Fokus utama wacana hak asasi manusia (HAM) adalah
kemartabatan, kehormatan dan keberlangsungan hidup manusia, karena secara
teologis, manusia memang makhluk yang terhormat.[i] Secara sosial-historis, pemikiran tentang HAM
mengingatkan pada sejarah panjang ”pergumulan” manusia melawan segala bentuk ketidakadilan,
kedzaliman, penindasan, penjajahan dari berbagai hegemoni kekuasaan, dan kekuatan ideologi elit yang berkuasa.
Dari sisi ini, usia HAM dalam arti luas sebaya dengan umur kesadaran manusia
untuk meningkatkan kualitas hidup yang optimal sebagai refleksi individual atau
kolektif untuk menghargai kemartabatannya, dan secara teologis sebagai
aktualisasi pesan-pesan dasar ilahiah
(ketuhanan) yang sangat menghormati manusia, dan secara politis bertujuan untuk
melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara oleh sistem kekuasaan
otoriter, dan para penguasa tiran.[ii]
Kenapa perhatian terhadap HAM begitu mendasar dalam
bahasa Islam?, karena menurut banyak ayat Alquran (QS. 17:7; 7:11;
95:4), manusia adalah makhluk yang sangat terhormati, lebih mulia dibandingkan
dengan makhluk lain termasuk malaikat, karena manusia memiliki spirit (ruh) ilahiah (QS. 38:72), dan
menjadi wakil (khalîfah) Allah untuk misi
suci-Nya di dunia ini (QS. 2: 30-32). Untuk mengaktualisasikan misi-misi suci
tersebut (QS. 34:28), dan karena sifatnya yang holistik, utuh dan mendasar,
maka HAM tidak boleh dirampas dan tidak boleh dikurangi; manusia—atas dasar
hak-hak dasar (privilege) dimaksud—secara teologis diamanati
dengan misi-misi ketuhanan. Tanpa hak-hak asasi itu, manusia akan mengalami
kesulitan untuk mengaktualisasi misi suci-ilahiah di atas. Oleh sebab
itu, HAM secara teologis menjadi pra-kondisi atau syarat dasar manusia untuk
dapat mengemban misi khilâfah ilahiah di muka bumi ini.
Hak dan kewajiban secara normatif merupakan dua
entitas yang tak terpisahkan. Hak dan kewajiban selalu bergandengan, menyatu
dalam fungsi, walaupun berbeda dalam tahapan skuwensial (urut-urutan).
Kewajiban harus didahulukan sebelum hak diperjuangkan. Dengan kata lain, kaitan
antara hak dan kewajiban seperti model relasi resiprositas (timbal balik), atau relasi ketergantungan antara
dua sisi mata uang. Akibatnya, perjuangan untuk mengejar hak harus selalu
didasarkan pada keharusan pemenuhan segala syarat kewajiban yang merupakan pra
kondisinya.
Dalam
konteks ini, HAM dapat dipilah menjadi HAM yang bersifat absolut dan relatif.
HAM absolut atau mutlak berwatak holistik,
utuh, tidak dapat dipisah-pisahkan, tidak dapat dipenggal-penggal, dan
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sebagai wujud entitas yang menyatu
utuh, HAM bersifat saling terkait dan saling bergantung. Di sisi lain, doktrin
HAM memiliki akar religius, moral dan filosofis yang kuat. Tradisi agama-agama
besar memberikan pijakan religius yang jelas dalam hal pengakuan terhadap HAM.
Seluruh agama besar dunia dari sudut pandang yang berbeda ikut menyuarakan isu
tanggungjawab manusia terhadap sesamanya dan penghargaan terhadap dignitas atau
kehormatan manusia.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya seperti yang termaktub
dalam ke-30 pasal Deklarasi HAM sedunia adalah standar nilai kemanusiaan yang
berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun
serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk
semua. Di luar ketentuan minimal tersebut, masing-masing negara atau organisasi
regional bebas untuk membentuk dan menentukan standar tambahan, sampai maksimal
HAM.
Banyak
ahli sejarah (historian) mengatakan bahwa HAM adalah satu hasil capaian
spektakuler filsafat politik modern.[iii]
Walaupun basis awal kelahiran HAM, terutama dalam wujud nilai-nilai dan
fragmentasi usaha sporadis (kurang terorganisasi) sudah cukup lama, namun
konstruksi HAM dalam bingkai hukum (internasional) masih relatif baru. Bahkan
konsep HAM sebagai rumusan yang telah dibakukan dalam sejumlah instrumen hukum
internasional, dalam beberapa aspek, masih diperdebatkan. Sebelum melangkah
terlalu jauh, satu pertanyaan kunci dapat membuka pintu pencerahan tentang
makna konseptual HAM; bagaimana sekilas sejarah HAM? apa yang dimaksud dengan
HAM? Apakah HAM sama dengan hak-hak kemanusiaan lainnya?
A. Konsep dan Prinsip Hak Asasi dan Tanggungjawab Manusia
Perumusan konsep HAM selalu
mengundang perdebatan; mulai dari entitas dan ruang lingkupnya, siapa pihak
yang diuntungkan dengan proyek HAM, sampai pada dimensi universalitas dan
parktikulritasnya. Apa yang dimaksud dengan konsep HAM? Ini menjadi
sebuah pertanyaan singkat dan padat, namun tidak mudah bagi siapapun untuk
dapat mendefinisikan konsep HAM yang dapat diterima apalagi dapat memuaskan
semua pihak, terutama kalangan masyarakat dunia ketiga yang mengalami getirnya
kolonialisme Barat dan korban tata kehidupan dunia global yang berwujud neokolonialisme.
Kesulitan
di atas disebabkan oleh beberapa faktor.[i]
1)
Masalah pertama terkait dengan sejarah konstruksi (perumusan) HAM
yang dikenal dalam tata kehidupan politik dunia saat ini. Secara historis,
perumusan konsep HAM yang tertuangkan dalam sejumlah instrumen hukum
internasional (tradisional) atau dimuat dalam hukum (positif) di bidang HAM
lahir dari konteks masyarakat Barat, Eropa dan Amerika Utara, serta Kristen.
2)
Masalah HAM sulit dipisahkan dari problem dinamika politik hegemonik Barat
dan ideologi kapitalisme, neokolonialisme,
dan individualisme yang merupakan produk proyek modernisme. Dalam
konteks ini selalu tercipta atmosper tarik ulur pemaknaan dan signifikansi isu
HAM dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3)
Definisi HAM sangat terkait dengan model cara pandang keilmuwan seseorang.
Ahli hukum cenderung memandang HAM dari sudut pandang formalisme, sedang para
agamawan memandang HAM dari visi agama dan moral. Dari isi ini, konflik sulit
dihindarkan. Umpama, jika HAM—karena sifatnya yang sangat asasi—dianggap di
atas segalanya termasuk agama, maka ada pihak yang berpendapat bahwa tafsir
norma agama tidak boleh berseberangan dengan doktrin normatif HAM. Sinyelemen
ini tentu tidak akan mudah diterima oleh kalangan agamawan yang meyakini bahwa
doktrin agama tidak boleh dikalah oleh wacana sekuler.
4)
Faktor keempat terkait dengan beban sejarah relasi sosial-hukum-politik
seperti kolonialisme dan pengalaman disharmoni hubungan Barat-Timur yang
berwujud relasi dominasi dan subordinasi, Islam dan Kristen. Pengalaman ini
membuat banyak orang sulit melihat keluguan dan netralitas konsep HAM yang
ditawarkan dan diprovokasi oleh masyarakat Barat.
Oleh sebab itu, sepanjang, seluas
dan sedalam kajian-kajian keilmuan yang telah dilakukan, perbincangan tentang HAM selalu hangat dan menarik walaupun dalam
lingkaran perbedaan pendapat.
Terlepas dari polemik sengit
bahkan terkadang kontroversial tentang definisi HAM, konsep umum tentang hak
terlebih dahulu dirasa perlu diuraikan. Hal ini terutama untuk maksud
pengajaran dan tujuan mengerucutkan kemungkinan silang pendapat tentang
definisi HAM. Pertama, hak pada intinya merupakan anasir normatif,
atau elemen yang terangkum dalam norma-norma yang berfungsi untuk menuntun
manusia untuk berperilaku. Dalam konteks ini, hak, idealnya, dapat
berfungsi sebagai media pengayom, pelindung kehormatan pemiliknya, menjaga
kebebasan dan menjamin kesetaraan, persaudaraan serta peluang bagi manusia
untuk mencapai kualitas hidup yang paling optimal.[ii]
Dalam kamus istilah hukum, hak (rights) diartikan sebagai “justice,
ethical correctness, or consonance with the rules of law or the principles of
morals”.[iii]
Dari sudut pandang legal ini, hak berarti keadilan,
kebenaran etis, atau konsonansi (kesesuaian) dengan norma hukum atau
prinsip-prinsip moral. Secara sempit, hak bermakna kepentingan, atau
kepemilikan atas suatu obyek, atau konsep tentang klaim pribadi mengenai
kepemilikan yang sah terhadap obyek untuk dimiliki, digunakan, dinikmati atau
dipindah-tangankan seperti apa yang diinginkan oleh pemiliknya.[iv] Definisi ini mengisyaratkan bahwa hak memiliki lima
unsur utama yaitu (a) subyek pemelik hukum, (b) obyek hak yang dimiliki, (c)
ruang lingkup penerapan hak, (d) pihak-pihak terkait yang terlibat dalam
penerapannya, serta (e) dasar hukum hak tersebut.
Penjelasan konseptual singkat
di atas mengisyaratkan bahwa konsep hak sebagai kepemilikan merupakan hasil
capaian seseorang dalam bingkai keadilan. Hak merupakan sesuatu yang harus
diperjuangkan; hak dapat dimiliki sebagai buah perjuangan manusia. Artinya, hak
tidak diwariskan tetapi dicapai sebagai buah kreasi manusia. Karena sebagai
hasil capaian, maka hak merupakan sesuatu yang bersumber di luar diri manusia.
Oleh sebab itu, dalam doktrin perjuangan dan hukum, sering terdengar bahwa ”Hak Harus Direbut, Jangan Ditunggu”. [v] Hasil capaian di atas sebagai akibat dari rangkaian
kegiatan yang sebelumnya harus dilakukan seseorang. Rangkaian tindakan dimaksud
dalam bahasa ajaran moral-legal adalah kewajiban. Di sini perlu
diingatkan bahwa pelaksanaan kewajiban merupakan syarat (pra-kondisi) utama
bagi kepemilikan hak. Karenanya, ”tidak
mungkin ada hak jika kewajiban belum dilaksanakan”.
Hak dan
kewajiban secara normatif merupakan dua entitas yang tak terpisahkan. Hak dan
kewajiban selalu bergandengan, menyatu dalam fungsi, walaupun berbeda dalam
tahapan skuwensial
(urut-urutan). Kewajiban harus didahulukan sebelum hak diperjuangkan. Dengan
kata lain, kaitan antara hak dan kewajiban seperti model relasi resiprositas (timbal balik), atau
relasi ketergantungan antara dua sisi mata uang. Akibatnya, perjuangan untuk
mengejar hak harus selalu didasarkan pada keharusan pemenuhan segala syarat
kewajiban yang merupakan pra kondisinya. Alhasil, hak dan kewajiban merupakan
kesatuan entitas dari dua unsur
yang tidak mungkin dipisahkan. Dari sisi ini, kita harus selalu ingat bahwa
setiap kali berbicara tentang hak, maka kita secara otomatis juga membicarakan
kewajiban. Bahkan seperti ditegaskan di atas bahwa kewajiban secara moral
harus selangkah lebih didahulukan sebelum kita mengklaim hak.
Dalam doktrin Islam, kewajiban
(obligation) dan hak menyatu dalam suatu ajaran moral ketauhidan
tanggungjawab. Pertama, Islam mengajarkan bahwa sejak dalam alam rahim manusia
sudah membuat kesepakatan primordial dengan sang Penciptanya untuk disembah.
Dari perjanjian sakral ini, tumbuh kewajiban manusia untuk menyembah Allah dan
menjalankan seluruh perintah keagamaan. Oleh sebab itu, seorang yang beriman
dalam Islam pasti harus terlebih dahulu mengutamakan kewajibannya sebelum
menuntut hak-haknya.[vi]
Seperti disinggung sebelumnya,
hak secara konvensional merupakan hasil capaian, buah perjuangan, tidak
diwariskan. Namun demikian, HAM masih mempunyai unsur khusus, yang secara
substansial berbeda dengan konsep umum tentang hak di atas. HAM adalah hak-hak
dasar manusia yang melekat permanen pada setiap individu manusia. Secara
hakiki, HAM bersifat alamiah (natural) dan merupakan anugerah ilahiah,
pemberian Tuhan untuk menghormati kemartabatan manusia sebagai wujud makhluk
ciptaan-Nya yang paling sempurna dan terhormat. Sesuai dengan sifat ilahiahnya,
mencabut dan mengingkari HAM sama
artinya dengan menolak anugerah Tuhan.
Dari sudut pandang ini, HAM
dimiliki secara otomatis oleh setiap individu tanpa harus diperjuangkan
terlebih dahulu, tanpa memilah warna kulit, jenis kelamin, agama, golongan atau
warga-negara. Ini merupakan konsep
ideal HAM. Hanya saja, HAM dalam substansi ini dalam praktiknya tidak
selamanya dihargai dan dilindungi. Faktanya, HAM masyarakat marginal,
pinggiran, minoritas, dan kelompok yang terlemahkan (secara kultural, sosial
dan politis) sering diabaikan, dilecehkan bahkan dilanggar. HAM mereka tidak
jarang dikorbankan atas nama beragam nuansa kepentingan (baik sosial, politik,
kultural, terkadang teologis). Misalkan, manusia tidak jarang dikorbankan untuk
dipersembahkan kepada dewa-dewa. Dalam ajaran Hindu klasik (sekarang sudah
dilarang), istri harus ikut dibakar saat suaminya yang meninggal dunia dibakar.
Karena alasan stabilitas keamanan, polisi dan aparatur pemerintah di era Orde
Baru sering bertindak semena-mena saat membubarkan demonstrasi, dan
penghilangan kelompok aktivis.
HAM secara sederhana
didefinisikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki manusia, melekat (embodied),
inherent dalam diri kemanusiaannya sejak mereka terlahir ke dunia. HAM
umumnya dipahami sebagai hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia yang
tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia normal. Undang-undang RI
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 1 ayat A mendefinisikan HAM sebagai
“seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dikatakan HAM sebagai hak dasar
yang paling fundamental, karena HAM menjadi pijakan dan kerangka dasar bagi manusia
untuk dapat mengoptimalisasi potensi kemanusiaannya. Kenapa? Karena
tanpa HAM, kualitas kehidupan seseorang tidak mungkin dapat mencapai titik
puncak capaiannya. Karena begitu esential dan krusialnya sifat HAM, maka, tidak
ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya dari pemiliknya.
Selain itu, mencabut HAM setara dengan penolakan terhadap anugerah Tuhan. HAM
bersifat kodrati dan “suci”; HAM bukan pemberian negara atau regim penguasa
tertentu. Sebaliknya, negara justru memiliki kewajiban dan tanggungjawab hukum
untuk selalu menghormati, melindungi dan memenuhi HAM para warga negaranya.
HAM selalu
terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajiban asasi. Juga
ada orang yang bertanya mengapa bukan social rights. Bukankah social
rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan perlindungan HAM?
Sesungguhnya dalam HAM sudah implisit terangkum adanya kewajiban yang harus
memperhatikan kepentingan sosial. Kita juga tidak mungkin mengatakan ada hak
kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula
menghormati hak orang lain. Jadi, doktrin mengharuskan saling menghormati
terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelas bahwa kalau ada hak berarti ada
kewajiban. Sebagai contoh, seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, dia
harus terlebih dahulu memenuhi kewajibannya dengan meningkatkan hasil kerjanya.
Dengan demikian
tidak perlu dipergunakan istilah social rights karena kalau kita
menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya hal itu sudah
termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut, seseorang tidak
boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Hal yang perlu dijaga adalah
keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan
dengan kepentingan umum (kepentingan
masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan
tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi
tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Harus diingat bahwa seseorang dengan HAM-nya itu tidak boleh berbuat
semena-mena, bertindak anarkis, tanpa aturan. Semuanya harus didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab apabila seseorang melakukan
sesuatu tindakan yang dapat dikategorikan melanggar hak individul orang lain
atau hak kolektif, atau hak publik lainnya, maka secara hukum, dia harus
mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Kesimpulannya, pengelolaan dan
aplikasi HAM harus didasarkan pada prinsip the rule of law.
B. Sifat-sifat
Dasar HAM dan Jenis-jenisnya
Dari uraian umum di atas
terlihat bahwa HAM memiliki sifat-sifat dasar. Sifat-sifat dasar itu antara
lain;[vii]
1). HAM adalah anugerah ilahiah;
hak-hak dasar yang diberikan langsung oleh Sang Khaliq Yang Maha Pencipta
kepada setiap individu manusia; HAM ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung
pada pengakuan dan penerapannya dalam sistem adat atau sistem hukum di
negara-negara tertentu.
2). HAM didasarkan atas penghormatan harkat dan
martabat manusia. HAM secara hukum dijamin untuk melindungi martabat individu atau kelompok dari segala bentuk
tindakan yang melanggar kebebasan dasar, harkat dan martabat manusia. Segala
definisi dan advokasi atas nama HAM tetapi mengingkari kemartabatan manusia
tidak dapat disebut proyek HAM.
3). Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 di
atas, HAM merupakan hak dasar yang bersifat kodrati; otomatis
melekat (emboddied) pada diri setiap manusia, dan langgeng
sebagai karunia ilahi. Dari sisi ini, HAM tidak perlu diberikan oleh manusia
atau negara, karena berkewajiban melindungi HAM warganya.
4). HAM
bersifat universal, melekat abadi, sepanjang hayat pada entitas
kemanusiaan selama individu masih menjadi manusia. Dari sisi pandang ini, HAM
berlaku tanpa membedakan faktor latar belakang sosial, kultural dan identitas
primordial lainnya; HAM untuk semua orang dan melintas batas dimensi ruang dan
waktu.
5). HAM didasarkan pada asas kesetaraan antar
sesama manusia; semua orang terlahir setara dan memiliki HAM yang setara. Dengan kata lain, HAM dalam pelaksanaannya
bersifat non diskriminatif. [viii]
6). HAM mengimplikasikan
kewajiban bagi individu dan pemerintah. Adanya kewajiban ini,
sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung
pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan
orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak
seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki
tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi
dan menegakkan hak-hak orang itu.
Dari sisi lainnya, HAM dapat
dipilah menjadi HAM yang bersifat absolut dan relatif. HAM absolut atau
mutlak berwatak holistik, utuh, tidak
dapat dipisah-pisahkan, tidak dapat dipenggal-penggal, dan tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun. Sebagai wujud entitas yang menyatu utuh, HAM
bersifat saling terkait dan saling bergantung. Prinsip absolutisme HAM ini
tidak hanya ditegaskan pada Deklarasi Universal HAM, tetapi juga oleh rangkaian
peraturan perundang-undangan di negara kita. Pasal 4 Undang-undang RI. Nomor 39
tentang HAM tahun 1999 menegaskan anasir HAM absolut ini, yaitu “hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hukum”.
Sementara itu, HAM
yang bersifat relatif dapat dikurangi. Dalam situasi dan kondisi
tertentu, HAM kategori kedua ini dapat saja dikurangi berdasarkan alasan dan
pertimbangan kelayakan, kewajaran dan ditetapkan sesuai dengan asas
proporsionalitas standar peraturan hukum internasional.[ix] Umpama, hak kebebasan untuk bergerak dapat dibatasi secara legal jika seseorang
telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Contoh, secara
konstitusional, setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan yang
layak. Namun dalam kenyataan, tidak semua orang dapat memperoleh kesempatan
yang sama dalam pekerjaan, karena proses dan mekanisme untuk mendapatkan
pekerjaan harus memenuhi persyaratan khusus. Contoh lain bahwa sebuah negara
yang telah meratifikasi sebuah Konvensi internasional di bidang HAM dapat
secara mereservasi pasal-pasal tertentu dari Konvensi dimaksud, yaitu dengan
mengatakan pasal tertentu dari Konvensi tersebut tidak diberlakukan.
Terkait dengan sifat-sifat
dasar di atas, konstruksi legal HAM harus didasarkan pada prinsip-prinsip
kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), keadilan (equity)
dan penghormatan (respect) terhadap kemartabatan manusia. Ringkasnya,
konsep HAM sangat mengakui bahwa setiap manusia berhak menikmati hak asasinya
tanpa memandang perbedaan ras, warna kulit, gender, bahasa, agama, haluan
politik atau pendapat lainnya, kebangsaan atau asal usul dan status sosial,
kekayaan, keturunan atau status lainnya. HAM secara hukum dijamin dengan hukum
HAM yang melindungi individu, kelompok dari tindakan-tindakan yang melanggar
kebebasan dasar serta harkat dan martabat manusia seperti dituangkan dalam
rangkaian perjanjian kesepakatan dan hukum kebiasaan internasional, sekumpulan
prinsip dan sumber-sumber hukum lainnya.
Secara umum, perkembangan
doktrin HAM melahirkan variasi HAM, minimal hak-hak eksistensial. Hak-hak
tersebut berwujud:
a).
hak-hak kebebasan yang mencakup kebebasan berekspresi, berkeyakinan,
beragama, berkumpul dan membentuk asosiasi;
b).
hak-hak kesetaraan yang mencakup kesetaraan di depan hukum, kesetaraan
dalam perlindungan hukum, perlindungan dari diskriminasi baik berbasis jenis
kelamin, kelas sosial, suku, rasial, agama dan asal-usul sosial;
c).
hak-hak politik yang mencakup hak untuk memilih-dipilih, hak untuk
mengakses layanan publik, kebebasan untuk membentuk partai politik, dan hak
untuk mengusulkan petisi;
d).
hak-hak ekonomi seperti hak-hak terhadap properti pribadi, hak untuk
bekerja, kebebasan untuk memilih pekerjaan;
e).
hak-hak kolektif yang mencakup hak untuk menentukan nasib sendiri, perlindungan
terhadaop hak-hak minoritas, hak-hak penduduk asli, dan sebagainya;
f).
hak-hak prosedural terutama mencakup prosedur dalam penanganan masalah
pidana.
Hak-hak di atas telah
dituangkan ke dalam kerangka hukum. Melalui rangkaian perangkat hukum internasional
dan nasional hak-hak dimaksud telah dijamin, walaupun dalam prakteknya,
perlindungan HAM tersebut di negara kita belum berjalan optimal. Hak-hak yang
tercantum dalam Undang-undang RI. Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
terdiri dari:[x]
1).
Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram,
aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan
hidup yang baik dan sehat;
2).
Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas;
3).
Hak mengembangkan diri. Setiap orang
berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya baik secara pribadi maupun
kolektif guna membangun masyarakat, bangsa dan negaranya;
4).
Hak memperoleh keadilan. Setiap orang,
tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan
permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun
administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas, tidak memihak,
sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh aparat
hukum yang berwenang dengan asas kejujuran dan keadilan untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar;
5).
Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang
bebas untuk memilih dan menganut keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di
muka umum, memeluk agama, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa
diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah negara
Republik Indonesia;
6).
Hak atas rasa aman. Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak
milik dari segala bentuk gangguan, perlindungan rasa aman dan tenteram serta
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu;
7).
Hak atas kesejahteraan. Setiap orang
berhak untuk memiliki properti atau kekayaan, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara
tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak
atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi
melindungi dan memperjuangkan kehidupannya;
8).
Hak turut serta dalam pemerintahaan. Setiap warga
negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan
wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan
pemerintahan;
9).
Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih,
dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan
persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu kaum perempuan
berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau
profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau
kesehatannya;
10).
Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua,
keluarga, masyarakat dan negara, serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam
rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
C. Landasan Religius, Moral, Filosofis dan Legal HAM
Doktrin HAM memiliki akar religius, moral dan filosofis
yang kuat. Tradisi agama-agama besar memberikan pijakan religius yang jelas
dalam hal pengakuan terhadap HAM. Seluruh agama besar dunia dari sudut pandang yang berbeda ikut
menyuarakan isu tanggungjawab manusia terhadap sesamanya dan penghargaan
terhadap dignitas atau kehormatan manusia.
Terlepas dari keragaman sudut pandang, paradoks internal,
variasi kultural, sampai ke masalah kompleksitas tafsir dan penerap HAM,
seluruh tradisi agama-agama besar memiliki kesamaan dalam hal ketidak-puasan
terhadap realitas dunia yang sering mengabaikan kemartabatan manusia.
Kepedulian mereka mengakar pada usaha tak berbatas tentang obsesi memberikan hal yang terbaik
kepada umat manusia. Kebaikan tersebut tidak hanya sebagai kebahagiaan duniawi,
tetapi juga ukhrawi. Tokoh agama terus berusaha memberikan jalan dan tuntunan
yang dapat membimbing setiap pemeluk agama untuk tidak semata-mata terfokus
pada egoisme yang berujung pada otoritarianisme dan absolutisme.
Pikiran mereka tersebut dengan mudah dapat kita jumpai
dalam narasi suci, puisi-puisi kemanusiaan dan cinta keabadian. Tradisi Hindu
dalam teks klasik Veda dan Upanishad menyebutkan “kebenaran
suci/ilahiah bersifat universal dan keyakinan keagamaan harus menjadi panduan
hidup setiap orang”. Dalam kaitan ini, doktrin Manawa Dharma Sûtra
sangat kuat mendorong sesama kaum beriman untuk terus berusaha untuk memenuhi
tanggungjawab keduniaannya demi kepentingan sesama, terutama untuk orang-orang
yang lemah, lapar, gelandangan, dan orang-orang yang tidak beruntung. Di sini,
doktrin Hindu mengajarkan bahwa seluruh elemen kehidupan manusia dinilai suci,
untuk dicintai, dihormati, dan untuk mencapai kebebasan dari segala bentuk
penindasan. Terinspirasi dengan ajakan suci ini, bapak India modern, Mahatma
Gandhi yang mengaku penganut Hindu Ortodoks, menekankan prinsip Ahimsâ
(tanpa kekerasan, penindasan) untuk menyatukan masyarakat India melawan
kolonial Inggris.
Tradisi ajaran Budha juga menegaskan pengakuan terhadap
HAM. Dalam doktrin Budhisme disebutkan bahwa “salah satu kewajiban utama
seorang Budha adalah keharusan mengatasi nafsu egoisme (dana), mencintai
kebaikan (metta) dan kasih-sayang (karunâ) kepada yang membutuhkan”.
Prinsip ini membentuk sebagian dari 10 etika Budhisme bagi seorang pemimpin, antara
lain (1) berpikir yang benar, (2) berbicara yang benar, (3) bertindak yang
benar, dan (4) berinteraksi yang benar dengan seluruh umat manusia. [xi]
Doktrin etika Budhisme di atas menjelma jelas dalam
kearifan tokoh agung Dalai Lama. Dalam sebuah orasinya, beliau menegaskan bahwa
“problem global umat manusia dapat diselesaikan secara damai dengan cara
memperlihatkan kebaikan, cinta dan penghargaan terhadap seluruh umat manusia
sebagai saudara kandungnya, serta jika kita mampu memahami nilai-nilai
fundamental kemanusiaan orang lain, menghargai hak-hak orang dan ikut merasakan
dan berempati terhadap penderitaan orang lain”.[xii]
Konfusianisme juga menghargai HAM. Dalam satu ajaran
tradisionalnya menegaskan bahwa “harmoni akan terwujud ketika orang mampu
mengatasi kungkungan kepentingan dirinya, egoisme, memenuhi tanggungjawab untuk
tidak menyakiti orang lain, memperlakukan sesama dengan pendirian mereka
memiliki hati nurani dan moral, dan mengakui kemanusiaan mereka”. Ajaran
lainnya mengajarkan “janganlah kamu melakukan sesuatu tindakan kepada orang
yang kamu sendiri tidak menyukainya”. Lebih jauh diajarkan sebagai berikut:
Jika di dalam hatimu terukir kebenaran, maka di sana akan
ditemukan keindahan dalam perilaku. Jika dalam perilaku ada keindahan, di sana
akan tercipta harmoni, terutama dalam rumah tangga. Jika harmoni di rumah
terbentu, maka akan ditemukan ketertiban dalam skala negara. Jika dalam negara
tercipta kedamaian dan ketertiban, maka di seanterio jagat akan ditemukan
kedamaian.
Ajaran Judao-kristiani juga sangat menghargai prinsip
dasar HAM. Umpama, Surat Kejadian (Genesis), buku pertama dari
Perjanjian Lama dimulai dengan pemaparan tentang kesatuan asal-usul manusia
dari satu sumber penciptaan. Dalam doktrin ini dijelaskan bahwa “manusia
berasal dari satu asal-usul, bersaudara dan dikaruniai dengan pusaka yang
sangat berharga, yaitu cinta dan kasih sayang.” Dalam Leviticus dijelaskan
bahwa “kamu tidak boleh menindas. Kamu mengasihi tetanggamu seperti kamu mengasihi
dirimu sendiri”.
Ajaran Kristiani mengajarkan bahwa Yesus hadir untuk
menentang tatanan kehidupan yang dzolim. Dia mengajarkan nilai-nilai luhur
kemanusiaan universal bagi seluruh umat manusia dalam citra Tuhan. Dia dengan
tegar mengajarkan cinta dan kasih sayang, keharusan membantu sesama, memberi
pakaian bagi yang papa, merawat yang sakit, memberi makan orang yang lapar,
menampung dengan orang-orang rantau, menebar harapan bagi yang putus asa,
peduli kepada mereka yang tertindas. Yesus juga memperlihatkan rasa penghargaan
dan kecintaan yang dalam kepada kaum perempuan, anak-anak, orang-orang yang
tergusur dan sentra kekuasaan, dan mengayomi orang asing”
Dalam sebuah dialog bijak, Yesus mengajarkan etika
keagamaan yang agung. Suatu saat Yesus menuturkan sebuah peristiwa di mana
seorang miskin menjadi korban perampokan dalam keadaan mengenaskan. Secara
kebetulan, seorang rohaniwan melintas di sana, alih-alih berhenti untuk
menolong, dia malah membuang muka dan terus berlalu tanpa kasih sayang. Kemudian, seorang Levita yang lalu-lalang juga melakukan
hal yang sama, dan menolak untuk memberikan pertolongan. Akhirnya, Samaritan,
warga tertindas dan dihinakan dalam masyarakat justru mendatangi sang korban
dan memberikan pertolongan. Kemudian Yesus bertanya kepada pengikutnya “siapa
di antara ketiga orang tadi yang menjadi tetangga si korban?”. Seorang
pengikut Yesus menjawab bahwa “sosok yang menjadi tetangga korban adalah
Samaritan, warga yang terbuang, tetapi telah memberikan kasih sayang”.
Ketimbang mengakui kebenaran jawaban sang pengikutnya, Yesus malah bertitah
kepadanya “pergilah kamu, mengembara, dan lakukan hal yang sama kepada orang
lain!.
Islam lebih rinci memberikan pijakan HAM. Tidak hanya
memberikan landasan moral, Islam justru memberikan deskripsi teknis tentang HAM. Pada tataran
moral-filosofis, dalam surat Bani Isrâil (17:70) Allah berfirman bahwa “Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, kami beri mereka rezki dari hal yang baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan”. Dalam ayat ini Allah dengan jelas menghargai kemartabatan atau
dignitas manusia, dan Allah sendiri yang telah memberikan martabat tersebut.
Secara rinci, pembelaan Islam terhadap HAM dapat dengan
mudah kita jumpai dalam teks-teks suci baik Alquran maupun hadits nabawi. Pada
surat al-Baqarah (2:256) Allah mengingatkan “Tidak ada paksaan untuk (memeluk)
agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. Dalam
surat lain manusia ditantang oleh Allah memilih iman dan kekafiran (QS. : 29)
“dan katakanlah bahwa kebenaran itu berasal dari Tuhanmu; maka siapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah dia
memilih kekafiran”.
Prinsip anti kekerasan semakin nampak pada surat lain.
Dalam surat (QS. : 45) mengingatkan bahwa “Kami (Allah) lebih mengetahui tentang apa yang
mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka berilah peringatan atau kritikan dengan Alquran
orang yang takut dengan ancaman-Ku”. Ayat dengan tegas melarangkan melakukan
pemaksaan terhadap siapa saja sejauh dia tidak mengganggu kehidupan umat Islam.
Prinsip ini nampak sekali dalam doktrin perang yang melarang tindakan offensif
terhadap musuh, kecuali jika mereka telah memulai permusuhan dan peperangan.
Dalam hal larangan melakukan pembunuhan dan penyiksaan, Alquran
surat (QS. : 32) mengajarkan “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di
muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Alquran dalam surat (QS. :124) juga mengajar kesetaraan
dan menekankan prinsip non-diskriminasi. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa “siapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang dia orang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikitpun”. Rasulullah saw. dalam sebuah sabdanya menegaskan bahwa
“tidak ada perbedaan (berbasis suku) antara orang Arab dan non Arab, kecuali
atas dasar kualitas ketaqwaan”. Konteks hadits sebagai sebuah kritik tegas
terhadap sikap dan perilaku orang Arab yang cenderung mengagungkan kelompok,
terutama rumpun qabilah tertentu.
Prinsip non-diskriminasi ini juga nampak jelas dalam hal
penegakan keadilan. (QS. :135) mengharuskan orang yang beriman untuk menjadi
agen penegak keadilan. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu”. Dalam surat lain Allah
menyebutkan bahwa jangan sampai kebencianmu kepada kelompok tertentu mendorong
bersikap tidak adil kepada mereka. (QS. :8)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
jangan sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada
ketakwaan, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dalam perilaku bermasyarakat dengan pemeluk agama lain,
Islam dengan arif mengajarkan sikap toleransi. Umat Islam oleh Alquran dilarang
keras untuk melecehkan keyakinan agama lain. Dalam surat (QS. : 108) berfirman
bahwa “dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhannya, mereka
nanti dikembalikan, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan”.
Tradisi ajaran keagamaan di atas telah meletakkan basis
religius HAM. Tidak hanya doktrin keagamaan yang telah melegitimasi HAM. Ajaran
moral juga memberikan kerangka virtual terhadap HAM. Filsafat moral-teosufis
mengajarkan bahwa pada prinsipnya manusia adalah baik, dan secara alamiah
dengan bisikan hati-nuraninya, dia selalu mencintai kebaikan, menentang segala
bentuk ketidak-adilan, kedzoliman dan penindasan. Oleh sebab itu, secara moral,
manusia sangat akrab dengan prinsip HAM yang menentang segala bentuk
ketidak-adilan, ketidak-setaraan, kedzoliman, pilih-kasih atau diskriminasi.
Di sisi lain, perangkat hukum internasional dan nasional
telah memberikan pijak formal bagi eksistensi HAM. Dalam hal ini, piranti hukum
tidak hanya menjelaskan bingkai formal jenis-jenis HAM yang dilindungi hukum,
tetapi juga telah menjelaskan mekanisme dan prosedur pengelolaan HAM baik di
tingkat nasional maupun internasional. Deklarasi Universal HAM telah
mengharuskan setiap negara anggota PBB untuk menghargai dan memuliakan
penegakan HAM. Bahkan pembingkaian wacana HAM dalam kerangka hukum telah
memberikan corak khusus HAM yang berbeda dengan doktrin moral dan religius
tentang HAM. Melalui kerangka hukum, HAM dapat diperjuangkan via pengadilan
secara litigatif.
Ringkasnya, tradisi ajaran agama, bingkai moralitas,
basis filosofis tentang asal-usul dan esensi serta eksistensi manusia dan basis
legal dengan jelas menghargai kemartabatan manusia. Basis nilai-nilai dasar
keagamaan, moral, legal dan filosofis telah memberi legitimasi ajaran HAM
sampai ke jenjang proses pengadilan.
D. Evolusi Perkembangan Wacana HAM
HAM secara historis adalah
suara panggilan hati nurani, jerit tangis orang-orang yang mencari keadilan dan
sangat merindukan indeks kebaikan hidup duniawi dan ukhrawi, yaitu kehidupan
manusia yang terukur dengan indikator non-diskriminasi, kesetaraan, kebebasan,
persaudaraan, kemartabatan dan kemanusiaan. Tuntutan dan panggilan tersebut, bermuara dari adanya rasa tertekan dan
ketidakpuasan yang ikut mendorong keputusan eksistensial bahwa ada sesuatu yang
seharusnya dimiliki tetapi, pada kenyataan, hak-hak tersebut tidak dapat
dinikmati.[xiii] Harus diakui bahwa HAM nyaris identik dengan jeritan
suara kelompok terlemahkan (mustadh’afîn) melalui corong pegiat kemanusiaan
karena dorongan empati pada mereka yang mengalami
ketertindasan-kedzaliman.
Di era demokrasi ini, wacana HAM sebagai satu piranti
hukum untuk memberikan keseimbangan antara hak dan tanggungjawab negara
terhadap warganya. Di fase era kekuasaan otoriter, negara dapat berbuat apa
saja atas nama kepentingan publik termasuk melakukan kekerasan kepada warganya.
Hal ini nampak pada fenomena pembuaran demonstrasi dengan cara kekerasan yang
menewaskan mahasiswa Universitas Trisakti di penghujung kekuasaan Orde Baru.
Dengan semakin memusatnya kekuasaan negara, maka posisi warga sipil
terlemahkan, dan sepanjang sejarah, tidak ada cerita warga sipil menang melawan
kekuasaan otoriter. Model relasi kuasa yang timpang ini akan selalu
melanggengkan kejahatan kemanusiaan terutama terhadap rakyat sipil. Dalam
konteks ini, projek HAM lahir sebagai kritik dan kontrol terhadap dominasi
negara atas warga sipil. Artinya, wacana HAM selalu hadir di antara relasi
kuasa negara dan rakyat sipil. Di sini, negara berkewajiban melindungi HAM para
warganya. Bahkan dalam doktrin hukum internasional tradisional ditegaskan bahwa
hanya negara berdaulat yang dapat diminta pertanggungjawaban langsung untuk
pelanggaran HAM.[xiv]
Dalam lintasan sejarah, konsep HAM telah mengalami
evolusi panjang, sejak era Yunani kuno sampai zaman sekarang. Karenanya, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa isu HAM telah berumur tua. Namun demikian, pada
aspek tertentu, isu HAM terus berproses dalam ranah perubahan. Pernyataan
ini tidak berarti bahwa acuan dan pijakan universal HAM tidak ada menurut
standar minimalnya. Ada prinsip-prinsil dan standar universal HAM yang
disepakati dunia internasional. Jika HAM masih berproses, perubahan dimaksud
sebatas pendekatan teknis dan model kebijakan politik nasional atau regional.
Dalam standar minimalnya, ketentuan substantif-normatif
HAM yang bersifat permanen, universal, dan internasional telah ada seperti
tertuangkan dalam instrumen internasional di bidang HAM. Dimensi HAM yang valid
secara substantif-universal dan harus berlaku secara internasional adalah
prinsip HAM yang mencakup larangan penyiksaan (torture), perbudakan (slavery),
diskriminasi rasial (discrimination) dan apartheid, serta hak
untuk menentukan nasib sendiri (self-determination). Keempat elemen HAM
di atas telah disepakati dunia internasional sebagai hak absolut manusia yang
tidak boleh dikurangi.[xv]
Sejarah HAM mencatat bahwa HAM merupakan fenomena
perjuangan kelompok pinggiran, suara orang-orang kecil, suara rakyat sipil
versus hegemoni negara. Kelahiran HAM dapat terbaca jelas dalam beberapa
konteks catatan sejarah berikut dan eksistensi HAM harus dipahami dalam
kerangka ini.[xvi]
1)
Ketimpangan relasi kerja dan ketidak-adilan hak-hak sipil di Inggris
melahirkan kritik keras terhadap ketidak-adilan relasi kekuasaan yang
feodalistik-monarkis.
2)
Pemerintahan otoriter di Perancis melahirkan Revolusi Perancis 1879,
dan hal fenomena yang mirip juga mengemuka dalam kasus reformasi menentang
regim Orde Baru yang otoriter;
3)
Praktek perdagangan budak di era revolusi industri dan menjelang perang
sipil di Amerika melahirkan perjuangan anti perbudakan;
4)
Pembataian jutaan umat manusia (houlacost) yang dilakukan Nazi di
era perang dunia kedua melahirkan keprihatinan dunia yang menentang segala
bentuk penyiksaan dan pembantaian;
5)
Penghilangan orang atau para oposan yang mengkritik pemerintah abosulitis,
otoriter melahirkan tuntutan kebebasan untuk berekspresi dan perlindungan
keamanan;
6)
Diskriminasi rasial di Afrika Selatan dan pengekangan hak-hak warga kulit
hitam melahirkan gerakan anti apartheid;
7)
Ketimpangan relasi gender dalam kehidupan sehari-hari yang berujung pada
feminisasi kemiskinan (kaum miskin lebih didominasi oleh kelompok perempuan)
dan kekerasan terhadap perempuan melahirkan Deklarasi tentang Eliminsasi Segala
Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan.
Istilah HAM atau human rights (Inggris)
secara tentatif adalah pakem akhir dari evolusi konseptual pemaknaan hak-hak
dasar yang dimiliki manusia. Pada awalnya, terutama di era Victorian sampai
abad ke 19, sebelum pakem human rights digunakan sebagai istilah baku di
forum resmi dunia, diksi rights of man telah lama dipakai sebagai
pengganti istilah natural rights (hak-hak alamiah). Konsep natural
rights dipakai dalam wacana hukum alam (natural law) untuk
menjelaskan hak-hak yang melekat pada diri manusia sebagai bagian dari kesatuan
unsur alam. Natural rights, dalam banyak hal, memiliki anasir kesamaan
dengan hukum alam. Namun demikian, karena istilah natural rights
terkesan kontroversial, terlalu ”meng-alam”,
mengikuti dan terikat logika statis hukum alam, bernada mengobyektivikasi
manusia (mematikan kesadaran manusia), sebagai gantinya dipakai istilah rights
of man.[xvii]
Istilah rights of man oleh banyak kalangan pegiat
gender, khususnya para aktivis perempuan, dikritik
karena terlalu berorientasi kelelakian (male-oriented). Kata man
(laki-laki) secara ideologis terkesan memberi hak istimewa kepada kaum
laki-laki. Term di atas juga dinilai semakin menguatkan semangat dominasi,
superioritas laki-laki atas perempuan, dan mempertegas perempuan sebagai the
second class creature, warga negara kelas dua;[xviii] atau orang asing di kampungnya sendiri. Dengan kata
lain, term rights of man menyiratkan pengakuan diskriminatif terhadap
kelompok sosial tertentu.
Padahal, secara konseptual, istilah rights of man
di atas dimaksudkan sebagai pernyataan pengakuan inklusif hak-hak kesetaraan
bagi seluruh elemen sosial melintas batas kategori gender. Akhirnya, melalui
perjuangan Eleanor Roosevelt, istri mantan Presiden USA, yang saat itu memimpin
institusi the U.N Commission on Human Rights, istilah rights of man
disepakati diganti dengan pakem Human Rights. Istilah ini dipandang
lebih universal, lebih inklusif, dan netral gender. Istilah human rights
kemudian menjadi pakem resmi dunia, dan terminologi hukum internasional untuk
mendefinisikan hak-hak dasar/asasi yang dimiliki setiap individu manusia.
Para pakar Eropa umumnya berpendapat bahwa kelahiran HAM
ditandai dengan kelahiran Magna Charta tahun 1215 di Inggris. Magna
Charta antara lain mencanangkan bahwa
jika raja yang sebelumnya memiliki kekuasaan absolut (raja menciptakan hukum,
tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), melalui piagam di atas,
kekuasaannya kemudian dibatasi dan mulai dapat dimintainya pertanggung-jawaban
di muka sebuah dewan. Dari sini lalu lahir doktrin hukum bahwa raja tidak kebal
hukum dan mulai harus bertanggung-jawab kepada hukum. Sejak itu mulai
dipraktekkan bahwa jika raja melanggar hukum, dia dapat dan harus diadili,
serta harus mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada parlemen.[xix]
Pembatasan kekuasaan raja ini
menjadi embrio kelahiran monarki konstitusional yang berintikan kekuasaan raja
hanya sebagai simbol belaka. Kelahiran Magna Charta ini diikuti oleh
perkembangan doktrin dan politik HAM yang lebih konkret seperti kehadiran Bill
of Rights (Undang-undang Hak Asasi) di Inggris tahun 1689. Doktrin Bill
of Rights menyatakan bahwa manusia sama di muka hukum (equality before
the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum
dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan hak dan hak-hak
warga sipil.
[xx]
Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak
persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang harus dihadapi,
karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk
mewujudkan semua itu, maka lahir teori politik kenegaraan. John Locke dalam
karya The Second Treatise of Government (1690) menegaskan bahwa “setiap
individu dalam dunia alam (state of nature) memiliki hak-hak natural tertentu
sebelum kehadiran masyarakat yang terorganisasi”. Dia lebih jauh
mensinyalir bahwa “semua orang terlahir dalam kondisi kemerdekaan utuh di
mana secara alamiah tidak ada satu superioritas (hukum) dan jurisdiksi atas
lainnya”; dan “setiap individu, terlepas apapun latar belakangnya,
berhak terhadap kebebasan yang sempurna, kenikmatan yang tak terkontrol
terhadap hak-hak privilegenya”.[xxi]
Karya Locke menginspirasi kelahiran teori Social
Contract (perjanjian masyarakat) ala Roesseau dan teori the Separation
of Power ala Montesquieu dengan Trias Politica-nya yang mengajarkan
pemisahan kekuasaan negara guna mencegah tirani kekuasaan. Perkembangan
wacana HAM selanjutnya ditandai dengan kemunculan The American Declaration
of Independence (1776) yang berbasis paham Social Contract Roesseau dan the
separation of power dari Montesqueu. Jika di
dalam perundang-undangan lain, dimensi HAM belum dirinci, tetapi Amerika
Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih detail konsep HAM. Thomas Jefferson di Amerika lebih tegas mengatakan
bahwa:
Setiap manusia (men) diciptakan setara, dan dia oleh sang
Khaliqnya dibekali dengan hak-hak tertentu yang tidak boleh dirampas, yaitu hak
hidup, hak kebebasan dan hak untuk merengkuh kenikmatan. Untuk menjamin hak-hak
itu semua, negara dikontrol dengan mandat yang diberikan oleh warganya. ...
Manakala negara berperilaku destruktif, maka adalah hak-hak warga sipil untuk
mengganti atau untuk menumbangkan kekuasaan tersebut, lalu menggantinya dengan
pemerintahan baru[xxii]
Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di
dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus
dibelenggu.
Selanjutnya
pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak sipil
lebih dirinci dan kemudian melahirkan dasar The Rule of Law.
Deklarasi tersebut menyatakan antara lain bahwa (pasal 1) “seluruh manusia
terlahir merdeka dan setara dalam hak, dan distingsi (pembedaan) hanya dapat
didasarkan pada kriteria penggunaan umum”; (pasal 4) “kebebasan mencakup
segala aspek sejauh hal dimaksud tidak mencederai kebebasan orang”; dan
(pasal 7) “tidak ada orang yang boleh ditangkap dan ditahan atas
kesemena-menaan, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa
surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah”.[xxiii]
Terkait
dengan pasal 7 di atas juga lahir presumption of innocence,
artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa dia bersalah.
Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan
pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/ agama yang
dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik)
dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua
hak dasar, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara
hukum yang asas-asas politiknya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perkembangan doktrin HAM yang lebih konkret dan radikal
ditemukan dalam pidato kenegaraan Presiden Franklin D. Roosevelt. Roosevelt pada 6
Januari 1941 di United States Congress mencanangkan The Four Freedoms:
The first is freedom
of speech and expression everywhere in the world.
The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the
world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic
understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for
its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from
fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of
armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be
in a position to commit an act of physical aggression against any
neighbor-anywhere in the world. [xxiv]
Semua
hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan jutaan umat manusia) dijadikan dasar utama
pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang
kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang
diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.
Seperti dikatakan di atas bahwa wacana HAM hadir
dalam sebuah konteks yang vakum. HAM mengalami perkembangan. Sejarah HAM telah
melahirkan tiga generasi HAM. Secara umum di dunia internasional, pembidangan
HAM mencakup (1) hak-hak sipil dan hak-hak politik yang disebut dengan HAM
generasi I, (2) hak-hak bidang ekonomi, sosial dan budaya yang disebut dengan
HAM generasi II, serta (3) hak-hak atas pembangunan disebut dengan HAM generasi
III. Hak-hak tersebut dapat bersifat individual dan kolektif.[xxv]
Secara rinci, cakup HAM menurut rumpun
generasinya adalah sebagai berikut. HAM Generasi I dalam hak-hak di bidang sipil
mencakup, antara lain (1) hak untuk menentukan nasib sendiri, (2) hak untuk
hidup, (3) hak untuk tidak dihukum mati; (4) hak untuk tidak disiksa, (5) hak
untuk tidak ditahan sewenang-wenang, (6) hak atas peradilan yang adil.
Sementara hak-hak di bidang politik, antara lain (1) hak untuk menyampaikan
pendapat, (2) hak untuk berkumpul dan berserikat, (3) hak untuk mendapat
persamaan perlakuan di depan hukum, (4) hak untuk memilih dan dipilih.
Sedangkan generasi II di bidang hak-hak bidang sosial dan ekonomi, mencakup antara lain (1) hak untuk
bekerja, (2) hak untuk mendapat upah yang sama, (3) hak untuk tidak dipaksa
bekerja, (4) hak untuk cuti, (5) hak atas makanan, (6) hak atas perumahan, (7)
hak atas kesehatan dan (8) hak atas pendidikan. Sementara hak-hak di bidang
budaya, antara lain (1) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan, (2)
hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan (3) hak untuk memeproleh
perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta).
Terakhir,
Generasi III di bidang pembangunan, mencakup antara lain
(1) hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat, (2) hak untuk memperoleh
perumahan yang layak; dan (3) hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
memadai.
E. HAM dan Konstitusionalisme
Sampai era Perang Dunia ke-2, standar HAM belum pernah dikembangkan dalam
kerangka hukum internasional. Kalaupun ada, HAM masih sebatas dikembangkan
dalam kerangka konstitusi (undang-undang dasar) nasional negara tertentu,
seperti dalam Bill of Rights di Inggris dan lain sebagainya. Karena HAM adalah
hak-hak dasar, maka wacana tentang HAM tidak pernah diabaikan dalam
perkembangan wacana politik pemerintahan. Dalam konteks relasi negara dan rakyatnya
umpama, warga sipil selalu dikalahkan. Penyalah-gunaan kekuasaan sering menjadi
akar masalah pelanggaran HAM. Oleh sebab itu, muncul gerakan konstitusionalisme
yang intinya ingin memastikan pengaturan kekuasaan negara dan memberikan
jaminan terhadap hak-hak sipil.
Gerakan konstitusionalisme ini berkelindan erat dengan perkembangan wacana
politik HAM. Jika HAM harus dilindungi, dimuliakan, satu pertanyaan yang
kemudian muncul adalah bagaimana hak-hak ini dijamin dan di mana dijamin? Di sisi lain perlu ditegaskan bahwa menjamin
HAM masyarakat sipil sama artinya membatasi ruang gerak dan perilaku pemerintah
yang berkuasa. Di sini, HAM selalu vis-a-vis berhadapan dengan negara. Negara
berkewajiban memberikan perlindungan HAM bagi warga-negaranya. Karenanya, hanya
negara sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban HAM-nya.
Gagasan perlindungan HAM ini meletakkan prinsip konstitusionalisme. Ajaran
tersebut menegaskan bahwa harus ada ketentuan hukum tertinggi yang dapat
mengikat dan mengontrol kekuasaan negara. Hukum tertinggi inilah dalam hukum
tata negara disebut konstitusi. Konstitusi dijadikan palang akhir untuk
menyelesaikan segala hal yang sangat fundamental.
Secara konseptual, sebagai norma hukum, konstituasi terdiri atas dua
bagian, yaitu bagian dan formal dan anasir material. Bagian formal mengatur
isu-isu lembaga tinggi negara, prosedur pembentukan dan pengangkatan pegawai
lembaga tersebut, serta mengatur tata kerja lembaga. Sementara bagian material
meletakkan nilai-nilai, tujuan, arah yang telah dicanangkan oleh negara. Dengan
kata lain, konstitusi telah merumuskan tujuan dan arah negara yang pada intinya
bertujuan untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil.
Hak-hak sipil yang eksistensial di atas dituangkan dalam konstitusi
tertulis agar ada kejelasan bingkai aturan mainnya. Menurut catatan, hampir
seluruh negara di dunia ini, kecuali Bhutan, telah memiliki konstitusi. Dengan
variasi di sana-sini, masing-masing negara telah merumuskan hak-hak
warga-negaranya. Di negara kita melalui Amandemen ke-4, hak-hak warga negara
menjadi semakin jelas. Kerangka konstitusional ini dikuatkan melalui kelahiran
Undang-undang RI. Nomor 39 Tahun 1998 tentang HAM. Dari sisi ini, masalah HAM
di tanah air kita sudah diatur dengan jelas melalui sejumlah legislasi dan
provisi nasional baik via ratifikasi kovenan dan konvensi internasional, dan
juga legislasi hukum nasional sendiri.
Akhirnya, jika dicermati secara khusus, akhir-akhir ini ada fenomena yang
menarik bahwa pengembangan konstitusi di setiap selalu disandingkan dengan
tuntutan HAM internasional dengan standar minimal di bidang HAM seperti
tertuangkan dalam sejumlah instrumen HAM internasional. Perkembangan ini dapat
menjelma dalam wujud memadukan pengelolaan HAM nasional dengan badan dan
traktat internasional. Wujud lain adalah kemajuan mandiri pemaknaan, penjaminan
dan perlindungan HAM bagi warga sipil, seperti kelahiran institusi Ombudsman,
Pengadilan HAM ad hoc, dan kehadiran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Semua
ini dapat menjadi tolok ukur tentang kepedulian dunia internasional, regional
dan nasional terhadap eksistensi HAM.
Untuk mewujudkan pemuliaan, penjaminan dan perlindungan HAM, negara menjadi
lembaga kunci yang bertanggungjawab. Namun demikian, menurut Undang-undang RI.
Nomor 39 Tahun 1998 Pasal 69, setiap individu wajib menghormati HAM orang.
Tepatnya:
(1) Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Setiap
hak asasi manusia yang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk
menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas
Pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan dan memajukkannya.
Dengan kata lain, proses penegakan HAM tidak dimonopoli
oleh negara. Warga sipil dapat berpartisipasi dalam kegiatan mulia ini. Pasal
100 Undang-undang Nomor 39 di atas menyebutkan sebagai berikut “Setiap orang, kelompok,
organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau
lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan,
penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia”.
Pasal 101 lebih jauh menegaskan peran lembaga sipil dan pemerintah dalam
pengawasan pelaksanaan HAM.
Setiap
orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan
atas terjadinya pelanggaran hak asasi amnusia kepada Komnas HAM atau lembaga
lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakkan, dan pemajuan hak
asasi manusia.
Pasal 102
Setiap
orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak mengajukan usulan
mengenai perumusan dan kebijakkan yang berkaitan dengan hak asasi manusia
kepada Komnas HAM atau lembaga lainnya.
Pasal 103
Setiap
orang, kelompok, organisasi pilitik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM
dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai
hak asasi manusia.
Ringkasnya, melalui asas
konstitusionalisme, HAM semakin dapat dijamin dan dilindungi. Tetapi juga
adalah benar bahwa konstitusi yang baik tidak cukup untuk menjamin perlindungan
HAM masyarakat sipil. Peranan the rule of law dan perilaku taat asas
hukum juga memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap perkembangan
penegakan HAM.
F. Universalitas
dan Partikularitas HAM
Satu masalah yang menjadi polemik dunia adalah klaim universalitas HAM. Apakah HAM
bersifat universal seperti tercermin dalam klaim judul Universal Declaration of Human Rights? Telah dijelaskan sebelumnya bahwa HAM dapat dibedakan antara HAM yang bersifat
absolut dan bersifat relatif. Dimensi HAM absolut ini bersifat universal dalam
standar minimal yang diakui hukum internasional tradisional atau hukum traktat.
Standar HAM universal dimaksud mencakup larangan penyiksaan dan perbudakan,
pengharaman diskriminasi rasial dan apartheid, hak-hak kolektif untuk
menentukan pilihan-sendiri, atau hak-hak minimum anak.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya seperti yang termaktub
dalam ke-30 pasal Deklarasi HAM sedunia adalah standar nilai kemanusiaan yang
berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun
serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah
sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di luar ketentuan minimal di atas, masing-masing negara atau organisasi
regional bebas untuk membentuk dan menentukan standar tambahan, sampai maksimal
HAM, seperti larangan hukuman mati. Amerika Serikat masih mengesahkan hukum
mati, sementara sejumlah negara secara total menghapus hukum ini. Standar
Pengadilan Uni Eropa di bidang HAM telah menetapkan bahwa hukuman korporal,
walaupun hanya sampai pada skala yang ringan adalah hukum yang merendahkan,
akibatnya dilarang di Eropa.
Dengan demikian, doktrin HAM internasional mengakui adanya dimensi partikular
HAM. Sulit dihindari fakta historis bahwa doktrin HAM yang sekarang ini lahir
dari tradisi nilai-nilai Barat yang kapitaslis, individualis dan Kristiani.
Oleh sebab itu, dari beberapa anasir, nilai-nilai partikular tersebut bisa saja
tidak cocok dengan nilai-nilai dari belahan dunia baik nilai-nilai yang
bersumber dari ideologi, paham keagamaan, orientasi hidup lain dan nilai-nilai
tradisional dan kultural lainnya.
Atas dasar konteks spesifik nilai-nilai, maka ada pihak yang mengatakan
bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus disesuaikan dengan latar belakang
budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita
akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak persis sama dengan
pelaksanaan HAM di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar
belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan budaya kita. Harus diakui bahwa
negara-negara di dunia (tidak terkecuali Indonesia) memiliki kondisi-kondisi
khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun,
tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Namun demikian, tidak berarti
bahwa dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip
mendasar HAM dapat dilanggar atau minimal diabaikan. Standar minimal harus
dihargai dan ditaati agar ada ukuran dasar yang dapat dijadikan untuk evaluasi
pelaksanaan HAM.
[i]Manfred Nowak, International
Human Rights, hal. 2; Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in
Islam, (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd), 1998, hal. 17; Ann
Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Politics and Tradition,
(Boulder and San Francisco: Westview Press; London: Pinter Press), 1999;
Michael Freeman, Human Rights, (Cambridge, England: Polity Press), 2002;
hal. 36, 37, 103, 108, 110-11; Jack Donnelly, Universal Human Rights in
Theory and Practice, (Ithaca dan London: Cornell University Press), 2003,
edisi ke-2, hal. 10-12.
[ii]James
W. Nickel, Hak-hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama),1996.
[iii]Henry Campbell Black, Black’s
Law Dictionary, (),.
[iv]Syaiful Watni, et.als, Analisis
dan Evaluasi Hukum tenang Hak-Hak Tersangka/terdakwa dalam KUHAP, (Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
RI., 2004). h.8
[v]Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan
Kewarganegaraan (Civil Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani (Jakarta: Prenada Media, 2003). Edisi revisi, h. 200.
[vi]Mohammad Hashim Kamali, Freedom
of Expression in Islam, (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd), 1998,
hal. 17-18.
[vii]Manfred Nowak, International
Human Rights, hal. 2; Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory
and Practice, (Ithaca dan London: Cornell University Press), 2003, edisi
ke-2, hal. 10-12.
[viii]Perihal hak-hak
perempuan dalam konteks intemasional, lihat Margaret K. Bruce, “Work of the
United Nations to the Status of Women”, Human Rights Journal, Vol. 4
(1971): 365-412 Margaret E. Galey, “International Enforce ment of Women's
Rights”, Human Rights Quarterly, Vol 6 (1984): 463490; Terry Ellen
Polson, "The Rights of Working Women: An International Perspective”, Virginia
Journal of International Law, Vol. 14 (1974): 729-746; dan Jane P. Sweeney,
“Promoting Human Rights Through Regional Organizations: Women's Rights in
Western Europe”, Human Rights Quarterly, Vol 6 (1984): 491-506.
[ix]Manfred Nowak, International
Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff
Publishers, 2003, hal. 59-60.
[x]Pembahasan
rinci tentang hak-hak yang tercakup dalam instrumen hukum internasional dan
nasional tentang HAM akan dipaparkan pada sesi-sesi Instrumen dan Institusi
Internasional dalam Penegakan HAM; HAM dalam Perspektif Hukum Internasional dan Penegakan HAM di Indonesia.
[xi]Paul Gordon Lauren, the
Evolutuin of International Human Rights, (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press), 2003, hal. 6-7.
[xii]Tenzin Gyatso, Ocean
of Wisdom, (Santa Fe, N.M.: Clear Light), 1989, hal. 13; L.P. N. Perara,
Budhism and Human Rights, (Columbo: Karunaratne), 1991.
[xiii]Sidney Hook, “Renungan tentang
Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Hak Azasi Manusia dalam Islam, Harus
Nasution dan Bahtiar Effendi, eds., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h.
1.
[xiv]Manfred Nowak, International
Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff
Publishers, 2003, hal. 54-55
[xv]Manfred Nowak, International
Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff
Publishers, 2003, hal. 58
[xvi]Paul Gordon Lauren, the
Evolutuin of International Human Rights, (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press), 2003, terutama Bab 1 dan 2; Manfred Nowak, International
Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff
Publishers, 2003, terutama Bab 2.
[xvii]Untuk penjelasan singkat tentang
sejarah HAM dalam bahasa Indonesia, silahkan lihat Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan
Kewarganegaraan (Civil Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani (Jakarta: Prenada Media, 2003). Edisi revisi, h. 202-207.
[xviii]Simone de Beauvoir, Second
Sex: Fakta dan Mitos, (Surabaya: Pustaka Promethea). 2003.
[xx]Jean Claude Vatin
“Hak-Hak Asasi Manusia
DALAM Islam” dalam Hak Azasi Manusia dalam Islam, Harus Nasution dan
Bahtiar Effendi, eds., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 114.
[xxi]John Locke, Two
Treatises of Government, (New
York: Hafner Library of Classics, 1947, ed), hal. 124, 128 dan 163.
[xxii]Micheline R. Ishay, the
History of Human Rights: From Ancent Times to the Globalization Era, (Berkeley and Los Angeles,
California: University of California Press, 2004), hal. 82.
[xxiii]Declaration of
Independence, 4 July 1776, dalam John Garraty, the American Nation
(New York:
HarperCollins, ed. 1991), hal. 2:A-1.
[xxiv]Micheline R. Ishay, the
History of Human Rights: From Ancent Times to the Globalization Era, (Berkeley and Los Angeles,
California: University of California Press, 2004), hal. 213.
[xxv]Manfred Nowak, International
Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff
Publishers, 2003, hal. 23.
[i] Mohammad Hashim Kamali, The
Dignity of Man: An Islamic Perspective, (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers
Sdn. Bhd), 2002, terutama Bab I .
[ii]A.H. Robertson and J.G. Merrills,
eds., Human Rights in the World, Manchester: Manchester University
Press, 1992, hal. 9
[iii]Manfred Nowak, International
Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff
Publishers, 2003, hal. 1.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar