Selasa, 31 Maret 2015

Islam dan HAM


Pengantar
Fokus utama wacana hak asasi manusia (HAM) adalah kemartabatan, kehormatan dan keberlangsungan hidup manusia, karena secara teologis, manusia memang makhluk yang terhormat.[i] Secara sosial-historis, pemikiran tentang HAM mengingatkan pada sejarah panjang ”pergumulan” manusia melawan segala bentuk ketidakadilan, kedzaliman, penindasan, penjajahan dari berbagai hegemoni kekuasaan, dan kekuatan ideologi elit yang berkuasa. Dari sisi ini, usia HAM dalam arti luas sebaya dengan umur kesadaran manusia untuk meningkatkan kualitas hidup yang optimal sebagai refleksi individual atau kolektif untuk menghargai kemartabatannya, dan secara teologis sebagai aktualisasi pesan-pesan dasar ilahiah (ketuhanan) yang sangat menghormati manusia, dan secara politis bertujuan untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara oleh sistem kekuasaan otoriter, dan para penguasa tiran.[ii]
Kenapa perhatian terhadap HAM begitu mendasar dalam bahasa Islam?, karena menurut banyak ayat Alquran (QS. 17:7; 7:11; 95:4), manusia adalah makhluk yang sangat terhormati, lebih mulia dibandingkan dengan makhluk lain termasuk malaikat, karena manusia memiliki spirit (ruh) ilahiah (QS. 38:72), dan menjadi wakil (khalîfah) Allah untuk misi suci-Nya di dunia ini (QS. 2: 30-32). Untuk mengaktualisasikan misi-misi suci tersebut (QS. 34:28), dan karena sifatnya yang holistik, utuh dan mendasar, maka HAM tidak boleh dirampas dan tidak boleh dikurangi; manusia—atas dasar hak-hak dasar (privilege) dimaksud—secara teologis diamanati dengan misi-misi ketuhanan. Tanpa hak-hak asasi itu, manusia akan mengalami kesulitan untuk mengaktualisasi misi suci-ilahiah di atas. Oleh sebab itu, HAM secara teologis menjadi pra-kondisi atau syarat dasar manusia untuk dapat mengemban misi khilâfah ilahiah di muka bumi ini.
Hak dan kewajiban secara normatif merupakan dua entitas yang tak terpisahkan. Hak dan kewajiban selalu bergandengan, menyatu dalam fungsi, walaupun berbeda dalam tahapan skuwensial (urut-urutan). Kewajiban harus didahulukan sebelum hak diperjuangkan. Dengan kata lain, kaitan antara hak dan kewajiban seperti model relasi resiprositas (timbal balik), atau relasi ketergantungan antara dua sisi mata uang. Akibatnya, perjuangan untuk mengejar hak harus selalu didasarkan pada keharusan pemenuhan segala syarat kewajiban yang merupakan pra kondisinya.
Dalam konteks ini, HAM dapat dipilah menjadi HAM yang bersifat absolut dan relatif. HAM absolut atau mutlak berwatak holistik, utuh, tidak dapat dipisah-pisahkan, tidak dapat dipenggal-penggal, dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sebagai wujud entitas yang menyatu utuh, HAM bersifat saling terkait dan saling bergantung. Di sisi lain, doktrin HAM memiliki akar religius, moral dan filosofis yang kuat. Tradisi agama-agama besar memberikan pijakan religius yang jelas dalam hal pengakuan terhadap HAM. Seluruh agama besar dunia dari sudut pandang yang berbeda ikut menyuarakan isu tanggungjawab manusia terhadap sesamanya dan penghargaan terhadap dignitas atau kehormatan manusia.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya seperti yang termaktub dalam ke-30 pasal Deklarasi HAM sedunia adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua. Di luar ketentuan minimal tersebut, masing-masing negara atau organisasi regional bebas untuk membentuk dan menentukan standar tambahan, sampai maksimal HAM. 
         Banyak ahli sejarah (historian) mengatakan bahwa HAM adalah satu hasil capaian spektakuler filsafat politik modern.[iii] Walaupun basis awal kelahiran HAM, terutama dalam wujud nilai-nilai dan fragmentasi usaha sporadis (kurang terorganisasi) sudah cukup lama, namun konstruksi HAM dalam bingkai hukum (internasional) masih relatif baru. Bahkan konsep HAM sebagai rumusan yang telah dibakukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional, dalam beberapa aspek, masih diperdebatkan. Sebelum melangkah terlalu jauh, satu pertanyaan kunci dapat membuka pintu pencerahan tentang makna konseptual HAM; bagaimana sekilas sejarah HAM? apa yang dimaksud dengan HAM? Apakah HAM sama dengan hak-hak kemanusiaan lainnya?


A. Konsep dan Prinsip Hak Asasi dan Tanggungjawab Manusia
Perumusan konsep HAM selalu mengundang perdebatan; mulai dari entitas dan ruang lingkupnya, siapa pihak yang diuntungkan dengan proyek HAM, sampai pada dimensi universalitas dan parktikulritasnya. Apa yang dimaksud dengan konsep HAM? Ini menjadi sebuah pertanyaan singkat dan padat, namun tidak mudah bagi siapapun untuk dapat mendefinisikan konsep HAM yang dapat diterima apalagi dapat memuaskan semua pihak, terutama kalangan masyarakat dunia ketiga yang mengalami getirnya kolonialisme Barat dan korban tata kehidupan dunia global yang berwujud neokolonialisme. Kesulitan di atas disebabkan oleh beberapa faktor.[i]
1)      Masalah pertama terkait dengan sejarah konstruksi (perumusan) HAM yang dikenal dalam tata kehidupan politik dunia saat ini. Secara historis, perumusan konsep HAM yang tertuangkan dalam sejumlah instrumen hukum internasional (tradisional) atau dimuat dalam hukum (positif) di bidang HAM lahir dari konteks masyarakat Barat, Eropa dan Amerika Utara, serta Kristen.
2)      Masalah HAM sulit dipisahkan dari problem dinamika politik hegemonik Barat dan ideologi kapitalisme, neokolonialisme, dan individualisme yang merupakan produk proyek modernisme. Dalam konteks ini selalu tercipta atmosper tarik ulur pemaknaan dan signifikansi isu HAM dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3)      Definisi HAM sangat terkait dengan model cara pandang keilmuwan seseorang. Ahli hukum cenderung memandang HAM dari sudut pandang formalisme, sedang para agamawan memandang HAM dari visi agama dan moral. Dari isi ini, konflik sulit dihindarkan. Umpama, jika HAM—karena sifatnya yang sangat asasi—dianggap di atas segalanya termasuk agama, maka ada pihak yang berpendapat bahwa tafsir norma agama tidak boleh berseberangan dengan doktrin normatif HAM. Sinyelemen ini tentu tidak akan mudah diterima oleh kalangan agamawan yang meyakini bahwa doktrin agama tidak boleh dikalah oleh wacana sekuler.
4)      Faktor keempat terkait dengan beban sejarah relasi sosial-hukum-politik seperti kolonialisme dan pengalaman disharmoni hubungan Barat-Timur yang berwujud relasi dominasi dan subordinasi, Islam dan Kristen. Pengalaman ini membuat banyak orang sulit melihat keluguan dan netralitas konsep HAM yang ditawarkan dan diprovokasi oleh masyarakat Barat.
Oleh sebab itu, sepanjang, seluas dan sedalam kajian-kajian keilmuan yang telah dilakukan, perbincangan tentang HAM selalu hangat dan menarik walaupun dalam lingkaran perbedaan pendapat.
Terlepas dari polemik sengit bahkan terkadang kontroversial tentang definisi HAM, konsep umum tentang hak terlebih dahulu dirasa perlu diuraikan. Hal ini terutama untuk maksud pengajaran dan tujuan mengerucutkan kemungkinan silang pendapat tentang definisi HAM. Pertama, hak pada intinya merupakan anasir normatif, atau elemen yang terangkum dalam norma-norma yang berfungsi untuk menuntun manusia untuk berperilaku. Dalam konteks ini, hak, idealnya, dapat berfungsi sebagai media pengayom, pelindung kehormatan pemiliknya, menjaga kebebasan dan menjamin kesetaraan, persaudaraan serta peluang bagi manusia untuk mencapai kualitas hidup yang paling optimal.[ii]
Dalam kamus istilah hukum, hak (rights) diartikan sebagai “justice, ethical correctness, or consonance with the rules of law or the principles of morals.[iii] Dari sudut pandang legal ini, hak berarti keadilan, kebenaran etis, atau konsonansi (kesesuaian) dengan norma hukum atau prinsip-prinsip moral. Secara sempit, hak bermakna kepentingan, atau kepemilikan atas suatu obyek, atau konsep tentang klaim pribadi mengenai kepemilikan yang sah terhadap obyek untuk dimiliki, digunakan, dinikmati atau dipindah-tangankan seperti apa yang diinginkan oleh pemiliknya.[iv] Definisi ini mengisyaratkan bahwa hak memiliki lima unsur utama yaitu (a) subyek pemelik hukum, (b) obyek hak yang dimiliki, (c) ruang lingkup penerapan hak, (d) pihak-pihak terkait yang terlibat dalam penerapannya, serta (e) dasar hukum hak tersebut.
Penjelasan konseptual singkat di atas mengisyaratkan bahwa konsep hak sebagai kepemilikan merupakan hasil capaian seseorang dalam bingkai keadilan. Hak merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan; hak dapat dimiliki sebagai buah perjuangan manusia. Artinya, hak tidak diwariskan tetapi dicapai sebagai buah kreasi manusia. Karena sebagai hasil capaian, maka hak merupakan sesuatu yang bersumber di luar diri manusia. Oleh sebab itu, dalam doktrin perjuangan dan hukum, sering terdengar bahwa ”Hak Harus Direbut, Jangan Ditunggu. [v] Hasil capaian di atas sebagai akibat dari rangkaian kegiatan yang sebelumnya harus dilakukan seseorang. Rangkaian tindakan dimaksud dalam bahasa ajaran moral-legal adalah kewajiban. Di sini perlu diingatkan bahwa pelaksanaan kewajiban merupakan syarat (pra-kondisi) utama bagi kepemilikan hak. Karenanya, tidak mungkin ada hak jika kewajiban belum dilaksanakan”.
Hak dan kewajiban secara normatif merupakan dua entitas yang tak terpisahkan. Hak dan kewajiban selalu bergandengan, menyatu dalam fungsi, walaupun berbeda dalam tahapan skuwensial (urut-urutan). Kewajiban harus didahulukan sebelum hak diperjuangkan. Dengan kata lain, kaitan antara hak dan kewajiban seperti model relasi resiprositas (timbal balik), atau relasi ketergantungan antara dua sisi mata uang. Akibatnya, perjuangan untuk mengejar hak harus selalu didasarkan pada keharusan pemenuhan segala syarat kewajiban yang merupakan pra kondisinya. Alhasil, hak dan kewajiban merupakan kesatuan entitas dari dua unsur yang tidak mungkin dipisahkan. Dari sisi ini, kita harus selalu ingat bahwa setiap kali berbicara tentang hak, maka kita secara otomatis juga membicarakan kewajiban. Bahkan seperti ditegaskan di atas bahwa kewajiban secara moral harus selangkah lebih didahulukan sebelum kita mengklaim hak.
Dalam doktrin Islam, kewajiban (obligation) dan hak menyatu dalam suatu ajaran moral ketauhidan tanggungjawab. Pertama, Islam mengajarkan bahwa sejak dalam alam rahim manusia sudah membuat kesepakatan primordial dengan sang Penciptanya untuk disembah. Dari perjanjian sakral ini, tumbuh kewajiban manusia untuk menyembah Allah dan menjalankan seluruh perintah keagamaan. Oleh sebab itu, seorang yang beriman dalam Islam pasti harus terlebih dahulu mengutamakan kewajibannya sebelum menuntut hak-haknya.[vi]
Seperti disinggung sebelumnya, hak secara konvensional merupakan hasil capaian, buah perjuangan, tidak diwariskan. Namun demikian, HAM masih mempunyai unsur khusus, yang secara substansial berbeda dengan konsep umum tentang hak di atas. HAM adalah hak-hak dasar manusia yang melekat permanen pada setiap individu manusia. Secara hakiki, HAM bersifat alamiah (natural) dan merupakan anugerah ilahiah, pemberian Tuhan untuk menghormati kemartabatan manusia sebagai wujud makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna dan terhormat. Sesuai dengan sifat ilahiahnya, mencabut dan mengingkari HAM sama artinya dengan menolak anugerah Tuhan.
Dari sudut pandang ini, HAM dimiliki secara otomatis oleh setiap individu tanpa harus diperjuangkan terlebih dahulu, tanpa memilah warna kulit, jenis kelamin, agama, golongan atau warga-negara. Ini merupakan konsep ideal HAM. Hanya saja, HAM dalam substansi ini dalam praktiknya tidak selamanya dihargai dan dilindungi. Faktanya, HAM masyarakat marginal, pinggiran, minoritas, dan kelompok yang terlemahkan (secara kultural, sosial dan politis) sering diabaikan, dilecehkan bahkan dilanggar. HAM mereka tidak jarang dikorbankan atas nama beragam nuansa kepentingan (baik sosial, politik, kultural, terkadang teologis). Misalkan, manusia tidak jarang dikorbankan untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa. Dalam ajaran Hindu klasik (sekarang sudah dilarang), istri harus ikut dibakar saat suaminya yang meninggal dunia dibakar. Karena alasan stabilitas keamanan, polisi dan aparatur pemerintah di era Orde Baru sering bertindak semena-mena saat membubarkan demonstrasi, dan penghilangan kelompok aktivis.
HAM secara sederhana didefinisikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki manusia, melekat (embodied), inherent dalam diri kemanusiaannya sejak mereka terlahir ke dunia. HAM umumnya dipahami sebagai hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia normal. Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 1 ayat A mendefinisikan HAM sebagai “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dikatakan HAM sebagai hak dasar yang paling fundamental, karena HAM menjadi pijakan dan kerangka dasar bagi manusia untuk dapat mengoptimalisasi potensi kemanusiaannya. Kenapa? Karena tanpa HAM, kualitas kehidupan seseorang tidak mungkin dapat mencapai titik puncak capaiannya. Karena begitu esential dan krusialnya sifat HAM, maka, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya dari pemiliknya. Selain itu, mencabut HAM setara dengan penolakan terhadap anugerah Tuhan. HAM bersifat kodrati dan “suci”; HAM bukan pemberian negara atau regim penguasa tertentu. Sebaliknya, negara justru memiliki kewajiban dan tanggungjawab hukum untuk selalu menghormati, melindungi dan memenuhi HAM para warga negaranya.
HAM selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajiban asasi. Juga ada orang yang bertanya mengapa bukan social rights. Bukankah social rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan perlindungan HAM? Sesungguhnya dalam HAM sudah implisit terangkum adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan sosial. Kita juga tidak mungkin mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi, doktrin mengharuskan saling menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelas bahwa kalau ada hak berarti ada kewajiban. Sebagai contoh, seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, dia harus terlebih dahulu memenuhi kewajibannya dengan meningkatkan hasil kerjanya.
Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah social rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya hal itu sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut, seseorang tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Hal yang perlu dijaga adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Harus diingat bahwa seseorang dengan HAM-nya itu tidak boleh berbuat semena-mena, bertindak anarkis, tanpa aturan. Semuanya harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu tindakan yang dapat dikategorikan melanggar hak individul orang lain atau hak kolektif, atau hak publik lainnya, maka secara hukum, dia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Kesimpulannya, pengelolaan dan aplikasi HAM harus didasarkan pada prinsip the rule of law.

B. Sifat-sifat Dasar HAM dan Jenis-jenisnya
Dari uraian umum di atas terlihat bahwa HAM memiliki sifat-sifat dasar. Sifat-sifat dasar itu antara lain;[vii]
1).    HAM adalah anugerah ilahiah; hak-hak dasar yang diberikan langsung oleh Sang Khaliq Yang Maha Pencipta kepada setiap individu manusia; HAM ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu.
2).    HAM didasarkan atas penghormatan harkat dan martabat manusia. HAM secara hukum dijamin untuk melindungi martabat individu atau kelompok dari segala bentuk tindakan yang melanggar kebebasan dasar, harkat dan martabat manusia. Segala definisi dan advokasi atas nama HAM tetapi mengingkari kemartabatan manusia tidak dapat disebut proyek HAM.
3).    Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 di atas, HAM merupakan hak dasar yang bersifat kodrati; otomatis melekat (emboddied) pada diri setiap manusia, dan langgeng sebagai karunia ilahi. Dari sisi ini, HAM tidak perlu diberikan oleh manusia atau negara, karena berkewajiban melindungi HAM warganya.
4).     HAM bersifat universal, melekat abadi, sepanjang hayat pada entitas kemanusiaan selama individu masih menjadi manusia. Dari sisi pandang ini, HAM berlaku tanpa membedakan faktor latar belakang sosial, kultural dan identitas primordial lainnya; HAM untuk semua orang dan melintas batas dimensi ruang dan waktu.
5).    HAM didasarkan pada asas kesetaraan antar sesama manusia; semua orang terlahir setara dan memiliki HAM yang setara. Dengan kata lain, HAM dalam pelaksanaannya bersifat non diskriminatif. [viii]
6).    HAM mengimplikasikan kewajiban bagi individu dan pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
Dari sisi lainnya, HAM dapat dipilah menjadi HAM yang bersifat absolut dan relatif. HAM absolut atau mutlak berwatak holistik, utuh, tidak dapat dipisah-pisahkan, tidak dapat dipenggal-penggal, dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sebagai wujud entitas yang menyatu utuh, HAM bersifat saling terkait dan saling bergantung. Prinsip absolutisme HAM ini tidak hanya ditegaskan pada Deklarasi Universal HAM, tetapi juga oleh rangkaian peraturan perundang-undangan di negara kita. Pasal 4 Undang-undang RI. Nomor 39 tentang HAM tahun 1999 menegaskan anasir HAM absolut ini, yaitu “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum”.
Sementara itu, HAM yang bersifat relatif dapat dikurangi. Dalam situasi dan kondisi tertentu, HAM kategori kedua ini dapat saja dikurangi berdasarkan alasan dan pertimbangan kelayakan, kewajaran dan ditetapkan sesuai dengan asas proporsionalitas standar peraturan hukum internasional.[ix] Umpama, hak kebebasan untuk bergerak dapat dibatasi secara legal jika seseorang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Contoh, secara konstitusional, setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Namun dalam kenyataan, tidak semua orang dapat memperoleh kesempatan yang sama dalam pekerjaan, karena proses dan mekanisme untuk mendapatkan pekerjaan harus memenuhi persyaratan khusus. Contoh lain bahwa sebuah negara yang telah meratifikasi sebuah Konvensi internasional di bidang HAM dapat secara mereservasi pasal-pasal tertentu dari Konvensi dimaksud, yaitu dengan mengatakan pasal tertentu dari Konvensi tersebut tidak diberlakukan.
Terkait dengan sifat-sifat dasar di atas, konstruksi legal HAM harus didasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), keadilan (equity) dan penghormatan (respect) terhadap kemartabatan manusia. Ringkasnya, konsep HAM sangat mengakui bahwa setiap manusia berhak menikmati hak asasinya tanpa memandang perbedaan ras, warna kulit, gender, bahasa, agama, haluan politik atau pendapat lainnya, kebangsaan atau asal usul dan status sosial, kekayaan, keturunan atau status lainnya. HAM secara hukum dijamin dengan hukum HAM yang melindungi individu, kelompok dari tindakan-tindakan yang melanggar kebebasan dasar serta harkat dan martabat manusia seperti dituangkan dalam rangkaian perjanjian kesepakatan dan hukum kebiasaan internasional, sekumpulan prinsip dan sumber-sumber hukum lainnya.
Secara umum, perkembangan doktrin HAM melahirkan variasi HAM, minimal hak-hak eksistensial. Hak-hak tersebut berwujud:
a).    hak-hak kebebasan yang mencakup kebebasan berekspresi, berkeyakinan, beragama, berkumpul dan membentuk asosiasi;
b).    hak-hak kesetaraan yang mencakup kesetaraan di depan hukum, kesetaraan dalam perlindungan hukum, perlindungan dari diskriminasi baik berbasis jenis kelamin, kelas sosial, suku, rasial, agama dan asal-usul sosial;
c).    hak-hak politik yang mencakup hak untuk memilih-dipilih, hak untuk mengakses layanan publik, kebebasan untuk membentuk partai politik, dan hak untuk mengusulkan petisi;
d).   hak-hak ekonomi seperti hak-hak terhadap properti pribadi, hak untuk bekerja, kebebasan untuk memilih pekerjaan;
e).    hak-hak kolektif yang mencakup hak untuk menentukan nasib sendiri, perlindungan terhadaop hak-hak minoritas, hak-hak penduduk asli, dan sebagainya;
f).     hak-hak prosedural terutama mencakup prosedur dalam penanganan masalah pidana.
Hak-hak di atas telah dituangkan ke dalam kerangka hukum. Melalui rangkaian perangkat hukum internasional dan nasional hak-hak dimaksud telah dijamin, walaupun dalam prakteknya, perlindungan HAM tersebut di negara kita belum berjalan optimal. Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang RI. Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:[x]
1).    Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat;
2).    Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas;
3).    Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya baik secara pribadi maupun kolektif guna membangun masyarakat, bangsa dan negaranya;
4).    Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas, tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh aparat hukum yang berwenang dengan asas kejujuran dan keadilan untuk memperoleh putusan yang adil dan benar;
5).    Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan menganut keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
6).    Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak milik dari segala bentuk gangguan, perlindungan rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
7).    Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak untuk memiliki properti atau kekayaan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya;
8).    Hak turut serta dalam pemerintahaan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan;
9).    Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu kaum perempuan berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya;
10).            Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

C. Landasan Religius, Moral, Filosofis dan Legal HAM
Doktrin HAM memiliki akar religius, moral dan filosofis yang kuat. Tradisi agama-agama besar memberikan pijakan religius yang jelas dalam hal pengakuan terhadap HAM. Seluruh agama besar dunia dari sudut pandang yang berbeda ikut menyuarakan isu tanggungjawab manusia terhadap sesamanya dan penghargaan terhadap dignitas atau kehormatan manusia.
Terlepas dari keragaman sudut pandang, paradoks internal, variasi kultural, sampai ke masalah kompleksitas tafsir dan penerap HAM, seluruh tradisi agama-agama besar memiliki kesamaan dalam hal ketidak-puasan terhadap realitas dunia yang sering mengabaikan kemartabatan manusia. Kepedulian mereka mengakar pada usaha tak berbatas tentang obsesi memberikan hal yang terbaik kepada umat manusia. Kebaikan tersebut tidak hanya sebagai kebahagiaan duniawi, tetapi juga ukhrawi. Tokoh agama terus berusaha memberikan jalan dan tuntunan yang dapat membimbing setiap pemeluk agama untuk tidak semata-mata terfokus pada egoisme yang berujung pada otoritarianisme dan absolutisme.
Pikiran mereka tersebut dengan mudah dapat kita jumpai dalam narasi suci, puisi-puisi kemanusiaan dan cinta keabadian. Tradisi Hindu dalam teks klasik Veda dan Upanishad menyebutkan “kebenaran suci/ilahiah bersifat universal dan keyakinan keagamaan harus menjadi panduan hidup setiap orang”. Dalam kaitan ini, doktrin Manawa Dharma Sûtra sangat kuat mendorong sesama kaum beriman untuk terus berusaha untuk memenuhi tanggungjawab keduniaannya demi kepentingan sesama, terutama untuk orang-orang yang lemah, lapar, gelandangan, dan orang-orang yang tidak beruntung. Di sini, doktrin Hindu mengajarkan bahwa seluruh elemen kehidupan manusia dinilai suci, untuk dicintai, dihormati, dan untuk mencapai kebebasan dari segala bentuk penindasan. Terinspirasi dengan ajakan suci ini, bapak India modern, Mahatma Gandhi yang mengaku penganut Hindu Ortodoks, menekankan prinsip Ahimsâ (tanpa kekerasan, penindasan) untuk menyatukan masyarakat India melawan kolonial Inggris.
Tradisi ajaran Budha juga menegaskan pengakuan terhadap HAM. Dalam doktrin Budhisme disebutkan bahwa “salah satu kewajiban utama seorang Budha adalah keharusan mengatasi nafsu egoisme (dana), mencintai kebaikan (metta) dan kasih-sayang (karunâ) kepada yang membutuhkan”. Prinsip ini membentuk sebagian dari 10 etika Budhisme bagi seorang pemimpin, antara lain (1) berpikir yang benar, (2) berbicara yang benar, (3) bertindak yang benar, dan (4) berinteraksi yang benar dengan seluruh umat manusia. [xi]
Doktrin etika Budhisme di atas menjelma jelas dalam kearifan tokoh agung Dalai Lama. Dalam sebuah orasinya, beliau menegaskan bahwa “problem global umat manusia dapat diselesaikan secara damai dengan cara memperlihatkan kebaikan, cinta dan penghargaan terhadap seluruh umat manusia sebagai saudara kandungnya, serta jika kita mampu memahami nilai-nilai fundamental kemanusiaan orang lain, menghargai hak-hak orang dan ikut merasakan dan berempati terhadap penderitaan orang lain”.[xii]
Konfusianisme juga menghargai HAM. Dalam satu ajaran tradisionalnya menegaskan bahwa “harmoni akan terwujud ketika orang mampu mengatasi kungkungan kepentingan dirinya, egoisme, memenuhi tanggungjawab untuk tidak menyakiti orang lain, memperlakukan sesama dengan pendirian mereka memiliki hati nurani dan moral, dan mengakui kemanusiaan mereka”. Ajaran lainnya mengajarkan “janganlah kamu melakukan sesuatu tindakan kepada orang yang kamu sendiri tidak menyukainya”. Lebih jauh diajarkan sebagai berikut:
Jika di dalam hatimu terukir kebenaran, maka di sana akan ditemukan keindahan dalam perilaku. Jika dalam perilaku ada keindahan, di sana akan tercipta harmoni, terutama dalam rumah tangga. Jika harmoni di rumah terbentu, maka akan ditemukan ketertiban dalam skala negara. Jika dalam negara tercipta kedamaian dan ketertiban, maka di seanterio jagat akan ditemukan kedamaian.
Ajaran Judao-kristiani juga sangat menghargai prinsip dasar HAM. Umpama, Surat Kejadian (Genesis), buku pertama dari Perjanjian Lama dimulai dengan pemaparan tentang kesatuan asal-usul manusia dari satu sumber penciptaan. Dalam doktrin ini dijelaskan bahwa “manusia berasal dari satu asal-usul, bersaudara dan dikaruniai dengan pusaka yang sangat berharga, yaitu cinta dan kasih sayang.” Dalam Leviticus dijelaskan bahwa “kamu tidak boleh menindas. Kamu mengasihi tetanggamu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri”.
Ajaran Kristiani mengajarkan bahwa Yesus hadir untuk menentang tatanan kehidupan yang dzolim. Dia mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan universal bagi seluruh umat manusia dalam citra Tuhan. Dia dengan tegar mengajarkan cinta dan kasih sayang, keharusan membantu sesama, memberi pakaian bagi yang papa, merawat yang sakit, memberi makan orang yang lapar, menampung dengan orang-orang rantau, menebar harapan bagi yang putus asa, peduli kepada mereka yang tertindas. Yesus juga memperlihatkan rasa penghargaan dan kecintaan yang dalam kepada kaum perempuan, anak-anak, orang-orang yang tergusur dan sentra kekuasaan, dan mengayomi orang asing”
Dalam sebuah dialog bijak, Yesus mengajarkan etika keagamaan yang agung. Suatu saat Yesus menuturkan sebuah peristiwa di mana seorang miskin menjadi korban perampokan dalam keadaan mengenaskan. Secara kebetulan, seorang rohaniwan melintas di sana, alih-alih berhenti untuk menolong, dia malah membuang muka dan terus berlalu tanpa kasih sayang. Kemudian, seorang Levita yang lalu-lalang juga melakukan hal yang sama, dan menolak untuk memberikan pertolongan. Akhirnya, Samaritan, warga tertindas dan dihinakan dalam masyarakat justru mendatangi sang korban dan memberikan pertolongan. Kemudian Yesus bertanya kepada pengikutnya “siapa di antara ketiga orang tadi yang menjadi tetangga si korban?”. Seorang pengikut Yesus menjawab bahwa “sosok yang menjadi tetangga korban adalah Samaritan, warga yang terbuang, tetapi telah memberikan kasih sayang”. Ketimbang mengakui kebenaran jawaban sang pengikutnya, Yesus malah bertitah kepadanya “pergilah kamu, mengembara, dan lakukan hal yang sama kepada orang lain!.
Islam lebih rinci memberikan pijakan HAM. Tidak hanya memberikan landasan moral, Islam justru memberikan deskripsi teknis tentang HAM. Pada tataran moral-filosofis, dalam surat Bani Isrâil (17:70) Allah berfirman bahwa “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari hal yang baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. Dalam ayat ini Allah dengan jelas menghargai kemartabatan atau dignitas manusia, dan Allah sendiri yang telah memberikan martabat tersebut.
Secara rinci, pembelaan Islam terhadap HAM dapat dengan mudah kita jumpai dalam teks-teks suci baik Alquran maupun hadits nabawi. Pada surat al-Baqarah (2:256) Allah mengingatkan “Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. Dalam surat lain manusia ditantang oleh Allah memilih iman dan kekafiran (QS. : 29) “dan katakanlah bahwa kebenaran itu berasal dari Tuhanmu; maka siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah dia memilih kekafiran”.
Prinsip anti kekerasan semakin nampak pada surat lain. Dalam surat (QS. : 45) mengingatkan bahwa “Kami (Allah) lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka berilah peringatan atau kritikan dengan Alquran orang yang takut dengan ancaman-Ku”. Ayat dengan tegas melarangkan melakukan pemaksaan terhadap siapa saja sejauh dia tidak mengganggu kehidupan umat Islam. Prinsip ini nampak sekali dalam doktrin perang yang melarang tindakan offensif terhadap musuh, kecuali jika mereka telah memulai permusuhan dan peperangan.
Dalam hal larangan melakukan pembunuhan dan penyiksaan, Alquran surat (QS. : 32) mengajarkan “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Alquran dalam surat (QS. :124) juga mengajar kesetaraan dan menekankan prinsip non-diskriminasi. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa “siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang dia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. Rasulullah saw. dalam sebuah sabdanya menegaskan bahwa “tidak ada perbedaan (berbasis suku) antara orang Arab dan non Arab, kecuali atas dasar kualitas ketaqwaan”. Konteks hadits sebagai sebuah kritik tegas terhadap sikap dan perilaku orang Arab yang cenderung mengagungkan kelompok, terutama rumpun qabilah tertentu.
Prinsip non-diskriminasi ini juga nampak jelas dalam hal penegakan keadilan. (QS. :135) mengharuskan orang yang beriman untuk menjadi agen penegak keadilan. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu”. Dalam surat lain Allah menyebutkan bahwa jangan sampai kebencianmu kepada kelompok tertentu mendorong bersikap tidak adil kepada mereka. (QS. :8)  “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada ketakwaan, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dalam perilaku bermasyarakat dengan pemeluk agama lain, Islam dengan arif mengajarkan sikap toleransi. Umat Islam oleh Alquran dilarang keras untuk melecehkan keyakinan agama lain. Dalam surat (QS. : 108) berfirman bahwa  “dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhannya, mereka nanti dikembalikan, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Tradisi ajaran keagamaan di atas telah meletakkan basis religius HAM. Tidak hanya doktrin keagamaan yang telah melegitimasi HAM. Ajaran moral juga memberikan kerangka virtual terhadap HAM. Filsafat moral-teosufis mengajarkan bahwa pada prinsipnya manusia adalah baik, dan secara alamiah dengan bisikan hati-nuraninya, dia selalu mencintai kebaikan, menentang segala bentuk ketidak-adilan, kedzoliman dan penindasan. Oleh sebab itu, secara moral, manusia sangat akrab dengan prinsip HAM yang menentang segala bentuk ketidak-adilan, ketidak-setaraan, kedzoliman, pilih-kasih atau diskriminasi.
Di sisi lain, perangkat hukum internasional dan nasional telah memberikan pijak formal bagi eksistensi HAM. Dalam hal ini, piranti hukum tidak hanya menjelaskan bingkai formal jenis-jenis HAM yang dilindungi hukum, tetapi juga telah menjelaskan mekanisme dan prosedur pengelolaan HAM baik di tingkat nasional maupun internasional. Deklarasi Universal HAM telah mengharuskan setiap negara anggota PBB untuk menghargai dan memuliakan penegakan HAM. Bahkan pembingkaian wacana HAM dalam kerangka hukum telah memberikan corak khusus HAM yang berbeda dengan doktrin moral dan religius tentang HAM. Melalui kerangka hukum, HAM dapat diperjuangkan via pengadilan secara litigatif.
Ringkasnya, tradisi ajaran agama, bingkai moralitas, basis filosofis tentang asal-usul dan esensi serta eksistensi manusia dan basis legal dengan jelas menghargai kemartabatan manusia. Basis nilai-nilai dasar keagamaan, moral, legal dan filosofis telah memberi legitimasi ajaran HAM sampai ke jenjang proses pengadilan.

D. Evolusi Perkembangan Wacana HAM
HAM secara historis adalah suara panggilan hati nurani, jerit tangis orang-orang yang mencari keadilan dan sangat merindukan indeks kebaikan hidup duniawi dan ukhrawi, yaitu kehidupan manusia yang terukur dengan indikator non-diskriminasi, kesetaraan, kebebasan, persaudaraan, kemartabatan dan kemanusiaan. Tuntutan dan panggilan tersebut, bermuara dari adanya rasa tertekan dan ketidakpuasan yang ikut mendorong keputusan eksistensial bahwa ada sesuatu yang seharusnya dimiliki tetapi, pada kenyataan, hak-hak tersebut tidak dapat dinikmati.[xiii] Harus diakui bahwa HAM nyaris identik dengan jeritan suara kelompok terlemahkan (mustadh’afîn) melalui corong pegiat kemanusiaan karena dorongan empati pada mereka yang mengalami ketertindasan-kedzaliman.
Di era demokrasi ini, wacana HAM sebagai satu piranti hukum untuk memberikan keseimbangan antara hak dan tanggungjawab negara terhadap warganya. Di fase era kekuasaan otoriter, negara dapat berbuat apa saja atas nama kepentingan publik termasuk melakukan kekerasan kepada warganya. Hal ini nampak pada fenomena pembuaran demonstrasi dengan cara kekerasan yang menewaskan mahasiswa Universitas Trisakti di penghujung kekuasaan Orde Baru. Dengan semakin memusatnya kekuasaan negara, maka posisi warga sipil terlemahkan, dan sepanjang sejarah, tidak ada cerita warga sipil menang melawan kekuasaan otoriter. Model relasi kuasa yang timpang ini akan selalu melanggengkan kejahatan kemanusiaan terutama terhadap rakyat sipil. Dalam konteks ini, projek HAM lahir sebagai kritik dan kontrol terhadap dominasi negara atas warga sipil. Artinya, wacana HAM selalu hadir di antara relasi kuasa negara dan rakyat sipil. Di sini, negara berkewajiban melindungi HAM para warganya. Bahkan dalam doktrin hukum internasional tradisional ditegaskan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat diminta pertanggungjawaban langsung untuk pelanggaran HAM.[xiv]
Dalam lintasan sejarah, konsep HAM telah mengalami evolusi panjang, sejak era Yunani kuno sampai zaman sekarang. Karenanya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa isu HAM telah berumur tua. Namun demikian, pada aspek tertentu, isu HAM terus berproses dalam ranah perubahan. Pernyataan ini tidak berarti bahwa acuan dan pijakan universal HAM tidak ada menurut standar minimalnya. Ada prinsip-prinsil dan standar universal HAM yang disepakati dunia internasional. Jika HAM masih berproses, perubahan dimaksud sebatas pendekatan teknis dan model kebijakan politik nasional atau regional.
Dalam standar minimalnya, ketentuan substantif-normatif HAM yang bersifat permanen, universal, dan internasional telah ada seperti tertuangkan dalam instrumen internasional di bidang HAM. Dimensi HAM yang valid secara substantif-universal dan harus berlaku secara internasional adalah prinsip HAM yang mencakup larangan penyiksaan (torture), perbudakan (slavery), diskriminasi rasial (discrimination) dan apartheid, serta hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination). Keempat elemen HAM di atas telah disepakati dunia internasional sebagai hak absolut manusia yang tidak boleh dikurangi.[xv]
Sejarah HAM mencatat bahwa HAM merupakan fenomena perjuangan kelompok pinggiran, suara orang-orang kecil, suara rakyat sipil versus hegemoni negara. Kelahiran HAM dapat terbaca jelas dalam beberapa konteks catatan sejarah berikut dan eksistensi HAM harus dipahami dalam kerangka ini.[xvi]
1)     Ketimpangan relasi kerja dan ketidak-adilan hak-hak sipil di Inggris melahirkan kritik keras terhadap ketidak-adilan relasi kekuasaan yang feodalistik-monarkis.
2)     Pemerintahan otoriter di Perancis melahirkan Revolusi Perancis 1879, dan hal fenomena yang mirip juga mengemuka dalam kasus reformasi menentang regim Orde Baru yang otoriter;
3)     Praktek perdagangan budak di era revolusi industri dan menjelang perang sipil di Amerika melahirkan perjuangan anti perbudakan;
4)     Pembataian jutaan umat manusia (houlacost) yang dilakukan Nazi di era perang dunia kedua melahirkan keprihatinan dunia yang menentang segala bentuk penyiksaan dan pembantaian;
5)     Penghilangan orang atau para oposan yang mengkritik pemerintah abosulitis, otoriter melahirkan tuntutan kebebasan untuk berekspresi dan perlindungan keamanan;
6)     Diskriminasi rasial di Afrika Selatan dan pengekangan hak-hak warga kulit hitam melahirkan gerakan anti apartheid;
7)     Ketimpangan relasi gender dalam kehidupan sehari-hari yang berujung pada feminisasi kemiskinan (kaum miskin lebih didominasi oleh kelompok perempuan) dan kekerasan terhadap perempuan melahirkan Deklarasi tentang Eliminsasi Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan.
Istilah HAM atau human rights (Inggris) secara tentatif adalah pakem akhir dari evolusi konseptual pemaknaan hak-hak dasar yang dimiliki manusia. Pada awalnya, terutama di era Victorian sampai abad ke 19, sebelum pakem human rights digunakan sebagai istilah baku di forum resmi dunia, diksi rights of man telah lama dipakai sebagai pengganti istilah natural rights (hak-hak alamiah). Konsep natural rights dipakai dalam wacana hukum alam (natural law) untuk menjelaskan hak-hak yang melekat pada diri manusia sebagai bagian dari kesatuan unsur alam. Natural rights, dalam banyak hal, memiliki anasir kesamaan dengan hukum alam. Namun demikian, karena istilah natural rights terkesan kontroversial, terlalu ”meng-alam”, mengikuti dan terikat logika statis hukum alam, bernada mengobyektivikasi manusia (mematikan kesadaran manusia), sebagai gantinya dipakai istilah rights of man.[xvii]
Istilah rights of man oleh banyak kalangan pegiat gender, khususnya para aktivis perempuan, dikritik karena terlalu berorientasi kelelakian (male-oriented). Kata man (laki-laki) secara ideologis terkesan memberi hak istimewa kepada kaum laki-laki. Term di atas juga dinilai semakin menguatkan semangat dominasi, superioritas laki-laki atas perempuan, dan mempertegas perempuan sebagai the second class creature, warga negara kelas dua;[xviii] atau orang asing di kampungnya sendiri. Dengan kata lain, term rights of man menyiratkan pengakuan diskriminatif terhadap kelompok sosial tertentu.
Padahal, secara konseptual, istilah rights of man di atas dimaksudkan sebagai pernyataan pengakuan inklusif hak-hak kesetaraan bagi seluruh elemen sosial melintas batas kategori gender. Akhirnya, melalui perjuangan Eleanor Roosevelt, istri mantan Presiden USA, yang saat itu memimpin institusi the U.N Commission on Human Rights, istilah rights of man disepakati diganti dengan pakem Human Rights. Istilah ini dipandang lebih universal, lebih inklusif, dan netral gender. Istilah human rights kemudian menjadi pakem resmi dunia, dan terminologi hukum internasional untuk mendefinisikan hak-hak dasar/asasi yang dimiliki setiap individu manusia.
Para pakar Eropa umumnya berpendapat bahwa kelahiran HAM ditandai dengan kelahiran Magna Charta tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa jika raja yang sebelumnya memiliki kekuasaan absolut (raja menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), melalui piagam di atas, kekuasaannya kemudian dibatasi dan mulai dapat dimintainya pertanggung-jawaban di muka sebuah dewan. Dari sini lalu lahir doktrin hukum bahwa raja tidak kebal hukum dan mulai harus bertanggung-jawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan bahwa jika raja melanggar hukum, dia dapat dan harus diadili, serta harus mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada parlemen.[xix]
Pembatasan kekuasaan raja ini menjadi embrio kelahiran monarki konstitusional yang berintikan kekuasaan raja hanya sebagai simbol belaka. Kelahiran Magna Charta ini diikuti oleh perkembangan doktrin dan politik HAM yang lebih konkret seperti kehadiran Bill of Rights (Undang-undang Hak Asasi) di Inggris tahun 1689. Doktrin Bill of Rights menyatakan bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan hak dan hak-hak warga sipil. [xx]
Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang harus dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahir teori politik kenegaraan. John Locke dalam karya The Second Treatise of Government (1690) menegaskan bahwa “setiap individu dalam dunia alam (state of nature) memiliki hak-hak natural tertentu sebelum kehadiran masyarakat yang terorganisasi”. Dia lebih jauh mensinyalir bahwa “semua orang terlahir dalam kondisi kemerdekaan utuh di mana secara alamiah tidak ada satu superioritas (hukum) dan jurisdiksi atas lainnya”; dan “setiap individu, terlepas apapun latar belakangnya, berhak terhadap kebebasan yang sempurna, kenikmatan yang tak terkontrol terhadap hak-hak privilegenya”.[xxi]
Karya Locke menginspirasi kelahiran teori Social Contract (perjanjian masyarakat) ala Roesseau dan teori the Separation of Power ala Montesquieu dengan Trias Politica-nya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan negara guna mencegah tirani kekuasaan. Perkembangan wacana HAM selanjutnya ditandai dengan kemunculan The American Declaration of Independence (1776) yang berbasis paham Social Contract Roesseau dan the separation of power dari Montesqueu. Jika di dalam perundang-undangan lain, dimensi HAM belum dirinci, tetapi Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih detail konsep HAM. Thomas Jefferson di Amerika lebih tegas mengatakan bahwa:

Setiap manusia (men) diciptakan setara, dan dia oleh sang Khaliqnya dibekali dengan hak-hak tertentu yang tidak boleh dirampas, yaitu hak hidup, hak kebebasan dan hak untuk merengkuh kenikmatan. Untuk menjamin hak-hak itu semua, negara dikontrol dengan mandat yang diberikan oleh warganya. ... Manakala negara berperilaku destruktif, maka adalah hak-hak warga sipil untuk mengganti atau untuk menumbangkan kekuasaan tersebut, lalu menggantinya dengan pemerintahan baru[xxii]

Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak sipil lebih dirinci dan kemudian melahirkan dasar The Rule of Law. Deklarasi tersebut menyatakan antara lain bahwa (pasal 1) “seluruh manusia terlahir merdeka dan setara dalam hak, dan distingsi (pembedaan) hanya dapat didasarkan pada kriteria penggunaan umum”; (pasal 4) “kebebasan mencakup segala aspek sejauh hal dimaksud tidak mencederai kebebasan orang”; dan (pasal 7) “tidak ada orang yang boleh ditangkap dan ditahan atas kesemena-menaan, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah”.[xxiii]
Terkait dengan pasal 7 di atas juga lahir presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa dia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/ agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak dasar, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum yang asas-asas politiknya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perkembangan doktrin HAM yang lebih konkret dan radikal ditemukan dalam pidato kenegaraan Presiden Franklin D. Roosevelt. Roosevelt pada 6 Januari 1941 di United States Congress mencanangkan The Four Freedoms:

The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical aggression against any neighbor-anywhere in the world. [xxiv]

Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan jutaan umat manusia) dijadikan dasar utama pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.
Seperti dikatakan di atas bahwa wacana HAM hadir dalam sebuah konteks yang vakum. HAM mengalami perkembangan. Sejarah HAM telah melahirkan tiga generasi HAM. Secara umum di dunia internasional, pembidangan HAM mencakup (1) hak-hak sipil dan hak-hak politik yang disebut dengan HAM generasi I, (2) hak-hak bidang ekonomi, sosial dan budaya yang disebut dengan HAM generasi II, serta (3) hak-hak atas pembangunan disebut dengan HAM generasi III. Hak-hak tersebut dapat bersifat individual dan kolektif.[xxv]
Secara rinci, cakup HAM menurut rumpun generasinya adalah sebagai berikut. HAM Generasi I dalam hak-hak di bidang sipil mencakup, antara lain (1) hak untuk menentukan nasib sendiri, (2) hak untuk hidup, (3) hak untuk tidak dihukum mati; (4) hak untuk tidak disiksa, (5) hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang, (6) hak atas peradilan yang adil. Sementara hak-hak di bidang politik, antara lain (1) hak untuk menyampaikan pendapat, (2) hak untuk berkumpul dan berserikat, (3) hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan hukum, (4) hak untuk memilih dan dipilih.
Sedangkan generasi II di bidang hak-hak bidang sosial dan ekonomi, mencakup antara lain (1) hak untuk bekerja, (2) hak untuk mendapat upah yang sama, (3) hak untuk tidak dipaksa bekerja, (4) hak untuk cuti, (5) hak atas makanan, (6) hak atas perumahan, (7) hak atas kesehatan dan (8) hak atas pendidikan. Sementara hak-hak di bidang budaya, antara lain (1) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan, (2) hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan (3) hak untuk memeproleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta).
Terakhir, Generasi III di bidang pembangunan, mencakup antara lain (1) hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat, (2) hak untuk memperoleh perumahan yang layak; dan (3) hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.

E. HAM dan Konstitusionalisme
Sampai era Perang Dunia ke-2, standar HAM belum pernah dikembangkan dalam kerangka hukum internasional. Kalaupun ada, HAM masih sebatas dikembangkan dalam kerangka konstitusi (undang-undang dasar) nasional negara tertentu, seperti dalam Bill of Rights di Inggris dan lain sebagainya. Karena HAM adalah hak-hak dasar, maka wacana tentang HAM tidak pernah diabaikan dalam perkembangan wacana politik pemerintahan. Dalam konteks relasi negara dan rakyatnya umpama, warga sipil selalu dikalahkan. Penyalah-gunaan kekuasaan sering menjadi akar masalah pelanggaran HAM. Oleh sebab itu, muncul gerakan konstitusionalisme yang intinya ingin memastikan pengaturan kekuasaan negara dan memberikan jaminan terhadap hak-hak sipil.
Gerakan konstitusionalisme ini berkelindan erat dengan perkembangan wacana politik HAM. Jika HAM harus dilindungi, dimuliakan, satu pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana hak-hak ini dijamin dan di mana dijamin?  Di sisi lain perlu ditegaskan bahwa menjamin HAM masyarakat sipil sama artinya membatasi ruang gerak dan perilaku pemerintah yang berkuasa. Di sini, HAM selalu vis-a-vis berhadapan dengan negara. Negara berkewajiban memberikan perlindungan HAM bagi warga-negaranya. Karenanya, hanya negara sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban HAM-nya.
Gagasan perlindungan HAM ini meletakkan prinsip konstitusionalisme. Ajaran tersebut menegaskan bahwa harus ada ketentuan hukum tertinggi yang dapat mengikat dan mengontrol kekuasaan negara. Hukum tertinggi inilah dalam hukum tata negara disebut konstitusi. Konstitusi dijadikan palang akhir untuk menyelesaikan segala hal yang sangat fundamental.
Secara konseptual, sebagai norma hukum, konstituasi terdiri atas dua bagian, yaitu bagian dan formal dan anasir material. Bagian formal mengatur isu-isu lembaga tinggi negara, prosedur pembentukan dan pengangkatan pegawai lembaga tersebut, serta mengatur tata kerja lembaga. Sementara bagian material meletakkan nilai-nilai, tujuan, arah yang telah dicanangkan oleh negara. Dengan kata lain, konstitusi telah merumuskan tujuan dan arah negara yang pada intinya bertujuan untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil.
Hak-hak sipil yang eksistensial di atas dituangkan dalam konstitusi tertulis agar ada kejelasan bingkai aturan mainnya. Menurut catatan, hampir seluruh negara di dunia ini, kecuali Bhutan, telah memiliki konstitusi. Dengan variasi di sana-sini, masing-masing negara telah merumuskan hak-hak warga-negaranya. Di negara kita melalui Amandemen ke-4, hak-hak warga negara menjadi semakin jelas. Kerangka konstitusional ini dikuatkan melalui kelahiran Undang-undang RI. Nomor 39 Tahun 1998 tentang HAM. Dari sisi ini, masalah HAM di tanah air kita sudah diatur dengan jelas melalui sejumlah legislasi dan provisi nasional baik via ratifikasi kovenan dan konvensi internasional, dan juga legislasi hukum nasional sendiri.
Akhirnya, jika dicermati secara khusus, akhir-akhir ini ada fenomena yang menarik bahwa pengembangan konstitusi di setiap selalu disandingkan dengan tuntutan HAM internasional dengan standar minimal di bidang HAM seperti tertuangkan dalam sejumlah instrumen HAM internasional. Perkembangan ini dapat menjelma dalam wujud memadukan pengelolaan HAM nasional dengan badan dan traktat internasional. Wujud lain adalah kemajuan mandiri pemaknaan, penjaminan dan perlindungan HAM bagi warga sipil, seperti kelahiran institusi Ombudsman, Pengadilan HAM ad hoc, dan kehadiran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Semua ini dapat menjadi tolok ukur tentang kepedulian dunia internasional, regional dan nasional terhadap eksistensi HAM.
Untuk mewujudkan pemuliaan, penjaminan dan perlindungan HAM, negara menjadi lembaga kunci yang bertanggungjawab. Namun demikian, menurut Undang-undang RI. Nomor 39 Tahun 1998  Pasal 69, setiap individu wajib menghormati HAM orang. Tepatnya:
(1)     Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2)     Setiap hak asasi manusia yang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan dan memajukkannya.

Dengan kata lain, proses penegakan HAM tidak dimonopoli oleh negara. Warga sipil dapat berpartisipasi dalam kegiatan mulia ini. Pasal 100 Undang-undang Nomor 39 di atas menyebutkan sebagai berikut Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia”. Pasal 101 lebih jauh menegaskan peran lembaga sipil dan pemerintah dalam pengawasan pelaksanaan HAM.

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi amnusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakkan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 102
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakkan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lainnya.
Pasal 103
Setiap orang, kelompok, organisasi pilitik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.

Ringkasnya, melalui asas konstitusionalisme, HAM semakin dapat dijamin dan dilindungi. Tetapi juga adalah benar bahwa konstitusi yang baik tidak cukup untuk menjamin perlindungan HAM masyarakat sipil. Peranan the rule of law dan perilaku taat asas hukum juga memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap perkembangan penegakan HAM.


F. Universalitas dan Partikularitas HAM
Satu masalah yang menjadi polemik dunia adalah klaim universalitas HAM. Apakah HAM bersifat universal seperti tercermin dalam klaim judul Universal Declaration of Human Rights? Telah dijelaskan sebelumnya bahwa  HAM dapat dibedakan antara HAM yang bersifat absolut dan bersifat relatif. Dimensi HAM absolut ini bersifat universal dalam standar minimal yang diakui hukum internasional tradisional atau hukum traktat. Standar HAM universal dimaksud mencakup larangan penyiksaan dan perbudakan, pengharaman diskriminasi rasial dan apartheid, hak-hak kolektif untuk menentukan pilihan-sendiri, atau hak-hak minimum anak.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya seperti yang termaktub dalam ke-30 pasal Deklarasi HAM sedunia adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di luar ketentuan minimal di atas, masing-masing negara atau organisasi regional bebas untuk membentuk dan menentukan standar tambahan, sampai maksimal HAM, seperti larangan hukuman mati. Amerika Serikat masih mengesahkan hukum mati, sementara sejumlah negara secara total menghapus hukum ini. Standar Pengadilan Uni Eropa di bidang HAM telah menetapkan bahwa hukuman korporal, walaupun hanya sampai pada skala yang ringan adalah hukum yang merendahkan, akibatnya dilarang di Eropa.
Dengan demikian, doktrin HAM internasional mengakui adanya dimensi partikular HAM. Sulit dihindari fakta historis bahwa doktrin HAM yang sekarang ini lahir dari tradisi nilai-nilai Barat yang kapitaslis, individualis dan Kristiani. Oleh sebab itu, dari beberapa anasir, nilai-nilai partikular tersebut bisa saja tidak cocok dengan nilai-nilai dari belahan dunia baik nilai-nilai yang bersumber dari ideologi, paham keagamaan, orientasi hidup lain dan nilai-nilai tradisional dan kultural lainnya.
Atas dasar konteks spesifik nilai-nilai, maka ada pihak yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus disesuaikan dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak persis sama dengan pelaksanaan HAM di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan budaya kita. Harus diakui bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecuali Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Namun demikian, tidak berarti bahwa dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM dapat dilanggar atau minimal diabaikan. Standar minimal harus dihargai dan ditaati agar ada ukuran dasar yang dapat dijadikan untuk evaluasi pelaksanaan HAM.




[i]Manfred Nowak, International Human Rights, hal. 2; Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd), 1998, hal. 17; Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Politics and Tradition, (Boulder and San Francisco: Westview Press; London: Pinter Press), 1999; Michael Freeman, Human Rights, (Cambridge, England: Polity Press), 2002; hal. 36, 37, 103, 108, 110-11; Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, (Ithaca dan London: Cornell University Press), 2003, edisi ke-2, hal. 10-12.
[ii]James W. Nickel, Hak-hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama),1996.
[iii]Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (),.
[iv]Syaiful Watni, et.als, Analisis dan Evaluasi Hukum tenang Hak-Hak Tersangka/terdakwa dalam KUHAP, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, RI., 2004). h.8
[v]Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2003). Edisi revisi, h. 200.
[vi]Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd), 1998, hal. 17-18.
[vii]Manfred Nowak, International Human Rights, hal. 2; Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, (Ithaca dan London: Cornell University Press), 2003, edisi ke-2, hal. 10-12.
[viii]Perihal hak-hak perempuan dalam konteks intemasional, lihat Margaret K. Bruce, “Work of the United Nations to the Status of Women”, Human Rights Journal, Vol. 4 (1971): 365-412 Margaret E. Galey, “International Enforce ment of Women's Rights”, Human Rights Quarterly, Vol 6 (1984): 463490; Terry Ellen Polson, "The Rights of Working Women: An International Perspective”, Virginia Journal of International Law, Vol. 14 (1974): 729-746; dan Jane P. Sweeney, “Promoting Human Rights Through Regional Organizations: Women's Rights in Western Europe”, Human Rights Quarterly, Vol 6 (1984): 491-506.
[ix]Manfred Nowak, International Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003, hal. 59-60.
[x]Pembahasan rinci tentang hak-hak yang tercakup dalam instrumen hukum internasional dan nasional tentang HAM akan dipaparkan pada sesi-sesi Instrumen dan Institusi Internasional dalam Penegakan HAM; HAM dalam Perspektif Hukum Internasional  dan Penegakan HAM di Indonesia.
[xi]Paul Gordon Lauren, the Evolutuin of International Human Rights, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press), 2003, hal. 6-7.
[xii]Tenzin Gyatso, Ocean of Wisdom, (Santa Fe, N.M.: Clear Light), 1989, hal. 13; L.P. N. Perara, Budhism and Human Rights, (Columbo: Karunaratne), 1991.
[xiii]Sidney Hook, “Renungan tentang Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Hak Azasi Manusia dalam Islam, Harus Nasution dan Bahtiar Effendi, eds., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 1.
[xiv]Manfred Nowak, International Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003, hal. 54-55
[xv]Manfred Nowak, International Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003, hal. 58
[xvi]Paul Gordon Lauren, the Evolutuin of International Human Rights, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press), 2003, terutama Bab 1 dan 2; Manfred Nowak, International Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003, terutama Bab 2.
[xvii]Untuk penjelasan singkat tentang sejarah HAM dalam bahasa Indonesia, silahkan lihat Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2003). Edisi revisi, h. 202-207.
[xviii]Simone de Beauvoir, Second Sex: Fakta dan Mitos, (Surabaya: Pustaka Promethea). 2003.
[xix]Cek, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003, hal. 58
[xx]Jean Claude Vatin “Hak-Hak Asasi Manusia DALAM Islam” dalam Hak Azasi Manusia dalam Islam, Harus Nasution dan Bahtiar Effendi, eds., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 114.
[xxi]John Locke, Two Treatises of Government, (New York: Hafner Library of Classics, 1947, ed), hal. 124, 128 dan 163.
[xxii]Micheline R. Ishay, the History of Human Rights: From Ancent Times to the Globalization Era, (Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press, 2004), hal. 82.
[xxiii]Declaration of Independence, 4 July 1776, dalam John Garraty, the American Nation (New York: HarperCollins, ed. 1991), hal. 2:A-1.
[xxiv]Micheline R. Ishay, the History of Human Rights: From Ancent Times to the Globalization Era, (Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press, 2004), hal. 213.
[xxv]Manfred Nowak, International Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003, hal. 23.



[i] Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective, (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd), 2002, terutama Bab I .
[ii]A.H. Robertson and J.G. Merrills, eds., Human Rights in the World, Manchester: Manchester University Press, 1992, hal. 9
[iii]Manfred Nowak, International Human Rights in the World, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003, hal. 1.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar