanya diskriminasi di
hadapan hukum. Di
dalam pasal 7 DUHAM disebutkan:
“Semua orang sama di depan
hukum dan berhak atas perlindungan hokum yang sama tanpa diskriminasi. Semua
berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang
bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah
pada diskriminasi.”
Satu-satunya cara untuk menghilangkan diskriminasi dalam soal penerapan
hudud sebagaimana disinggung di atas, menurut Abdullahi Ahmed al-Na’im,
pandangan fikih klasik yang beraura diskrimasi itu mesti segera direvisi dan diganti
dengan ijtihad baru yang lebih egaliter dan antidiskriminasi[viii].
D. Kebebasan Beragama, Pindah Agama, dan Nikah Beda Agama
1. Kebebasan
Beragama
Masalah kebebasan beragama adalah agenda besar umat Islam di negara mana pun di dunia sekarang ini. Ada
kesulitan besar yang dihadapi negara-negara Islam untuk mewujudkan kebebasan beragama. Hal ini
terlihat dari pengalaman ketika akhir tahun 1940-an Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) bersidang membahas pasal 18 Deklarasi HAM tentang kebebasan
beragama, justru negara-negara Islam menyampaikan nota keberatan. Pasal 18
Deklarasi HAM dimaksud selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berpendapat,
dan beragama; hak ini mengandung
kebebasan mengganti agama, atau
keyakinan begitu juga kebebasan
menjalankan agama atau keyakinannya, dengan cara mengajarkannya,
mempraktikannya dalam bentuk pemujaan dan ibadah, baik seorang diri maupun
bersama orang lain, baik di tempat umum
maupun di rumahnya sendiri.”
Potongan kalimat “kebebasan mengganti agama atau keyakinan (freedom
to change his religion or belief)
yang tercantum dalam pasal 18 Deklarasi HAM
tersebut memicu emosi dan memancing reaksi yang sangat keras dari
negara-negara Islam. Para wakil negara-negara Islam semisal Mesir, Irak, Iran, Saudi Arabia, dan Suriah yang hadir dalam sidang tersebut sama-sama
menyampaikan protes keras dan menuntut agar anak kalimat tersebut segera
diamandemen. Argumentasinya karena Islam, menurut mereka, tidak membenarkan
umatnya pindah agama (murtad). Bila sampai terjadi seorang Muslim berganti
agama, maka ia terancam hukuman mati. Setelah terjadi pedebatan yang sangat
alot dan panjang, akhirnya pada tahun 1966, negara-negara non-muslim yang
diwakili Brazil dan Filipina, menyetujui amandemen anak kalimat tersebut.
Ungkapan “Kebebasan mengganti agama atau keyakinan” diubah menjadi “Kebebasan
memiliki atau mengikuti suatu agama atau keyakinan sesuai pilihannya[ix]”.
Berbeda dengan pendapat para wakil negara-negara Islam dalam sidang PBB
sebagaimana disinggung di atas, beberapa intelektual Muslim di masa kontemporer
sekarang ini berpendapat bahwa Islam sesungguhnya memberi kebebasan kepada
seseorang untuk memilih agama. Jaminan atas hak kebebasan memilih agama ini, antara
lain, dapat dirujuk dalam ayat 256 surat
al-Baqarah:
لا
اكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغى
“Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. (QS. al-Baqarah/2:
256).
Dari ayat
tersebut dapat dipahami, Islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada umat
manusia untuk memilih agama apa pun yang dikehendakinya. Terjadinya pluralitas
agama yang dipeluk umat manusia di bumi ini merupakan sebuah sunnatullah yang
sengaja dibiarkan terjadi oleh Allah. Sekiranya Allah menghendaki agar
seluruh umat manusia memeluk agama Islam, pasti Allah mampu melakukannya. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam ayat 99 surat Yunus yang berbunyi sebagai
berikut:
ولو شاء ربك لأ
من من فى الا رض كلهم جميعا افأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.(QS. Yunus/10: 99)
Ayat di
atas secara tegas menyatakan upaya menyeragamkan agama semua orang merupakan tindakan
pemaksaan. Melalui ayat di atas Allah hendak mengajarkan Nabi dan para
pengikutnya agar tidak perlu memaksa semua orang untuk memeluk Islam, sebab
tugas utama Nabi dan umat Islam hanyalah menyampaikan pesan-pesan Allah, dan
bukan memaksa seseorang untuk memeluk
Islam. Hal ini relevan dengan firman Allah dalam 21 dan 22 surat al-Ghasyiah:
فذكر انما انت مذ
كر لست عليهم بمسيطر
“Maka berilah
peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”. ( QS. al-Ghasyiah/88: 21-22).
Soal agama apa yang akan dianut seseorang, Allah menyerahkan sepenuhnya
kepada pilihan bebas orang yang bersangkutan, tanpa ada seorang pun yang berhak
mendiktenya. Hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam ayat 29 surat al-Kahfi:
وقل الحق من ربكم
فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر
“Dan katakanlah:
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS.al-Kahfi/18:29).
2. Kebebasan Pindah
Agama (Riddah)
Bila prinsip kebebasan seseorang untuk
memilih agama dapat diterima, maka mestinya dapat diterima juga hak
kebebasan seseorang untuk pindah atau keluar dari agama Islam yang semula
dipelukya yang dalam literatur Islam lazim disebut dengan istilah murtad. Lebih dari itu, sejalan dengan
prinsip kebebasan beragama, mestinya seseorang juga dijamin haknya untuk tidak
memeluk suatu agama tertentu. Penting dicatat, mengenai hak kebebasan untuk mengganti agama, di kalangan
ulama terdapat dua pendapat sebagai berikut. Pertama, dalam pandangan fikih klasik, pindah agama (murtad) itu dianggap
sebuah tindakan kriminal dan pelakunya dapat diancam hukuman mati.[x] Sebab bagi penganut mazhab
klasik, menurut Abu-Sahlieh, kebebasan beragama dalam Islam hanya punya satu makna unik: Islam betul-betul memberi
kebebasan kepada semua orang untuk memeluk Islam atau agama lain, tetapi bila
ia telah memilih Islam, dia dilarang
keluar alias harus tetap menjadi Muslim selama-lamanya sebagai bukti bahwa dia
tidak mempermainkan Tuhan.[xi] Pandangan fikih klasik ini
didasarkan pada sebuah hadis Nabi saw. yang berbunyi sebagai berikut:
من بد ل دينه فاقتلوه
“Barangsiapa yang
berpindah agama, maka bunuhlah dia”. (H.R. Bukhari, Abu Daud, al-Turmudzi, dan
al-Nasa’i).[xii]
Menurut mayoritas
ulama, hukuman mati dalam pandangan fikih klasik berlaku umum untuk semua
pelaku murtad, baik pria maupun wanita, baik orang yang masih muda maupun orang
yang sudah tua renta. Sementara menurut
Abu Hanifah, bila pelaku murtadnya seorang wanita, maka sanksinya bukan hukuman
mati, tapi cukup dipaksa untuk kembali ke pangkuan Islam. Bila menolak, wanita
yang murtad itu mesti dipenjarakan. Selama menjalani hukuman, setiap hari ia harus diberi kesempatan
untuk keluar penjara dan diminta
bertaubat dan kembali memeluk Islam. Bila
bersedia, ia dapat segera dibebaskan, tetapi bila terus menolak, ia akan tetap mendekam seumur hidup dalam
penjara hingga tiba ajalnya. [xiii]
Kedua, menurut intelektual Muslim kontemporer sekarang ini,
semisal Subhi Mahmassani, intelektual Muslim asal Libanon, murtad itu bukanlah
sebuah tindakan kriminal. Oleh karena itu, pelakunya tidak bisa dikenakan
hukuman mati. Menurut Mahmassani, Nabi
sendiri tidak pernah menghukum mati seseorang lantaran murtad dari Islam.[xiv] Apa yang dilakukan Nabi untuk tidak menghukum
orang-orang murtad di zamannya diikuti para sahabat dan tabiin yang semuanya sangat
mengerti hukum Islam. Kalaupun dalam salah satu episode sejarah Islam tercatat
ada orang-orang murtad yang dihukum mati, semisal di masa Abu Bakar Shiddik,
sesungguhnya bukan semata-mata karena
mereka murtad dari Islam, tetapi karena setelah murtad dari Islam mereka
bersekutu dengan musuh-musuh Islam untuk melakukan aksi-aksi politik yang
membahayakan stabilitas negara dan
mengganggu ketenangan publik[xv]. Dalam perspektif
yang jujur, yang diperangi Abu Bakar sesungguhnya bukanlah orang-orang murtad,
tapi para pembangkang pembayaran zakat yang masih tetap menjalankan shalat,
puasa, haji, dan lain-lain kewajiban agama yang diajarkan Islam. Untuk mendiskreditkan
Islam, para sejarawan yang alergi terhadap Islam, menuduh mereka sebagai kaum
murtad. Hal ini nampaknya disengaja agar mereka dapat menjustifikasi pendapat
mereka bahwa yang diperangi Abu Bakar adalah benar-benar kaum murtad. Tujuan di
balik tuduhan ini agaknya mereka ingin
membangun opini publik bahwa Islam tidak menghargai hak kebebasan seseorang
untuk memilih agama.
Untuk konteks sekarang ini agaknya lebih relevan bila dilakukan
reinterpretasi terhadap hadis Nabi yang menyinggung soal
penjatuhan sanksi hukuman mati bagi orang murtad. Salah satu alasan untuk
menafsir kembali hadis tersebut di atas
adalah karena konteks sejarah yang dihadapi Nabi di saat menyabdakan hadis
tersebut sudah sangat berbeda dengan konteks sejarah kita di masa kontemporer
sekarang ini. Di masa Nabi hubungan antara berbagai kelompok dibangun
berdasarkan prinsip konflik dan perang. Kala itu bila sesorang keluar dari
sebuah kelompok, maka ia akan berkolaborasi dengan kelompok lain yang pada
umumnya menjadi informan tentang rahasia
kelompok pertama sehingga ia dipandang musuh oleh kelompok pertama yang
ditinggalkannya itu karena telah
dipandang melakukan tindakan subversif. Di masa kontemporer sekarang ini
hubungan antar kelompok dibangun berdasarkan prinsip perdamaian, sehingga tidak
lagi ada alasan yang kuat untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang murtad.
Dilihat dari statusnya hadis Nabi yang berbicara soal penjatuhan hukuman
mati bagi orang yang murtad itu,
menurut Salim al-Awwa, merupakan hadis ahad, yakni hadis yang hanya
diriwayatkan oleh seorang sahabat, yakni Ibnu Abbas.[xvi] Menurut Mahmud Syaltut, mantan Syeikh al-Azhar, mayoritas
Fukaha berpendapat hadis ahad itu tidak dapat
dijadikan landasan hukum. Bila pendapat yang disebut terakhir ini
diterima, maka hadis riwayat Ibnu abbas
tersebut tidak dapat dijadikan dasar argumentasi untuk menghalalkan darah
seseorang yang murtad.[xvii]
Bila merujuk Alquran tidak ada satu pun ayat di dalamnya yang memerintahkan
penjatuhan hukuman mati bagi orang yang murtad. Menurut Alquran hukuman bagi
orang yang murtad bukanlah hukuman mati di dunia ini, tetapi siksa neraka
di akhirat nanti. Hal ini relevan dengan
firman Allah dalam 217 surat al-Baqarah:
ومن يرتد د منكم عن د ينه فيمت وهو كا فر فاولئك حبطت
اعمالهم فى الد نيا والا خرة واولئك اصحاب النار هم فيها خالد ون
“Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat,
dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.al-Baqarah/2:
217).
3. Kebebasan Nikah Beda Agama
Yang dimaksud dengan nikah beda agama
adalah pernikahan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim) dan
orang yang bukan Islam (non-muslim).[xviii] Dalam soal nikah beda
agama ini di kalangan ulama
terdapat tiga pendapat. Pertama, melarang secara mutlak perkawinan antara muslim dan non-muslim, baik
bagi perempuan muslimah maupun laki-laki muslim, baik dengan non-muslim yang
masuk kategori musyrik maupun ahlul kitab. Kedua, Membolehkan secara
bersyarat, yakni nikah beda agama dibenarkan bagi pria muslim dengan syarat
calon mempelai wanitanya harus dari kalangan ahlul kitab, dan bukan sebaliknya.
Ketiga, membolehkan pernikahan antara muslim dan non-muslim, dan
kebolehannya berlaku umum baik bagi laki-laki maupun perempuan Muslim.
Pendapat pertama, yakni pendapat yang
melarang secara mutlak perkawinan
antara Muslim dan non-muslim, antara lain, didasarkan pada dua ayat al-Quran sebagai berikut:
Pertama, firman dalam ayat
221 surat al-Baqarah yang berbunyi sebagai berikut:
ولا تنكحوا
المشركا ت حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة
ولو اعجبتكم ولا تنكحواالمشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو
اعجبكم اولئك يدعون ا لى النار والله يدعو ا لى الجنة والمغفرة با ذ نه ويبين
اياته للناس لعلهم يتذ كرون
“Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS.al-Baqarah/2:221)
Kedua, Firman Allah dalam
ayat 10 surat al-Mumtahanah yang berbunyi sebagai berikut:
لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن
“Mereka
(wanita-wanita Muslim) itu tidak halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS.al-Mumtahanah/60:10)
Penganut pendapat pertama tidak membedakan antara kaum musyrik dan ahlul
kitab, karena dalam realitasnya kedua kelompok itu sama saja, yakni sama-sama
telah mengalami penyimpangan akidah, sehingga keduanya dapat dimasukkan dalam
kategori musyrik atau sama-sama mempertuhankan selain Allah. Kaum Yahudi mempertuhankan
Uzair sementara kaum Nasrani mempertuhankan Isa Ibn Maryam. Soal penilaian ahlul
kitab sebagai kaum musyrik ini ada suatu riwayat yang menyatakan ketika ditanya soal hukum menikahi wanita ahlul
kitab, Ibn Umar, salah seorang sahabat Nabi berkomentar, Allah telah mengharamkan pria Muslim menikah
dengan wanita ahlul kitab. Saya tidak
mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang
yang menyatakan Tuhannya adalah Isa, padahal ia salah seorang dari hamba Allah.[xix]
Berdasarkan kedua ayat di atas, penganut pendapat pertama menyatakan, pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik
dan pernikahan wanita muslimah
dengan pria musyrik, dalam
pandangan Islam, hukumnya haram sepanjang zaman. Bila pernikahan tersebut tetap
dilakukan, maka dipandang tidak sah dan
atau dianggap tidak pernah terjadi, sehingga tidak menimbulkan akibat-akibat
hukum perkawinan, semisal kehalalan hubungan seksual, keharusan saling mendapat
warisan, dan sebagainya.
Kelompok pertama sesungguhnya mengakui dalam Alquran, tepatnya dalam ayat 5
surat al-Maidah ada kebolehan bagi pria muslim menikah dengan wanita ahlul
kitab. Akan tetapi kebolehan tersebut telah dinasakh dengan ayat 221 surat
al-Baqarah tersebut di atas.
Pendapat kedua, yakni pendapat yang
membolehkan nikah beda agama bagi pria
Muslim dengan syarat calon mempelai wanitanya harus dari kalangan ahlul kitab,
didasarkan pada ayat 5 surat al-Maidah:
والمحصنات من
المؤمنات والمحصنات من الذ ين اوتوا الكتاب
من قبلكم
“(Dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara
orang-orang orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu”. (QS.al-Maidah/5:
5).
Menurut pendukung pendapat kedua,
ayat di atas secara tegas berbicara soal kebolehan pria Muslim menikah dengan
wanita ahlul kitab. Sementara untuk sebaliknya, yakni pernikahan wanita Muslim dengan pria ahlul
kitab tidak dinyatakan secara eksplisit. Ini
mengindikasikan pernikahan wanita Muslim dengan pria ahlul kitab tidak diperbolehkan. Sekiranya dibolehkan, tentu hal itu juga akan
disebut secara tegas dalam ayat 5 surat al-Maidah itu. Hal ini relevan dengan
kaidah hukum Islam: “adam al-bayan fi maqam al-bayan bayan” (tiadanya
penjelasan pada konteks yang membutuhkan suatu penjelasan merupakan sebuah
penjelasan).
Penting dicatat, sekalipun membolehkan
perkawinan pria Muslim dengan wanita ahlul kitab, penganut pendapat kedua masih
berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan ahlul kitab. Sebagian di
antara mereka memahami ahlul kitab terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani yang
hidup di masa Nabi saja. Sebagiannya lagi
berpendapat ahlul kitab meliputi semua
penganut Yahudi dan Nasrani hingga masa kini.
Kedua pendapat tersebut masing-masing memiliki implikasi hukum yang
berbeda. Bila pendapat pertama yang diterima maka di masa kini haram hukumnya
pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab, sebab ahlul kitab yang dimaksud
adalah ahlul kitab yang hidup di masa Nabi yang kini sudah tidak ada lagi,
bukan di masa kita sekarang ini. Sebaliknya bila pendapat kedua yang dianut,
maka pria muslim di masa kini masih tetap boleh menikah dengan wanita ahlul kitab, sebab yang dimaksud ahlul kitab
mencakup juga ahlul kitab yang masih
hidup di masa kini, tidak terbatas pada ahlul kitab yang hidup di zaman Nabi
saja.
Pendapat ketiga, yakni pendapat yang membolehkan pernikahan antara Muslim dan non-muslim secara umum, baik bagi
pria maupun wanita Muslim, sesungguhnya juga didasarkan kepada
ketiga ayat yang digunakan oleh kedua
kelompok sebelumnya, yakni ayat 221
surat al-Baqarah, ayat 10 surat al-Mumtahanah, dan ayat 5 surat al-Maidah.
Perbedaannya hanya terletak dalam cara
memahami ketiga ayat tersebut. Ayat 221 al-Baqarah, menurut pendapat kelompok
ketiga, hanya berbicara soal larangan menikahi wanita musyrik yang hidup di
masa Nabi yang kini sudah tidak ada lagi. Sementara ayat 5 al-Maidah bercerita
tentang kebolehan bagi pria Muslim
menikah dengan wanita ahlul kitab yang juga bisa dipahami sebaliknya yakni
seorang pria ahlul kitab boleh menikah dengan wanita Muslim. Sedangkan ayat 10 surat al-Mumtahanah hanya berbicara
soal larangan melanggengkan perkawinan dengan kaum musyrik, bukan larangan bagi pria atau wanita Muslim
menikah dengan ahlul kitab.
Penting dicatat, pandangan yang tidak membolehkan pernikahan beda agama di
samping didasarkan pada ayat-ayat Alquran, pada umumnya juga karena didasarkan pada alasan
sosiologis, psikologis, dan politik. Secara sosilogis pasangan yang
melangsungkan pernikahan punya keinginan
untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan harmonis di masyarakat. Keluarga demikian biasanya dibangun dari
adanya sejumlah persamaan dan kesamaan antara suami-istri, utamanya
kesamaan dalam hal agama. Logikanya, semakin banyak perbedaan di antara kedua
pasangan, terutama perbedaan agama, semakin rapuh ikatan pernikahan mereka. Artinya,
perbedaan agama diduga kuat akan mempengaruhi keutuhan dan kebahagiaan dan
keharmonisan hubungan lintas anggota
keluarga..
Secara psikologis pernikahan lintas agama itu dilarang karena umat Islam
seringkali dihinggapi rasa tidak percaya diri dan rasa takut yang berlebihan
atau tidak beralasan. Kekhawatiran terjadinya pindah agama bila pihak muslim
menikah dengan pihak non-muslim, salah
satunya juga muncul karena problem psikologis yang diderita umat Islam. Anehnya lagi, kalaupun nikah beda
agama diperbolehkan, kita biasanya menginginkan agar pihak muslim mampu
memengaruhi pasangannya untuk berpindah agama dan mengutuk bila yang terjadi
adalah hal yang sebaliknya. Sebab yang pertama identik dengan kemenangan dan
yang kedua identik dengan kekalahan. Artinya, kita hanya mau menang, tetapi
tidak mau kalah. Kita harus jujur mengakui bahwa pikiran dan sikap demikian
sangat tidak sehat. Pikiran semacam ini agaknya tidak hanya didapati dalam
kelompok Muslim, tapi juga ditemukan dalam kelompok agama lainnya.
Sedangkan secara politis ada kekhawatiran akan terjadinya konversi agama
atau pemurtadan dari pihak yang muslim bila menikah dengan non-muslim. Oleh karena
itu, pandangan yang membolehkan pria muslim
menikah dengan wanita ahlul kitab didasarkan atas keyakinan bahwa biasanya
laki-laki lebih kuat agamanya, sehingga dengan pernikahan itu mereka dapat
menarik pasangannya demikian juga dengan anak-anaknya kelak masuk Islam.
Terkesan bahwa pria muslim yang boleh menikahi wanita ahlul kitab adalah pria
yang kuat imannya. Sebaliknya seorang wanita muslimah tidak dibolehkan menikah
dengan pria non-muslim sekalipun ahlul
kitab, karena dikhawatirkan ia akan tergoda masuk ke agama suaminya demikian
pula dengan anak-anaknya. Berbeda dengan pria, semua wanita diasumsikan lemah
imannya. Pandangan demikian jelas bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhat,
karena didasarkan pada pandangan stereotif terhadap wanita, bahwa wanita
merupakan makhluk yang lemah dan mudah goyah imannya. Untuk tindakan pencegahan,
wanita muslimah sebaiknya tidak menikah dengan pria non-muslim, meskipun ahlul
kitab.
Sebaliknya, pandangan yang melarang pria Muslim menikah dengan wanita ahlul
kitab juga beranjak dari dari pemahaman
yang stereotif tentang wanita sebagai sumber fitnah. Pernikahan dengan wanita ahlul
kitab berisiko menimbulkan madarat atau dampak negatif karena dikhawatirkan
suami dan keturunannya kelak akan mengikuti agama mereka. Atas dasar itu, ulama menegaskan jika
dengan pernikahan tersebut, suami dan anak-anaknya dikhawatirkan terjatuh ke
dalam fitnah, maka hukum pernikahannya dengan wanita ahlul kitab jelas haram.
Wanita dalam pandangan ahli fikih cenderung dipersepsikan negatif. Di satu
sisi, wanita diberi label sebagi makhluk
yang rendah, lemah, dan mudah diperdaya untuk meninggalkan agamanya. Hal ini
selanjutnya membawa kepada larangan bagi wanita
Muslim menikah dengan pria non-muslim. Namun, di sisi lain mereka juga
juga diberi stigma sebagai sumber fitnah yang mencelakakan. Implikasinya, pria
muslim pun dilarang menikahi wanita non-muslim sekalipun ahlul kitab.
Kalaupun seorang pria muslim dibolehkan menikahi wanita ahlul kitab, maka
diharapkan ia dapat mengajak istri dan anak-anaknya kelak masuk Islam. Boleh jadi
harapan itu benar, namun
kenyataan sering menunjukkan lain.
Menarik diungkapkan di sini,
bahwa suatu penelitian tentang
nikah lintas agama mengungkapkan temuan yang penting, yakni jika pria
Muslim menikah dengan wanita non-muslim,
maka 50 % anak-anak dari pasangan
tersebut ikut agama bapaknya. Sebaliknya, jika wanita Muslim menikah dengan
laki-laki non-muslim maka hampir 80% dari anak-anak pasangan itu ikut agama
ibunya.
Temuan penelitian tersebut
membuktikan bahwa wanita dalam posisinya sebagai ibu lebih besar memengaruhi
agama anak ketimbang pria dalam posisinya sebagi ayah. Ini menunjukkan, wanita
yang selama ini dipandang lemah dan mudah terjebak dalam kemurtadan akibat
nikah lintas agama ternyata tidak
terbukti. Faktanya wanita terbukti lebih kuat imannya sehingga lebih
berhasil mengajak anak-anaknya masuk ke dalam agama yang dipeluknya[xx]. Berdasarkan hasil temuan
penelitian tersebut belakangan ini di Indonesia muncul gagasan
baru yang menawarkan dua hal: pertama,
wanita muslimah diperbolehkan menikah dengan pria non-muslim. Kedua, kebolehan menikah beda agama harus dibuka secara lebih luas tidak hanya
terbatas pada kalangan Yahudi dan Nasrani saja, tetapi mencakup kebolehan
menikah dengan semua pemeluk agama dan penganut aliran kepercayaan, tanpa
memandang apa agama yang dipeluknya dan aliran kepercayaan apa yang dianutnya. [xxi]
E.
Status dan Posisi Non-muslim dalam Islam
Yang dimaksud dengan non-muslim adalah seseorang yang memeluk agama selain
Islam. Beberapa intelektual Muslim, semisal Abu A’la al-Maududi, Yusuf Qardhawi
dan beberapa intelektual Barat seperti Gibb dan Bowen, menyebut kalangan non-muslim
dengan istilah “kaum zimi”. Menurut Yusuf Qardhawi “kaum zimi” itu adalah
orang-orang non-muslim, baik yang berasal dari kalangan ahlul kitab
maupun yang bukan tergolong ahlul kitab. [xxii]
Dalam pandangan agama Islam, ahlul kitab adalah agama berdasarkan wahyu
Tuhan, namun kemudian mengalami perubahan. Mereka itu adalah kaum Yahudi dan
Nasrani yang agamanya berdasarkan Taurat dan Injil. Sedangkan non-muslim di luar ahlul kitab,
antara lain: Zoroaster (penyembah api), Shabi’in (penyembah bintang), Hindu,
Budha, Shinto, dan Khonghucu. Di masa sekarang ini, agaknya istilah ahlul kitab
itu mengalami perluasan arti yang tidak hanya merujuk kepada kaum Yahudi dan
Nasrani saja, tetapi mengakomodasi semua umat beragama yang memiliki kitab
suci, baik yang kitab sucinya berasal dari wahyu Tuhan maupun yang bersumber
kepada cipta, karsa, dan budaya manusia. Merujuk arti ahlul kitab yang telah
mengalami perluasan arti ini, maka penganut agama Hindu dan lain-lain pemeluk
agama yang memiliki kitab suci dapat
disebut sebagai ahlul kitab.
Berbeda dengan Yusuf Qardhawy, Abdullah Nasih Ulwan membagi kalangan non-muslim
menjadi empat macam, yakni: (1) ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani); (2) kaum ateis
dan orang-orang murtad; (3) kaum musyrikin; dan (4) kaum munafik.[xxiii] Ahlul kitab yang dimaksud oleh Nasih Ulwan sama seperti yang dikemukakan oleh Yusuf al-Qardhawi,
yaitu: orang-orang Yahudi dan Nasrani yang agamanya berdasarkan kitab Taurat
yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Musa dan kitab Injil yang diturunkan Tuhan
kepada Nabi Isa.
Menurut Nasih Ulwan, yang dimaksud dengan kaum ateis adalah orang-orang
yang tidak percaya kepada Tuhan dan menolak risalah langit yang diturunkan
kepada para rasul-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan kaum murtad, sebagaimana
disinggung di atas, adalah orang-orang Muslim yang keluar dari agama
Islam, lalu memeluk agama selain Islam.
Kaum murtad dapat pula didefinisikan sebagai orang-orang Islam yang meyakini
suatu akidah yang yang bertentangan dengan akidah islam.
Kaum musyrik didefinisikan sebagai kaum yang menyembah tuhan selain Allah.
Mereka ini dibedakan menjadi dua macam: pertama,
orang-orang musyrik Arab; kedua,
orang-orang musyrik non-Arab. Kaum musyrikin ini dapat dikenali dari obyek
sesembahannya, semisal menyembah api, bintang, patung atau berhala, dan
lain-lain objek sesembahan selain Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan kaum
munafik adalah orang-orang yang mengklaim dirinya sebagi Muslim, namun jauh di
lubuk hatinya tersimpan bara kekafiran yang menyala dan tujuan-tujuan yang kurang
mulia, yakni hendak menghancurkan Islam.
Pengelompokkan kaum munafik ke dalam kategori orang-orang non-muslim didasarkan pada ayat 16 surat al-Baqarah yang
intinya berbicara tentang beberapa sifat orang munafik, yaitu: pertama, pengakuannya tentang keimanan
kepada Allah dan hari kiamat adalah dusta atau bohong belaka, sehingga Allah sendiri
menegaskan bahwa mereka itu sesungguhnya bukanlah orang-orang yang beriman. Kedua, dalam hatinya ada penyakit yang membusuk. Ketiga, perbuatannya selalu mengarah kepada hal-hal yang bersifat
destruktif, sebab mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang bodoh. Keempat, selalu berganti-ganti topeng
untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Setelah
mencermati sifat-sifat kaum munafik tersebut, dengan tegas Abdullah Nasih Ulwan
menyatakan, kaum munafik itu tidak bisa
disebut sebagai kaum mukmin dan tidak pula dapat disebut sebagai kaum muslim.
Khusus bagi kaum munafik yang
nyata-nyata mengucapkan dua kalimat syahadat, menunaikan salat, puasa, dan
ibadah-ibadah lainnya yang diiringi dengan melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan
semisal berzina, berjudi, mengkonsumsi narkotika, menyejajarkan Tuhan dengan
manusia, dan lain-lain perbuatan yang dilarang Allah, maka selama belum bertaubat, keimanannya dipandang
tidak sah. Akan tetapi, selagi kaum munafik menampakkan diri sebagi seorang
muslim, maka mereka tetap dianggap sebagai anggota kaum muslim.
Dalam pandangan fikih klasik non-muslim
yang tinggal di negara Islam diberi status sebagai warga negara kelas dua yang posisinya
berada di bawah kaum muslim. Secara hukum dan sosial, dan dalam banyak kasus
secara ekonomis, seorang non-muslim yang merdeka berada dalam posisi yang lebih baik daripada seorang budak muslim,
tetapi bukan secara politik. Pada dasarnya seorang non-muslim dikecualikan dan
tidak dipandang sebagai bagian dari
masyarakat politik. Ia bisa tinggal atau hidup dalam masyarakat muslim entah
sebagai kaum zimi, orang yang menetap
secara permanen dengan status tertentu, atau
sebagai mustakmin, yaitu orang yang tinggal untuk sementara di wilayah
Muslim yang datang dari dunia non-muslim.[xxiv]
Baik non-muslim yang berstatus sebagai kaum zimi maupun mustakmin sama-sama
mempunyai hak-hak hukum yang mapan dan secara umum sudah diakui. Akan tetapi,
keduanya tidak punya hak-hak politik penuh
seperti yang dimiliki kaum Muslim.
Jabatan politik tertinggi yang dapat dipangku seorang non-muslim, menurut al-Mawardi,
adalah jabatan wazir tanfidz
(Menteri Pelaksana).[xxv] Meskipun perjalanan sejarah Islam
telah menjadi saksi bahwa beberapa pos penting dalam birokrasi negara Islam,
semisal sekretaris negara, telah dijabat non-muslim, namun sebelum al-Mawardi,
tak pernah ada seorang pun pemikir politik Muslim yang berani memberikan
justifikasi terhadap kenyataan ini. Oleh karena itu, pendapat al-Mawardi
tersebut cukup membuat kejutan pada zamannya. Sebagai bukti keterlibatan non-muslim
dalam birokrasi negara Islam, antara lain, dapat dirujuk dengan dipilihnya Ibn
Sarjun menjadi sekretaris Abd al-Malik Ibn Marwan, Nashr Ibn Harun dan Abu
Ishaq al-Sabi menjadi wazir al-dawlah
(Menteri Negara). Ketiga nama non-muslim yang disebutkan terakhir, adalah
pemeluk agama Kristen yang taat.[xxvi]
Bagi
al-Mawardi, selama seseorang memenuhi kriteria yang diminta untuk duduk dalam
jabatan wazir tanfidh, yakni jujur, terpercaya, rendah hati, cerdas, dan
terhindar dari hal-hal yang tercela, maka tidak ada sedikit pun alasan untuk
menolak warga non-muslim untuk memegang jabatan tersebut.
Dengan melontarkan pendapat yang cukup kontroversial
tersebut, al-Mawardi kemudian tercatat sebagai pemikir politik Muslim pertama
yang berani memberikan legitimasi bagi non-muslim untuk duduk dalam sistem
pemerintahan Islam. Alfred Von Kremer menilai terobosan yang dibuat al-Mawardi ini sebagai gaya baru liberalisasi hukum Islam
dalam bidang pemerintahan.[xxvii]
Pendapat
al-Mawardi yang membolehkan non-muslim duduk dalam sistem pemerintahan Islam
itu mendapat kritikan keras dari al-Juwaini (w. 1085 M). Menurut dia, non-muslim
tidak dapat diterima sebagai wazir
tanfidz, sebab di samping memandang perkataan, perbuatan, dan kesaksian non-muslim
tidak dapat dipercaya, al-Juwaini, dengan merujuk beberapa ayat Alquran,
semisal ayat 51 al-Maidah, yang dikutip sebelum ini, berkesimpulan non-muslim
tidak boleh diangkat untuk menduduki pos-pos pemerintahan Islam.
Pendapat
senada antara lain dianut pula oleh Badr al-Din Ibn Jama’ah (1241-1333 M),
seorang pemikir besar masa dinasti Mamluk. Berbeda dengan al-Mawardi, Ibn
Jama’ah bersandar kepada beberapa ayat, semisal ayat 51 al-Maidah, ayat 141
al-Nisa, dan ayat 1 al-Mumtahanah menyatakan adalah terlarang untuk
mempekerjakan orang-orang non-muslim dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan
kepentingan umat Islam.
Dari
uraian di atas dapat diperoleh kejelasan bahwa mengenai boleh tidaknya non-muslim
berpartisipasi memegang jabatan-jabatan kenegaraan dalam pemerintahan Islam, di
kalangan para pemikir politik Muslim zaman klasik dan pertengahan muncul dua
pendapat yang berbeda secara diametral: pertama,
diwakili al-Mawardi, menyatakan non-muslim diperbolehkan menduduki
jabatan-jabatan tertentu dalam negara Islam, semisal menjadi wazir tanfidz. Kedua, dimotori oleh al-Juwaini dan Ibn Jama’ah, menyatakan
non-muslim tidak boleh berpartisipasi memegang jabatan-jabatan kenegaraan dalam
pemerintahan Islam. Bedanya dengan al-Juwaini, Ibn Jama’ah membenarkan non-muslim
memegang pos-pos tertentu di negara Islam yang berhubungan langsung dengan
kepentingan orang-orang non-muslim itu sendiri. Akan tetapi, mengenai jabatan
khalifah atau kepala negara, agaknya
semua pemikir politik Muslim zaman klasik dan pertengahan mengusung satu
pendapat yang sama, yaitu non-muslim tidak dapat menjadi khalifah atau kepala
negara di negara mayoritas Muslim.
Paling
sedikit ada dua sebab mengapa dalam fikih klasik kaum non-muslim hanya diberi
hak politik terbatas. Pertama, karena kalangan non-muslim yang di masa
klasik lazim disebut kaum zimi itu
merupakan pihak yang ditaklukkan. Pada zaman itu pihak yang ditaklukkan nyaris
tidak diberi hak, baik sipil maupun politis. Ketentuan Islam mengenai perlakuan
terhadap non-muslim (kaum zimi), yang kebanyakan merupakan golongan yang
ditaklukkan, dengan memberikan hak politik terbatas semisal boleh menjadi wazir
tanfidz dan sekretaris negara, sebenarnya lebih manusiawi.
Kedua,
karena sekalipun dalam Islam telah dikenal prinsip-prinsip HAM, tapi
umumnya di dunia pada zaman klasik belum
memberlakukan, bahkan boleh jadi, belum mengenal prinsip-prinsip maupun
standar-standar universal HAM modern yang memberikan status kewarganegaraan
penuh dan setara kepada setiap orang, serta tidak memperkenankan adanya
pembedaan status sosial seseorang berdasarkan agama yang dipeluknya.
Sampai
abad ke-19 menentukan status seseorang berdasarkan agamanya merupakan sesuatu
yang wajar. Dalam konteks sosial seperti itu, maka pandangan para pemikir
politik Muslim zaman klasik dan pertengahan, yang memberikan hak politik
terbatas kepada non-muslim, menurut Abdullahi Ahmed al-Na’im, justru merupakan sesuatu
yang bersifat progresif pada zamannya.
Berbeda dengan pandangan fikih
klasik yang mendiskriminasikan kaum non-muslim, di masa kontemporer sekarang
ini, beberapa intelektual Muslim liberal yang tidak berlatar belakang ilmu
syariah, semisal Mahmoud Mohammad Thaha dan muridnya, Abdullahi Ahmed al-Na’im
sebaliknya berpendapat, minoritas non-muslim
memiliki persamaan hak dan status sebagaimana dinikmati umat Islam, termasuk
hak untuk menjadi presiden. Pandangan fikih klasik yang memberikan hak politik
terbatas kepada kaum non-muslim, menurut Thaha, tidak mampu memberikan
representasi demokratis yang proporsional kepada minoritas non-muslim yang
menjadi warga negara Islam modern dan atau sebuah negara yang diperintah oleh
mayoritas muslim. Oleh karena itu, pandangan fikih klasik yang bercorak
diskriminatif terhadap non-muslim, tegas Thaha, mendesak untuk segera
direformasi.[xxviii]
Pandangan fikih klasik yang
mendiskriminasikan non-muslim, kata Thaha, didasarkan pada ayat-ayat Madaniyyah
(ayat yang turun di Madinah) yang memang sarat dengan aura diskriminatif, bukan
didasarkan pada ayat-ayat Makiyyah (ayat yang turun di Mekah) yang menekankan
martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin,
keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain. Untuk menghilangkan diskriminasi
terhadap non-muslim, kata Thaha, ayat-ayat Madaniyyah yang di masa klasik
digunakan sebagai argumentasi teologis untuk mendiskriminasikan non-muslim
harus segera dihapus. Sebagai gantinya, ayat-ayat Makiyyah yang dulu dihapus digunakan
kembali sebagai basis hukum Islam modern.
Sejalan dengan idenya tersebut,
Thaha menawarkan sebuah konsep naskh (penghapusan ayat satu dengan ayat
yang lain) baru yang sangat berbeda dengan konsep naskh lama. Teori naskh
lama yang menganggap bahwa ayat-ayat Madaniyyah menghapus ayat Makiyyah, kata Thaha harus dibalik, yakni
bahwa ayat Makiyyahlah yang justru menghapus ayat Madaniyyah. Tentang teori
hukum Islam ini, Thaha menulis sebagai berikut :
Evolusi syariah...adalah evolusi dengan
peralihan dari satu teks Alquran ke teks yang lain, dari sebuah teks yang
sesuai untuk berlaku pada abad ke-7, dan sudah dijalankan, kepada teks yang,
pada waktu itu, terlalu maju dan oleh karena itu harus dinasakh (ditunda
hingga waktu yang sesuai tiba)…Ayat-ayat tambahan (ayat-ayat Madaniyyah) yang
pada abad ke-7 telah (difungsikan) secara sempurna…menjadi tidak relevan lagi
bagi era baru: abad ke-20 (dan seterusnya). (Saat ini) ayat utama (ayat
Makiyyah yang dulu ditunda pelaksanaannya sudah saatnya) diberlakukan kembali
sebagai teks yang operatif…dan menjadi basis legislasi yang baru…".[xxix]
Kutipan di atas, menggambarkan
keyakinan Thaha bahwa pada abad modern ini ayat-ayat Makkiyah justru menghapus
ayat-ayat Madaniyyah, karena ayat Makiyyah itu sebenarnya ayat yang lebih
universal dan abadi karena menganjurkan kebebasan, persamaan derajat tanpa
diskriminasi gender, agama, dan kepercayaan.
Mengomentari pandangan fikih klasik
yang mendiskriminasi kaum non-muslim, al-Na'im menyatakan, semua umat Islam
awal benar ketika menafsirkan Alquran dan Sunah dengan menerima diskriminasi
berdasarkan agama dalam konteks sejarah ketika itu. Argumentasinya karena sejak
masa-masa pembentukan syariah (dan paling tidak untuk masa seribu tahun
kemudian) belum ada konsepsi HAM universal di dunia ini. Sejak abad ke-7 hingga
abad ke-20, kata al-Na'im, adalah suatu hal yang normal di seluruh dunia untuk
menentukan status dan hak-hak seseorang berdasarkan agama. Dengan kata lain,
diskriminasi atas dasar agama adalah norma seluruh dunia pada waktu itu.
Karena itu, pandangan fikih klasik
yang yang memosisikan non-muslim sebagai warga negara kelas dua, dapat
dibenarkan oleh konteks historisnya. Akan tetapi, ini tidak dimaksudkan untuk
menyatakan bahwa saat ini hal tersebut masih dapat dibenarkan. Mengingat
pendapat yang meletakkan non-muslim sebagai warga negara kelas dua itu
dibenarkan oleh konteks historis yang ada di masa lalu, maka selesailah sudah
pembenaran itu sekarang, sebab konteks sejarah yang ada sekarang ini sudah
berbeda sama sekali dengan konteks sejarah yang ada di masa lalu.
Setelah
dikenal konsepsi hak-hak asasi universal, kata al-Na'im, diskriminasi atas
dasar agama itu melanggar penegakan HAM. Kaum absolutis yang hidup di masa
kontemporer, semisal al-Maududi, Javid Iqbal, dan Hasan Turabi, yang masih saja
memandang non-muslim sebagai warga negara kelas dua disebabkan karena mereka
memandang aturan syariat yang membatasi hak-hak politik non-muslim bersifat
permanen. Padahal, sesungguhnya hal tersebut bersifat temporer. Bila saat ini
pendapat yang yang memandang non-muslim sebagai warga negara kelas dua masih
tetap dipertahankan, maka tentu akan menimbulkan sesuatu yang kontraproduktif,
karena di samping dapat merusak citra umat dan agama Islam, juga dapat menyulut
timbulnya konflik dan perang, baik pada skala lokal maupun internasional.
Pada
skala lokal, seperti yang terjadi di Sudan, diskriminasi berdasarkan agama ini
telah menyebabkan terjadinya perang saudara selama 17 tahun. Dalam skala
internasional, kata al-Na'im, sangat mungkin pula negara-negara mayoritas non-muslim,
semisal Amerika Serikat, akan bersimpati dan mendukung korban-korban
diskriminasi agama yang tertekan di negara-negara mayoritas Muslim, sehingga
akan memancing timbulnya konflik atau bahkan perang internasional. Dalam rangka
menghindari dampak negatif sebagaimana disebutkan di atas, kata al-Na'im, umat
Islam harus diyakinkan mengenai perlunya meninggalkan elemen-elemen syariat
Islam yang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi zaman modern.
Pandangan
fikih klasik yang mendiskriminasi non-muslim, kata al-Na'im, sekalipun
dijabarkan dari sumber-sumber wahyu fundamental Islam, Alquran dan Sunah,
sesungguhnya bukanlah wahyu, tetapi tak lebih dari sekedar produk penafsiran
manusia atas sumber-sumber tersebut. Produk penafsiran tersebut, tak dapat
dibantah, lahir dalam sebuah konteks historis tertentu yang secara mendasar
berbeda dengan zaman sekarang. Saat ini, diskriminasi berdasarkan agama
sebagaimana lazim berlaku di masa klasik, secara moral tertolak dan secara
politik sudah tidak dapat diterima lagi.
Di masa
kontemporer sekarang ini, kata al-Na'im, ayat-ayat Madaniyyah yang
mendiskriminasikan non-muslim sudah tidak relevan digunakan lagi. Sebagai
gantinya, yang perlu ditonjolkan adalah ayat-ayat Makiyyah yang mengajarkan
persamaan universal seluruh umat manusia, tanpa memandang agama yang
dipeluknya. Ayat-ayat yang dimaksud antara lain adalah ayat 13 surat
al-Hujurat:
ياايها الناس ان خلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا
وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم)
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa
di antara kamu . . . (QS. al-Hujurat/49:13).
Dari urain di atas dapat ditarik
kesimpulan, di masa klasik, kaum non-muslim yang disebut sebagi kaum zimi itu
adalah non-muslim yang ditaklukkan sebagai akibat ekspansi Islam. Pada masa
sekarang, non-muslim yang tinggal di
negara-negara Muslim merupakan saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang sama-sama
punya peran yang signifikan dalam membangun dan memajukan negara tempat
domisilinya masing-masing. Oleh Karena itu, demi menghindari kesan
diskriminatif non-muslim tersebut tidak perlu lagi menyebut mereka sebagai zimi
yang menyimpan konotasi sebagai warga negara kelas dua. Saat ini, menurut Fahmi
Huwaydi, akan lebih baik bila non-muslim
yang menjadi warga negara Muslim disebut dengan istilah al-muwathinun (warga
negara). Langkah maju dalam memosisikan non-muslim
ini dimulai Huwaydi dengan sebuah manifestonya yang berbunyi ”muwâthinun la dzimmiyyûn” ( non-muslim itu warga negara dan bukan kelas
kedua). [xxx]
[i]Norman P. Barry, An
Introduction to ModernPolitical Theory, (New York: St. Martin’s Press, 1981), h. 157
[ii]Abd al-Wahab al-Syisyani, Huquq al-Insan wahurriyyatuh al-Asasiyyah fi
al-Nizham al-Islami wa al-Nuzhum al-Mu’ashirah, (t.t: Muthabi’ al-Jam’iyyah
al-‘Ilmiyyah al-Mulkiyyah, 1400H/1980 M ), h. v
[iii]S. Wojowasito dan W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia -Indonesia
Inggris, (Bandung: Hasta, 1982), h. 55
[iv]Masykuri Abdillah, Demokrasi
di Persimpangan Makna Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi
(1966-1993), (Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 1999), h. 139
[v]Mohamamd Hashim Kamali, The Dignity of Man : An Islamic Perspective, (t.t.
: Ilmiah Publishers, 2002), h. 40
[vi] Abdullahi Ahmed al-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional
dalam Islam., alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, dari Toward an Islamic Reformation: Civil
Liberties, Human Right, and International Law, ( Yogyakarta :
LKIS, 2004), h. 177
[vii]Syamsuddin al-Sarakhsi, al-Mabsuth,
( Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1994), jilid ke-9, h. 74
[viii]
Abdullahi Ahmed al-Na’im, Dekontruksi Syariah.., h. 221
[ix]
Sepenuhnya dikutip dari Ayang Utriza, “Kebebasan Beragama dalam Islam dan
Praktiknya di Negara-Negara Muslim,” Jurnal
Mimbar Agama dan Budaya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 22, No. 4,
2005.
[x]Ann Elizabeth Mayer, Islam and
Human Right, (Oxford :
Westview Press, 2007), h. 167
[xi]Ayang
Utriza, Kebebasan Beragama…, ibid,
lihat juga Masykuri Abdillah, op. cit., h. 142
[xii]Abd al-Qadir Awdah, al-Tasyri’ al-J al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan
bi al-Qanun al-Wadhiiy, ( Beirut : Dar al-Katib al-Arabiy, t.th), jilid 2,
h. 720-721
[xiii] Abd al-Qadir Awdah, , al-Tasyri’ al-J al-Jina’i, h. 720-721,
bandingkan dengan Imam al-Qadhi abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad
Ibn ahmad Ibn Rusd al_Qurthubi
al-Andalusi ( yang popular dengan nama Ibn Rusyd), Bidayah
al-Mujtahid fi Nihayah al-Muqtashid, ( Indonesia : Dar Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah, t.th), jilid 2, h. 234
[xiv]Subhi
Mahmassani, Arkan Huquq al-Insan, ( Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,
1979), h. 123-124
[xv]
Ayang Utriza, Kebebasan Beragama…, ibid.
[xvi]
Muhammad Salim al-‘Awwa, Fi Ushul
al-Nizham al-Jina’I al-Islamiy, (al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1979), h.146-150, sebagaimana
dikutip dari Ayang Utriza, Kebebasan Beragaman…, ibid.
[xvii]Mahmud
Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa al-Syari’ah, (Mishr: Dar al-Qalam, t. th),
h. 293, sebagaimana dikutip dari Ayang Utriza, Kebebasan Beragaman…, ibid.
[xviii]Siti
Musdah Mulia, “Menafsir Ulang
Pernikahan Lintas Agama”, dalam Maria Ulfah Anshar dan Martin Lukito
Sinaga (Ed.), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan
Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 117
[xix]Al-Bukhari, al-Jami’
al-Shahih, (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987), jilid 7, h. 2024
[xx]Siti Musdah Mulia, op. cit., h.
126-128
[xxi]Nurcholish Madjid, et.
al., Fiqh Lintas Agama Membangun
Masyarakat Inklusif Pluralis, (Jakarta :
Paramadina, 2004), h. 164
[xxii]Yusuf Qardhawy, Minoritas Non-muslim di dalam Masyarakat
Islam, (Bandung: Mizan, 1991), cet. Ke-2, h. 16-19
[xxiii]Abdullah
Nasih Ulwan, Sikap Islam Terhadap Non-muslim, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 1993), cet. Ke-2,
h. 32
[xxiv]Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa Ihsan
Ali Fauzi dari The Political Language
of Islam, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 94
[xxv]“Wazir” diduga berasal dari dua
bahasa, yakni : (1) bahasa Persia
kuno: “vicir” (keputusan resmi), “gezirpat” (penanggung jawab administrasi air)
yang dilafalkan gizir atau gazir, (2) bahasa Arab: “wizr” atau “wazar” (beban
dan tanggung jawab). Al-Mawardi meyakini “wazir” sebagai istilah Arab, yakni
berasal dari kata “wizr” (beban), “wazar” (tempat perlindungan), dan “azr”
(punggung). Al-Mawardi membagi “wazir” menjadi dua macam. Pertama, wazir
tafwidh, yakni pembantu utama kepala negara (khalifah), yang karena
mendapatkan “a delegated authority” , ia tidak hanya melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang digariskan khalifah. Tapi turut pula menggariskan atau
merumuskannya bersama khalifah. Wazir tafwidh merupakan figur sentral
dalam jajaran birokrasi negara yang membawahi semua departemen dan berkuasa penuh
untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat negara, kecuali
pejabat-pejabat negara yang diangkat langsung oleh khalifah. Kedua, wazir
tanfidz, yakni pembantu khalifah yang kekuasaannya jauh lebih kecil
dibanding yang dimiliki wazir tafwidh. Ia hanya berfungsi sebagai
pelaksana segala ketetapan yang datang dari khalifah. Lihat Franz Babinger,
“wazir” dalam The Encyclopaedia of Islam, editor M. Th. Houtsma, et.
al., (London: E.J. Brill, 1987), jilid 8, h. 1135. Lihat pula Al-Mawardi, Al-Ahkam
al- Sulthaniyyah, (Bonn : Adolphus Marcus, 1953), h. 38
[xxvi]Lihat Alfred Von Kremer, The
Orient Under The Caliphs, (Calcuta : University of Calcuta, 1920), h. 197
[xxvii]M. Nafis, “Lembaga Kewaziran
dalam Pandangan al-Mawardi” dalam Islam Berbagai Perspektif, editor
Sudarnoto Abdul Hakim, et. al., (Yogyakarta : LPMI, 1995), h. 147
[xxviii]Carolyne Fluehr Lobban,
"Melawan Ekstrimisme Islam : Kasus Muhammad Sa'id al-Ashmawi", Kata
Pengantar dalam Muhammad Sa'id al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, terj.
Hery Haryanto Azumi dari Againts Islamic Extremism, (Depok : Desantara,
2002), cet. ke-1, h. 14
[xxix]Mahmoud Mohammad Thaha, The
Second Message of Islam, terj. Abdullah Ahmad al-Na'im dari al-Risalah
al-Tsaniyyah min al-Islam, (tt. : Syracuse University Press, 1987), h.
40-41, bandingkan dengan Muhyar Fanani, "Abdullah Ahmad Na'im : Paradigma
Baru Hukum Publik", dalam A. Khudhori Soleh (ed.), Pemikiran Islam
Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003),
h. 9
sepilis liberal
BalasHapussepilis liberal
BalasHapus