Selasa, 31 Maret 2015

PERATURAN DAERAH BERBASIS SYARIAT DAN MASALAH PENEGAKAN HAM

Pengantar
Pada umumnya peraturan daerah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini tidak mencantumkan secara jelas istilah syariat Islam. Oleh karena itu, beberapa pihak menyatakan keberatannya terhadap penggunaan istilah ‘Perda syariat’ seperti yang sering ditemukan di dalam pemberitaan media massa. Menurut mereka, Perda yang dikeluarkan oleh sejumlah provinsi dan kabupaten itu lebih tepat disebut sebagai peraturan yang berhubungan dengan penertiban kehidupan publik
Perda berbasis syariat itu setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu: (1) ketertiban masyarakat seperti pelarangan aktivitas pelacuran seks dan pembatasan distribusi konsumsi minuman beralkohol; (2) kewajiban dan keterampilan keagamaan seperti pembayaran zakat dan kemampuan baca Alquran; dan (3) simbolisme keagamaan berupa pakaian busana Muslim


A. Pendahuluan
Menyusul tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998, proses demokratisasi di Indonesia menemukan momentumnya. Berbagai macam aspirasi politik yang selama kurang lebih tiga dasawarsa dikekang oleh pemerintahan Soeharto kini berkumandang luas tanpa diiringi rasa was-was dan ketakutan. Gagasan pemberlakuan syariat Islam, baik dalam kerangka Piagam Jakarta ataupun dalam bentuknya yang lain, yang sebelumnya selalu dihambat dan ditindak tegas pada masa orde baru, saat ini kembali muncul ke permukaan dalam berbagai corak dan bentuknya.
Setidaknya ada tiga corak aspirasi pemberlakuan syariat Islam yang muncul pada pascaorde baru atau yang lebih dikenal sebagai proses Islamisasi hukum.[i] Pertama, upaya konstitusional dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002 yang dilakukan oleh sejumlah partai Islam untuk memasukkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta (“Dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…”) ke dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, upaya legislatif untuk mengakomodasi sebanyak mungkin elemen-elemen syariat Islam ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Usaha ini sesungguhnya telah berlangsung sejak masa orde baru walaupun masih bersifat terbatas. Pada masa pascaorde baru, upaya ini kian menghasilkan sejumlah undang-undang yang kuat mencerminkan aspirasi umat Islam secara ekslusif, misalnya undang-undang penyelenggaraan haji, undang-undang pengelolaan zakat dan undang-undang wakaf. Ketiga, upaya lokal penerapan syariat Islam pada tingkat pemerintahan kabupaten dan provinsi baik melalui peraturan daerah (Perda) maupun lewat kebijakan penguasa lokal.
Maraknya penerapan syariat Islam pada level pemerintahan lokal, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, antara lain didorong oleh program desentralisasi atau otonomi daerah yang merupakan salah satu bagian dari proses demokratisasi pascaorde baru. Kondisi ini kian meningkat terutama sejak provinsi Aceh mendapatkan otonomi khusus melalui serangkaian peraturan perundang-undangan nasional untuk memberlakukan secara formal sejumlah ketentuan syariat Islam di wilayahnya. Fenomena khusus di Aceh ini pada gilirannya membuat beberapa wilayah lain di Indonesia yang terkenal cukup kuat secara tradisi dan kesejarahan Darul Islam, seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Barat, menuntut dan bahkan mulai mengikuti jejak Aceh menerapkan sebagian syariat Islam. Jika penerapan syariat Islam di Aceh mendapatkan legitimasi berdasarkan otonomi khusus, penerapan syariat Islam di sebagian wilayah lain di luar Aceh pada umumnya menjustifikasikan diri pada peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur secara umum mengenai pemerintahan daerah. Selain menggunakan kerangka hukum ini, argumentasi tentang pentingnya identitas lokal yang unik di era desentralisasi menjadi alasan lainnya bagi beberapa provinsi atau kabupaten untuk menerapkan sebagian syariat Islam.    

B. Otonomi Daerah Pascaorde Baru
Otonomi daerah atau desentralisasi yang berlangsung sejak tumbangnya rezim orde baru menandai salah satu proses penting dalam demokratisasi politik di Indonesia. Jika sebelumnya di masa pemerintahan otoriter orde baru kekuasaan politik dan ekonomi lebih banyak terkonsentrasi di tangan pemerintah pusat, maka pada periode demokratis kehidupan politik pascaorde baru telah terjadi perubahan paradigma yang mendasar dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya lokal.
Bukan itu saja, pola pemerintahan yang semula bersifat sentralistik, kini di era otonomi daerah berubah menjadi desentralistik. Akan tetapi, banyak pihak menilai bahwa proses desentralisasi pemerintahan kini telah dipahami secara keliru. Semula diharapkan otonomi daerah dapat melahirkan penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan menjunjung tinggi asas pengambilan keputusan yang tunduk pada pertanggungjawaban publik. Namun, yang sering terjadi adalah pemerintah daerah berusaha mengambil alih semua kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat, tetapi dengan watak kebijakan yang tidak berubah dengan sebelumnya yang sentralistik dan tidak melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat di wilayahnya.[ii]
Berkat lahirnya seperangkat peraturan perundang-undang dalam bidang Pemerintahan Daerah seperti UU nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1999, yang kemudian diamandemen melalui Undang-undang nomor 32 tahun 2004, masing-masing daerah tingkat kabupaten dan provinsi memiliki otonomi yang lebih luas dan melaksanakan pemerintahan secara lebih mandiri, kecuali dalam sejumlah sektor tertentu seperti hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, hukum, moneter, dan kebijakan fiscal, serta agama.
Tidak diserahkannya kebijakan dalam aspek kehidupan beragama kepada masing-masing daerah salah satu pertimbangannya adalah bahwa masalah agama merupakan hal yang sensitif dan rawan menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa. Termasuk dalam hal ini adalah kekhawatiran munculnya daerah-daerah tertentu yang akan lebih menampilkan identitas keagamaan mayoritas di wilayahnya ketimbang sebagai bagian dari negara kebangsaan Indonesia.[iii]
Akan tetapi, sungguhpun masalah keagamaan masih merupakan wewenang penuh pemerintahan pusat, sejumlah daerah provinsi, kota dan kabupaten berinisiatif menetapkan beberapa peraturan daerah yang lekat memiliki cita rasa ajaran keagamaan tertentu. Tampaknya agenda desentralisasi telah menjadi kendaraan untuk mengantarkan beberapa ajaran dan prinsip moral agama tertentu masuk ke dalam tubuh peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah baik secara eksplisit maupun implisit. Melalui sejumlah peraturan tersebut, negara melakukan upaya formalisasi serangkaian kewajiban, larangan, anjuran dan imbauan untuk melakukan, atau menghindari, sebuah perbuatan yang erat kaitannya dengan ajaran keagamaan tertentu. 

C. Peraturan Daerah Berbasis Syariat
Pada umumnya peraturan daerah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini tidak mencantumkan secara jelas istilah syariat Islam. Oleh karena itu, beberapa pihak menyatakan keberatannya terhadap penggunaan istilah ‘Perda syariat’ seperti yang sering ditemukan di dalam pemberitaan media massa. Menurut mereka, Perda yang dikeluarkan oleh sejumlah provinsi dan kabupaten itu lebih tepat disebut sebagai peraturan yang berhubungan dengan penertiban kehidupan publik. Akan tetapi, keberatan semacam ini sesungguhnya dengan mudah sekali untuk disanggah. Pertama, seseorang akan cepat menemukan bahwa ada kepentingan ideologis tertentu yang diusung untuk menegakkan norma-norma keislaman melalui peraturan daerah tersebut. Kedua, penyebutan peraturan daerah tersebut sebagai ‘Perda syariat’ menjadi tak terelakkan lebih karena sebagian politisi lokal membenarkan Perda-perda tersebut berdasarkan aspirasi sekelompok umat Islam di suatu wilayah yang menuntut penerapan secara resmi syariat Islam. Dengan demikian, berhubung aspirasi penerapan syariat Islam di suatu daerah disahuti oleh lembaga legislatif kabupaten maupun provinsi melalui peluncuran Perda, apakah keliru bila Perda yang dihasilkan lewat proses tersebut dinamakan ‘Perda syariat’?
Dilihat dari segi asal usul aspirasi yang mengawalinya, penyebutan ‘Perda syariat’ mungkin dapat diterima. Akan tetapi, bila dilihat dari segi isi dan produk akhirnya, penggunaan kata syariat sebagai label untuk Perda tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Hal ini karena syariat Islam yang umumnya terkandung dalam berbagai peraturan daerah tersebut tidaklah mencerminkan keutuhan pengertian syariat Islam itu sendiri. Lebih dari itu, dapatkah kita menerima kenyataan bahwa legislator di tingkat provinsi dan kabupaten, dengan segala keterbatasan pengetahuan keislaman yang mereka miliki, adalah merupakan produsen peraturan syariat Islam? Ringkasnya, bab ini lebih memilih istilah ‘Perda berbasis syariat’ ketimbang ‘Perda syariat’ untuk menghindari perdebatan yang muncul seperti sudah dikemukakan ini.

D. Isi Perda Berbasis Syariat
Aspirasi penerapan formal syariat Islam pada lazimnya menghendaki dilaksanakannya usaha-usaha kodifikasi elemen-elemen syariat Islam ke dalam peraturan negara. Peraturan negara pada tingkat lokal ini mengambil bentuk bermacam-macam mulai dari yang paling umum, yaitu: Peraturan Daerah yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hingga Surat Keputusan, Instruksi, dan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh penguasa setempat seperti Gubernur, Bupati dan Walikota.
Serangkaian peraturan negara itu seringkali hampir tidak ada hubungannya dengan perlindungan hak dan kebebasan beragama, tetapi lebih berkaitan dengan perintah, dorongan, atau imbauan kepada umat beragama Islam untuk melaksanakan ajaran, atau menghindari larangan, keagamaan. Perda berbasis syariat itu setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu: (1) ketertiban masyarakat seperti pelarangan aktivitas pelacuran seks dan pembatasan distribusi konsumsi minuman beralkohol; (2) kewajiban dan keterampilan keagamaan seperti pembayaran zakat dan kemampuan baca Alquran; dan (3) simbolisme keagamaan berupa pakaian busana Muslim. Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut:[iv]

Table 1:
Perda Berbasis Syariat di beberapa Kabupaten dan Kota

Provinsi

Kabupaten/
Kota

Isi Peraturan

Jenis & Nomor Peraturan

Aceh

Semua wilayah

Pelaksanaan syariat Islam bidang akidah, ibadah dan syiar Islam

Qanun No. 11/2002

Semua wilayah

Larangan minuman keras

Qanun No. 12/2003

Semua wilayah

Larangan perjudian

Qanun No. 13/2003

Semua wilayah

Larangan khalwat

Qanun No. 14/2003

Semua wilayah

Pengelolaan zakat

Qanun No. 7/2004

Sumatera Barat

Semua wilayah

Pemberantasan maksiat

Perda No. 11/2001

Padang

Busana Muslim

Instruksi Walikota No. 451.442/2005

Padang

Kemampuan Baca Tulis Alquran

Perda No. 3/2003

Solok

Busana Muslim

Perda No. 6/2002

Solok

Kemampuan Baca tulis Alquran bagi pelajar dan calon pengantin

Perda No. 10/2001

Padang Pariaman

Pemberantasan maksiat

Perda No. 2/2004

Pasaman Barat

Busana Muslim

Tidak teridentifikasi

Sumatera Selatan

Semua wilayah

Larangan perbuatan maksiat

Perda No. 13/2002

Palembang

Larangan Pelacuran

Perda No. 2/2004

Bengkulu

Bengkulu

Larangan Pelacuran

Perda No. 24/2005

 

Peningkatan Iman dan Takwa

Instruksi Walikota No. 3/2004

Lampung

Bandarlampung

Larangan prostitusi dan tunasusila

Perda No. 15/2002

Banten

Tangerang

Larangan penjualan dan pengaturan distribusi minuman keras

Perda No. 7/2005

Tangerang

Larangan Pelacuran

Perda No. 8/2005

Pandeglang

Busana Muslim di hari kerja

Surat Keputusan Bupati No. 25/2002

Busana Muslim bagi pelajar wanita

Surat Keputusan Bupati No. 9/2004

Persyaratan baca Alquran bagi calon murid Sekolah Dasar

Surat Keputusan Bupati No. 3/2005

 

 

Jawa Barat

Cianjur

Pendirian Lembaga pengkajian dan pengembangan syariat Islam

Surat Keputusan Bupati No. 36/2001

Gerakan peningkatan moral PNS dan masyarakat

Surat Edaran BupatiNo. 551/2717/ASSDA.I/9/2001

Pengelolaan zakat

Perda No. 7/2004

Larangan Pelacuran

Perda No. 21/2000

Anjuran Busana Muslim di tempat kerja

Surat Edaran BupatiNo. 061.2/2896/org.

Tasikmalaya

Anjuran berpakaian sopan bagi pelajar

Surat Edaran BupatiNo. 451/SE/04/Sos/2001

 

Pemberantasan Pelacuran

Perda No. 1/2000 Perda No. 28/2000

Garut

Anjuran busana Muslim bagi PNS perempuan

Tidak teridentifikasi

Peningkatan moralitas

Perda No. 6/2000

Pengelolaan Zakat Infak Shadaqah

Perda No. 1/2003

Jawa Timur

Gresik

Larangan Pelacuran

Perda No. 7/2002

Gresik

Pembatasan distribusi minuman keras

Perda No. 15/2002

Pasuruan

Larangan Pelacuran

Perda No. 10/2001

Pamekasan

Pembatasan distribusi minuman keras

Perda No. 18/2001

 

Pelaksanaan syariat Islam

Surat Edaran BupatiNo. 450/2002

Jember

Larangan Pelacuran

Perda No. 4/2001

Sulawesi Selatan

Semua wilayah

Kemampuan Baca Tulis Quran

Perda No. 4/2006

Bulukumba

Busana Muslim

Perda No. 5/2003

 

Larangan penjualan dan distribusi minuman keras

Perda No. 3/2002

 

Zakat, infak, dan Sedekah

Perda No. 2/2003

 

Persyaratan baca Alquran bagi pelajar dan calon pengantin

Perda No. 6/2005

Sinjai

Busana Muslim

Tidak teridentifikasi

Gowa

Busana Muslim dan penambahan jumlah jam pelajaran agama di sekolah

Perda No. 7/2003

Takalar

Busana Muslim

Tidak teridentifikasi

Maros

Persyaratan baca Alquran bagi pelajar dan pegawai negeri sipil

Perda No. 15/2005

Busana Muslim

Perda No. 16/2005

Pengelolaan zakat

Perda No. 17/2005

Enrekang

Busana Muslim bagi perempuan dan kemampuan baca tulis Alquran bagi pelajar

 

Perda No. 6/2005

Kalimantan Selatan

Semua wilayah

Larangan konsumsi minuman keras

Perda No. 1/2000

Banjarmasin

Penghormatan hari Jumat

Perda No. 8/2005

Persyaratan baca Alquran bagi pelajar

Perda No. 4/2004

Banjarmasin

Penghormatan bulan Ramadan

Perda No. 4/2005

Banjar

Penghormatan bulan Ramadan

Perda No. 10/2001

Kalimantan Barat

Sambas

Larangan pelacuran dan pornografi

Perda No. 3/2004

Sambas

Larangan judi

Perda No. 4/2004

Nusa Tenggara Barat

Lombok Timur

Pembayaran zakat profesi

Perda No. 9/2002 dan Surat Keputusan Bupati 17/2003

Mataram

Pencegahan maksiat

Perda No. 12/2003

Gorontalo

Gorontalo

Pencegahan maksiat

Perda No. 10/2003



E. Argumen Mendukung Keberadaan Perda
Sejumlah pendukung Perda berbasis syariat mengajukan konsep demokrasi untuk menjustifikasi keberadaan Perda-perda yang bermuatan perintah agama semacam itu. Menurut mereka, posisi Perda syariat di Indonesia memiliki keabsahan secara hukum dan politik sepanjang ia tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sejauh kesepakatan publik dapat tercapai di antara masyarakat mengenai sebuah peraturan yang berlaku lokal.[v] Argumen semacam ini sesungguhnya mengandung celah kelemahan yang cukup mendasar, terutama karena sejumlah produk hukum Perda berbasis syariat itu justru bertentangan dengan hak-hak setiap warga negara yang diakui oleh konstitusi. Bukan hanya itu, kesepakatan mayoritas masyarakat yang dipersyaratkan itu tidak jarang lebih berupa manipulasi kepentingan elit politik yang dibungkus atas nama aspirasi rakyat. 
Lebih dari segalanya, penting disadari bahwa mayoritas tidak dengan serta merta merupakan demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidaklah sepadan dengan pemerintahan mayoritas (majoritarianism government), sebab salah satu elemen penting demokrasi adalah bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama, yang hendaknya dapat terefleksikan dan terakomodasi dengan baik di dalam sebuah produk legislasi. Produk-produk lembaga legislatif ini tidak boleh sedikitpun melemahkan, atau bahkan menghancurkan, hak-hak kelompok minoritas termasuk posisi hukum mereka. Jika ini yang terjadi, keputusan yang dibuat oleh mayoritas akan dipandang sebagai upaya-upaya yang tidak jujur dan jelas-jelas tidak mencerminkan sebuah keputusan yang demokratis.[vi]

F. Kepentingan Politik di Balik Perda
Dukungan terhadap keberadaan Perda syariat sesungguhnya lebih banyak bersifat politis ketimbang keagamaan. Menurut Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif Wahid Institute, beberapa Perda berbasis syariat yang diundangkan oleh sejumlah provinsi dan kabupaten/kota di tanah air pada umumnya ditujukan untuk kepentingan politik jangka pendek elit politik di masing-masing wilayah tersebut, yaitu agar dapat terpilih kembali pada periode jabatan berikutnya.[vii] Pandangan ini seolah terkonfirmasi dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), sebuah LSM di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa Perda berbasis syariat kerapkali digunakan sebagai alat untuk kepentingan pencitraan elit politik yang sedang berkuasa dan untuk mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap penguasa eksekutif dan lembaga legislatif suatu wilayah.[viii] Malah, masih menurut hasil riset itu, tak jarang Perda berbasis syariat menjadi semacam modal awal investasi politik untuk meraih simpati pemilih Muslim dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan segera tiba.[ix] 
Perda berbasis syariat juga tak jarang menjadi ajang perlombaan bagi partai-partai politik untuk menunjukkan komitmen artifisial mereka terhadap kepentingan Islam dan umat Islam di Indonesia. Bagi sementara partai politik, penampakan komitmen semacam itu menjadi signifikan untuk menggaet hati pemilih umat Islam dalam pemilu ataupun pilkada. Dengan mendukung keberadaan Perda berbasis syariat, partai-partai politik itu ingin meneguhkan kesan di hati pemilih yang mayoritas beragama Islam bahwa partai mereka seolah-olah memperjuangkan Islam dan kepentingan umat Islam di Indonesia. Sejauhmana upaya politik pencitraan semacam ini berhasil merebut simpati pemilih umat Islam tentu saja tidak dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi, upaya tersebut menjelaskan tentang betapa beragamnya motivasi di balik lahirnya serangkaian Perda-perda berbasis syariat itu. Singkatnya, kesalehan religius bukanlah semata-mata pendorong munculnya Perda-perda tersebut, tetapi pertimbangan politik tak jarang pula ikut melatarbelakangi keberadaan Perda-perda itu.[x]

G. Hubungan Perda dengan Peraturan yang Lebih Tinggi
Masalah lain yang membentur Perda berbasis syariat adalah hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut Denny Indrayana, beberapa Perda berbasis syariat itu secara sengaja telah dibuat sedemikian rupa agar bisa lolos disahkan oleh DPRD dan terhindar dari kemungkinan pembatalan oleh Departemen Dalam Negeri melalui proses eksekutif review (peninjauan ulang).[xi] Pendekatan yang paling kerap digunakan adalah dengan cara merujuk kepada Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (UU no. 22/1999 dan UU no. 32/2004) yang memberi kewenangan mengatur pengelolaan daerah secara otonom dalam beberapa sektor tertentu. Dengan demikian, walaupun urusan keagamaan sama sekali bukanlah kewenangan daerah, Perda-perda berbasis syariat dianggap absah karena merupakan peraturan lokal yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah sosial dan memelihara ketertiban publik di suatu wilayah pemerintahan daerah. Perda-perda tersebut berusaha agar secara penampilan tidak terlihat mencantumkan sedikitpun persoalan pelaksanaan syariat bagi umat Islam, melainkan masalah sosial kemasyarakatan. Dengan cara seperti ini, Perda-perda berbasis syariat itu dapat menghindar dari benturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya UU tentang pemerintahan daerah, yang tidak menyerahkan urusan keagamaan untuk diatur oleh peraturan lokal.
Sungguhpun Perda-perda berbasis syariat itu terlihat bersesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Perda-perda tersebut secara material bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang telah ditetapkan secara tegas oleh konstitusi RI, khususnya yang berkaitan dengan hak kebebasan beragama seperti yang akan dijelaskan dalam uraian mendatang. Namun sebelum menjelaskan hal itu, sus-bab ini akan memaparkan beberapa hak-hak konstitusional yang relevan untuk menganalisis muatan pelanggaran HAM yang terkandung dalam Perda-perda berbasis syariat itu.
Amendemen Kedua UUD 1945 RI mengadopsi sejumlah ketentuan-ketentuan progresif tentang kebebasan sipil antara lain:
1.      Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A).
2.      Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D:1).
3.      Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D:3).
4.      Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (Pasal 28E:1).
5.      Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E:2).
6.      Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G).
7.      Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (Pasal 28I:2).
H. Problematika Perda Berbasis Syariat
Abdullahi Ahmed An-Naim berpendapat bahwa penerapan formal syariat Islam di era modern sesungguhnya tidak selaras dengan tata hubungan internasional dan prinsip-prinsip HAM.[xii] Dalam karyanya yang terbaru, Islam dan Negara Sekular (2007), ia lebih jauh menyatakan bahwa negara tidak dapat memaksakan penerapan syariat Islam bagi warganya, tetapi justru harus memberi jaminan perlindungan warganya yang beragama Islam untuk melaksanakan perintah-perintah Islam sesuai dengan keyakinan dan pandangan keagamaan yang mereka pilih secara sukarela, dan bukannya sebagai kewajiban keagamaan yang diinstruksikan oleh lembaga negara.[xiii]
Pembahasan dalam sub-bab ini akan mendiskusikan lebih lanjut pendapat An-Naim di atas dengan fokus pada penerapan formal syariat Islam melalui peraturan daerah di sejumlah wilayah di Indonesia sekaligus akan menganalisisnya dengan perspektif HAM seperti yang terkandung di dalam konstitusi RI.  Untuk kepentingan ini, pembahasan akan dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu kebebasan individual Muslim, hak perempuan, dan hak kelompok minoritas non-Muslim.

1. Kebebasan Individual Muslim
Salah satu aspek utama yang tampak dalam penerapan formal syariat Islam melalui Perda adalah upaya perangkat Negara memperkecil hak individual Muslim untuk memiliki pandangan dan tafsiran tersendiri mengenai suatu ajaran keagamaan. Perda-perda berbasis syariat itu mengaku diri sebagai suatu kesepakatan bersama yang diwakili oleh wakil-wakil rakyat di DPRD. Seringkali juga ada ulama atau kelompok Islam yang dilibatkan dalam perumusan butir-butir ketentuan Perda tersebut yang seolah-olah telah mewakili seluruh pemikiran hukum Islam di suatu wilayah. Hasilnya, Perda-perda itu dianggap merupakan rujukan dalam menentukan satu-satunya model standar pelaksanaan praktek keagamaan yang dapat diterima dan dipandang sah secara hukum di sebuah daerah. Ketika Perda semacam ini diberlakukan oleh penguasa eksekutif daerah, tak pelak seluruh warga daerah bersangkutan diminta, secara sukarela maupun melalui paksaan, untuk menyesuaikan diri dan mematuhi sepenuhnya ketentuan perintah dalam Perda itu.
Kenyataan di atas jelas-jelas telah membatasi hak individual Muslim yang dilindungi oleh konstitusi RI bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (pasal 28E:1) dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (pasal 28E:2). Lebih dari itu, ketentuan khusus yang mengatur standardisasi praktek keagamaan dalam Perda-perda tersebut telah terang-terangan mengabaikan prinsip takhyîr; sebuah konsep dalam khazanah pemikiran hukum Islam yang membenarkan seorang Muslim untuk memilih dan mengikuti satu pendapat di antara berbagai pendapat hukum yang ada.[xiv] Keberadaan Perda yang menetapkan satu-satunya model pelaksanaan ajaran Islam itu dapat dilihat sebagai langkah Negara yang telah merenggut hak individu muslim untuk melakukan takhayyur, dan oleh karena itu termasuk kategori pelanggaran HAM. Dua kasus di bawah mencoba menjelaskan argumen ini.

a. Regulasi Akidah di Aceh
Salah satu peraturan daerah di Aceh, atau lazim dikenal dengan nama Qanun, merumuskan sebuah ketentuan tentang akidah yang diakui secara resmi di wilayah tersebut. Pasal 1:7 Qanun no. 11/2002 itu menyebutkan bahwa akidah yang berlaku di Aceh adalah Ahlu Sunnah Wal Jamaah atau Sunni. Penyebutan secara khusus jenis akidah yang harus dianut oleh pemeluk Islam di Aceh itu tak pelak mencegah setiap penduduk Muslim di Aceh untuk menganut pandangan teologis yang lain, semisal Syiah dan Ahmadiyah.
Adanya Qanun di Aceh yang menentukan suatu jenis akidah yang resmi berlaku di Aceh itu sesungguhnya tidak mengindahkan kenyataan kemajemukan umat Islam yang berdiam di wilayah Aceh. Sungguhpun diketahui bahwa mayoritas masyarakat muslim Aceh adalah muslim Sunni, tidak tertutup kemungkinan bahwa di antara mereka ada yang bersimpati atau merupakan pengikut Syiah, Ahmadiyah maupun aliran Islam lainnya yang jumlahnya minoritas. Ketentuan keagamaan tentang satu-satunya jenis akidah Islam yang dapat diterima di Aceh seperti itu jelas tidak patut bila dilihat dari kacamata legislasi hokum, sebab seorang menganut akidah Islam tidak dapat dinilai sebagai kejahatan yang dapat dikenakan sanksi. Masalah akidah seorang Muslim tidak dapat dikriminalisasi, karena ia adalah persoalan hubungan pribadi antara seorang yang beragama dengan Tuhan penciptanya. Ia berada di luar area yurisdiksi dan jauh di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya.
Maka tidak mengherankan, jika penerapannya di lapangan tidak mudah dilakukan. Bagaimana seorang jaksa dapat membuktikan bahwa seorang Muslim di Aceh telah meninggalkan akidah Sunni dan berpaling kepada Syiah misalnya? Bukti-bukti macam apa yang dibutuhkan oleh pengadilan sehingga seseorang dijatuhi hukuman? Kemudian, sanksi dalam bentuk apa yang dapat dikenakan bagi seorang Muslim yang melakukan perbuatan kriminal karena berpindah akidah? Hingga saat ini, Qanun-qanun di Aceh diam membisu soal ketentuan sanksi atas perbuatan pindah akidah itu. Lebih dari itu, peraturan akidah sebagaimana yang ditemukan dalam Qanun 11/2002 itu dengan jelas melanggar kebebasan individual Muslim yang dijamin oleh UUD 1945 seperti sudah disebutkan di muka.

b. Otomatitasi pembayaran zakat di Lombok Timur
Pada tahun 2002, DPRD kabupaten Lombok Timur mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tentang pembayaran zakat. Perda no. 9/2002 ini secara umum mengatur pengumpulan dan pembagian zakat, termasuk zakat harta dan zakat fitrah. Guna menjabarkan lebih lanjut Perda ini, Bupati Lombok Timur, Moh. Ali bin Dachlan, mengeluarkan Surat Keputusan (SK no. 17/2003) yang isinya antara lain mewajibkan pembayaran zakat bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan guru-guru negeri di lingkungan pemerintahan daerah kabupaten Lombok Timur. Pembayaran zakat itu dilakukan lewat pemotongan gaji secara otomatis setiap bulannya sebesar 2.5 persen dari total jumlah gaji bulanan yang diterima mereka.[xv]
Argumen yang melatari kebijakan otomatisasi pembayaran zakat PNS ini berasal dari konsep zakat profesi, yaitu sebuah hasil pemikiran ijtihad berdasarkan analogi bahwa layaknya para petani yang berkewajiban membayar zakat setiap panen, maka sebagai pekerja profesional, seperti dokter, pengacara, guru dan lain-lain, mereka pun terbebani untuk membayar zakat setiap memperoleh penghasilan. Akan tetapi, berbeda dari para petani yang mengeluarkan zakat sebanyak lima (5) hingga sepuluh (10) persen tergantung pada pola pengelolaannya, pekerja profesional cukup membayar zakat sebesar 2.5 persen.[xvi]
Surat Keputusan bupati tentang pembayaran zakat yang berakibat pada pemotongan langsung gaji PNS dan guru sebesar 2.5 persen itu tak lama berselang langsung menuai protes, dan sejak tahun 2006, SK Bupati tersebut sudah dibatalkan. Protes yang diajukan sebagian besar oleh guru-guru di Lombok Timur itu dilakukan dengan cara mogok mengajar selama beberapa hari dan berdemonstrasi menuntut agar SK bupati tersebut dicabut.[xvii] Alasan penolakan terhadap kebijakan Bupati di kalangan PNS dan guru-guru antara lain adalah bahwa mereka tidak seluruhnya memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran zakat, malah sebagian besar mereka yang mempunyai gaji yang minus, misalnya karena mesti membayar kredit rumah atau kendaraan, yang seharusnya menjadi golongan penerima zakat. Selain itu, persoalan administrasi zakat dianggap kacau dan tidak transparan.[xviii]
Melihat kasus otomatisasi pembayaran zakat di Lombok Timur ini dari perspektif kebebasan individual muslim, kebijakan bupati tersebut telah menyeragamkan cara pembayaran zakat, dan, dengan demikian, mengingkari kenyataan bahwa terdapat lebih dari satu cara yang tersedia bagi umat Islam untuk mengeluarkan zakat mereka. Dus, SK bupati itu telah melanggar hak setiap individu Muslim, dalam hal ini para PNS dan guru-guru, untuk memilih cara yang dikehendaki oleh mereka sendiri dalam melaksanakan kewajiban zakat. Dalam Islam, para wajib zakat dibenarkan untuk menyalurkan secara langsung pembayaran zakatnya tidak hanya kepada para mustahik, misalnya golongan fakir dan miskin, tetapi juga dibolehkan untuk menyerahkan pembayaran zakat tersebut kepada amil atau petugas pengumpul zakat yang nanti menyalurkannya kepada golongan penerima zakat yang lebih berhak. Hal ini karena bunyi ketentuan zakat dalam Alquran (QS.9:60) tidak secara rinci menjelaskan bagaimana mekanisme pembayaran zakat tersebut apakah diserahkan kepada amil atau disampaikan langsung kepada orang fakir dan miskin.
Akibat lebih jauh yang ditimbulkan oleh SK Bupati Lombok Timur itu adalah hilangnya unsur keikhlasan dalam pembayaran zakat. Dalam kasus di atas, sebagian PNS dan guru-guru di Lombok Timur itu merasa terpaksa untuk merelakan gaji bulanan mereka dipotong untuk kepentingan pembayaran zakat. Keadaan ini lebih lanjut menyebabkan terjadinya proses depersonalisasi ibadah zakat. Artinya, zakat kemudian tidak lagi dianggap sebagai sebuah ibadah yang bersifat personal dan sebagai sebuah hubungan emosional seorang manusia dengan sesamanya ataupun sebuah hubungan religius antara seorang hamba dengan Khaliknya. Otomatisasi pembayaran zakat semacam di Lombok Timur itu sangat boleh jadi akan memunculkan anggapan dan pikiran di kalangan umat Islam bahwa uang gaji yang dipotong setiap bulan itu tak ubahnya laksana berbagai bentuk pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Konsekuensinya, seperti yang juga dicatat oleh Mayer di Pakistan, umat Islam yang sejumlah tabungan atau penghasilannya dipotong langsung oleh pemerintah untuk pembayaran zakat setiap periode tertentu memiliki perasaan bahwa kewajiban zakat mereka sesungguhnya belum ditunaikan. Dan, oleh karena itu, mereka merasa terpanggil secara emosional keagamaan untuk melakukan pembayaran zakat sekali lagi secara tradisional.[xix]

2. Ancaman terhadap hak perempuan
Moeslim Abdurrahman suatu kali pernah menyatakan bahwa korban pertama dan terutama sebagai akibat penerapan formal syariat Islam adalah perempuan.[xx] Pendapat ini benar adanya jika kita mempertimbangkan fakta bahwa beberapa Perda-perda berbasis syariat yang diluncurkan oleh sebagian kabupaten/kota di Indonesia secara nyata telah menghambat hak perempuan untuk bergerak dan kesempatan untuk mengakses sesuatu. Hambatan-hambatan terhadap hak perempuan dalam Perda-perda tersebut antara lain mencakup perjalanan dalam waktu malam, kunjungan ke suatu tempat, penggunaan busana yang spesifik dan akses kepada posisi jabatan tertentu. Beberapa ketentuan dalam Perda-perda itu dirumuskan secara umum tanpa mencantumkan secara tegas jenis kelamin perempuan, tetapi pelaksanaan di lapangan secara praktis terlihat sebagai ancaman terhadap hak perempuan. Beberapa kasus yang akan diuraikan di bawah bermaksud membuktikan argumen ini.

a. Sumatera Barat
Menyusul dimulainya era otonomi daerah, DPRD provinsi Sumatera Barat pada tahun 2001 mempersiapkan sebuah draf rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang pelarangan dan pemberantasan maksiat. Tujuan Ranperda ini antara lain bertujuan untuk menghapuskan praktek prostitusi, aborsi, pornografi, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. RanPerda itu terdiri dari tujuh bab dan 17 pasal. Dalam pasal 10 Ranperda itu, terdapat ketentuan yang melarang perempuan untuk melakukan aktivitas di luar rumahnya pada malam hari mulai pukul 22.00 hingga pukul 04.00, kecuali apabila ditemani oleh mahramnya dan atau apabila aktivitas itu dilindungi oleh undang-undang.[xxi] Ketentuan ini jelas kontroversial dan dengan segera menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat Sumatera Barat dan juga antara anggota DPRD setempat. 
Ranperda itu dipandang diskriminatif karena secara jelas menunjuk langsung perempuan sebagai penyebab timbulnya perbuatan-perbuatan maksiat. Para perumus Ranperda itu kurang memiliki kepekaan bahwa sebagian perempuan harus bekerja pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Mereka ada yang bekerja sebagai penjual sayur mayur di pasar tradisional, perawat, pelayan restoran dan buruh-buruh pabrik. Tak jarang di antara mereka ada yang sudah tak mempunyai suami lagi sehingga harus membanting tulang menghidupi anak-anaknya, termasuk rela bekerja di malam hari. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika Ranperda itu mendapatkan protes dan perlawanan dari berbagai pihak baik aktivis perempuan lokal maupun sejumlah tokoh nasional yang memandang bahwa Ranperda itu bertentangan dengan hak-hak perempuan yang dijamin oleh konstitusi. Akhirnya, berhubung derasnya kritik yang bermunculan, DPRD Sumatera Barat mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pembahasan dan pengesahan Ranperda itu.

b. Tangerang (Banten)
Berbeda dengan DPRD provinsi Sumatera Barat yang akhirnya membatalkan RanPerda yang melarang perempuan keluar malam, DPRD kota Tangerang telah mengeluarkan peraturan daerah, Perda 8/2005, tentang pelarangan pelacuran yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan yang tidak jauh berbeda substansinya dengan ketentuan seperti dalam Ranperda Sumatera Barat di atas. Salah satu ketentuan kontroversial dalam Perda itu adalah pasal 4 yang menyebabkan timbulnya aneka penafsiran:

“Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan–jalan umum, di lapangan–lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung –warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut–sudut jalan atau di lorong–lorong atau tempat – tempat lain di daerah.”

Walaupun bunyi pasal di atas tidak menyebutkan satu kata pun mengenai perempuan, dengan mudah ditemukan bahwa kandungan pengertian pasal tersebut nyata-nyata berdampak pada pembatasan hak perempuan untuk melakukan aktivitas di malam hari. Faktanya, seperti diberitakan oleh berbagai media cetak, pada bulan Februari 2006 seorang perempuan bernama Lilis Lindawati ditangkap pada saat ia hendak menunggu kendaraan umum yang akan mengantarnya pulang ke rumah selepas ia pulang bekerja. Lilis ditangkap dengan tuduhan berprofesi sebagai pelacur dengan bukti alat-alat kosmetik yang ditemukan berada di dalam tasnya. Walaupun Lilis menolak tuduhan sebagai pelacur, pengadilan menyatakan dirinya bersalah dan menghukumnya membayar denda sebesar Rp. 300,000,- (tiga ratus ribu rupiah). Karena Lilis tidak mampu membayar denda itu, ia akhirnya dipenjara selama tiga hari sebagai ganti denda tersebut.[xxii] Peristiwa ini menimbulkan geger baik dalam skala nasional maupun internasional terutama karena seorang perempuan miskin yang lemah menjadi korban Perda berbasis syariat. 
Menganalisis Perda kota Tangerang di atas dari sudut pandang hak-hak konstitusional, ada sejumlah catatan yang penting dikemukakan. Pertama, Perda tersebut telah menyebarkan perasaan khawatir dan ketakutan di kalangan perempuan yang memiliki pekerjaan atau aktivitas di luar rumah, khususnya pada malam hari. Bahkan, Perda itu telah menghalangi hak setiap orang, termasuk perempuan, untuk memperoleh mata pencaharian. Padahal, hak untuk berkehidupan layak adalah hak asasi setiap warga yang dilindungi oleh undang-undang dan konstitusi. 
Kedua, alih-alih melindungi dan menjamin hak-hak warga, Pemerintah Kota Tangerang telah berbuat sewenang-wenang dengan menuduh perempuan sebagai pelacur tanpa bukti permulaan yang memadai. Ketentuan dalam Perda itu telah menjadi dasar rujukan untuk melakukan penangkapan atas dasar kecurigaan dan karenanya jelas tidak menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang menekankan pentingnya hak setiap orang untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan.[xxiii]
Berdasarkan hal tersebut di atas, Perda Kota Tangerang dapat dipandang bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya. Misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU no. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU no. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU no. 39/1999 tentang HAM, UU no. 112/2005 tentang Konvensi Hak Sipil, UU no. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU no. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.[xxiv]
Terakhir, bila dilihat dari perspektif pemikiran hukum Islam, ketentuan dalam Perda kota Tangerang itu mengandung sebuah kepelikan tersendiri. Ketentuan Perda itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran tindak pidana Islam, persisnya qadzaf (tuduhan bahwa seseorang telah berbuat zina tanpa disertai pembuktian yang memadai), karena jelas-jelas berpotensi menuduh perempuan yang beraktivitas di malam hari sebagai pelacur tanpa didukung oleh bukti-bukti hukum yang valid.  Dengan dasar pikiran ini, seseorang mungkin saja berpendapat bahwa pelaksana ketentuan Perda kota Tangerang itu sesungguhnya telah masuk dalam kategori pelaku qadzaf, dan karenanya, berdasarkan pemikiran hukum pidana Islam, mereka sendiri justru dapat dijatuhi hukuman.[xxv]

c. Banda Aceh
Di antara berbagai peraturan daerah (Qânûn) yang ditetapkan di Aceh, terdapat sebuah Qanun yang secara tak langsung menghalangi hak perempuan untuk menduduki jabatan tertentu. Women Research Institute (WRI) melalui penelitiannya tentang Potret Perempuan dalam Era Otonomi Daerah menemukan bahwa Qanun kota Banda Aceh no. 7/2002 yang mengatur tata cara pemilihan Keuchik (kepala gampong/desa) telah mendiskriminasi perempuan. Salah satu persyaratan menjabat keuchik dalam Qanun kota Banda Aceh itu menyebutkan bahwa seseorang harus mampu bertindak menjadi imam salat. Sementara berdasarkan ajaran Islam yang dapat memimpin salat berjamaah bagi makmum laki-laki dan perempuan adalah hanya laki-laki. Adapun perempuan tidak dibolehkan untuk memimpin shalat berjamaah bila terdapat makmum laki-laki. Dengan demikian, menurut riset WRI itu, perempuan secara hukum tidak memiliki peluang untuk menjadi keuchik. Lebih dari itu, Qanun tersebut menegaskan sebuah pandangan tentang tertutupnya sisi ruang berpartisipasi dalam kehidupan publik bagi perempuan.[xxvi]
Implikasi yang timbul dari Qanun kota Banda Aceh itu sebetulnya bertolak belakang dengan fakta sejarah di Aceh sendiri. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa empat orang sultanah (ratu) pernah memerintah kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-17. Ketentuan dalam Qanun itu juga kontras dengan fakta mutakhir dengan hadirnya pemimpin perempuan sebagai wakil walikota Banda Aceh saat ini yang terpilih melalui pemilihan kepala daerah akhir tahun 2006 lalu. Selain itu, Qanun kota Banda Aceh itu tidak sejalan dengan peraturan daerah yang lebih tinggi, yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam no. 5/2003 tentang pemerintahan gampong. Dalam peraturan yang disebutkan terakhir ini, pasal 17 yang mencantumkan persyaratan seorang keuchik sedikitpun tidak mempersoalkan kemampuan menjadi imam salat. Barangkali tidak perlu dijelaskan lagi di sini bagaimana posisi ketentuan dalam Qanun kota Banda Aceh itu berhadapan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada level nasional dan konstitusional tentang HAM.  

3. Hak Kelompok Minoritas non-Muslim
Salah satu argumen pendukung keberadaan Perda-perda berbasis syariat di sejumlah wilayah-wilayah provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia adalah tingkat populasi di daerah itu yang mayoritas beragama Islam. Hal ini mengandung makna bahwa berhubung muslim adalah penduduk mayoritas di suatu daerah, maka kepentingan ekslusif mereka mendapatkan prioritas utama ketimbang kelompok minoritas non-Muslim yang juga berdiam di daerah tersebut. Seperti dikemukakan dalam tulisan yang lain, ambisi kelompok mayoritas keagamaan untuk memasukkan pandangan-pandangan keagamaannya ke dalam regulasi negara dan memberlakukannya untuk seluruh warga setempat akan membawa akibat negatif bagi jaminan hak-hak kelompok minoritas keagamaan.[xxvii]
Penerapan sejumlah norma-norma keagamaan melalui regulasi resmi, baik pada level regional maupun lokal, telah membuat negara dan pemerintah semakin kental teridentifikasi dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk. Padahal konstitusi RI jelas-jelas tidak menyebutkan satu agamapun sebagai agama resmi negara. Akibatnya, kondisi ini lebih jauh menciptakan peminggiran politik kelompok minoritas keagamaan dan menghalangi hak-hak mereka sepenuhnya dalam proses pembuatan keputusan. Legislasi tentang pengelolaan zakat, misalnya, sungguhpun hanya diterapkan bagi umat Islam, menimbulkan perasaan di kalangan non-muslim bahwa negara telah mendiskriminasi mereka. Perda-perda berbasis syariat di berbagai wilayah Indonesia di mata kelompok minoritas non-Muslim merupakan sinyal yang jelas betapa diri mereka tak lebih sebagai warganegara kelas dua, sementara kepenganutan agama Islam adalah basis sebagai sebuah komunitas politik yang riil.
Dalam berbagai hal, kesetaraan hak di antara individu warga negara merupakan persoalan HAM yang fundamental. Kesetaraan hak itu mencakup:
a.      Persamaan hak di depan hukum;
b.      Hak diperlakukan sama;
c.       Hak tidak diklasifikasikan secara berbeda;
d.      Hak untuk tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang sama; dan
e.       Hak untuk tidak dibedakan karena berlainan agama. 

Penekanan pada kesetaraan hukum itu, menurut Toktas, menunjukkan bahwa “kelompok minoritas mengharapkan terintegrasi ke tengah publik bukan karena perbedaan agama, melainkan justru karena kesamaan dalam kewarganegaraan”.[xxviii] Oleh sebab itu, pemberlakuan secara resmi sebuah peraturan yang hanya dikhususkan berlaku bagi kelompok mayoritas akan menimbulkan perasaan di kalangan kelompok minoritas sebagai ‘outsiders’ (orang asing) atau sebagai warganegara tidak penuh. Perasaan itu muncul karena peraturan tersebut tidak mengikutsertakan mereka di dalamnya.
Akan tetapi, memaksa kelompok minoritas untuk terikat oleh ketentuan yang terdapat di dalam peraturan yang ditujukan berlaku secara spesifik untuk penduduk mayoritas keagamaan itu sama saja dengan melanggar kebebasan beragama. Hal itu karena peraturan semacam itu tidak memberi jaminan bagi keanekaragaman keyakinan yang dianut oleh setiap anggota masyarakat. 
Sedikitnya ada dua kota di Indonesia (Padang dan Makassar) yang telah memberlakukan secara resmi peraturan pakaian sekolah yang bernuansa kuat ajaran agama mayoritas. Kedua walikota di kota yang berbeda pulau itu mengeluarkan surat instruksi yang isinya meminta agar murid-murid sekolah, khususnya perempuan, mengganti seragam sekolah yang telah digunakan selama ini dengan jenis pakaian panjang yang menutup hingga pergelangan kaki mereka.[xxix] Sementara instruksi walikota Makassar tidak mengharuskan penutup kepala (jilbab), walikota Padang sebaliknya mengimbau pelajar perempuan di wilayahnya untuk mengenakan penutup kepala. Sungguhpun murid-murid perempuan yang beragama non-Islam tidak diperintahkan untuk menutup kepala mereka, keadaan lingkungan sekolah yang sedemikian rupa seringkali mendesak mereka ke dalam situasi yang tidak ada pilihan, kecuali turut serta mengenakan penutup kepala itu. Kenyataan ini terkonfirmasi dengan komentar walikota Padang sendiri, Fauzi Bahar, dalam sebuah acara TV: “Kalau ada sekawanan domba berwarna putih disela oleh beberapa domba berwarna biru, tentu tidak akan enak dipandang”.[xxx]
Kasus pakaian seragam sekolah di Padang itu merupakan sebuah kebijakan yang bukan saja tidak mempertimbangkan aspirasi minoritas di negara-bangsa yang majemuk seperti Indonesia, tetapi juga mengindikasikan kecenderungan fasisme yang bernafsu untuk menyeragamkan dan mendisiplinkan masyarakat dalam satu corak pikir dan cara bertindak.[xxxi] Lebih di atas segalanya, efek diskriminatif suatu peraturan, baik yang dikeluarkan oleh legislator maupun birokrat, akan mengirim pesan yang keliru kepada kelompok-kelompok di luar Negara bahwa mereka diperbolehkan atau mendapat justifikasi untuk melakukan hal yang sama berbuat diskriminatif terhadap kelompok minoritas.[xxxii]
Masalah yang cukup penting dibahas berkaitan dengan Perda-perda berbasis syariat Islam dan hubungannya dengan posisi kelompok minoritas non-muslim adalah bergesernya fokus perdebatan di dalam gedung DPRD. Sebelumnya anggota legislatif berdebat apakah memilih melakukan legislasi keagamaan atau legislasi publik. Namun, yang menjadi perdebatan sekarang adalah sejauhmana batas legislasi urusan keagamaan dapat diupayakan oleh DPRD. Adanya perubahan fokus perdebatan ini membawa dampak yang luar biasa bagi posisi dan hak-hak kelompok minoritas. Perdebatan di tingkat lembaga legislatif tentang legislasi aturan-aturan keagamaan berubah menjadi kurang kritis karena kesepakatan informal di luar ruangan seringkali sudah dicapai sebelum sidang perdebatan dimulai. Seperti juga dicatat oleh Philip, peran kelompok minoritas non-muslim di Mesir sebagai partisipan kritis dalam setiap perdebatan di pertemuan legislatif perlahan-lahan kian meredup sebagai dampak dari bergesernya fokus perdebatan itu.[xxxiii]
Selain karena alasan di atas, tidak tersalurkannya hak-hak kelompok minoritas antara lain juga disebabkan oleh faktor bahwa partai-partai non-agama yang semula memperjuangkan cita-cita seluruh komponen anak bangsa, kini mulai bergeser perhatiannya lebih banyak kepada aspirasi umat Islam. Walaupun pergeseran perhatian ini lebih didorong oleh tujuan jangka pendek untuk merebut suara dalam Pemilu atau Pilkada, tak pelak membuat kelompok minoritas kehilangan wadah politik yang tepat untuk menyuarakan kepentingan mereka menolak kehadiran berbagai keputusan atau regulasi Negara yang merugikan hak-hak dan posisi mereka sebagai kelompok minoritas.

H. Upaya Hukum Penegakan HAM
Setelah menjelaskan Perda-perda berbasis syariat dan kaitannya dengan prinsip-prinsip HAM sebagaimana yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia di atas, pertanyaan yang muncul adalah mungkinkah membangun hubungan yang harmonis antara keduanya? Tampaknya tidak ada konsensus yang menyeluruh tentang apakah penerapan formal syariat Islam melalui berbagai peraturan daerah itu mesti bersesuaian dengan prinsip-prinsip HAM. Hal ini banyak bertalian dengan karakter negara dan konstitusi Indonesia yang dipahami oleh sebagian kalangan bersifat religius. Menurut sejumlah kelompok Islam, nilai-nilai religiusitas patut menjadi pertimbangan dalam menentukan prinsip-prinsip HAM mana yang akan diberlakukan dalam konteks Indonesia. Namun, di sisi lain, beberapa pihak berpendapat bahwa berhubung Indonesia sudah menetapkan prinsip-prinsip HAM sebagai bagian konstitusi RI dan meratifikasi sejumlah konvensi internasional tentang HAM, maka bagi Indonesia tidak ada jalan lain kecuali dengan penuh segala hormat menerapkannya secara konsisten dan sungguh-sungguh.
Tampaknya tidak mudah bagi kedua belah pihak menemukan jalan tengah secara damai dan kompromi. Lembaga peradilan rupanya merupakan alternatif penengah yang dipandang mampu memecahkan persoalan ini. Oleh karena itu, beberapa warga kota Tangerang yang merasa hak-hak mereka terganggu oleh kehadiran Perda kota Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran mengajukan judicial review (peninjauan ulang hukum) ke Mahkamah Agung (MA). Ini adalah sebuah kasus pertama untuk menguji secara hukum apakah Perda-perda berbasis syariat itu bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya, termasuk peraturan soal HAM. Namun, sayang sekali, usaha ini kandas sebelum diperoleh kepastian mengenai status hukum Perda-perda berbasis syariat itu berhadapan dengan peraturan yang lebih tinggi. Majelis hakim MA memutuskan untuk menolak memeriksa substansi perkara itu dan hanya menguji kebenaran prosedur hukumnya.[xxxiv] Menurut MA, Perda kota Tangerang itu telah melewati proses demokratis dan melibatkan partisipasi publik yang luas. Oleh sebab itu, MA memandang bahwa Perda tersebut merupakan implementasi politik pemerintah kota Tangerang dan bukan merupakan materi yang dapat diuji secara hukum. Berdasarkan alasan ini, MA mengambil keputusan untuk tidak mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan oleh warga kota Tangerang itu.[xxxv] Putusan MA atas permohonan judicial review ini menunjukkan betapa MA merupakan lembaga yang lebih melindungi keutuhan prosedur hukum ketimbang sebagai lembaga yang menjamin perlindungan HAM dan kebebasan di Indonesia.
Bagi banyak pembela HAM di Indonesia, putusan MA di atas jelas merupakan hasil yang mengecewakan. Lebih-lebih karena tidak tersedia mekanisme hukum lainnya untuk menguji Perda Kota Tangerang itu, misalnya putusan MA itu diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa ulang. Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang memeriksa perkara judicial review yang melibatkan peraturan daerah provinsi atau yang lebih rendah (Perda kabupaten/kota). Jurisdiksi MK hanya terbatas menerima dan memeriksa perkara judicial review yang berkaitan dengan Undang-Undang atau yang sederajat. Adalah MA yang bertugas sebagai lembaga peradilan terakhir yang memeriksa judicial review atas Perda-perda yang dipandang bermasalah.
Berangkat dari kenyataan bahwa perselisihan pendapat tentang apakah Perda-perda berbasis syariat itu bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak menemukan jalan pemecahannya hingga saat ini, pemerintah tidak dapat membiarkan keadaan ini berlangsung tanpa ada sebuah kepastian hukum yang dapat dipedomani. Pemerintah mesti dengan segera mengambil sikap yang tegas untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM sebagai akibat diterapkannya Perda-perda berbasis syariat itu. Salah satu cara merealisasikan tujuan ini adalah dengan memperluas jurisdiksi MK untuk dapat menguji segala peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi, termasuk ketentuan-ketentuan HAM. Diharapkan dengan cara ini, kepastian hukum mengenai perlindungan konstitusional penegakan HAM setiap warga negara Indonesia dapat diwujudkan.



[i]Lihat Arskal Salim, “Islamizing Indonesian Laws? Legal and Political Dissonance in Indonesian Shari`a 1945-2005”, PhD Thesis, (the University of Melbourne, 2006).
[ii]Siti Musdah Mulia, “Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan”, http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=178&page=1 <10 Juli 2007>.
[iii]Arskal Salim, “Shari`a in Indonesia’s Current Transition: An Update” in Arskal Salim and Azyumardi Azra (eds.), Shari`a and Politics in Modern Indonesia. Singapore: ISEAS, 2003. h. 220.
[iv]Tabel ini diambil dari Arskal Salim, “Muslim Politics in Indonesia’s Democratisation: The Religious Majority and the Rights of Minorities in the Post-New Order Era”, in Democracy and the promise of good governance: Indonesia Update Series 2006 edited by Andrew MacIntyre and Ross McLeod. (Singapore, ISEAS, 2007), h. 128-129.
[v]“Menguji Perda Syariat di Ranah Majemuk”, http:/www.liputan6.com/view/8,127209,1,0,1155356468.html  <12 Agustus 2006>; Lihat juga Hamid Basyaib, “Ketemu Ma’ruf Amin”, Indo Pos, 20 Agustus 2006.
[vi]D. Beetham and K. Boyle, Introducing Democracy, (Cambridge: UNESCO Publishing/Polity Press, 1995).
[vii]Ahmad Suaedy, “Perda Syariat Islam Tidak Menyelesaikan Masalah Sosial”, http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/blogcategory/1/54/ <8 August 2006>
[viii]Summary Riset, “Peta Problem Perda-perda Berdimensi Agama Sebagai Bentuk Kebijakan Publik Di Kalimantan Selatan”, LK3, 2005 seperti dikutip oleh Denny Indrayana, “Kompleksitas Peraturan Daerah Bernuansa Syariat: Perspektif Hukum Tata Negara”, Seminar Kebijakan Publik dan Partisipasi Masyarakat di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Perda-perda Berdimensi Agama, Banjarmasin, 1 Oktober 2005, h. 6.
[ix]Ibid. h. 8.
[x]Salim, “Muslim Politics”, h. 130.
[xi]Indrayana, “Kompleksitas Peraturan”, h. 6.
[xii]Abdullahi Ahmed An-Naim, “Islamic Law, International Relations, and Human Rights: Challenge and Response, Cornell International Law Journal 20 (1987).
[xiii]Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, (Bandung: Mizan, 2007).
[xiv]Pembahasan lebih jauh tentang konsep takhayyur dan hubungannya dengan konsep pluralisme hukum, silakan lihat Ihsan Yilmaz, Muslim Laws, Politics and Society in Modern Nation States. (Aldershot: Ashgate, 2005)
[xv]“Keputusan Berzakat tak Perlu Emosional”, Bali Post, 12 November 2003.
[xvi]Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 58.
[xvii]“Bupati Lombok Timur: Jika Tidak Mau Bayar Silahkan”, http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=6255 <9 July 2007>.
[xviii]“Sistem Pengelolaan Zakat Profesi di Lombok Timur Menyalahi Aturan”, Republika, 10 Desember 2005.
[xix]Ann Elizabeth Mayer, “Islamization and Taxation in Pakistan” in Anita M. Weiss (ed.), Islamic Reassertion in Pakistan: The Application of Islamic Laws in a Modern State, (Syracuse: Syracuse University Press, 1986).
[xx]Moeslim Abdurrahman, “Korban Pertama dari Penerapan Syariat adalah Perempuan”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=175 <10 Juli 2007>
[xxi]“Otonomi Daerah dan Rentannya Posisi Perempuan”, Kompas 18 Juni 2001; “Jam Malam bagi Wanita akan Berlaku di Sumbar”, Media Indonesia 30 Juni 2001.
[xxii]“Batas Niat Baik dan Komoditas Politik” Gatra, 20 Maret 2006; “Spread of Islamic Law in Indonesia Takes Toll on Women”, The New York Times, 27 Juni 2006.
[xxiii]Bandingkan dengan pasal 18 UU no. 39/1999 tentang HAM.
[xxiv]“Warga Tangerang Ajukan Uji Materiil Perda Pelacuran” Media Indonesia, 20 April 2006; “Perda Kota Tangerang tak Sesuai KUHP” Kompas, 3 Maret 2006;
[xxv]Abd Moqsith Ghazali, “Tentang Perda Pelacuran”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=1027 <10 Juli 2007>
[xxvi]“Potret Perempuan dalam Era Otonomi Daerah”, http://wri.or.id/penelitian/index.php  <10 Juli 2007>
[xxvii]Salim, “Muslim Politics”, hh. 115-137.
[xxviii]Sule Toktas, “The Conduct of Citizenship in the Case of Turkey’s Jewish Minority: Legal Status, Identity and Civic Virtue Aspects”, Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East 26, no. 1, (2006), p. 127.
[xxix]“Rok Panjang Hingga Mata Kaki Wajib bagi Siswi di Makassar”, Lampung Post, 3 Juli 2006; “Female Students Ordered to Keep Covered”, Jakarta Post, 10 Juli 2006; “Walikota Padang Jelaskan Kepada Presiden Soal Isu Siswi Non Muslim Wajib Pakai Jilbab” http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=73612 <11 Juli 2007>.
[xxx]“Menguji Perda Syariat di Ranah Majemuk”, http:/www.liputan6.com/view/8,127209,1,0,1155356468.html  <12 Agustus 2006>; Novriantoni, “Kasus Jilbab Padang dan Fasisme Kaum Moralis” http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=827 <8 Juli 2007)
[xxxi]Novriantoni, “Kasus Jilbab”
[xxxii]Salim, “Muslim Politics”, h. 131.
[xxxiii]Thomas Philip, “Copts and Other Minorities in the Development of the Egyptian Nation-State”, in Egypt from Monarchy to Republic: A Reassesment of Revolution and Change, edited by Shimon Shamir (Boulder-San Fransisco-Oxford: Westview Press, 1995) p. 146.
[xxxiv]“MA Tolak Uji Materi Perda Pelacuran Kota Tangerang” Seputar Indonesia, 14 April 2007.
[xxxv]“MA Tolak Uji Materiil Perda Anti Pelacuran”, Jawa Pos, 14 April 2007.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar