Selasa, 31 Maret 2015

HUBUNGAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN ISU-ISU KONTEMPORER HAM

 Pengantar:
1.      Dalam Islam kebebasan berekspresi itu dijamin selama tidak berimplikasi pada timbulnya penodaan terhadap agama, memfitnah, menghasut, dan mendorong seseorang untuk berbuat kejahatan;
2.      Pengakuan terhadap hak kebebasan memeluk agama mestinya diiringi pula dengan pengakuan terhadap hak untuk pindah agama (murtad).
3.      Seiring dengan adanya hak kebebasan beragama maka tidak relevan penjatuhan hukuman mati bagi seseorang yang pindah agama.
4.      Untuk meretas diskriminasi terhadap wanita dan non-muslim dalam penerapan  hudud perlu diformulasikan sebuah ijtihad baru yang lebih toleran, manusiawi, dan egaliter;
5.      Pengertian non-muslim hendaknya diperluas meliputi semua non-muslim, baik yang punya maupun yang tidak punya kitab suci.
6.      Peluang pernikahan beda gama sebaiknya juga dibuka untuk wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim;
7.      Posisi non-muslim yang berdomisili di negara muslim sedapat mungkin perlu disetarakan dengan kaum muslim, sebab mereka yang hidup di dunia muslim pada saat ini sudah bukan lagi warga negara taklukkan, tetapi merupakan saudara-saudara sebangsa dan setanah air dengan umat Muslim yang sama-sama punya jasa dalam membangun dan memajukan negaranya masing-masing;
8.      Untuk menghapus kesan diskriminatif terhadap kaum non-muslim sebaiknya istilah kaum zimi yang berkonotasi sebagi warga negara kelas dua diganti dengan istilah al-muwathinun (warga negara), yang berarti warga negara yang hak dan kewajibannya setara dengan kaum Muslim.


A. Pendahuluan
Pada masa kontemporer sekarang ini  pada umumnya setiap orang sudah begitu sadar HAM. Sehubungan dengan hal itu, saat ini ada beberapa  komponen ajaran Islam yang perlu ditafsir ulang atau dipahami sesuai dengan  konteks dinamika dan perkembangan zaman Beberapa komponen dimaksud meliputi hal-hal sbagai berikut: kebebasan berekspresi (freedom of expression), penodaan terhadap agama (blasphemy), penerapan hukuman-hukuman  fisik berat (semisal hukuman mati, amputasi, dan cambuk), kebebasan beragama, riddah (pindah agama), nikah beda agama, dan status serta posisi non-muslim dalam hukum Islam.  

B. Kebebasan Berekspresi dan Penodaan Agama
Menurut Werner Becker, kebebasan berarti seseorang dalam batas-batas tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang diinginkannya. Sedangkan menurut Norman P. Barry kebebasan berarti tidak adanya suatu pemaksaan atau rintangan.[i] Dalam kepustakaan Islam kebebasan itu disebut dengan istilah al-hurriyyah, yang berarti  kemampuan khusus yang dimiliki  setiap orang dalam kapasitasnya  sebagai makhluk yang punya eksistensi dan akal pikiran untuk  melakukan  berbagai perbuatan  sesuai dengan kehendaknya sendiri tanpa ada intervensi pihak lain.[ii] Sedangkan ekspresi berarti ungkapan pikiran seseorang.[iii] Dari penjelasan di atas kebebasan berekspresi dapat didefinisikan sebagai kebebasan yang dimiliki seseorang untuk menyatakan buah pikirannya  sesuai dengan kehendaknya sendiri, tanpa adanya paksaan, rintangan, atau intervensi pihak lain.
Dalam Islam hak  seseorang  untuk  berekspresi dijamin sepenuhnya. Namun perlu dicatat,  kebebasan seseorang itu tidak bersifat mutlak, karena kemutlakan itu hanya milik Allah. Karena itu, kebebasan berbicara, misalnya, tidak boleh menggangu kepentingan umum dan kebebasan untuk memperoleh kekayaan tidak boleh membahayakan kepentingan umum. Dengan kata lain, meskipun Islam memberi jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan hak kebebasannya, namun bukan berarti ia dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya, karena kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kewajibannya. Hak merupakan milik primordial seseorang, sedangkan kewajiban adalah pembatasan hak individu oleh hak orang lain. Hal ini relevan dengan sebuah adagium yang berbunyi: “hurriyat al-mar’i mahdudah bi al-hurriyat siwah” (kebebasan individu dibatasi oleh  kebebasan orang lain).[iv]
Bila pendapat tersebut diterima, maka dalam soal kebebasan berekspresi pun seseorang tidak dapat berekspresi sekehendak hatinya saja, tanpa menimbang ada atau tidaknya pihak-pihak tertentu yang keberatan atau tersinggung dengan hasil ekspresi yang diciptakannya. Pendapat seperti ini, antara lain, dianut  oleh Mohammad Hashim Kamali.  Menurut Kamali, Islam menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk mengungkapkan  ekspresinya selama tidak berimplikasi pada timbulnya penodaan terhadap agama,  tidak menghina dan  memfitnah, atau memotivasi seseorang untuk berbuat dosa.[v]
Bila pendapat Kamali tersebut diterima, maka produk kebebasan berekspresi yang dilahirkan beberapa seniman di negara Denmark dalam bentuk karikatur Nabi Muhammad yang sosoknya digambarkan sebagai gembong teroris yang menyimpan bom di sorbannya  yang siap diledakkan dalam sebuah aksi terorisme tidak dapat ditolerir dengan dalih kebebasan berekspresi, sebab personifikasi Nabi Muhammad dalam ekspresi seni semacam itu merupakan sesuatu yang bersifat menodai kesucian agama Islam, di samping juga menyimpan fitnah dan penghinaan yang keji dan tidak bermoral atas Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Oleh karena itu, demonstrasi yang digelar umat Islam di berbagai penjuru dunia sebagai protes keras terhadap penodaan yang dilakukaan beberapa  seniman  Denmark dapat dibenarkan. Ini bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengingatkan  atau menyadarkan negara-negara dan atau pihak-pihak tertentu bahwa kebebasan berekspresi yang mereka miliki dibatasi oleh hak kebeasan orang lain untuk mempertahankan harga diri dan kesucian agama yang dipeluknya dari berbagai fitnah, dan penghinaan.
               
C. Problematika  Norma Hudûd dan Artikel 7 DUHAM
Hudûd  merupakan bentuk jamak dari kata bahasa Arab hadd, yang berarti pelanggaran-pelanggaran atau tindak pidana tertentu yang jenis dan kadar hukumannya telah ditetapkan secara tegas baik dalam Alquran maupun Sunah, yang meliputi enam macam tindak pidana, yaitu (1) sariqah (pencurian) yang diancam dengan hukuman potong tangan., (2) hirabah (pemberontakkan atau perampokan besar di jalan) yang diancam dengan hukuman mati, penyaliban, dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, dan atau dideportasi,  (3) zina, perzinaan yang diancam dengan hukuman rajam hingga mati bila pelakunya pernah menikah (muhshan) dan dicambuk seratus kali dan dideportasi bila pelakunya belum pernah menikah (ghair muhshan), (4) qadzaf (menuduh berzina) tanpa mampu menghadirkan empat orang saksi yang diancam hukuman delapan puluh  kali cambuk, (5) sukr (mabuk) yang diancam dengan hukuman empat puluh kali cambuk, dan (6) riddah ( keluar dari Islam) yang diancam dengan hukuman mati.  Sebagian kepustakaan fikih menyebutkan hudûd ketujuh, yakni al-baghyu, yang berarti pemberontakan bersenjata menentang Negara Islam yang hukumannya disamakan dengan pelaku tindak pidana perampokan yang telah disebutkan di atas.[vi]
Dalam soal yang bertalian dengan penerapan hudud ini ada beberapa hal yang menyimpan diskriminasi terhadap wanita dan kaum non-muslim. Sebagai contoh, antara lain, dapat ditunjuk masalah hadd qadzaf. Menurut  pandangan para fukaha, hadd qadzaf baru dapat diterapkan bila korbannya seorang muslim. Menuduh zina non-muslim tanpa bukti mungkin dihukum berdasarkan takzir, bukan berdasarkan hukuman hadd. Alasan munculnya diskriminasi ini adalah karena non-muslim dipandang kualitas keluhuran moralnya (ihsan) minim. Alasan yang disebut terakhir ini merupakan penghinaan serius terhadap martabat non-muslim, sehingga mereka diklaim rendah kualitas moralnya hanya karena mereka non-muslim. Contoh lain, dalam soal pembuktian kejahatan hudud juga terjadi diskriminasi terhadap wanita dan non-muslim. Imam Syafi’i, misalnya, menolak kesaksian non-muslim untuk selama-lamaya, baik terhadap Muslim maupun sesama non-muslim, sebab menurutnya, persyaratan untuk bersaksi adalah beragama Islam. Oleh karena itu, dengan sendirinya kesaksian non-muslim tertolak, kecuali setelah masuk Islam.[vii] Sedangkan dalam soal kesaksian tindak pidana perzinaan juga terjadi diskriminasi terhadap kaum wanita di mana kesaksian seorang wanita dianggap setengah kesaksian kaum pria. Oleh karena itu, bila tidak ada empat orang pria yang bisa diajukan sebagi saksi, maka dapat diganti dengan kesaksian delapan orang wanita.
Dilihat dari kacamata HAM contoh-contoh yang disebutkan di atas nampak bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang tidak membenarkan adanya diskriminasi di hadapan hukum. Di dalam pasal 7 DUHAM disebutkan:

Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hokum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi.

Satu-satunya cara untuk menghilangkan diskriminasi dalam soal penerapan hudud sebagaimana disinggung di atas, menurut Abdullahi Ahmed al-Na’im, pandangan fikih klasik yang beraura diskrimasi itu mesti segera direvisi dan diganti dengan ijtihad baru yang lebih egaliter dan antidiskriminasi[viii].  
                         
D. Kebebasan Beragama, Pindah Agama, dan Nikah Beda Agama
 1. Kebebasan Beragama
Masalah  kebebasan beragama  adalah agenda besar umat Islam  di negara mana pun di dunia sekarang ini. Ada kesulitan besar yang dihadapi negara-negara Islam  untuk mewujudkan kebebasan beragama. Hal ini terlihat  dari pengalaman ketika  akhir tahun 1940-an Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersidang membahas pasal 18 Deklarasi HAM tentang kebebasan beragama, justru negara-negara Islam menyampaikan nota keberatan. Pasal 18 Deklarasi HAM dimaksud selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berpendapat, dan beragama; hak ini mengandung  kebebasan  mengganti agama, atau keyakinan begitu juga kebebasan  menjalankan agama atau keyakinannya, dengan cara mengajarkannya, mempraktikannya dalam bentuk pemujaan dan ibadah, baik seorang diri maupun bersama orang lain,  baik di tempat umum maupun di rumahnya sendiri.”
           
Potongan kalimat “kebebasan mengganti agama atau keyakinan (freedom to  change his religion or belief) yang tercantum dalam pasal 18 Deklarasi HAM  tersebut memicu emosi dan memancing reaksi yang sangat keras dari negara-negara Islam. Para wakil  negara-negara Islam semisal  Mesir, Irak, Iran, Saudi  Arabia, dan Suriah  yang hadir dalam sidang tersebut sama-sama menyampaikan protes keras dan menuntut agar anak kalimat tersebut segera diamandemen. Argumentasinya karena Islam, menurut mereka, tidak membenarkan umatnya pindah agama (murtad). Bila sampai terjadi seorang Muslim berganti agama, maka ia terancam hukuman mati. Setelah terjadi pedebatan yang sangat alot dan panjang, akhirnya pada tahun 1966, negara-negara non-muslim yang diwakili Brazil dan Filipina, menyetujui amandemen anak kalimat tersebut. Ungkapan “Kebebasan mengganti agama atau keyakinan” diubah menjadi “Kebebasan memiliki atau mengikuti suatu agama atau keyakinan sesuai pilihannya[ix]”.
Berbeda dengan pendapat para wakil negara-negara Islam dalam sidang PBB sebagaimana disinggung di atas, beberapa intelektual Muslim di masa kontemporer sekarang ini berpendapat bahwa Islam sesungguhnya memberi kebebasan kepada seseorang untuk  memilih agama. Jaminan atas hak kebebasan memilih agama ini, antara lain,  dapat dirujuk dalam ayat 256 surat al-Baqarah:

لا اكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغى

“Tidak ada paksaan untuk  (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. (QS. al-Baqarah/2: 256).

Dari ayat tersebut dapat dipahami, Islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada umat manusia untuk memilih agama apa pun yang dikehendakinya. Terjadinya pluralitas agama yang dipeluk umat manusia di bumi ini merupakan sebuah sunnatullah  yang  sengaja dibiarkan terjadi oleh Allah. Sekiranya Allah menghendaki  agar seluruh umat manusia memeluk agama Islam, pasti Allah mampu melakukannya.  Hal  ini secara tegas dinyatakan dalam ayat 99 surat Yunus yang berbunyi sebagai berikut:

ولو شاء ربك لأ من من فى الا رض كلهم جميعا  افأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين

 “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang  di muka bumi seluruhnya.  Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.(QS. Yunus/10: 99)

 Ayat  di atas secara tegas menyatakan upaya menyeragamkan agama semua orang merupakan tindakan pemaksaan. Melalui ayat di atas Allah hendak mengajarkan Nabi dan para pengikutnya agar tidak perlu memaksa semua orang untuk memeluk Islam, sebab tugas utama Nabi dan umat Islam hanyalah menyampaikan pesan-pesan Allah, dan bukan memaksa  seseorang untuk memeluk Islam. Hal ini relevan dengan firman Allah dalam  21 dan 22 surat  al-Ghasyiah:

فذكر انما انت مذ كر لست عليهم بمسيطر

 “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”. ( QS. al-Ghasyiah/88: 21-22).

Soal agama apa yang akan dianut seseorang, Allah menyerahkan sepenuhnya kepada pilihan bebas orang yang bersangkutan, tanpa ada seorang pun yang berhak mendiktenya.  Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam ayat  29 surat al-Kahfi:

وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر

 “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS.al-Kahfi/18:29).

2. Kebebasan Pindah Agama (Riddah)
Bila prinsip kebebasan seseorang untuk  memilih agama dapat diterima, maka mestinya dapat diterima juga hak kebebasan seseorang untuk pindah atau keluar dari agama Islam yang semula dipelukya yang dalam literatur Islam lazim disebut dengan istilah murtad. Lebih dari itu, sejalan dengan prinsip kebebasan beragama, mestinya seseorang juga dijamin haknya untuk tidak memeluk suatu agama tertentu. Penting dicatat, mengenai hak  kebebasan untuk mengganti agama, di kalangan ulama terdapat dua pendapat sebagai berikut. Pertama, dalam pandangan fikih klasik, pindah agama (murtad) itu dianggap sebuah tindakan kriminal dan pelakunya dapat diancam hukuman mati.[x] Sebab bagi penganut mazhab klasik, menurut Abu-Sahlieh, kebebasan beragama dalam Islam hanya punya  satu makna unik: Islam betul-betul memberi kebebasan kepada semua orang untuk memeluk Islam atau agama lain, tetapi bila ia telah memilih Islam,  dia dilarang keluar alias harus tetap menjadi Muslim selama-lamanya sebagai bukti bahwa dia tidak mempermainkan Tuhan.[xi] Pandangan fikih klasik ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi saw. yang berbunyi sebagai berikut:

 من بد ل دينه فاقتلوه
 “Barangsiapa  yang berpindah agama, maka bunuhlah dia”. (H.R. Bukhari, Abu Daud, al-Turmudzi, dan al-Nasa’i).[xii]

Menurut mayoritas ulama, hukuman mati dalam pandangan fikih klasik berlaku umum untuk semua pelaku murtad, baik pria maupun wanita, baik orang yang masih muda maupun orang yang sudah tua renta. Sementara  menurut Abu Hanifah, bila pelaku murtadnya seorang wanita, maka sanksinya bukan hukuman mati, tapi cukup dipaksa untuk kembali ke pangkuan Islam. Bila menolak, wanita yang murtad itu mesti dipenjarakan. Selama menjalani hukuman,  setiap hari ia harus diberi kesempatan untuk  keluar penjara dan diminta bertaubat dan kembali memeluk Islam. Bila bersedia, ia dapat segera dibebaskan, tetapi bila terus menolak, ia  akan tetap mendekam seumur hidup dalam penjara  hingga tiba ajalnya. [xiii]
Kedua, menurut  intelektual Muslim kontemporer sekarang ini, semisal Subhi Mahmassani, intelektual Muslim asal Libanon, murtad itu bukanlah sebuah tindakan kriminal. Oleh karena itu, pelakunya tidak bisa dikenakan hukuman mati. Menurut Mahmassani,  Nabi sendiri tidak pernah menghukum mati seseorang lantaran murtad dari Islam.[xiv] Apa yang dilakukan Nabi untuk tidak menghukum orang-orang murtad di zamannya diikuti para sahabat dan tabiin yang semuanya sangat mengerti hukum Islam. Kalaupun dalam salah satu episode sejarah Islam tercatat ada orang-orang murtad yang dihukum mati, semisal di masa Abu Bakar Shiddik, sesungguhnya bukan  semata-mata karena mereka murtad dari Islam, tetapi karena setelah murtad dari Islam mereka bersekutu dengan musuh-musuh Islam untuk melakukan aksi-aksi politik yang membahayakan stabilitas negara dan  mengganggu ketenangan publik[xv].  Dalam perspektif yang jujur, yang diperangi Abu Bakar sesungguhnya bukanlah orang-orang murtad, tapi para pembangkang pembayaran zakat yang masih tetap menjalankan shalat, puasa, haji, dan lain-lain kewajiban agama yang diajarkan Islam. Untuk mendiskreditkan Islam, para sejarawan yang alergi terhadap Islam, menuduh mereka sebagai kaum murtad. Hal ini nampaknya disengaja agar mereka dapat menjustifikasi pendapat mereka bahwa yang diperangi Abu Bakar adalah benar-benar kaum murtad. Tujuan di balik tuduhan ini agaknya mereka  ingin membangun opini publik bahwa Islam tidak menghargai hak kebebasan seseorang untuk memilih agama.
Untuk konteks sekarang ini agaknya lebih relevan bila dilakukan reinterpretasi terhadap  hadis Nabi yang menyinggung soal penjatuhan sanksi hukuman mati bagi orang murtad. Salah satu alasan untuk menafsir kembali  hadis tersebut di atas adalah karena konteks sejarah yang dihadapi Nabi di saat menyabdakan hadis tersebut sudah sangat berbeda dengan konteks sejarah kita di masa kontemporer sekarang ini.  Di masa Nabi  hubungan antara berbagai kelompok dibangun berdasarkan prinsip konflik dan perang. Kala itu bila sesorang keluar dari sebuah kelompok, maka ia akan berkolaborasi dengan kelompok lain yang pada umumnya menjadi informan tentang rahasia   kelompok pertama sehingga ia dipandang musuh oleh kelompok pertama yang ditinggalkannya itu karena  telah dipandang melakukan tindakan subversif. Di masa kontemporer sekarang ini hubungan antar kelompok dibangun berdasarkan prinsip perdamaian, sehingga tidak lagi ada alasan yang kuat untuk menjatuhkan hukuman mati  terhadap orang  yang murtad.
Dilihat dari statusnya hadis Nabi yang berbicara soal penjatuhan hukuman mati bagi orang yang    murtad itu, menurut Salim al-Awwa, merupakan hadis ahad, yakni hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat, yakni Ibnu Abbas.[xvi] Menurut Mahmud Syaltut, mantan Syeikh al-Azhar, mayoritas Fukaha berpendapat hadis ahad itu tidak dapat  dijadikan landasan hukum. Bila pendapat yang disebut terakhir ini diterima, maka  hadis riwayat Ibnu abbas tersebut tidak dapat dijadikan dasar argumentasi untuk menghalalkan darah seseorang yang murtad.[xvii]  
Bila merujuk Alquran tidak ada satu pun ayat di dalamnya yang memerintahkan penjatuhan hukuman mati bagi orang yang murtad. Menurut Alquran hukuman bagi orang yang murtad bukanlah hukuman mati di dunia ini, tetapi siksa neraka di  akhirat nanti. Hal ini relevan dengan firman Allah dalam 217 surat al-Baqarah:

ومن يرتد د منكم عن د ينه فيمت وهو كا فر فاولئك حبطت اعمالهم فى الد نيا والا خرة واولئك اصحاب النار هم فيها خالد ون
 “Barangsiapa  murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.al-Baqarah/2: 217).   

3. Kebebasan Nikah Beda Agama
Yang dimaksud dengan nikah beda agama  adalah pernikahan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim) dan orang yang bukan Islam (non-muslim).[xviii] Dalam soal nikah beda agama ini di kalangan ulama terdapat tiga pendapat. Pertama, melarang secara mutlak  perkawinan antara muslim dan non-muslim, baik bagi perempuan muslimah maupun laki-laki muslim, baik dengan non-muslim yang masuk kategori musyrik maupun ahlul kitab. Kedua, Membolehkan secara bersyarat, yakni nikah beda agama dibenarkan bagi pria muslim dengan syarat calon mempelai wanitanya harus dari kalangan ahlul kitab, dan bukan sebaliknya. Ketiga, membolehkan pernikahan antara muslim dan non-muslim, dan kebolehannya berlaku umum baik bagi laki-laki maupun perempuan Muslim.
Pendapat pertama, yakni pendapat yang  melarang secara mutlak  perkawinan antara Muslim dan non-muslim, antara lain, didasarkan pada  dua ayat al-Quran sebagai berikut:
Pertama, firman dalam ayat 221 surat al-Baqarah yang berbunyi sebagai berikut:

ولا تنكحوا المشركا ت حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة  ولو اعجبتكم ولا تنكحواالمشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو اعجبكم اولئك يدعون ا لى النار والله يدعو ا لى الجنة والمغفرة با ذ نه ويبين اياته للناس  لعلهم يتذ كرون

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.  Sesungguhnya budak yang  mukmin lebih baik  dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.  Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS.al-Baqarah/2:221)

 Kedua, Firman Allah dalam ayat 10 surat al-Mumtahanah yang berbunyi sebagai berikut:

لا هن حل  لهم ولا هم يحلون لهن       

“Mereka (wanita-wanita Muslim) itu tidak halal  bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada  halal pula bagi mereka.” (QS.al-Mumtahanah/60:10)

Penganut pendapat pertama tidak membedakan antara kaum musyrik dan ahlul kitab, karena dalam realitasnya kedua kelompok itu sama saja, yakni sama-sama telah mengalami penyimpangan akidah, sehingga keduanya dapat dimasukkan dalam kategori musyrik atau sama-sama mempertuhankan selain Allah. Kaum Yahudi mempertuhankan Uzair sementara kaum Nasrani mempertuhankan Isa Ibn Maryam. Soal penilaian ahlul kitab sebagai kaum musyrik ini ada suatu riwayat yang menyatakan  ketika ditanya soal hukum menikahi wanita ahlul kitab, Ibn Umar, salah seorang sahabat Nabi berkomentar,  Allah telah mengharamkan pria Muslim menikah dengan wanita ahlul kitab. Saya tidak  mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang yang menyatakan Tuhannya adalah Isa, padahal ia salah seorang dari hamba Allah.[xix]
Berdasarkan kedua ayat di atas, penganut pendapat pertama menyatakan,  pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik dan pernikahan wanita muslimah  dengan  pria musyrik, dalam pandangan Islam, hukumnya haram sepanjang zaman. Bila pernikahan tersebut tetap dilakukan, maka  dipandang tidak sah dan atau dianggap tidak pernah terjadi, sehingga tidak menimbulkan akibat-akibat hukum perkawinan, semisal kehalalan hubungan seksual, keharusan saling mendapat warisan,  dan sebagainya.  
Kelompok pertama sesungguhnya mengakui dalam Alquran, tepatnya dalam ayat 5 surat al-Maidah ada kebolehan bagi pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab. Akan tetapi kebolehan tersebut telah dinasakh dengan ayat 221 surat al-Baqarah tersebut di atas.
Pendapat kedua, yakni  pendapat yang membolehkan nikah beda agama  bagi pria Muslim dengan syarat calon mempelai wanitanya harus dari kalangan ahlul kitab, didasarkan pada ayat 5 surat al-Maidah:

والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذ ين اوتوا الكتاب من قبلكم
“(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu”. (QS.al-Maidah/5: 5).

Menurut pendukung pendapat kedua, ayat di atas secara tegas berbicara soal kebolehan pria Muslim menikah dengan wanita ahlul kitab. Sementara untuk sebaliknya, yakni  pernikahan wanita Muslim dengan pria ahlul kitab tidak dinyatakan secara eksplisit. Ini mengindikasikan pernikahan wanita Muslim dengan pria  ahlul kitab tidak diperbolehkan.  Sekiranya dibolehkan, tentu hal itu juga akan disebut secara tegas dalam ayat 5 surat al-Maidah itu. Hal ini relevan dengan kaidah hukum Islam: “adam al-bayan fi maqam al-bayan bayan” (tiadanya penjelasan pada konteks yang membutuhkan suatu penjelasan merupakan sebuah penjelasan).  
Penting dicatat, sekalipun membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita ahlul kitab, penganut pendapat kedua masih berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan ahlul kitab. Sebagian di antara mereka memahami ahlul kitab terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani yang hidup di masa Nabi saja. Sebagiannya lagi berpendapat  ahlul kitab meliputi semua penganut Yahudi dan Nasrani hingga masa kini.  Kedua pendapat tersebut masing-masing memiliki implikasi hukum yang berbeda. Bila pendapat pertama yang diterima maka di masa kini haram hukumnya pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab, sebab ahlul kitab yang dimaksud adalah ahlul kitab yang hidup di masa Nabi yang kini sudah tidak ada lagi, bukan di masa kita sekarang ini. Sebaliknya bila pendapat kedua yang dianut, maka pria muslim di masa kini masih tetap boleh menikah dengan wanita  ahlul kitab, sebab yang dimaksud ahlul kitab mencakup juga ahlul kitab  yang masih hidup di masa kini, tidak terbatas pada ahlul kitab yang hidup di zaman Nabi saja.
Pendapat ketiga,  yakni pendapat yang membolehkan pernikahan antara Muslim dan non-muslim secara umum, baik bagi pria  maupun wanita  Muslim, sesungguhnya juga didasarkan kepada ketiga ayat  yang digunakan oleh kedua kelompok sebelumnya, yakni  ayat 221 surat al-Baqarah, ayat 10 surat al-Mumtahanah, dan ayat 5 surat al-Maidah. Perbedaannya hanya terletak  dalam cara memahami ketiga ayat tersebut. Ayat 221 al-Baqarah, menurut pendapat kelompok ketiga, hanya berbicara soal larangan menikahi wanita musyrik yang hidup di masa Nabi yang kini sudah tidak ada lagi. Sementara ayat 5 al-Maidah bercerita tentang kebolehan  bagi pria Muslim menikah dengan wanita ahlul kitab yang juga bisa dipahami sebaliknya yakni seorang pria ahlul kitab boleh menikah dengan wanita Muslim. Sedangkan  ayat 10 surat al-Mumtahanah hanya berbicara soal larangan melanggengkan perkawinan dengan kaum musyrik,  bukan larangan bagi pria atau wanita Muslim menikah dengan ahlul kitab.
Penting dicatat, pandangan yang tidak membolehkan pernikahan beda agama di samping didasarkan pada ayat-ayat Alquran, pada umumnya  juga karena didasarkan pada alasan sosiologis, psikologis, dan politik. Secara sosilogis pasangan yang melangsungkan pernikahan punya  keinginan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan harmonis di masyarakat.  Keluarga demikian biasanya  dibangun dari  adanya sejumlah persamaan dan kesamaan antara suami-istri, utamanya kesamaan dalam hal agama. Logikanya, semakin banyak perbedaan di antara kedua pasangan, terutama perbedaan agama, semakin rapuh ikatan pernikahan mereka. Artinya, perbedaan agama diduga kuat akan mempengaruhi keutuhan dan kebahagiaan dan keharmonisan hubungan  lintas anggota keluarga..
Secara psikologis pernikahan lintas agama itu dilarang karena umat Islam seringkali dihinggapi rasa tidak percaya diri dan rasa takut yang berlebihan atau tidak beralasan. Kekhawatiran terjadinya pindah agama bila pihak muslim menikah dengan pihak non-muslim,  salah satunya juga muncul karena  problem   psikologis yang diderita  umat Islam. Anehnya lagi, kalaupun nikah beda agama diperbolehkan, kita biasanya menginginkan agar pihak muslim mampu memengaruhi pasangannya untuk berpindah agama dan mengutuk bila yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Sebab yang pertama identik dengan kemenangan dan yang kedua identik dengan kekalahan. Artinya, kita hanya mau menang, tetapi tidak mau kalah. Kita harus jujur mengakui bahwa pikiran dan sikap demikian sangat tidak sehat. Pikiran semacam ini agaknya tidak hanya didapati dalam kelompok Muslim, tapi juga ditemukan dalam kelompok agama lainnya.
Sedangkan secara politis ada kekhawatiran akan terjadinya konversi agama atau pemurtadan dari pihak yang muslim bila menikah dengan non-muslim. Oleh karena itu, pandangan  yang membolehkan pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab didasarkan atas keyakinan bahwa biasanya laki-laki lebih kuat agamanya, sehingga dengan pernikahan itu mereka dapat menarik pasangannya demikian juga dengan anak-anaknya kelak masuk Islam. Terkesan bahwa pria muslim yang boleh menikahi wanita ahlul kitab adalah pria yang kuat imannya. Sebaliknya seorang wanita muslimah tidak dibolehkan menikah dengan pria  non-muslim sekalipun ahlul kitab, karena dikhawatirkan ia akan tergoda masuk ke agama suaminya demikian pula dengan anak-anaknya. Berbeda dengan pria, semua wanita diasumsikan lemah imannya. Pandangan demikian jelas bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhat, karena didasarkan pada pandangan stereotif terhadap wanita, bahwa wanita merupakan makhluk yang lemah dan mudah goyah imannya. Untuk tindakan pencegahan, wanita muslimah sebaiknya tidak menikah dengan pria non-muslim, meskipun ahlul kitab.
Sebaliknya, pandangan yang melarang pria Muslim menikah dengan wanita ahlul kitab  juga beranjak dari dari pemahaman yang stereotif tentang wanita sebagai sumber fitnah. Pernikahan dengan wanita ahlul kitab berisiko menimbulkan madarat atau dampak negatif karena dikhawatirkan suami dan keturunannya kelak akan mengikuti agama  mereka. Atas dasar itu, ulama menegaskan jika dengan pernikahan tersebut, suami dan anak-anaknya dikhawatirkan terjatuh ke dalam fitnah, maka hukum pernikahannya dengan wanita ahlul kitab jelas haram.
Wanita dalam pandangan ahli fikih cenderung dipersepsikan negatif. Di satu sisi, wanita diberi  label sebagi makhluk yang rendah, lemah, dan mudah diperdaya untuk meninggalkan agamanya. Hal ini selanjutnya membawa kepada larangan bagi wanita  Muslim menikah dengan pria non-muslim. Namun, di sisi lain mereka juga juga diberi stigma sebagai sumber fitnah yang mencelakakan. Implikasinya, pria muslim pun dilarang menikahi wanita non-muslim sekalipun ahlul kitab.
Kalaupun seorang pria muslim dibolehkan menikahi wanita ahlul kitab, maka diharapkan ia dapat mengajak istri dan anak-anaknya kelak masuk Islam.  Boleh jadi  harapan itu benar, namun  kenyataan sering menunjukkan lain.  Menarik diungkapkan di sini,  bahwa suatu penelitian tentang  nikah lintas agama mengungkapkan temuan yang penting, yakni jika pria Muslim menikah dengan wanita  non-muslim, maka 50 %  anak-anak dari pasangan tersebut ikut agama bapaknya. Sebaliknya, jika wanita Muslim menikah dengan laki-laki non-muslim maka hampir 80% dari anak-anak pasangan itu ikut agama ibunya.
Temuan penelitian tersebut  membuktikan bahwa wanita dalam posisinya sebagai ibu lebih besar memengaruhi agama anak ketimbang pria dalam posisinya sebagi ayah. Ini menunjukkan, wanita yang selama ini dipandang lemah dan mudah terjebak dalam kemurtadan akibat nikah lintas agama ternyata tidak  terbukti. Faktanya wanita terbukti lebih kuat imannya sehingga lebih berhasil mengajak anak-anaknya masuk ke dalam agama yang dipeluknya[xx]. Berdasarkan hasil temuan penelitian tersebut belakangan ini di Indonesia muncul    gagasan  baru yang menawarkan dua hal: pertama, wanita muslimah diperbolehkan menikah dengan pria non-muslim. Kedua, kebolehan menikah beda agama  harus dibuka secara lebih luas tidak hanya terbatas pada kalangan Yahudi dan Nasrani saja, tetapi mencakup kebolehan menikah dengan semua pemeluk agama dan penganut aliran kepercayaan, tanpa memandang apa agama yang dipeluknya dan aliran kepercayaan apa yang dianutnya. [xxi]

E. Status dan Posisi Non-muslim dalam Islam

Yang dimaksud dengan non-muslim adalah seseorang yang memeluk agama selain Islam. Beberapa intelektual Muslim, semisal Abu A’la al-Maududi, Yusuf Qardhawi dan beberapa intelektual Barat seperti Gibb dan Bowen, menyebut kalangan non-muslim dengan istilah “kaum zimi”. Menurut Yusuf Qardhawi “kaum zimi” itu  adalah  orang-orang non-muslim, baik yang berasal dari kalangan ahlul kitab maupun yang bukan tergolong ahlul kitab. [xxii]
Dalam pandangan agama Islam, ahlul kitab adalah agama berdasarkan wahyu Tuhan, namun kemudian mengalami perubahan. Mereka itu adalah kaum Yahudi dan Nasrani yang agamanya berdasarkan Taurat dan Injil.  Sedangkan non-muslim di luar ahlul kitab, antara lain: Zoroaster (penyembah api), Shabi’in (penyembah bintang), Hindu, Budha, Shinto, dan Khonghucu. Di masa sekarang ini, agaknya istilah ahlul kitab itu mengalami perluasan arti yang tidak hanya merujuk kepada kaum Yahudi dan Nasrani saja, tetapi mengakomodasi semua umat beragama yang memiliki kitab suci, baik yang kitab sucinya berasal dari wahyu Tuhan maupun yang bersumber kepada cipta, karsa, dan budaya manusia. Merujuk arti ahlul kitab yang telah mengalami perluasan arti ini, maka penganut agama Hindu dan lain-lain pemeluk agama yang memiliki kitab suci dapat  disebut sebagai ahlul kitab.
Berbeda dengan Yusuf Qardhawy, Abdullah Nasih Ulwan membagi kalangan non-muslim menjadi empat macam, yakni: (1) ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani); (2) kaum ateis dan orang-orang murtad; (3) kaum musyrikin; dan (4) kaum munafik.[xxiii] Ahlul kitab yang dimaksud oleh Nasih Ulwan sama seperti  yang dikemukakan oleh Yusuf al-Qardhawi, yaitu: orang-orang Yahudi dan Nasrani yang agamanya berdasarkan kitab Taurat yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Musa dan kitab Injil yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Isa.
Menurut Nasih Ulwan, yang dimaksud dengan kaum ateis adalah orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan dan menolak risalah langit yang diturunkan kepada para rasul-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan kaum murtad, sebagaimana disinggung di atas,  adalah  orang-orang Muslim yang keluar dari agama Islam, lalu memeluk agama  selain Islam. Kaum murtad dapat pula didefinisikan sebagai orang-orang Islam yang meyakini suatu akidah yang yang bertentangan dengan akidah islam.
Kaum musyrik didefinisikan sebagai kaum yang menyembah tuhan selain Allah. Mereka ini dibedakan menjadi dua macam: pertama, orang-orang musyrik Arab; kedua, orang-orang musyrik non-Arab. Kaum musyrikin ini dapat dikenali dari obyek sesembahannya, semisal menyembah api, bintang, patung atau berhala, dan lain-lain objek sesembahan selain Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan kaum munafik adalah orang-orang yang mengklaim dirinya sebagi Muslim, namun jauh di lubuk hatinya tersimpan bara kekafiran yang menyala dan tujuan-tujuan yang kurang mulia, yakni hendak menghancurkan Islam.
Pengelompokkan kaum munafik ke dalam kategori orang-orang non-muslim  didasarkan pada ayat 16 surat al-Baqarah yang intinya berbicara tentang beberapa sifat orang munafik, yaitu: pertama, pengakuannya tentang keimanan kepada Allah dan hari kiamat adalah dusta atau bohong belaka, sehingga Allah sendiri menegaskan bahwa mereka itu sesungguhnya bukanlah orang-orang yang beriman. Kedua, dalam hatinya ada penyakit  yang membusuk. Ketiga, perbuatannya selalu mengarah kepada hal-hal yang bersifat destruktif, sebab mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang bodoh. Keempat, selalu berganti-ganti topeng untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Setelah mencermati sifat-sifat kaum munafik tersebut, dengan tegas Abdullah Nasih Ulwan menyatakan,  kaum munafik itu tidak bisa disebut sebagai kaum mukmin dan tidak pula dapat disebut sebagai kaum muslim.
Khusus  bagi kaum munafik yang nyata-nyata mengucapkan dua kalimat syahadat, menunaikan salat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya yang diiringi dengan melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan semisal berzina, berjudi, mengkonsumsi narkotika, menyejajarkan Tuhan dengan manusia, dan lain-lain perbuatan yang dilarang Allah, maka  selama belum bertaubat, keimanannya dipandang tidak sah. Akan tetapi, selagi kaum munafik menampakkan diri sebagi seorang muslim, maka mereka tetap dianggap sebagai anggota kaum muslim.
Dalam  pandangan fikih klasik non-muslim yang tinggal di negara Islam diberi status sebagai warga negara kelas dua yang posisinya berada di bawah kaum muslim. Secara hukum dan sosial, dan dalam banyak kasus secara ekonomis, seorang non-muslim yang merdeka berada dalam posisi  yang lebih baik daripada seorang budak muslim, tetapi bukan secara politik. Pada dasarnya seorang non-muslim dikecualikan dan tidak dipandang  sebagai bagian dari masyarakat politik. Ia bisa tinggal atau hidup dalam masyarakat muslim entah sebagai  kaum zimi, orang yang menetap secara permanen dengan status tertentu, atau  sebagai mustakmin, yaitu orang yang tinggal untuk sementara di wilayah Muslim yang datang dari dunia non-muslim.[xxiv]
Baik non-muslim yang berstatus sebagai kaum zimi maupun mustakmin sama-sama mempunyai hak-hak hukum yang mapan dan secara umum sudah diakui. Akan tetapi, keduanya tidak punya hak-hak politik penuh  seperti yang dimiliki kaum Muslim.  Jabatan politik tertinggi yang dapat dipangku seorang non-muslim, menurut al-Mawardi, adalah jabatan wazir tanfidz (Menteri Pelaksana).[xxv] Meskipun perjalanan sejarah Islam telah menjadi saksi bahwa beberapa pos penting dalam birokrasi negara Islam, semisal sekretaris negara, telah dijabat non-muslim, namun sebelum al-Mawardi, tak pernah ada seorang pun pemikir politik Muslim yang berani memberikan justifikasi terhadap kenyataan ini. Oleh karena itu, pendapat al-Mawardi tersebut cukup membuat kejutan pada zamannya. Sebagai bukti keterlibatan non-muslim dalam birokrasi negara Islam, antara lain, dapat dirujuk dengan dipilihnya Ibn Sarjun menjadi sekretaris Abd al-Malik Ibn Marwan, Nashr Ibn Harun dan Abu Ishaq al-Sabi menjadi wazir al-dawlah (Menteri Negara). Ketiga nama non-muslim yang disebutkan terakhir, adalah pemeluk agama Kristen yang taat.[xxvi]
            Bagi al-Mawardi, selama seseorang memenuhi kriteria yang diminta untuk duduk dalam jabatan wazir tanfidh, yakni jujur, terpercaya, rendah hati, cerdas, dan terhindar dari hal-hal yang tercela, maka tidak ada sedikit pun alasan untuk menolak warga non-muslim untuk memegang jabatan tersebut.
            Dengan melontarkan pendapat yang cukup kontroversial tersebut, al-Mawardi kemudian tercatat sebagai pemikir politik Muslim pertama yang berani memberikan legitimasi bagi non-muslim untuk duduk dalam sistem pemerintahan Islam. Alfred Von Kremer menilai terobosan yang dibuat al-Mawardi ini sebagai gaya baru liberalisasi hukum Islam dalam bidang pemerintahan.[xxvii]
            Pendapat al-Mawardi yang membolehkan non-muslim duduk dalam sistem pemerintahan Islam itu mendapat kritikan keras dari al-Juwaini (w. 1085 M). Menurut dia, non-muslim tidak dapat diterima sebagai wazir tanfidz, sebab di samping memandang perkataan, perbuatan, dan kesaksian non-muslim tidak dapat dipercaya, al-Juwaini, dengan merujuk beberapa ayat Alquran, semisal ayat 51 al-Maidah, yang dikutip sebelum ini, berkesimpulan non-muslim tidak boleh diangkat untuk menduduki pos-pos pemerintahan Islam.
            Pendapat senada antara lain dianut pula oleh Badr al-Din Ibn Jama’ah (1241-1333 M), seorang pemikir besar masa dinasti Mamluk. Berbeda dengan al-Mawardi, Ibn Jama’ah bersandar kepada beberapa ayat, semisal ayat 51 al-Maidah, ayat 141 al-Nisa, dan ayat 1 al-Mumtahanah menyatakan adalah terlarang untuk mempekerjakan orang-orang non-muslim dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.
            Dari uraian di atas dapat diperoleh kejelasan bahwa mengenai boleh tidaknya non-muslim berpartisipasi memegang jabatan-jabatan kenegaraan dalam pemerintahan Islam, di kalangan para pemikir politik Muslim zaman klasik dan pertengahan muncul dua pendapat yang berbeda secara diametral: pertama, diwakili al-Mawardi, menyatakan non-muslim diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam negara Islam, semisal menjadi wazir tanfidz. Kedua, dimotori oleh al-Juwaini dan Ibn Jama’ah, menyatakan non-muslim tidak boleh berpartisipasi memegang jabatan-jabatan kenegaraan dalam pemerintahan Islam. Bedanya dengan al-Juwaini, Ibn Jama’ah membenarkan non-muslim memegang pos-pos tertentu di negara Islam yang berhubungan langsung dengan kepentingan orang-orang non-muslim itu sendiri. Akan tetapi, mengenai jabatan khalifah atau kepala negara, agaknya  semua pemikir politik Muslim zaman klasik dan pertengahan mengusung satu pendapat yang sama, yaitu non-muslim tidak dapat menjadi khalifah atau kepala negara di negara mayoritas Muslim.
            Paling sedikit ada dua sebab mengapa dalam fikih klasik kaum non-muslim hanya diberi hak politik terbatas. Pertama, karena kalangan non-muslim yang di masa klasik lazim disebut kaum zimi itu merupakan pihak yang ditaklukkan. Pada zaman itu pihak yang ditaklukkan nyaris tidak diberi hak, baik sipil maupun politis. Ketentuan Islam mengenai perlakuan terhadap non-muslim (kaum zimi), yang kebanyakan merupakan golongan yang ditaklukkan, dengan memberikan hak politik terbatas semisal boleh menjadi wazir tanfidz dan sekretaris negara, sebenarnya lebih manusiawi.
            Kedua, karena sekalipun dalam Islam telah dikenal prinsip-prinsip HAM, tapi umumnya di dunia pada zaman klasik  belum memberlakukan, bahkan boleh jadi, belum mengenal prinsip-prinsip maupun standar-standar universal HAM modern yang memberikan status kewarganegaraan penuh dan setara kepada setiap orang, serta tidak memperkenankan adanya pembedaan status sosial seseorang berdasarkan agama yang dipeluknya.
            Sampai abad ke-19 menentukan status seseorang berdasarkan agamanya merupakan sesuatu yang wajar. Dalam konteks sosial seperti itu, maka pandangan para pemikir politik Muslim zaman klasik dan pertengahan, yang memberikan hak politik terbatas kepada non-muslim, menurut Abdullahi Ahmed al-Na’im, justru merupakan sesuatu yang bersifat progresif pada zamannya.
Berbeda dengan pandangan fikih klasik yang mendiskriminasikan kaum non-muslim, di masa kontemporer sekarang ini, beberapa intelektual Muslim liberal yang tidak berlatar belakang ilmu syariah, semisal Mahmoud Mohammad Thaha dan muridnya, Abdullahi Ahmed al-Na’im sebaliknya berpendapat,  minoritas non-muslim memiliki persamaan hak dan status sebagaimana dinikmati umat Islam, termasuk hak untuk menjadi presiden. Pandangan fikih klasik yang memberikan hak politik terbatas kepada kaum non-muslim, menurut Thaha, tidak mampu memberikan representasi demokratis yang proporsional kepada minoritas non-muslim yang menjadi warga negara Islam modern dan atau sebuah negara yang diperintah oleh mayoritas muslim. Oleh karena itu, pandangan fikih klasik yang bercorak diskriminatif terhadap non-muslim, tegas Thaha, mendesak untuk segera direformasi.[xxviii]
Pandangan fikih klasik yang mendiskriminasikan non-muslim, kata Thaha, didasarkan pada ayat-ayat Madaniyyah (ayat yang turun di Madinah) yang memang sarat dengan aura diskriminatif, bukan didasarkan pada ayat-ayat Makiyyah (ayat yang turun di Mekah) yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain. Untuk menghilangkan diskriminasi terhadap non-muslim, kata Thaha, ayat-ayat Madaniyyah yang di masa klasik digunakan sebagai argumentasi teologis untuk mendiskriminasikan non-muslim harus segera dihapus. Sebagai gantinya, ayat-ayat Makiyyah yang dulu dihapus digunakan kembali sebagai basis hukum Islam modern.
Sejalan dengan idenya tersebut, Thaha menawarkan sebuah konsep naskh (penghapusan ayat satu dengan ayat yang lain) baru yang sangat berbeda dengan konsep naskh lama. Teori naskh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat Madaniyyah menghapus ayat  Makiyyah, kata Thaha harus dibalik, yakni bahwa ayat Makiyyahlah yang justru menghapus ayat Madaniyyah. Tentang teori hukum Islam ini, Thaha menulis sebagai berikut :
       Evolusi syariah...adalah evolusi dengan peralihan dari satu teks Alquran ke teks yang lain, dari sebuah teks yang sesuai untuk berlaku pada abad ke-7, dan sudah dijalankan, kepada teks yang, pada waktu itu, terlalu maju dan oleh karena itu harus dinasakh (ditunda hingga waktu yang sesuai tiba)…Ayat-ayat tambahan (ayat-ayat Madaniyyah) yang pada abad ke-7 telah (difungsikan) secara sempurna…menjadi tidak relevan lagi bagi era baru: abad ke-20 (dan seterusnya). (Saat ini) ayat utama (ayat Makiyyah yang dulu ditunda pelaksanaannya sudah saatnya) diberlakukan kembali sebagai teks yang operatif…dan menjadi basis legislasi yang baru…".[xxix]

Kutipan di atas, menggambarkan keyakinan Thaha bahwa pada abad modern ini ayat-ayat Makkiyah justru menghapus ayat-ayat Madaniyyah, karena ayat Makiyyah itu sebenarnya ayat yang lebih universal dan abadi karena menganjurkan kebebasan, persamaan derajat tanpa diskriminasi gender, agama, dan kepercayaan.
Mengomentari pandangan fikih klasik yang mendiskriminasi kaum non-muslim, al-Na'im menyatakan, semua umat Islam awal benar ketika menafsirkan Alquran dan Sunah dengan menerima diskriminasi berdasarkan agama dalam konteks sejarah ketika itu. Argumentasinya karena sejak masa-masa pembentukan syariah (dan paling tidak untuk masa seribu tahun kemudian) belum ada konsepsi HAM universal di dunia ini. Sejak abad ke-7 hingga abad ke-20, kata al-Na'im, adalah suatu hal yang normal di seluruh dunia untuk menentukan status dan hak-hak seseorang berdasarkan agama. Dengan kata lain, diskriminasi atas dasar agama adalah norma seluruh dunia pada waktu itu.
Karena itu, pandangan fikih klasik yang yang memosisikan non-muslim sebagai warga negara kelas dua, dapat dibenarkan oleh konteks historisnya. Akan tetapi, ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa saat ini hal tersebut masih dapat dibenarkan. Mengingat pendapat yang meletakkan non-muslim sebagai warga negara kelas dua itu dibenarkan oleh konteks historis yang ada di masa lalu, maka selesailah sudah pembenaran itu sekarang, sebab konteks sejarah yang ada sekarang ini sudah berbeda sama sekali dengan konteks sejarah yang ada di masa lalu.
            Setelah dikenal konsepsi hak-hak asasi universal, kata al-Na'im, diskriminasi atas dasar agama itu melanggar penegakan HAM. Kaum absolutis yang hidup di masa kontemporer, semisal al-Maududi, Javid Iqbal, dan Hasan Turabi, yang masih saja memandang non-muslim sebagai warga negara kelas dua disebabkan karena mereka memandang aturan syariat yang membatasi hak-hak politik non-muslim bersifat permanen. Padahal, sesungguhnya hal tersebut bersifat temporer. Bila saat ini pendapat yang yang memandang non-muslim sebagai warga negara kelas dua masih tetap dipertahankan, maka tentu akan menimbulkan sesuatu yang kontraproduktif, karena di samping dapat merusak citra umat dan agama Islam, juga dapat menyulut timbulnya konflik dan perang, baik pada skala lokal maupun internasional.
            Pada skala lokal, seperti yang terjadi di Sudan, diskriminasi berdasarkan agama ini telah menyebabkan terjadinya perang saudara selama 17 tahun. Dalam skala internasional, kata al-Na'im, sangat mungkin pula negara-negara mayoritas non-muslim, semisal Amerika Serikat, akan bersimpati dan mendukung korban-korban diskriminasi agama yang tertekan di negara-negara mayoritas Muslim, sehingga akan memancing timbulnya konflik atau bahkan perang internasional. Dalam rangka menghindari dampak negatif sebagaimana disebutkan di atas, kata al-Na'im, umat Islam harus diyakinkan mengenai perlunya meninggalkan elemen-elemen syariat Islam yang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi zaman modern.
            Pandangan fikih klasik yang mendiskriminasi non-muslim, kata al-Na'im, sekalipun dijabarkan dari sumber-sumber wahyu fundamental Islam, Alquran dan Sunah, sesungguhnya bukanlah wahyu, tetapi tak lebih dari sekedar produk penafsiran manusia atas sumber-sumber tersebut. Produk penafsiran tersebut, tak dapat dibantah, lahir dalam sebuah konteks historis tertentu yang secara mendasar berbeda dengan zaman sekarang. Saat ini, diskriminasi berdasarkan agama sebagaimana lazim berlaku di masa klasik, secara moral tertolak dan secara politik sudah tidak dapat diterima lagi.
            Di masa kontemporer sekarang ini, kata al-Na'im, ayat-ayat Madaniyyah yang mendiskriminasikan non-muslim sudah tidak relevan digunakan lagi. Sebagai gantinya, yang perlu ditonjolkan adalah ayat-ayat Makiyyah yang mengajarkan persamaan universal seluruh umat manusia, tanpa memandang agama yang dipeluknya. Ayat-ayat yang dimaksud antara lain adalah ayat 13 surat al-Hujurat:

ياايها الناس ان خلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم)
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu . . . (QS. al-Hujurat/49:13).
             
Dari urain di atas dapat ditarik kesimpulan, di masa klasik, kaum non-muslim yang disebut sebagi kaum zimi itu adalah non-muslim yang ditaklukkan sebagai akibat ekspansi Islam. Pada masa sekarang,  non-muslim yang tinggal di negara-negara Muslim merupakan saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang sama-sama punya peran yang signifikan dalam membangun dan memajukan negara tempat domisilinya masing-masing. Oleh Karena itu, demi menghindari kesan diskriminatif non-muslim tersebut tidak perlu lagi menyebut mereka sebagai zimi yang menyimpan konotasi sebagai warga negara kelas dua. Saat ini, menurut Fahmi Huwaydi,  akan lebih baik bila non-muslim yang menjadi warga negara Muslim disebut dengan istilah al-muwathinun (warga negara).  Langkah maju dalam memosisikan non-muslim ini dimulai Huwaydi dengan sebuah manifestonya yang berbunyi ”muwâthinun la dzimmiyyûn”  ( non-muslim itu warga negara dan bukan kelas kedua). [xxx]


[i]Norman P. Barry, An Introduction to ModernPolitical Theory, (New York: St. Martin’s Press, 1981), h. 157
[ii]Abd al-Wahab al-Syisyani, Huquq al-Insan wahurriyyatuh al-Asasiyyah fi al-Nizham al-Islami wa al-Nuzhum al-Mu’ashirah, (t.t: Muthabi’ al-Jam’iyyah al-‘Ilmiyyah al-Mulkiyyah, 1400H/1980 M ), h. v
[iii]S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia-Indonesia Inggris, (Bandung: Hasta, 1982), h. 55
[iv]Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 1999), h. 139
[v]Mohamamd Hashim Kamali,  The Dignity of Man : An Islamic Perspective, (t.t. : Ilmiah Publishers, 2002),  h. 40
[vi] Abdullahi Ahmed al-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam.,  alih bahasa  Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, dari  Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law, ( Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 177
[vii]Syamsuddin al-Sarakhsi, al-Mabsuth,  ( Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), jilid ke-9, h. 74
[viii] Abdullahi Ahmed al-Na’im, Dekontruksi Syariah.., h. 221
[ix] Sepenuhnya dikutip dari Ayang Utriza, “Kebebasan Beragama dalam Islam dan Praktiknya di Negara-Negara Muslim,” Jurnal Mimbar Agama dan Budaya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 22, No. 4, 2005.
[x]Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Right, (Oxford: Westview Press, 2007), h. 167
[xi]Ayang Utriza, Kebebasan Beragama…, ibid, lihat juga Masykuri Abdillah, op. cit., h. 142
[xii]Abd al-Qadir Awdah,  al-Tasyri’ al-J al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun   al-Wadhiiy,  ( Beirut:  Dar al-Katib al-Arabiy, t.th), jilid 2, h.  720-721
[xiii] Abd al-Qadir Awdah, ,  al-Tasyri’ al-J al-Jina’i, h. 720-721, bandingkan dengan Imam al-Qadhi abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn ahmad Ibn Rusd al_Qurthubi    al-Andalusi ( yang popular dengan nama Ibn Rusyd), Bidayah al-Mujtahid fi Nihayah al-Muqtashid, ( Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), jilid 2, h. 234
[xiv]Subhi Mahmassani, Arkan Huquq al-Insan, ( Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1979), h. 123-124
[xv] Ayang Utriza, Kebebasan Beragama…, ibid.
[xvi] Muhammad Salim al-‘Awwa,  Fi Ushul al-Nizham al-Jina’I al-Islamiy, (al-Qahirah:  Dar al-Ma’arif, 1979), h.146-150, sebagaimana dikutip dari Ayang Utriza, Kebebasan Beragaman…, ibid.
[xvii]Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa al-Syari’ah, (Mishr: Dar al-Qalam, t. th), h. 293, sebagaimana dikutip dari Ayang Utriza, Kebebasan Beragaman…, ibid
[xviii]Siti Musdah Mulia,  “Menafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama”, dalam Maria Ulfah Anshar dan Martin Lukito Sinaga (Ed.), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h.  117
[xix]Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987), jilid 7, h. 2024
[xx]Siti Musdah Mulia, op. cit., h. 126-128
[xxi]Nurcholish Madjid, et. al.,  Fiqh Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 164
[xxii]Yusuf Qardhawy,  Minoritas Non-muslim di dalam Masyarakat Islam, (Bandung: Mizan, 1991), cet. Ke-2, h. 16-19
[xxiii]Abdullah Nasih Ulwan, Sikap Islam Terhadap Non-muslim, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), cet. Ke-2, h. 32
[xxiv]Bernard Lewis,  Bahasa Politik Islam, alih bahasa Ihsan Ali Fauzi dari  The Political Language of Islam,  (Jakarta:  PT Gramedia Pustaka Utama,  1994), h. 94
[xxv]“Wazir” diduga berasal dari dua bahasa, yakni : (1) bahasa Persia kuno: “vicir” (keputusan resmi), “gezirpat” (penanggung jawab administrasi air) yang dilafalkan gizir atau gazir, (2) bahasa Arab: “wizr” atau “wazar” (beban dan tanggung jawab). Al-Mawardi meyakini “wazir” sebagai istilah Arab, yakni berasal dari kata “wizr” (beban), “wazar” (tempat perlindungan), dan “azr” (punggung). Al-Mawardi membagi “wazir” menjadi dua macam. Pertama, wazir tafwidh, yakni pembantu utama kepala negara (khalifah), yang karena mendapatkan “a delegated authority” , ia tidak hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang digariskan khalifah. Tapi turut pula menggariskan atau merumuskannya bersama khalifah. Wazir tafwidh merupakan figur sentral dalam jajaran birokrasi negara yang membawahi semua departemen dan berkuasa penuh untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat negara, kecuali pejabat-pejabat negara yang diangkat langsung oleh khalifah. Kedua, wazir tanfidz, yakni pembantu khalifah yang kekuasaannya jauh lebih kecil dibanding yang dimiliki wazir tafwidh. Ia hanya berfungsi sebagai pelaksana segala ketetapan yang datang dari khalifah. Lihat Franz Babinger, “wazir” dalam The Encyclopaedia of Islam, editor M. Th. Houtsma, et. al., (London: E.J. Brill, 1987), jilid 8, h. 1135. Lihat pula Al-Mawardi, Al-Ahkam al- Sulthaniyyah, (Bonn : Adolphus Marcus, 1953), h. 38
[xxvi]Lihat Alfred Von Kremer, The Orient Under The Caliphs, (Calcuta : University of Calcuta, 1920), h. 197
[xxvii]M. Nafis, “Lembaga Kewaziran dalam Pandangan al-Mawardi” dalam Islam Berbagai Perspektif, editor Sudarnoto Abdul Hakim, et. al., (Yogyakarta : LPMI, 1995), h. 147
[xxviii]Carolyne Fluehr Lobban, "Melawan Ekstrimisme Islam : Kasus Muhammad Sa'id al-Ashmawi", Kata Pengantar dalam Muhammad Sa'id al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, terj. Hery Haryanto Azumi dari Againts Islamic Extremism, (Depok : Desantara, 2002), cet. ke-1, h. 14
[xxix]Mahmoud Mohammad Thaha, The Second Message of Islam, terj. Abdullah Ahmad al-Na'im dari al-Risalah al-Tsaniyyah min al-Islam, (tt. : Syracuse University Press, 1987), h. 40-41, bandingkan dengan Muhyar Fanani, "Abdullah Ahmad Na'im : Paradigma Baru Hukum Publik", dalam A. Khudhori Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), h. 9
[xxx]Nurcholish Madjid, et. al.,  op. cit., h. 165





2 komentar :