Pengantar
Pada umumnya peraturan daerah yang dimaksudkan
dalam pembahasan ini tidak mencantumkan secara jelas istilah syariat Islam.
Oleh karena itu, beberapa pihak menyatakan keberatannya terhadap penggunaan
istilah ‘Perda syariat’ seperti yang
sering ditemukan di dalam pemberitaan media massa. Menurut mereka, Perda yang
dikeluarkan oleh sejumlah provinsi dan kabupaten itu lebih tepat disebut
sebagai peraturan yang berhubungan dengan penertiban kehidupan publik
Perda berbasis syariat itu setidaknya dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu: (1) ketertiban masyarakat seperti
pelarangan aktivitas pelacuran seks dan pembatasan distribusi konsumsi minuman
beralkohol; (2) kewajiban dan keterampilan keagamaan seperti pembayaran zakat
dan kemampuan baca Alquran; dan (3) simbolisme keagamaan berupa pakaian busana
Muslim
A. Pendahuluan
Menyusul tumbangnya rezim orde baru pada tahun
1998, proses demokratisasi di Indonesia menemukan momentumnya. Berbagai macam
aspirasi politik yang selama kurang lebih tiga dasawarsa dikekang oleh
pemerintahan Soeharto kini berkumandang luas tanpa diiringi rasa was-was dan
ketakutan. Gagasan pemberlakuan syariat Islam, baik dalam kerangka Piagam
Jakarta ataupun dalam bentuknya yang lain, yang sebelumnya selalu dihambat dan
ditindak tegas pada masa orde baru, saat ini kembali muncul ke permukaan dalam
berbagai corak dan bentuknya.
Setidaknya ada tiga corak aspirasi pemberlakuan
syariat Islam yang muncul pada pascaorde baru atau yang lebih dikenal sebagai
proses Islamisasi hukum.[i] Pertama, upaya konstitusional dalam Sidang
Tahunan MPR tahun 2002 yang dilakukan oleh sejumlah partai Islam untuk
memasukkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta (“Dengan kewajiban
melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…”) ke dalam batang tubuh
Undang-Undang Dasar 1945. Kedua,
upaya legislatif untuk mengakomodasi sebanyak mungkin elemen-elemen syariat
Islam ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Usaha ini sesungguhnya
telah berlangsung sejak masa orde baru walaupun masih bersifat terbatas. Pada
masa pascaorde baru, upaya ini kian menghasilkan sejumlah undang-undang yang
kuat mencerminkan aspirasi umat Islam secara ekslusif, misalnya undang-undang
penyelenggaraan haji, undang-undang pengelolaan zakat dan undang-undang wakaf. Ketiga, upaya lokal penerapan syariat
Islam pada tingkat pemerintahan kabupaten dan provinsi baik melalui peraturan
daerah (Perda) maupun lewat kebijakan penguasa lokal.
Maraknya penerapan syariat Islam pada level
pemerintahan lokal, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, antara lain
didorong oleh program desentralisasi atau otonomi daerah yang merupakan salah
satu bagian dari proses demokratisasi pascaorde baru. Kondisi ini kian
meningkat terutama sejak provinsi Aceh mendapatkan otonomi khusus melalui
serangkaian peraturan perundang-undangan nasional untuk memberlakukan secara
formal sejumlah ketentuan syariat Islam di wilayahnya. Fenomena khusus di Aceh
ini pada gilirannya membuat beberapa wilayah lain di Indonesia yang terkenal
cukup kuat secara tradisi dan kesejarahan Darul Islam, seperti Sulawesi Selatan
dan Jawa Barat, menuntut dan bahkan mulai mengikuti jejak Aceh menerapkan
sebagian syariat Islam. Jika penerapan syariat Islam di Aceh mendapatkan
legitimasi berdasarkan otonomi khusus, penerapan syariat Islam di sebagian
wilayah lain di luar Aceh pada umumnya menjustifikasikan diri pada peraturan
perundang-undangan nasional yang mengatur secara umum mengenai pemerintahan
daerah. Selain menggunakan kerangka hukum ini, argumentasi tentang pentingnya
identitas lokal yang unik di era desentralisasi menjadi alasan lainnya bagi
beberapa provinsi atau kabupaten untuk menerapkan sebagian syariat Islam.
B. Otonomi Daerah Pascaorde Baru
Otonomi daerah atau desentralisasi yang
berlangsung sejak tumbangnya rezim orde baru menandai salah satu proses penting
dalam demokratisasi politik di Indonesia. Jika sebelumnya di masa pemerintahan
otoriter orde baru kekuasaan politik dan ekonomi lebih banyak terkonsentrasi di
tangan pemerintah pusat, maka pada periode demokratis kehidupan politik
pascaorde baru telah terjadi perubahan paradigma yang mendasar dalam penguasaan
dan pengelolaan sumber daya lokal.
Bukan itu saja, pola pemerintahan yang semula
bersifat sentralistik, kini di era otonomi daerah berubah menjadi
desentralistik. Akan tetapi, banyak pihak menilai bahwa proses desentralisasi
pemerintahan kini telah dipahami secara keliru. Semula diharapkan otonomi
daerah dapat melahirkan penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan
akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan menjunjung tinggi asas
pengambilan keputusan yang tunduk pada pertanggungjawaban publik. Namun, yang
sering terjadi adalah pemerintah daerah berusaha mengambil alih semua
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat, tetapi dengan watak kebijakan
yang tidak berubah dengan sebelumnya yang sentralistik dan tidak melibatkan
partisipasi seluruh elemen masyarakat di wilayahnya.[ii]
Berkat lahirnya seperangkat peraturan
perundang-undang dalam bidang Pemerintahan Daerah seperti UU nomor 22 tahun
1999 dan UU nomor 25 tahun 1999, yang kemudian diamandemen melalui
Undang-undang nomor 32 tahun 2004, masing-masing daerah tingkat kabupaten dan
provinsi memiliki otonomi yang lebih luas dan melaksanakan pemerintahan secara
lebih mandiri, kecuali dalam sejumlah sektor tertentu seperti hubungan luar
negeri, pertahanan keamanan, hukum, moneter, dan kebijakan fiscal, serta agama.
Tidak diserahkannya kebijakan dalam aspek kehidupan beragama kepada
masing-masing daerah salah satu pertimbangannya adalah bahwa masalah agama
merupakan hal yang sensitif dan rawan menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa.
Termasuk dalam hal ini adalah kekhawatiran munculnya daerah-daerah tertentu
yang akan lebih menampilkan identitas keagamaan mayoritas di wilayahnya
ketimbang sebagai bagian dari negara kebangsaan Indonesia.[iii]
Akan tetapi, sungguhpun masalah keagamaan masih merupakan wewenang penuh
pemerintahan pusat, sejumlah daerah provinsi, kota dan kabupaten berinisiatif
menetapkan beberapa peraturan daerah yang lekat memiliki cita rasa ajaran
keagamaan tertentu. Tampaknya
agenda desentralisasi telah menjadi kendaraan untuk mengantarkan beberapa
ajaran dan prinsip moral agama tertentu masuk ke dalam tubuh peraturan
perundang-undangan pada tingkat daerah baik secara eksplisit maupun implisit.
Melalui sejumlah peraturan tersebut, negara melakukan upaya formalisasi
serangkaian kewajiban, larangan, anjuran dan imbauan untuk melakukan, atau
menghindari, sebuah perbuatan yang erat kaitannya dengan ajaran keagamaan
tertentu.
C. Peraturan Daerah Berbasis Syariat
Pada umumnya peraturan daerah yang dimaksudkan
dalam pembahasan ini tidak mencantumkan secara jelas istilah syariat Islam.
Oleh karena itu, beberapa pihak menyatakan keberatannya terhadap penggunaan
istilah ‘Perda syariat’ seperti yang
sering ditemukan di dalam pemberitaan media massa. Menurut mereka, Perda yang
dikeluarkan oleh sejumlah provinsi dan kabupaten itu lebih tepat disebut
sebagai peraturan yang berhubungan dengan penertiban kehidupan publik. Akan
tetapi, keberatan semacam ini sesungguhnya dengan mudah sekali untuk disanggah.
Pertama, seseorang akan cepat
menemukan bahwa ada kepentingan ideologis tertentu yang diusung untuk
menegakkan norma-norma keislaman melalui peraturan daerah tersebut. Kedua, penyebutan peraturan daerah
tersebut sebagai ‘Perda syariat’ menjadi tak terelakkan lebih karena sebagian
politisi lokal membenarkan Perda-perda tersebut berdasarkan aspirasi sekelompok
umat Islam di suatu wilayah yang menuntut penerapan secara resmi syariat Islam.
Dengan demikian, berhubung aspirasi penerapan syariat Islam di suatu daerah
disahuti oleh lembaga legislatif kabupaten maupun provinsi melalui peluncuran
Perda, apakah keliru bila Perda yang dihasilkan lewat proses tersebut dinamakan
‘Perda syariat’?
Dilihat dari segi asal usul aspirasi yang
mengawalinya, penyebutan ‘Perda syariat’ mungkin dapat diterima. Akan tetapi,
bila dilihat dari segi isi dan produk akhirnya, penggunaan kata syariat sebagai
label untuk Perda tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Hal ini karena
syariat Islam yang umumnya terkandung dalam berbagai peraturan daerah tersebut
tidaklah mencerminkan keutuhan pengertian syariat Islam itu sendiri. Lebih dari
itu, dapatkah kita menerima kenyataan bahwa legislator di tingkat provinsi dan
kabupaten, dengan segala keterbatasan pengetahuan keislaman yang mereka miliki,
adalah merupakan produsen peraturan syariat Islam? Ringkasnya, bab ini lebih
memilih istilah ‘Perda berbasis syariat’ ketimbang ‘Perda syariat’ untuk
menghindari perdebatan yang muncul seperti sudah dikemukakan ini.
D. Isi Perda Berbasis Syariat
Aspirasi penerapan formal syariat Islam pada
lazimnya menghendaki dilaksanakannya usaha-usaha kodifikasi elemen-elemen
syariat Islam ke dalam peraturan negara. Peraturan negara pada tingkat lokal
ini mengambil bentuk bermacam-macam mulai dari yang paling umum, yaitu:
Peraturan Daerah yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
hingga Surat Keputusan, Instruksi, dan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh
penguasa setempat seperti Gubernur, Bupati dan Walikota.
Serangkaian peraturan negara itu seringkali
hampir tidak ada hubungannya dengan perlindungan hak dan kebebasan beragama,
tetapi lebih berkaitan dengan perintah, dorongan, atau imbauan kepada umat
beragama Islam untuk melaksanakan ajaran, atau menghindari larangan, keagamaan.
Perda berbasis syariat itu setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal,
yaitu: (1) ketertiban masyarakat seperti pelarangan aktivitas pelacuran seks
dan pembatasan distribusi konsumsi minuman beralkohol; (2) kewajiban dan
keterampilan keagamaan seperti pembayaran zakat dan kemampuan baca Alquran; dan
(3) simbolisme keagamaan berupa pakaian busana Muslim. Selengkapnya dapat
dilihat dalam tabel berikut:[iv]
Table 1:
Perda Berbasis Syariat di beberapa Kabupaten dan Kota
Provinsi
|
Kabupaten/
|
Isi Peraturan
|
Jenis & Nomor
Peraturan
|
Aceh
|
Semua wilayah
|
Pelaksanaan syariat Islam bidang akidah, ibadah
dan syiar Islam
|
Qanun No. 11/2002
|
Semua wilayah
|
Larangan minuman keras
|
Qanun No. 12/2003
|
|
Semua wilayah
|
Larangan perjudian
|
Qanun No. 13/2003
|
|
Semua wilayah
|
Larangan khalwat
|
Qanun No. 14/2003
|
|
Semua wilayah
|
Pengelolaan zakat
|
Qanun No. 7/2004
|
|
Sumatera
Barat
|
Semua wilayah
|
Pemberantasan maksiat
|
Perda No. 11/2001
|
Padang
|
Busana Muslim
|
Instruksi Walikota No. 451.442/2005
|
|
Padang
|
Kemampuan Baca Tulis Alquran
|
Perda No. 3/2003
|
|
Solok
|
Busana Muslim
|
Perda No. 6/2002
|
|
Solok
|
Kemampuan Baca tulis Alquran bagi pelajar dan
calon pengantin
|
Perda No. 10/2001
|
|
Padang Pariaman
|
Pemberantasan maksiat
|
Perda No. 2/2004
|
|
Pasaman Barat
|
Busana Muslim
|
Tidak
teridentifikasi
|
|
Sumatera Selatan
|
Semua wilayah
|
Larangan perbuatan maksiat
|
Perda No. 13/2002
|
Palembang
|
Larangan Pelacuran
|
Perda No. 2/2004
|
|
Bengkulu
|
Bengkulu
|
Larangan Pelacuran
|
Perda
No. 24/2005
|
|
Peningkatan Iman dan Takwa
|
Instruksi Walikota No. 3/2004
|
|
Lampung
|
Bandarlampung
|
Larangan prostitusi dan tunasusila
|
Perda No. 15/2002
|
Banten
|
Tangerang
|
Larangan penjualan dan pengaturan distribusi
minuman keras
|
Perda
No. 7/2005
|
Tangerang
|
Larangan Pelacuran
|
Perda
No. 8/2005
|
|
Pandeglang
|
Busana Muslim di hari kerja
|
Surat
Keputusan Bupati No. 25/2002
|
|
Busana Muslim bagi pelajar wanita
|
Surat
Keputusan Bupati No. 9/2004
|
||
Persyaratan baca Alquran bagi calon murid Sekolah
Dasar
|
Surat
Keputusan Bupati No. 3/2005
|
||
Jawa Barat
|
Cianjur
|
Pendirian Lembaga pengkajian dan pengembangan
syariat Islam
|
Surat
Keputusan Bupati No. 36/2001
|
Gerakan peningkatan moral PNS dan masyarakat
|
Surat
Edaran BupatiNo. 551/2717/ASSDA.I/9/2001
|
||
Pengelolaan zakat
|
Perda
No. 7/2004
|
||
Larangan Pelacuran
|
Perda
No. 21/2000
|
||
Anjuran Busana Muslim di tempat kerja
|
Surat
Edaran BupatiNo. 061.2/2896/org.
|
||
Tasikmalaya
|
Anjuran berpakaian sopan bagi pelajar
|
Surat Edaran BupatiNo. 451/SE/04/Sos/2001
|
|
|
Pemberantasan Pelacuran
|
Perda
No. 1/2000 Perda No. 28/2000
|
|
Garut
|
Anjuran busana Muslim bagi PNS perempuan
|
Tidak
teridentifikasi
|
|
Peningkatan moralitas
|
Perda
No. 6/2000
|
||
Pengelolaan Zakat Infak Shadaqah
|
Perda
No. 1/2003
|
||
Jawa Timur
|
Gresik
|
Larangan Pelacuran
|
Perda
No. 7/2002
|
Gresik
|
Pembatasan distribusi minuman keras
|
Perda
No. 15/2002
|
|
Pasuruan
|
Larangan Pelacuran
|
Perda
No. 10/2001
|
|
Pamekasan
|
Pembatasan distribusi minuman keras
|
Perda
No. 18/2001
|
|
|
Pelaksanaan syariat Islam
|
Surat Edaran BupatiNo. 450/2002
|
|
Jember
|
Larangan Pelacuran
|
Perda
No. 4/2001
|
|
Sulawesi Selatan
|
Semua wilayah
|
Kemampuan Baca Tulis Quran
|
Perda No. 4/2006
|
Bulukumba
|
Busana Muslim
|
Perda
No. 5/2003
|
|
|
Larangan penjualan dan distribusi minuman keras
|
Perda No. 3/2002
|
|
|
Zakat, infak, dan Sedekah
|
Perda
No. 2/2003
|
|
|
Persyaratan baca Alquran bagi pelajar dan calon
pengantin
|
Perda
No. 6/2005
|
|
Sinjai
|
Busana Muslim
|
Tidak
teridentifikasi
|
|
Gowa
|
Busana Muslim dan penambahan jumlah jam pelajaran
agama di sekolah
|
Perda
No. 7/2003
|
|
Takalar
|
Busana Muslim
|
Tidak
teridentifikasi
|
|
Maros
|
Persyaratan baca Alquran bagi pelajar dan pegawai
negeri sipil
|
Perda
No. 15/2005
|
|
Busana Muslim
|
Perda
No. 16/2005
|
||
Pengelolaan zakat
|
Perda
No. 17/2005
|
||
Enrekang
|
Busana Muslim bagi perempuan dan kemampuan baca
tulis Alquran bagi pelajar
|
Perda
No. 6/2005
|
|
Kalimantan Selatan
|
Semua wilayah
|
Larangan konsumsi minuman keras
|
Perda No. 1/2000
|
Banjarmasin
|
Penghormatan hari Jumat
|
Perda
No. 8/2005
|
|
Persyaratan baca Alquran bagi pelajar
|
Perda
No. 4/2004
|
||
Banjarmasin
|
Penghormatan bulan Ramadan
|
Perda
No. 4/2005
|
|
Banjar
|
Penghormatan bulan Ramadan
|
Perda No. 10/2001
|
|
Kalimantan Barat
|
Sambas
|
Larangan pelacuran dan pornografi
|
Perda
No. 3/2004
|
Sambas
|
Larangan judi
|
Perda
No. 4/2004
|
|
Nusa Tenggara Barat
|
Lombok Timur
|
Pembayaran zakat profesi
|
Perda
No. 9/2002 dan Surat Keputusan Bupati 17/2003
|
Mataram
|
Pencegahan maksiat
|
Perda
No. 12/2003
|
|
Gorontalo
|
Gorontalo
|
Pencegahan maksiat
|
Perda
No. 10/2003
|
E. Argumen Mendukung Keberadaan Perda
Sejumlah pendukung Perda berbasis syariat
mengajukan konsep demokrasi untuk menjustifikasi keberadaan Perda-perda yang
bermuatan perintah agama semacam itu. Menurut mereka, posisi Perda syariat di
Indonesia memiliki keabsahan secara hukum dan politik sepanjang ia tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sejauh
kesepakatan publik dapat tercapai di antara masyarakat mengenai sebuah
peraturan yang berlaku lokal.[v] Argumen semacam ini
sesungguhnya mengandung celah kelemahan yang cukup mendasar, terutama karena
sejumlah produk hukum Perda berbasis syariat itu justru bertentangan dengan
hak-hak setiap warga negara yang diakui oleh konstitusi. Bukan hanya itu,
kesepakatan mayoritas masyarakat yang dipersyaratkan itu tidak jarang lebih
berupa manipulasi kepentingan elit politik yang dibungkus atas nama aspirasi
rakyat.
Lebih dari segalanya, penting disadari bahwa
mayoritas tidak dengan serta merta merupakan demokrasi itu sendiri. Demokrasi
tidaklah sepadan dengan pemerintahan mayoritas (majoritarianism government), sebab salah satu elemen penting
demokrasi adalah bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama, yang
hendaknya dapat terefleksikan dan terakomodasi dengan baik di dalam sebuah
produk legislasi. Produk-produk lembaga legislatif ini tidak boleh sedikitpun
melemahkan, atau bahkan menghancurkan, hak-hak kelompok minoritas termasuk
posisi hukum mereka. Jika ini yang terjadi, keputusan yang dibuat oleh
mayoritas akan dipandang sebagai upaya-upaya yang tidak jujur dan jelas-jelas
tidak mencerminkan sebuah keputusan yang demokratis.[vi]
F. Kepentingan Politik di Balik Perda
Dukungan terhadap keberadaan Perda syariat
sesungguhnya lebih banyak bersifat politis ketimbang keagamaan. Menurut Ahmad
Suaedy, Direktur Eksekutif Wahid Institute, beberapa Perda berbasis syariat
yang diundangkan oleh sejumlah provinsi dan kabupaten/kota di tanah air pada
umumnya ditujukan untuk kepentingan politik jangka pendek elit politik di
masing-masing wilayah tersebut, yaitu agar dapat terpilih kembali pada periode
jabatan berikutnya.[vii] Pandangan ini seolah
terkonfirmasi dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Lembaga Kajian
Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), sebuah LSM di Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa Perda berbasis syariat kerapkali
digunakan sebagai alat untuk kepentingan pencitraan elit politik yang sedang
berkuasa dan untuk mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap penguasa
eksekutif dan lembaga legislatif suatu wilayah.[viii] Malah, masih menurut hasil
riset itu, tak jarang Perda berbasis syariat menjadi semacam modal awal
investasi politik untuk meraih simpati pemilih Muslim dalam pemilihan kepala
daerah (pilkada) yang akan segera tiba.[ix]
Perda berbasis syariat juga tak jarang menjadi
ajang perlombaan bagi partai-partai politik untuk menunjukkan komitmen
artifisial mereka terhadap kepentingan Islam dan umat Islam di Indonesia. Bagi sementara partai politik,
penampakan komitmen semacam itu menjadi signifikan untuk menggaet hati pemilih
umat Islam dalam pemilu ataupun pilkada. Dengan mendukung keberadaan Perda
berbasis syariat, partai-partai politik itu ingin meneguhkan kesan di hati
pemilih yang mayoritas beragama Islam bahwa partai mereka seolah-olah
memperjuangkan Islam dan kepentingan umat Islam di Indonesia. Sejauhmana upaya
politik pencitraan semacam ini berhasil merebut simpati pemilih umat Islam
tentu saja tidak dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi, upaya tersebut
menjelaskan tentang betapa beragamnya motivasi di balik lahirnya serangkaian
Perda-perda berbasis syariat itu. Singkatnya, kesalehan religius bukanlah
semata-mata pendorong munculnya Perda-perda tersebut, tetapi pertimbangan
politik tak jarang pula ikut melatarbelakangi keberadaan Perda-perda itu.[x]
G. Hubungan Perda dengan Peraturan yang Lebih Tinggi
Masalah lain yang membentur Perda berbasis
syariat adalah hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Menurut Denny Indrayana, beberapa Perda berbasis syariat itu secara
sengaja telah dibuat sedemikian rupa agar bisa lolos disahkan oleh DPRD dan
terhindar dari kemungkinan pembatalan oleh Departemen Dalam Negeri melalui
proses eksekutif review (peninjauan
ulang).[xi] Pendekatan yang paling kerap digunakan adalah dengan
cara merujuk kepada Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (UU no. 22/1999
dan UU no. 32/2004) yang memberi kewenangan mengatur pengelolaan daerah secara
otonom dalam beberapa sektor tertentu. Dengan demikian, walaupun urusan
keagamaan sama sekali bukanlah kewenangan daerah, Perda-perda berbasis syariat
dianggap absah karena merupakan peraturan lokal yang bertujuan untuk
menyelesaikan masalah sosial dan memelihara ketertiban publik di suatu wilayah
pemerintahan daerah. Perda-perda tersebut berusaha agar secara penampilan tidak
terlihat mencantumkan sedikitpun persoalan pelaksanaan syariat bagi umat Islam,
melainkan masalah sosial kemasyarakatan. Dengan cara seperti ini, Perda-perda
berbasis syariat itu dapat menghindar dari benturan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya UU tentang pemerintahan daerah,
yang tidak menyerahkan urusan keagamaan untuk diatur oleh peraturan lokal.
Sungguhpun Perda-perda berbasis syariat itu
terlihat bersesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di
atasnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Perda-perda tersebut secara
material bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang telah ditetapkan secara
tegas oleh konstitusi RI, khususnya yang berkaitan dengan hak kebebasan beragama
seperti yang akan dijelaskan dalam uraian mendatang. Namun sebelum menjelaskan
hal itu, sus-bab ini akan memaparkan beberapa hak-hak konstitusional yang
relevan untuk menganalisis muatan pelanggaran HAM yang terkandung dalam
Perda-perda berbasis syariat itu.
Amendemen Kedua UUD 1945 RI mengadopsi sejumlah
ketentuan-ketentuan progresif tentang kebebasan sipil antara lain:
1. Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A).
2. Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D:1).
3. Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
(Pasal 28D:3).
4.
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya (Pasal 28E:1).
5. Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya (Pasal 28E:2).
6. Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi (Pasal 28G).
7.
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu
(Pasal 28I:2).
H. Problematika Perda Berbasis Syariat
Abdullahi Ahmed An-Naim berpendapat bahwa
penerapan formal syariat Islam di era modern sesungguhnya tidak selaras dengan
tata hubungan internasional dan prinsip-prinsip HAM.[xii] Dalam karyanya yang terbaru, Islam dan Negara Sekular (2007), ia
lebih jauh menyatakan bahwa negara tidak dapat memaksakan penerapan syariat
Islam bagi warganya, tetapi justru harus memberi jaminan perlindungan warganya
yang beragama Islam untuk melaksanakan perintah-perintah Islam sesuai dengan
keyakinan dan pandangan keagamaan yang mereka pilih secara sukarela, dan
bukannya sebagai kewajiban keagamaan yang diinstruksikan oleh lembaga negara.[xiii]
Pembahasan dalam sub-bab ini akan mendiskusikan
lebih lanjut pendapat An-Naim di atas dengan fokus pada penerapan formal
syariat Islam melalui peraturan daerah di sejumlah wilayah di Indonesia
sekaligus akan menganalisisnya dengan perspektif HAM seperti yang terkandung di
dalam konstitusi RI. Untuk kepentingan
ini, pembahasan akan dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu kebebasan individual
Muslim, hak perempuan, dan hak kelompok minoritas non-Muslim.
1. Kebebasan Individual Muslim
Salah satu aspek utama yang tampak dalam
penerapan formal syariat Islam melalui Perda adalah upaya perangkat Negara
memperkecil hak individual Muslim untuk memiliki pandangan dan tafsiran
tersendiri mengenai suatu ajaran keagamaan. Perda-perda berbasis syariat itu
mengaku diri sebagai suatu kesepakatan bersama yang diwakili oleh wakil-wakil
rakyat di DPRD. Seringkali juga ada ulama atau kelompok Islam yang dilibatkan
dalam perumusan butir-butir ketentuan Perda tersebut yang seolah-olah telah
mewakili seluruh pemikiran hukum Islam di suatu wilayah. Hasilnya, Perda-perda itu dianggap merupakan
rujukan dalam menentukan satu-satunya model standar pelaksanaan praktek
keagamaan yang dapat diterima dan dipandang sah secara hukum di sebuah daerah.
Ketika Perda semacam ini diberlakukan oleh penguasa eksekutif daerah, tak pelak
seluruh warga daerah bersangkutan diminta, secara sukarela maupun melalui
paksaan, untuk menyesuaikan diri dan mematuhi sepenuhnya ketentuan perintah
dalam Perda itu.
Kenyataan di atas jelas-jelas telah membatasi hak
individual Muslim yang dilindungi oleh konstitusi RI bahwa setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (pasal 28E:1) dan setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya (pasal 28E:2). Lebih dari itu, ketentuan khusus
yang mengatur standardisasi praktek keagamaan dalam Perda-perda tersebut telah
terang-terangan mengabaikan prinsip takhyîr;
sebuah konsep dalam khazanah pemikiran hukum Islam yang membenarkan seorang
Muslim untuk memilih dan mengikuti satu pendapat di antara berbagai pendapat
hukum yang ada.[xiv] Keberadaan Perda yang
menetapkan satu-satunya model pelaksanaan ajaran Islam itu dapat dilihat
sebagai langkah Negara yang telah merenggut hak individu muslim untuk melakukan
takhayyur, dan oleh karena itu
termasuk kategori pelanggaran HAM. Dua kasus di bawah mencoba menjelaskan
argumen ini.
a. Regulasi Akidah di Aceh
Salah satu peraturan daerah di Aceh, atau lazim
dikenal dengan nama Qanun, merumuskan sebuah ketentuan tentang akidah yang
diakui secara resmi di wilayah tersebut. Pasal 1:7 Qanun no. 11/2002 itu
menyebutkan bahwa akidah yang berlaku di Aceh adalah Ahlu Sunnah Wal Jamaah atau Sunni. Penyebutan secara khusus jenis
akidah yang harus dianut oleh pemeluk Islam di Aceh itu tak pelak mencegah
setiap penduduk Muslim di Aceh untuk menganut pandangan teologis yang lain,
semisal Syiah dan Ahmadiyah.
Adanya Qanun di Aceh yang menentukan suatu jenis
akidah yang resmi berlaku di Aceh itu sesungguhnya tidak mengindahkan kenyataan
kemajemukan umat Islam yang berdiam di wilayah Aceh. Sungguhpun diketahui bahwa
mayoritas masyarakat muslim Aceh adalah muslim Sunni, tidak tertutup
kemungkinan bahwa di antara mereka ada yang bersimpati atau merupakan pengikut
Syiah, Ahmadiyah maupun aliran Islam lainnya yang jumlahnya minoritas.
Ketentuan keagamaan tentang satu-satunya jenis akidah Islam yang dapat diterima
di Aceh seperti itu jelas tidak patut bila dilihat dari kacamata legislasi
hokum, sebab seorang menganut akidah Islam tidak dapat dinilai sebagai
kejahatan yang dapat dikenakan sanksi. Masalah akidah seorang Muslim tidak
dapat dikriminalisasi, karena ia adalah persoalan hubungan pribadi antara
seorang yang beragama dengan Tuhan penciptanya. Ia berada di luar area
yurisdiksi dan jauh di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya.
Maka tidak mengherankan, jika penerapannya di
lapangan tidak mudah dilakukan. Bagaimana seorang jaksa dapat membuktikan bahwa
seorang Muslim di Aceh telah meninggalkan akidah Sunni dan berpaling kepada Syiah
misalnya? Bukti-bukti macam apa yang dibutuhkan oleh pengadilan sehingga
seseorang dijatuhi hukuman? Kemudian, sanksi dalam bentuk apa yang dapat
dikenakan bagi seorang Muslim yang melakukan perbuatan kriminal karena
berpindah akidah? Hingga saat ini, Qanun-qanun di Aceh diam membisu soal
ketentuan sanksi atas perbuatan pindah akidah itu. Lebih dari itu, peraturan
akidah sebagaimana yang ditemukan dalam Qanun 11/2002 itu dengan jelas
melanggar kebebasan individual Muslim yang dijamin oleh UUD 1945 seperti sudah
disebutkan di muka.
b. Otomatitasi pembayaran zakat di Lombok Timur
Pada tahun 2002, DPRD kabupaten Lombok Timur
mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tentang pembayaran zakat. Perda no.
9/2002 ini secara umum mengatur pengumpulan dan pembagian zakat, termasuk zakat
harta dan zakat fitrah. Guna menjabarkan lebih lanjut Perda ini, Bupati Lombok
Timur, Moh. Ali bin Dachlan, mengeluarkan Surat Keputusan (SK no. 17/2003) yang
isinya antara lain mewajibkan pembayaran zakat bagi pegawai negeri sipil (PNS)
dan guru-guru negeri di lingkungan pemerintahan daerah kabupaten Lombok Timur.
Pembayaran zakat itu dilakukan lewat pemotongan gaji secara otomatis setiap
bulannya sebesar 2.5 persen dari total jumlah gaji bulanan yang diterima
mereka.[xv]
Argumen yang melatari kebijakan otomatisasi pembayaran zakat PNS ini
berasal dari konsep zakat profesi, yaitu sebuah hasil pemikiran ijtihad
berdasarkan analogi bahwa layaknya para petani yang berkewajiban membayar zakat
setiap panen, maka sebagai pekerja profesional, seperti dokter, pengacara, guru
dan lain-lain, mereka pun terbebani untuk membayar zakat setiap memperoleh
penghasilan. Akan tetapi, berbeda dari para
petani yang mengeluarkan zakat sebanyak lima (5) hingga sepuluh (10) persen
tergantung pada pola pengelolaannya, pekerja profesional cukup membayar zakat
sebesar 2.5 persen.[xvi]
Surat Keputusan bupati tentang pembayaran zakat
yang berakibat pada pemotongan langsung gaji PNS dan guru sebesar 2.5 persen
itu tak lama berselang langsung menuai protes, dan sejak tahun 2006, SK Bupati
tersebut sudah dibatalkan. Protes yang diajukan sebagian besar oleh guru-guru
di Lombok Timur itu dilakukan dengan cara mogok mengajar selama beberapa hari
dan berdemonstrasi menuntut agar SK bupati tersebut dicabut.[xvii] Alasan penolakan terhadap
kebijakan Bupati di kalangan PNS dan guru-guru antara lain adalah bahwa mereka
tidak seluruhnya memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran zakat, malah
sebagian besar mereka yang mempunyai gaji yang minus, misalnya karena mesti
membayar kredit rumah atau kendaraan, yang seharusnya menjadi golongan penerima
zakat. Selain itu, persoalan administrasi zakat dianggap kacau dan tidak
transparan.[xviii]
Melihat kasus otomatisasi pembayaran zakat di
Lombok Timur ini dari perspektif kebebasan individual muslim, kebijakan bupati
tersebut telah menyeragamkan cara pembayaran zakat, dan, dengan demikian,
mengingkari kenyataan bahwa terdapat lebih dari satu cara yang tersedia bagi
umat Islam untuk mengeluarkan zakat mereka. Dus, SK bupati itu telah melanggar
hak setiap individu Muslim, dalam hal ini para PNS dan guru-guru, untuk memilih
cara yang dikehendaki oleh mereka sendiri dalam melaksanakan kewajiban zakat.
Dalam Islam, para wajib zakat dibenarkan untuk menyalurkan secara langsung
pembayaran zakatnya tidak hanya kepada para mustahik, misalnya golongan fakir
dan miskin, tetapi juga dibolehkan untuk menyerahkan pembayaran zakat tersebut
kepada amil atau petugas pengumpul zakat yang nanti menyalurkannya kepada
golongan penerima zakat yang lebih berhak. Hal ini karena bunyi ketentuan zakat
dalam Alquran (QS.9:60) tidak secara rinci menjelaskan bagaimana mekanisme
pembayaran zakat tersebut apakah diserahkan kepada amil atau disampaikan
langsung kepada orang fakir dan miskin.
Akibat lebih jauh yang ditimbulkan oleh SK Bupati Lombok Timur itu adalah
hilangnya unsur keikhlasan dalam pembayaran zakat. Dalam kasus di atas,
sebagian PNS dan guru-guru di Lombok Timur itu merasa terpaksa untuk merelakan
gaji bulanan mereka dipotong untuk kepentingan pembayaran zakat. Keadaan ini lebih lanjut
menyebabkan terjadinya proses depersonalisasi ibadah zakat. Artinya, zakat
kemudian tidak lagi dianggap sebagai sebuah ibadah yang bersifat personal dan
sebagai sebuah hubungan emosional seorang manusia dengan sesamanya ataupun
sebuah hubungan religius antara seorang hamba dengan Khaliknya. Otomatisasi
pembayaran zakat semacam di Lombok Timur itu sangat boleh jadi akan memunculkan
anggapan dan pikiran di kalangan umat Islam bahwa uang gaji yang dipotong
setiap bulan itu tak ubahnya laksana berbagai bentuk pajak yang harus
dibayarkan kepada pemerintah. Konsekuensinya, seperti yang juga dicatat oleh
Mayer di Pakistan, umat Islam yang sejumlah tabungan atau penghasilannya
dipotong langsung oleh pemerintah untuk pembayaran zakat setiap periode tertentu
memiliki perasaan bahwa kewajiban zakat mereka sesungguhnya belum ditunaikan.
Dan, oleh karena itu, mereka merasa terpanggil secara emosional keagamaan untuk
melakukan pembayaran zakat sekali lagi secara tradisional.[xix]
2.
Ancaman terhadap hak perempuan
Moeslim Abdurrahman suatu kali pernah menyatakan bahwa korban pertama dan
terutama sebagai akibat penerapan formal syariat Islam adalah perempuan.[xx]
Pendapat ini benar adanya jika kita mempertimbangkan fakta bahwa beberapa
Perda-perda berbasis syariat yang diluncurkan oleh sebagian kabupaten/kota di
Indonesia secara nyata telah menghambat hak perempuan untuk bergerak dan
kesempatan untuk mengakses sesuatu. Hambatan-hambatan terhadap hak perempuan
dalam Perda-perda tersebut antara lain mencakup perjalanan dalam waktu malam,
kunjungan ke suatu tempat, penggunaan busana yang spesifik dan akses kepada
posisi jabatan tertentu. Beberapa ketentuan dalam Perda-perda itu dirumuskan
secara umum tanpa mencantumkan secara tegas jenis kelamin perempuan, tetapi
pelaksanaan di lapangan secara praktis terlihat sebagai ancaman terhadap hak
perempuan. Beberapa kasus yang akan
diuraikan di bawah bermaksud membuktikan argumen ini.
a. Sumatera Barat
Menyusul dimulainya era otonomi daerah, DPRD
provinsi Sumatera Barat pada tahun 2001 mempersiapkan sebuah draf rancangan
peraturan daerah (Ranperda) tentang pelarangan dan pemberantasan maksiat.
Tujuan Ranperda ini antara lain bertujuan untuk menghapuskan praktek
prostitusi, aborsi, pornografi, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
RanPerda itu terdiri dari tujuh bab dan 17 pasal. Dalam pasal 10 Ranperda itu,
terdapat ketentuan yang melarang perempuan untuk melakukan aktivitas di luar
rumahnya pada malam hari mulai pukul 22.00 hingga pukul 04.00, kecuali apabila
ditemani oleh mahramnya dan atau apabila aktivitas itu dilindungi oleh
undang-undang.[xxi] Ketentuan ini jelas
kontroversial dan dengan segera menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat
Sumatera Barat dan juga antara anggota DPRD setempat.
Ranperda itu dipandang diskriminatif karena
secara jelas menunjuk langsung perempuan sebagai penyebab timbulnya
perbuatan-perbuatan maksiat. Para perumus Ranperda itu kurang memiliki kepekaan
bahwa sebagian perempuan harus bekerja pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan
hidup dirinya dan keluarganya. Mereka ada yang bekerja sebagai penjual sayur
mayur di pasar tradisional, perawat, pelayan restoran dan buruh-buruh pabrik.
Tak jarang di antara mereka ada yang sudah tak mempunyai suami lagi sehingga
harus membanting tulang menghidupi anak-anaknya, termasuk rela bekerja di malam
hari. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika Ranperda itu mendapatkan
protes dan perlawanan dari berbagai pihak baik aktivis perempuan lokal maupun
sejumlah tokoh nasional yang memandang bahwa Ranperda itu bertentangan dengan
hak-hak perempuan yang dijamin oleh konstitusi. Akhirnya, berhubung derasnya
kritik yang bermunculan, DPRD Sumatera Barat mengurungkan niatnya untuk
melanjutkan pembahasan dan pengesahan Ranperda itu.
b.
Tangerang (Banten)
Berbeda dengan DPRD provinsi Sumatera Barat yang akhirnya membatalkan
RanPerda yang melarang perempuan keluar malam, DPRD kota Tangerang telah
mengeluarkan peraturan daerah, Perda 8/2005, tentang pelarangan pelacuran yang
berisikan antara lain ketentuan-ketentuan yang tidak jauh berbeda substansinya
dengan ketentuan seperti dalam Ranperda Sumatera Barat di atas. Salah satu ketentuan
kontroversial dalam Perda itu adalah pasal 4 yang menyebabkan timbulnya aneka
penafsiran:
“Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga
menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di
jalan–jalan umum, di lapangan–lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel,
asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung –warung kopi, tempat hiburan, gedung
tempat tontonan, di sudut–sudut jalan atau di lorong–lorong atau tempat –
tempat lain di daerah.”
Walaupun bunyi pasal di atas tidak menyebutkan satu kata pun mengenai
perempuan, dengan mudah ditemukan bahwa kandungan pengertian pasal tersebut
nyata-nyata berdampak pada pembatasan hak perempuan untuk melakukan aktivitas
di malam hari. Faktanya, seperti diberitakan oleh berbagai media cetak, pada
bulan Februari 2006 seorang perempuan bernama Lilis Lindawati ditangkap pada
saat ia hendak menunggu kendaraan umum yang akan mengantarnya pulang ke rumah
selepas ia pulang bekerja. Lilis ditangkap dengan tuduhan berprofesi sebagai pelacur dengan bukti
alat-alat kosmetik yang ditemukan berada di dalam tasnya. Walaupun Lilis
menolak tuduhan sebagai pelacur, pengadilan menyatakan dirinya bersalah dan
menghukumnya membayar denda sebesar Rp. 300,000,- (tiga ratus ribu rupiah).
Karena Lilis tidak mampu membayar denda itu, ia akhirnya dipenjara selama tiga
hari sebagai ganti denda tersebut.[xxii] Peristiwa ini menimbulkan
geger baik dalam skala nasional maupun internasional terutama karena seorang
perempuan miskin yang lemah menjadi korban Perda berbasis syariat.
Menganalisis Perda kota Tangerang di atas dari
sudut pandang hak-hak konstitusional, ada sejumlah catatan yang penting
dikemukakan. Pertama, Perda tersebut
telah menyebarkan perasaan khawatir dan ketakutan di kalangan perempuan yang
memiliki pekerjaan atau aktivitas di luar rumah, khususnya pada malam hari.
Bahkan, Perda itu telah menghalangi hak setiap orang, termasuk perempuan, untuk
memperoleh mata pencaharian. Padahal, hak untuk berkehidupan layak adalah hak
asasi setiap warga yang dilindungi oleh undang-undang dan konstitusi.
Kedua, alih-alih melindungi dan
menjamin hak-hak warga, Pemerintah Kota Tangerang telah berbuat sewenang-wenang
dengan menuduh perempuan sebagai pelacur tanpa bukti permulaan yang memadai.
Ketentuan dalam Perda itu telah menjadi dasar rujukan untuk melakukan
penangkapan atas dasar kecurigaan dan karenanya jelas tidak menjunjung tinggi
prinsip praduga tak bersalah yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi yang menekankan pentingnya hak setiap orang untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan
kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan.[xxiii]
Berdasarkan hal tersebut di atas, Perda Kota
Tangerang dapat dipandang bertentangan dengan sejumlah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya. Misalnya, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), UU no. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), UU no. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU no. 39/1999 tentang HAM, UU no.
112/2005 tentang Konvensi Hak Sipil, UU no. 10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan UU no. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.[xxiv]
Terakhir, bila dilihat dari perspektif pemikiran
hukum Islam, ketentuan dalam Perda kota Tangerang itu mengandung sebuah
kepelikan tersendiri. Ketentuan Perda itu dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran tindak pidana Islam, persisnya qadzaf
(tuduhan bahwa seseorang telah berbuat zina tanpa disertai pembuktian yang
memadai), karena jelas-jelas berpotensi menuduh perempuan yang beraktivitas di
malam hari sebagai pelacur tanpa didukung oleh bukti-bukti hukum yang valid. Dengan dasar pikiran ini, seseorang mungkin
saja berpendapat bahwa pelaksana ketentuan Perda kota Tangerang itu
sesungguhnya telah masuk dalam kategori pelaku qadzaf, dan karenanya, berdasarkan pemikiran hukum pidana Islam,
mereka sendiri justru dapat dijatuhi hukuman.[xxv]
c. Banda Aceh
Di antara berbagai peraturan daerah (Qânûn) yang
ditetapkan di Aceh, terdapat sebuah Qanun yang secara tak langsung menghalangi
hak perempuan untuk menduduki jabatan tertentu. Women Research Institute (WRI) melalui penelitiannya tentang Potret
Perempuan dalam Era Otonomi Daerah menemukan bahwa Qanun kota Banda Aceh no.
7/2002 yang mengatur tata cara pemilihan Keuchik
(kepala gampong/desa) telah mendiskriminasi perempuan. Salah satu persyaratan
menjabat keuchik dalam Qanun kota
Banda Aceh itu menyebutkan bahwa seseorang harus mampu bertindak menjadi imam
salat. Sementara berdasarkan ajaran Islam yang dapat memimpin salat berjamaah
bagi makmum laki-laki dan perempuan adalah hanya laki-laki. Adapun perempuan
tidak dibolehkan untuk memimpin shalat berjamaah bila terdapat makmum
laki-laki. Dengan demikian, menurut riset WRI itu, perempuan secara hukum tidak
memiliki peluang untuk menjadi keuchik.
Lebih dari itu, Qanun tersebut menegaskan sebuah pandangan tentang tertutupnya
sisi ruang berpartisipasi dalam kehidupan publik bagi perempuan.[xxvi]
Implikasi yang timbul dari Qanun kota Banda Aceh
itu sebetulnya bertolak belakang dengan fakta sejarah di Aceh sendiri. Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa empat orang sultanah (ratu) pernah memerintah
kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-17. Ketentuan dalam Qanun itu juga
kontras dengan fakta mutakhir dengan hadirnya pemimpin perempuan sebagai wakil
walikota Banda Aceh saat ini yang terpilih melalui pemilihan kepala daerah
akhir tahun 2006 lalu. Selain itu, Qanun kota Banda Aceh itu tidak sejalan
dengan peraturan daerah yang lebih tinggi, yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam no. 5/2003 tentang pemerintahan gampong.
Dalam peraturan yang disebutkan terakhir ini, pasal 17 yang mencantumkan
persyaratan seorang keuchik
sedikitpun tidak mempersoalkan kemampuan menjadi imam salat. Barangkali tidak
perlu dijelaskan lagi di sini bagaimana posisi ketentuan dalam Qanun kota Banda
Aceh itu berhadapan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada level
nasional dan konstitusional tentang HAM.
3. Hak Kelompok Minoritas non-Muslim
Salah satu argumen pendukung keberadaan
Perda-perda berbasis syariat di sejumlah wilayah-wilayah provinsi, kabupaten,
dan kota di Indonesia adalah tingkat populasi di daerah itu yang mayoritas
beragama Islam. Hal ini mengandung makna bahwa berhubung muslim adalah penduduk
mayoritas di suatu daerah, maka kepentingan ekslusif mereka mendapatkan
prioritas utama ketimbang kelompok minoritas non-Muslim yang juga berdiam di
daerah tersebut. Seperti dikemukakan dalam tulisan yang lain, ambisi kelompok
mayoritas keagamaan untuk memasukkan pandangan-pandangan keagamaannya ke dalam
regulasi negara dan memberlakukannya untuk seluruh warga setempat akan membawa
akibat negatif bagi jaminan hak-hak kelompok minoritas keagamaan.[xxvii]
Penerapan sejumlah norma-norma keagamaan melalui
regulasi resmi, baik pada level regional maupun lokal, telah membuat negara dan
pemerintah semakin kental teridentifikasi dengan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk. Padahal konstitusi RI jelas-jelas tidak menyebutkan satu
agamapun sebagai agama resmi negara. Akibatnya, kondisi ini lebih jauh
menciptakan peminggiran politik kelompok minoritas keagamaan dan menghalangi
hak-hak mereka sepenuhnya dalam proses pembuatan keputusan. Legislasi tentang pengelolaan
zakat, misalnya, sungguhpun hanya diterapkan bagi umat Islam, menimbulkan
perasaan di kalangan non-muslim bahwa negara telah mendiskriminasi mereka.
Perda-perda berbasis syariat di berbagai wilayah Indonesia di mata kelompok
minoritas non-Muslim merupakan sinyal yang jelas betapa diri mereka tak lebih
sebagai warganegara kelas dua, sementara kepenganutan agama Islam adalah basis
sebagai sebuah komunitas politik yang riil.
Dalam berbagai hal, kesetaraan hak di antara
individu warga negara merupakan persoalan HAM yang fundamental. Kesetaraan hak itu mencakup:
a. Persamaan hak di depan hukum;
b.
Hak
diperlakukan sama;
c. Hak tidak diklasifikasikan
secara berbeda;
d. Hak untuk tunduk kepada
peraturan perundang-undangan yang sama; dan
e. Hak untuk tidak dibedakan
karena berlainan agama.
Penekanan pada kesetaraan hukum itu, menurut
Toktas, menunjukkan bahwa “kelompok minoritas mengharapkan terintegrasi ke
tengah publik bukan karena perbedaan agama, melainkan justru karena kesamaan
dalam kewarganegaraan”.[xxviii] Oleh sebab itu, pemberlakuan
secara resmi sebuah peraturan yang hanya dikhususkan berlaku bagi kelompok
mayoritas akan menimbulkan perasaan di kalangan kelompok minoritas sebagai ‘outsiders’ (orang asing) atau sebagai
warganegara tidak penuh. Perasaan itu muncul karena peraturan tersebut tidak
mengikutsertakan mereka di dalamnya.
Akan tetapi, memaksa kelompok minoritas untuk
terikat oleh ketentuan yang terdapat di dalam peraturan yang ditujukan berlaku
secara spesifik untuk penduduk mayoritas keagamaan itu sama saja dengan
melanggar kebebasan beragama. Hal itu karena peraturan semacam itu tidak
memberi jaminan bagi keanekaragaman keyakinan yang dianut oleh setiap anggota
masyarakat.
Sedikitnya ada dua kota di Indonesia (Padang dan
Makassar) yang telah memberlakukan secara resmi peraturan pakaian sekolah yang
bernuansa kuat ajaran agama mayoritas. Kedua walikota di kota yang berbeda
pulau itu mengeluarkan surat instruksi yang isinya meminta agar murid-murid
sekolah, khususnya perempuan, mengganti seragam sekolah yang telah digunakan
selama ini dengan jenis pakaian panjang yang menutup hingga pergelangan kaki
mereka.[xxix] Sementara instruksi walikota
Makassar tidak mengharuskan penutup kepala (jilbab), walikota Padang sebaliknya
mengimbau pelajar perempuan di wilayahnya untuk mengenakan penutup kepala.
Sungguhpun murid-murid perempuan yang beragama non-Islam tidak diperintahkan
untuk menutup kepala mereka, keadaan lingkungan sekolah yang sedemikian rupa
seringkali mendesak mereka ke dalam situasi yang tidak ada pilihan, kecuali
turut serta mengenakan penutup kepala itu. Kenyataan ini terkonfirmasi dengan
komentar walikota Padang sendiri, Fauzi Bahar, dalam sebuah acara TV: “Kalau
ada sekawanan domba berwarna putih disela oleh beberapa domba berwarna biru,
tentu tidak akan enak dipandang”.[xxx]
Kasus pakaian seragam sekolah di Padang itu
merupakan sebuah kebijakan yang bukan saja tidak mempertimbangkan aspirasi
minoritas di negara-bangsa yang majemuk seperti Indonesia, tetapi juga
mengindikasikan kecenderungan fasisme yang bernafsu untuk menyeragamkan dan
mendisiplinkan masyarakat dalam satu corak pikir dan cara bertindak.[xxxi] Lebih di atas segalanya, efek
diskriminatif suatu peraturan, baik yang dikeluarkan oleh legislator maupun
birokrat, akan mengirim pesan yang keliru kepada kelompok-kelompok di luar
Negara bahwa mereka diperbolehkan atau mendapat justifikasi untuk melakukan hal
yang sama berbuat diskriminatif terhadap kelompok minoritas.[xxxii]
Masalah yang cukup penting dibahas berkaitan
dengan Perda-perda berbasis syariat Islam dan hubungannya dengan posisi
kelompok minoritas non-muslim adalah bergesernya fokus perdebatan di dalam
gedung DPRD. Sebelumnya anggota legislatif berdebat apakah memilih melakukan
legislasi keagamaan atau legislasi publik. Namun, yang menjadi perdebatan sekarang adalah
sejauhmana batas legislasi urusan keagamaan dapat diupayakan oleh DPRD. Adanya
perubahan fokus perdebatan ini membawa dampak yang luar biasa bagi posisi dan
hak-hak kelompok minoritas. Perdebatan di tingkat lembaga legislatif tentang
legislasi aturan-aturan keagamaan berubah menjadi kurang kritis karena
kesepakatan informal di luar ruangan seringkali sudah dicapai sebelum sidang
perdebatan dimulai. Seperti juga dicatat oleh Philip, peran kelompok minoritas
non-muslim di Mesir sebagai partisipan kritis dalam setiap perdebatan di
pertemuan legislatif perlahan-lahan kian meredup sebagai dampak dari
bergesernya fokus perdebatan itu.[xxxiii]
Selain karena alasan di atas, tidak
tersalurkannya hak-hak kelompok minoritas antara lain juga disebabkan oleh
faktor bahwa partai-partai non-agama yang semula memperjuangkan cita-cita seluruh komponen anak bangsa, kini mulai
bergeser perhatiannya lebih banyak kepada aspirasi umat Islam. Walaupun
pergeseran perhatian ini lebih didorong oleh tujuan jangka pendek untuk merebut
suara dalam Pemilu atau Pilkada, tak pelak membuat kelompok minoritas
kehilangan wadah politik yang tepat untuk menyuarakan kepentingan mereka
menolak kehadiran berbagai keputusan atau regulasi Negara yang merugikan
hak-hak dan posisi mereka sebagai kelompok minoritas.
H. Upaya Hukum Penegakan HAM
Setelah menjelaskan Perda-perda berbasis syariat dan kaitannya dengan
prinsip-prinsip HAM sebagaimana yang terkandung dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia di atas, pertanyaan yang muncul adalah
mungkinkah membangun hubungan yang harmonis antara keduanya? Tampaknya tidak ada konsensus
yang menyeluruh tentang apakah penerapan formal syariat Islam melalui berbagai
peraturan daerah itu mesti bersesuaian dengan prinsip-prinsip HAM. Hal ini
banyak bertalian dengan karakter negara dan konstitusi Indonesia yang dipahami
oleh sebagian kalangan bersifat religius. Menurut sejumlah kelompok Islam,
nilai-nilai religiusitas patut menjadi pertimbangan dalam menentukan
prinsip-prinsip HAM mana yang akan diberlakukan dalam konteks Indonesia. Namun,
di sisi lain, beberapa pihak berpendapat bahwa berhubung Indonesia sudah
menetapkan prinsip-prinsip HAM sebagai bagian konstitusi RI dan meratifikasi
sejumlah konvensi internasional tentang HAM, maka bagi Indonesia tidak ada
jalan lain kecuali dengan penuh segala hormat menerapkannya secara konsisten
dan sungguh-sungguh.
Tampaknya tidak mudah bagi kedua belah pihak
menemukan jalan tengah secara damai dan kompromi. Lembaga peradilan rupanya merupakan
alternatif penengah yang dipandang mampu memecahkan persoalan ini. Oleh karena
itu, beberapa warga kota Tangerang yang merasa hak-hak mereka terganggu oleh
kehadiran Perda kota Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran mengajukan judicial review (peninjauan ulang hukum)
ke Mahkamah Agung (MA). Ini adalah sebuah kasus pertama untuk menguji secara
hukum apakah Perda-perda berbasis syariat itu bertentangan atau tidak dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya, termasuk peraturan soal
HAM. Namun, sayang sekali, usaha ini kandas sebelum diperoleh kepastian
mengenai status hukum Perda-perda berbasis syariat itu berhadapan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Majelis hakim MA memutuskan untuk menolak
memeriksa substansi perkara itu dan hanya menguji kebenaran prosedur hukumnya.[xxxiv] Menurut MA, Perda kota
Tangerang itu telah melewati proses demokratis dan melibatkan partisipasi
publik yang luas. Oleh sebab itu, MA memandang bahwa Perda tersebut merupakan
implementasi politik pemerintah kota Tangerang dan bukan merupakan materi yang
dapat diuji secara hukum. Berdasarkan alasan ini, MA mengambil keputusan untuk
tidak mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan oleh warga kota
Tangerang itu.[xxxv] Putusan MA atas permohonan judicial review ini menunjukkan betapa
MA merupakan lembaga yang lebih melindungi keutuhan prosedur hukum ketimbang
sebagai lembaga yang menjamin perlindungan HAM dan kebebasan di Indonesia.
Bagi banyak pembela HAM di Indonesia, putusan MA
di atas jelas merupakan hasil yang mengecewakan. Lebih-lebih karena tidak
tersedia mekanisme hukum lainnya untuk menguji Perda Kota Tangerang itu,
misalnya putusan MA itu diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa
ulang. Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang memeriksa perkara judicial
review yang melibatkan peraturan daerah provinsi atau yang lebih rendah (Perda
kabupaten/kota). Jurisdiksi MK hanya terbatas menerima dan memeriksa perkara
judicial review yang berkaitan dengan Undang-Undang atau yang sederajat. Adalah
MA yang bertugas sebagai lembaga peradilan terakhir yang memeriksa judicial
review atas Perda-perda yang dipandang bermasalah.
Berangkat dari kenyataan bahwa perselisihan
pendapat tentang apakah Perda-perda berbasis syariat itu bertentangan atau
tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak menemukan
jalan pemecahannya hingga saat ini, pemerintah tidak dapat membiarkan keadaan
ini berlangsung tanpa ada sebuah kepastian hukum yang dapat dipedomani.
Pemerintah mesti dengan segera mengambil sikap yang tegas untuk mengakhiri
segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM sebagai akibat diterapkannya
Perda-perda berbasis syariat itu. Salah satu cara merealisasikan tujuan ini
adalah dengan memperluas jurisdiksi MK untuk dapat menguji segala peraturan perundang-undangan
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi, termasuk
ketentuan-ketentuan HAM. Diharapkan dengan cara ini, kepastian hukum mengenai
perlindungan konstitusional penegakan HAM setiap warga negara Indonesia dapat
diwujudkan.
[i]Lihat Arskal Salim, “Islamizing
Indonesian Laws? Legal and Political Dissonance in Indonesian Shari`a
1945-2005”, PhD Thesis, (the University of Melbourne, 2006).
[ii]Siti Musdah Mulia, “Perda Syariat
dan Peminggiran Perempuan”, http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=178&page=1
<10 Juli 2007>.
[iii]Arskal Salim, “Shari`a in Indonesia’s Current
Transition: An Update” in Arskal Salim and Azyumardi Azra (eds.), Shari`a
and Politics in Modern Indonesia. Singapore: ISEAS, 2003. h. 220.
[iv]Tabel ini diambil dari Arskal
Salim, “Muslim Politics in Indonesia’s Democratisation: The Religious Majority
and the Rights of Minorities in the Post-New Order Era”, in Democracy and the promise of good
governance: Indonesia Update Series 2006 edited by Andrew MacIntyre
and Ross McLeod. (Singapore, ISEAS, 2007), h. 128-129.
[v]“Menguji Perda Syariat di Ranah
Majemuk”, http:/www.liputan6.com/view/8,127209,1,0,1155356468.html <12 Agustus 2006>; Lihat juga Hamid Basyaib, “Ketemu
Ma’ruf Amin”, Indo Pos, 20 Agustus
2006.
[vi]D. Beetham and K. Boyle, Introducing Democracy, (Cambridge:
UNESCO Publishing/Polity Press, 1995).
[vii]Ahmad Suaedy, “Perda Syariat
Islam Tidak Menyelesaikan Masalah Sosial”, http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/blogcategory/1/54/
<8 August 2006>
[viii]Summary Riset, “Peta Problem Perda-perda Berdimensi Agama Sebagai
Bentuk Kebijakan Publik Di Kalimantan Selatan”, LK3, 2005 seperti dikutip oleh
Denny Indrayana, “Kompleksitas Peraturan Daerah Bernuansa Syariat: Perspektif
Hukum Tata Negara”, Seminar Kebijakan Publik dan Partisipasi Masyarakat di Era
Otonomi Daerah: Studi Kasus Perda-perda Berdimensi Agama, Banjarmasin, 1
Oktober 2005, h. 6.
[ix]Ibid. h. 8.
[x]Salim, “Muslim Politics”, h. 130.
[xi]Indrayana, “Kompleksitas
Peraturan”, h. 6.
[xii]Abdullahi Ahmed
An-Naim, “Islamic Law, International Relations, and Human Rights: Challenge and
Response, Cornell International Law Journal 20 (1987).
[xiii]Abdullahi
Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekular:
Menegosiasikan Masa Depan Syariah, (Bandung: Mizan, 2007).
[xiv]Pembahasan lebih
jauh tentang konsep takhayyur dan hubungannya dengan konsep pluralisme hukum,
silakan lihat Ihsan Yilmaz, Muslim Laws, Politics and Society in Modern
Nation States. (Aldershot: Ashgate, 2005)
[xv]“Keputusan Berzakat tak Perlu
Emosional”, Bali Post, 12 November
2003.
[xvii]“Bupati
Lombok Timur: Jika Tidak Mau Bayar Silahkan”, http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=6255
<9 July 2007>.
[xviii]“Sistem
Pengelolaan Zakat Profesi di Lombok Timur Menyalahi Aturan”, Republika, 10 Desember 2005.
[xix]Ann Elizabeth Mayer,
“Islamization and Taxation in Pakistan” in Anita M. Weiss (ed.), Islamic
Reassertion in Pakistan: The Application of Islamic Laws in a Modern State,
(Syracuse: Syracuse University Press, 1986).
[xx]Moeslim
Abdurrahman, “Korban Pertama dari Penerapan Syariat adalah Perempuan”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=175
<10 Juli 2007>
[xxi]“Otonomi Daerah dan Rentannya Posisi Perempuan”, Kompas 18 Juni 2001; “Jam Malam bagi
Wanita akan Berlaku di Sumbar”, Media
Indonesia 30 Juni 2001.
[xxii]“Batas
Niat Baik dan Komoditas Politik” Gatra,
20 Maret 2006; “Spread of Islamic Law in Indonesia Takes Toll on Women”, The New York Times, 27 Juni 2006.
[xxiii]Bandingkan
dengan pasal 18 UU no. 39/1999 tentang HAM.
[xxiv]“Warga
Tangerang Ajukan Uji Materiil Perda Pelacuran” Media Indonesia, 20 April 2006; “Perda Kota Tangerang tak Sesuai
KUHP” Kompas, 3 Maret 2006;
[xxv]Abd
Moqsith Ghazali, “Tentang Perda Pelacuran”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=1027
<10 Juli 2007>
[xxvi]“Potret
Perempuan dalam Era Otonomi Daerah”, http://wri.or.id/penelitian/index.php <10 Juli 2007>
[xxviii]Sule Toktas, “The Conduct of
Citizenship in the Case of Turkey’s Jewish Minority: Legal Status, Identity and
Civic Virtue Aspects”, Comparative
Studies of South Asia, Africa and the Middle East 26, no. 1, (2006), p.
127.
[xxix]“Rok Panjang Hingga Mata Kaki
Wajib bagi Siswi di Makassar”, Lampung
Post, 3 Juli 2006; “Female Students Ordered to Keep Covered”, Jakarta
Post, 10 Juli 2006;
“Walikota Padang Jelaskan Kepada Presiden Soal Isu Siswi Non Muslim Wajib Pakai
Jilbab” http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=73612
<11 Juli 2007>.
[xxx]“Menguji Perda Syariat di Ranah
Majemuk”, http:/www.liputan6.com/view/8,127209,1,0,1155356468.html <12 Agustus 2006>; Novriantoni, “Kasus
Jilbab Padang dan Fasisme Kaum Moralis” http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=827
<8 Juli 2007)
[xxxii]Salim, “Muslim Politics”, h. 131.
[xxxiii]Thomas Philip, “Copts and Other
Minorities in the Development of the Egyptian Nation-State”, in Egypt from Monarchy to Republic: A
Reassesment of Revolution and Change, edited by Shimon Shamir (Boulder-San
Fransisco-Oxford: Westview Press, 1995) p. 146.
[xxxiv]“MA
Tolak Uji Materi Perda Pelacuran Kota Tangerang” Seputar Indonesia, 14 April 2007.
[xxxv]“MA Tolak Uji Materiil Perda Anti Pelacuran”, Jawa Pos, 14 April 2007.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar