Selasa, 31 Maret 2015

HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Pengantar
Semenjak isu-isu tentang HAM telah mengemuka dalam agenda internasional, perubahan-perubahan politik telah terjadi di berbagai Negara yang selama ini dikenal karena pola-pola pelanggaran HAM beratnya. Kekuatan oposisi telah berubah menjadi penguasa di beberapa Negara tersebut; dan di sebagian Negara lainnya, walaupun tidak sepenuhnya terputuskan dengan rezim sebelumnya yang zalim, namun telah menjauhkan dirinya dari mereka dan dari warisan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya.
Arah transisi politik telah menuju demokrasi, baik dengan cara memulihkan suatu bentuk demokrasi dari pemerintahan yang telah dirusak oleh suatu rezim yang diktator atau melalui langkah-langkah untuk membentuk suatu pemerintahan demokrasi yang baru, dimana tak satu pihak pun dari rezim sebelumnya yang dilibatkan. Di beberapa Negara lainnya, rezim yang baru belum dipilih secara demokrasi, atau bahkan mereka masuk ke dalam organisasi yang mandiri dalam memperjuangkan hak-haknya yang perlu ditingkatkan / diseimbangkan.
Oleh sebab itu seruan pemerintah tentang perlu dilakukannya pengkajian atas segala-gejala yang dapat menjurus timbulnya kerusuhan sebagai akibat konflik-konflik social, perlu di dukung dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok masyarakat dalam upaya-upaya menciptakan dan memelihara ketentraman dan tertib umum yang sehat.
Hak-hak Azasi Manusia merupakan bidang/lapangan kerjasama internasional yang sah. Penegakan, pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dilaksanakan dalam kerangka kerjasama internasional, dan tidak sebaliknya ditegakkan dengan cara konfrontasi atau penekanan sepihak. Kerjasama terutama dapat dilakukan antara lembanga-lembaga nasional hak-hak asasi manusia (seperti halnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Canada dan Komisi-Komisi Nasional lainnya/lembaga-lembaga internasional lainnya).
Hubungan kerjasama internasional itu dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan dan meluaskan serta memperkaya pemahaman tentang hak-hak asasi manusia lembaga-lembaga lainnya melalui partisipasi dalam program-program kunjungan, pelatihan, pendidikan, kursus dan kegiatan-kegiatan pendalaman pengertian internasional lainnya.

Oleh karena tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan HAM berada diatas pundak Negara, dalam hal ini di representasikan oleh pemerintah, perlu diberikan perhatian yang memadai pada kondisi dan kendala-kendala Negara dalam menunaikan kewajiban interanasionalnya itu.


A. Pendahuluan
Dewasa ini masalah HAM telah menjadi isu yang mendunia di samping demokrasi dan masalah lingkungan hidup, bahkan telah menjadi tuntutan yang serius bagi suatu negara untuk menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak asasi warga negaranya dan penduduk tanpa diskriminasi.
HAM merupakan terjemahan dari Human Rights. Sebenarnya dengan menerjemahkan human rights dengan HAM, nampak sangat berlebihan (semestinya  hanya manusia [tanpa ada kata asasi]). A. Hamin S. Attamiri menyatakan dalam tulisannya bahwa istilah HAM telah salah kaprah dengan memasukan kata asasi di dalamnya. Semestinya cukup dengan istilah “hak manusia” sebagai terjemahan “human rights” atau “mensen rechten” mungkin kata asasi berasal dari pengertian “Fundamental” dalam istilah “Leges Fundamentalis”, yang berarti “hukum dasar”, sedangkan kata “dasar” di sama artikan dengan “asas” sehingga terjadi kemungkinan tasrif kata sifat “yang dasar” kemudian menjadi “yang asasi”.
Isitlah yang digunakan para penyusun UUD 1945 semula memang bukan hak asasi manusia yang dalam bahasa Inggris disebut “human rights”, melainkan hak dasar, yang dalam bahasa Inggris yang disebut “basic rights” dalam bahasa belanda “grond rechten” dan dalam bahasa Jerman “grundrechte”. Dalam pengertian “human rights” menyangkut perlindungan terhadap seseorang dari penindasan oleh siapapun, negara atau bukan negara, sedangkan dalam pengertian “basic rights” menyangkut perlindungan seorang warga negara atau penduduk dari penindasan oleh negara.
BPUPKI dan PPKI pada saat menyusun UUD 1945 membicarakan tentang hak dasar, sedangkan PBB pada tahun 1948 berbicara hak manusia, memang tugas dan fungsi PBB tidak hanya meliputi negara anggotanya melainkan juga wilayah jajahannya atau protektorat.
Kemungkinan timbulnya istilah HAM adalah pada tahun 1950 saat Mr. Muh. Yamin menerjemahkan human rights menjadi HAM. Kemudian Prof. Soenarko menerjemahkan”human rights” menjadi hak-hak manusia. Kemudian Prof. Koentjoro menggunakan istilah hak-hak dasar manusia, yang kemudian berubah menjadi HAM. Drs. Harbangun Nardjowirogo dalam judul bukunya menggunakan istilah hak-hak manusia. Dengan demikian masih banyak ketidaksesuaian istilah dalam menerjemahkan “human rights”. Perlu diketahui bahwa tidak semua hak manusia bersifat pokok, asasi, mendasar sehingga dapat disebut sebagai hak asasi (fundamental rights atau basic rights).


B. Tujuan dan Fungsi HAM dalam Hukum Internasional
            Hukum internasional, dengan tegas hanya memfokuskan pada kepentingan pribadi dan kelompok serta hubungan antara mereka dengan pemerintah. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan internasional untuk HAM dan kebebasan pribadi atas penyalahgunaan oleh pemerintah, dan dalam hal tertentu juga atas kelakuan pribadi, kelompok pribadi dan organisasi swasta lain, dan menjamin bagi mereka iklim hidup yang sesuai dengan martabat manusia.
Dengan tujuan hukum internasional yang hanya memfokuskan pada 2 kategori yaitu kepentingan pribadi dan kelompok serta hubungan mereka dengan pemerintah, sebenarnya kini telah menjadi “rancu”. Hal ini disebabakan karena perbedaan antara hak-hak pribadi dengan hak-hak kelompok makin lama makin “kabur”, oleh sebab sebuah hak dapat menunjukkan ciri khas kedua kategori. Misalnya, hak untuk bebas berserikat mengandung unsur kebebasan pribadi sekaligus sosial, dan kebebasan beragama menunjukkan ciri khas hak pribadi maupun hak kolektif. Juga kriteria yang ada pada hak kebebasan membebani negara dengan kewajiban untuk tidak mencampuri lingkungan kebebasan pribadi, sementara kebijakan yang aktif memungkinkan beberapa hak-hak sosial, ekonomi dan budaya menjadi dikurangi penikmatannya.
Dalam membahas masalah ini, adalah sangat penting untuk membedakan antara 2 bentuk utama dari instrumen internasioanl HAM ( International Human Rights Instrument), yaitu apa yang dikenal sebagai treaties (persetujuan) dan declaration ( deklarasi), antara lain:
1.      Instrumen yang secara legal mengikat (legally biding instrument). Di satu pihak, terdapat instrumen-instrumen yang secara legal bersifat mengikat di bawah hukum internasional instrumen-instrumen tersebut menunjukkan secara legal keterikatan kewajiban-kewajiban bagi negara-negara yang menjadi peserta melalui proses ratifikasi. Instrumen ini disebut sebagai treaties (persetujuan), walaupun instrumen ini tidak jarang menunjuk suatu diskripsi lain seperti covenants atau convention. Sebagai contoh, dapat dimasukkan antara lain seperti Convention Against Torture, the Convention Against Genocide dan The International Convenan on Civil and Political Rigahts.
2.      Instrumen yang tidak mengikat (non-biding instrument). Dipihak lain, ada instrumen internasional yang tidak menunjukkan keterikatan kewajiban tetapi mempunyai ciri declaratoier di dalamnya tercantum prinsip-prinsip dan nilai-nilai penting yang telah diterima oleh masyarakat internasional, namun tidak dengan sendirinya secara hukum mengikat di bawah hukum internasional. Sebagaimana treties (persetujuan), tidak melibatkan proses ratifikasi di mana bagi negara-negara yang menjadi pesertanya dan mewajibkan negara-negara pesertanya untuk melaksanakan instrumen ini mempunyai berbagai nama, namun yang menjadi istilah umumnya adalah “Declaration”. Dalam dunia HAM deklarasi yang paling signifikan adalah Declaration of Human Rights. Walaupun deklarasi tidak secara legal mengikat, ini tidak berarti bahwa mereka tidak penting. Deklarasi ini mengandung banyak beban moral dan politik di kalangan masyarakat internasional dan merupakan alat yang efektif dalam menekan negara-negara yang telah melanggar HAM yang serius1. Deklarasi telah menjadi alat yang efektif untuk menigkatkan kewaspadaan internasional terhadap standar HAM. Lebih daripada itu walaupun secara hukum deklarasi tidak bersifat mengikat, beberapa standar yang tertuang dalam deklarasi mempunyai ikatan status yang legal dengan constumari law ini adalah dasar yang dimiliki oleh dari standar itu dan menghasilkan suatu penerimaan dalam masyarakat internasional yang kemudian mengkristalisasi ke dalam international costum (kebiasaan internasional).
Hukum internasional mengenai HAM ini tidak saja berlaku dalam keadaan damai tetapi juga dalam situasi konflik bersenjata internasional ataupun non internasioanal. Walaupun dalam situasi demikian, negara mempunyai hak untuk menunda beberapa “kenikmatan-kenikmatan” hak dan kebebasan sejauh keadaan mengharuskan itu2
Beberapa kunci pokok dari instrumen HAM adalah:
a.      Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Deklarasi universal HAM (DUHAM) ini sebagai suatu standar umum bagi prestasi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar semua individu dan setiap warga masyarakat yang terus mengikat semua deklarasi ini mengembangkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan melalui pengajaran dan pendidikan serta melalui langkah-langkah progresif secara nasional dan internasional untuk menjamin pengakuan serta kepatuhan yang universal yang efektif terhadapnya, di kalangan bangsa-bangsa dari negara-negara anggota maupun di kalangan bangsa-bangsa di wilayah-wilayah yang berada di bawah yuridiksinya. Bahwa bangsa-bangsa di PBB menegaskan keyakinan mereka akan HAM yang mendasar adalah martabat dan harkat pribadi manusia serta dalam hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan dan telah memutuskan untuk memperjuangkan kemajuan masyarakat serta standar-standar kehidupan yang lebih baik dalam kebebasan yang besar bahwa, sesuai dengan deklarasi universal HAM, cita-cita umat manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan hanya dapat dicapai apabila tercipta kondisi-kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya, ataupun hak-hak sipil dan politiknya.
Bahwa kewajiban negara-negara menurut piagam PBB adalah untuk mengembangkan penghargaan universal, serta kepatuhan terhadap, HAM dan kebebasan. Bahwa individu, karena memiliki tanggung jawab kepada individu-individu lain dan masyarakat di mana ia menjadi bagiannya, bertanggung jawab untuk memperjuangkan pengembangan dan kepatuhan terhadap hak-hak yang diakui dalam perjanjian ini. Reaksi PBB mengenai HAM sesungguhnya merupakan jawaban terhadap atrocities dan pelanggaran HAM yang terjadi dalam perang dunia II  dan adanya kehendak agar hal semacam itu tidak terjadi lagi.
Salah satu yang paling berharga pada tahun awal berdirinya PBB adalah pembentukan Universal Declaration of Human Rights ( UDHR) yang kemudian disahkan dalam sidang umum PBB pada tahun 1948. UDHR merupakan barometer untuk mengukur tingkat penghormatan suatu negara dan tingkat kepeduliannya terhadap standar HAM. Sejak 1948, UDHR telah menjadi tolok ukur keberhasilan terhadap semua deklarasi yang dikeluarkan oleh PBB, dan merupakan sumber utama terhadap kegiatan nasional maupun internasional guna memajukan HAM. UUDHR telah menjadi arah bagi semua pekerjaan di lapangan HAM dan menyediakan semua landasan filosofis tertentu bagi semua konvensi dan kovenan HAM. UDHR merupakan instrumen yang sering digunakan untuk mengingatkan pemerintah agar memperhatikan penampilan HAM.
Deklarasi universal HAM (DUHAM) berisi 30 pasal yang terdiri dari hak-hak fundamental dan kebebasan yang berlaku bagi semua manusia tanpa diskriminasi. Pasal 2 mengandung prinsip-prinsip fundamental dari kesamaann (equality) non-diskriminasi dalam penikmatan HAM dan kebebasan. Pasal 2 juga melarang semua bentuk diskriminasi, baik berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat, asal-usul atas status sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya.
Pasal 3 membahas hak dasar untuk hidup, kemerdekaan, dan rasa aman dari setiap orang yang merupakan tokoh terpenting bagi pelaksanaan hak-hak yang lain. DUHAM mencakup 2 kelompok, yakni; pertama, sebagaimana pengelompokan HAM pada umumnya, yakni hak-hak sipil dan hak-hak politik yang melarang bentuk-bentuk campur tangan negara dalam kehidupan penduduk dan menuntut negara untuk menghindari perbuatan semacam itu.
Hak-hak sipil dan politik penduduk terdiri dari:
1)     Tak seorangpun boleh dibelenggu dalam perbudakan/perhambaan; perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuk harus dilarang (Pasal 4)
2)     Tak seorangpun boleh dikenai penganiayaan/perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (Pasal 5).
3)     Semua orang berkedudukan sejajar di muka hukum dan berhak atas perlindungan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun. Semua orang berhak atas perlindungan yang sama dari segala diskriminasi yang melanggar deklarasi dan dari segala dorongan bagi diskriminasi semacam itu (Pasal 7)
4)     Semua orang berhak atas ganti rugi yang efektif dari sidang pengadilan nasional yang kompeten yang dijamin oleh konstitusi atau hukum yang dikenakan pada tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi manusia (Pasal 8)
5)     Tidak seorangpun boleh dikenai penangkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang (Pasal 9)
6)     Tidak seorangpun boleh dikenai intervensi sewenang-wenang terhadap privasi keluarga rumah tangganya atau korespondensinya, juga serangan terhadap kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum dari intervensi dan serangan semacam itu (Pasal 12)
7)     Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan bermukim dalam garis perbatasan masing-masing negara. Setiap orang berhak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya, dan untuk kembali ke negaranya (Pasal 13)
8)     Setiap orang berhak untuk mencari dan menikmati suaka di negara-negara lain supaya luput dari penganiyaan (Pasal 14)
9)     Setiap orang berhak atas kewarganegaraan. Tidak seorangpun boleh dirampas kewarganegaraannya secara sewenang-wenang maupun diingkari haknya untuk mengubah kewarganegaraannya (Pasal 15)
10) Laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa pembatasan apapun menurut ras, kewarganegaraan, atau agama, berhak untuk meminta dan membentuk suatu keluarga mereka berhak atas hak-hak yang sama pada saat pernikahaan, selama pernikahan dan pada saat perceraian. Pernikahan hanya boleh dilakukan dengan sukarela dan kesepakatan bulat kedua belah mempelai. Keluarga merupakan unit kelompok masyarakat yang alami dan mendasar, dan berhak atas perlindungan dari masyarakat maupun negara (Pasal 16)
11) Setiap orang berhak untuk memiliki kekayaan secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain. Tidak seorangpun boleh dirampas kekayaannya secara sewenang-wenang (Pasal 17)
12) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi atau bersama-sama dengan orang-orang lain secara terbuka atau pribadi untuk menjalankan agama dan keyakinannya dalam pengajaran, praktik, ibadah dan ketaatan (Pasal 18)
13) Setiap orang berhak atas kebebasan beropini dan berekspresi. Hak ini meliputi kebebasan untuk memiliki opini tanpa intervensi serta untuk mencari, menerima dan mengungkapkan informasi serta gagasan melalui media apapun dan tidak terikat perbatasan (Pasal 19)
14) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berkumpul dan berasosiasi secara terang. Tidak seorangpun boleh dipaksa untuk memasuki suatu asosiasi (Pasal 20)
15) Setiap orang berhak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang berhak atas akses yang sama pada pelayanan pemerintah di negaranya. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kewenangan pemerintah, dan kehendak ini harus diekspresikan dalam pemilihan umum yang teratur, sungguh-sungguh dan diselenggarakan secara universal dan sama, serta harus diselenggarakan melalui pemungutan suara secara rahasia dan melalui prosedur-prosedur pemungutan suara yang sama bebasnya (Pasal 21).
DUHAM juga mengandung hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yaitu hak-hak yang menuntut agar negara tidak menghindarkan diri dari beberapa kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang positif dalam menjamin hak-hak penduduk. Beberapa HAM yang masuk DUHAM ini adalah sebagai berikut:
a).   Setiap orang, sebagai anggota masyarakat berhak atas jaminan sosial (social security), serta berhak atas realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tidak dapat dicabut, demi martabat dan perkembangan kepribadiaannya secara bebas melalui upaya nasional dan kerjasama internasional serta sesuai dengan organisasi dan sumber masing-masing negara (Pasal 22)
b).   Setiap orang berhak atas pekerjaan dan pilihan pekerjaan secara bebas atas dasar kondisi-kondisi kerja yang adil dan menguntungkan serta atas perlindungan dari pengangguran setiap orang tanpa diskriminasi apapun dan berhak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Setiap orang yang berkerja berhak atas imbalan yang adil dan menguntungkan yang menjamin suatu eksistensi yang layak bagi martabat manusia untuk dirinya sendiri dan keluarganya yang di lengkapi sarana perlindungan sosial lainnya. Setiap orang berhak untuk membentuk dan bergabung kedalam serikat buruh gunah melindungi kepentingan-kepentingannya (Pasal 23)
c).    Setiap orang berhak untuk beristirahat dan menikmati waktu senggang termasuk pembatasan jam kerja yang wajar serta liburan berkala yang disertai upah (Pasal 24).
d).   Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan. Pendidikan harus diarahkan bagi pengembangan sepenuhnya kepribadian manusia dan bagi penguatan penghargaan terhadap HAM serta kebebasan yang berdasar. Ini harus mengembangkan pengertian toleransi serta persahabatan di antara semua bangsa kelompoka ras atau agama memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam pemeliharaan perdamaian. Para orang tua memiliki hak istimewa untuk pemilihan jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka (Pasal 26).
e).    Setiap orang berhak untuk berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya suatu masyarakat menikmati kesenian dan ikut serta dalam kemajuan ilmu dan manfaat-manfaatnya. Setiap orang berhak atas perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan material dan moral dari karya ilmiah kesusteraan atau kesenian yang ia ciptakan (Pasal 27).
f).     Manakalah masyarakat mendiskusikan dengan serius tentang pelanggaran hak asasi manusia mereka senang merujuk kepada hak-hak sipil dan politik bagaimanapun juga adalah sangat penting untuk diingat bahwa hak asasi manusia itu adalah hak yang tidak dapat dihilangkan sehingga pelanggaran terhadap hak individu dapat menjadikan individu itu tidak mampu melaksanakan hak-haknya yang lain misalnya pelanggaran hak-hak sipil atau hak-hak politik dapat menimbulkan akibat lain dibidang pelaksanaan hak-hak economi dan social budaya seperti hak untuk berkerja untuk mendapatan pengajaran, mendapatkan standar tingkat kesehatan dan sebagainya3.
Walaupun DUHAM bersifat non-binding declaration (deklarasi yang tidak mengikat) namun hampir semua hak-hak tersebut di atas semenjak tahun 1948 tertuang dalam perjanjian internasional yang mengikat (binding international treaties ).
Dua bentuk klasifikasi tentang hak-hak yang luas disahkan oleh PBB pada tahun 1966 adalah the international covenan on civil and political rights (konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan ekonomi) dan the internasional covenant on economic and cultural rights (konvensi internasional tentang hak-hak ekonomi social dan budaya). Bersama dengan DUHAM, kedua konvensi tersebut sering disebut sebagai “International Bill of Rights

b.     Konvensi tentang Penyiksaan (the Troture convention).       
Pada saat terjadi pelanggaran HAM, salah satu instrumen internasional yang signifikan digunakan adalah the Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman, Degrading Treatment or Punishment  (disingkat menjadi “The Torture Convention”) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1984 dan mulai berlaku pada tahun 1987.                   Dalam melarang perbuatan penyiksaan dan atau adanya aturan-aturan yang masih mengizinkan penyiksaan, konvensi ini mempunyai ruang lingkup yang sempit. Konvensi ini tidak mencakup penyiksaan yang dilakukan oleh lembaga atau perorangan di luar pemerintahan. Konvensi ini hanya mencakupi segala tindakan yang dilakukan di bawah tanggung jawab pejabat publik atau oleh orang lain yang bertindak dalam kapasitas pejabat.
Pasal 1 konvensi ini memuat definisi yang rinci mengenai arti penyiksaan antara lain berbunyi; “any act by which sever pain or suffering is inflicted, including both physical and mental suffering” (setiap perbuatan yang dapat menimbulkan rasa sakit dan penderita, termaksut penderita fisik dan mental). Namun demikian, terdapat beberapa keadaan yang siginifikasi, antara lain:
1.      Penderita itu haruslah timbul secara sungguh-sungguh terjadi;
2.      Perbuatan itu harus dilakukan dalam suatu investigasi, atau dalam suatu perbuatan yang didampingi oleh pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas pejabat publik;
3.      Rasa sakit atau penderita yang timbul karena sanksi hukum tidak termaksud didalamnya.
Pasal 1 dari konvensi ini memberikan contoh bentuk keadaan yang mengandung penganiyaan, di antaranya adalah perbuatan yang dilakukan untuk memaksa memberikan informasi atau pengakuan dari seseorang atau pihak ketiga di luar proses peradilan bahkan menghukum karena mencurigai seseorang telah melakukan perbuatan yang tidak disukainya, atau melakukan intimidasi dan paksaan kepada seseorang berlandaskan diskriminasi atau semacamnya.
Pasal 2, Ayat (1) dari konvensi meminta agar setiap negara peserta (state party) untuk membuat aturan yang efektif guna mencegah perbuatan penyiksaan dalam wilayahnya. Sedangkan pada Ayat (2) dijelaskan bahwa tidak ada pengucilan dalam bentuk apapun, baik dalam keadaan perang, konflik, situasi instabilitas politik dalam negeri atau bentuk lain dari keadaan darurat dapat dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan.
Pasal 4 dari konvensi ini, menyebutkan bahwa setiap negara peserta dituntut agar dalam hukum pidananya dicantumkan larangan untuk melakukan penyiksaan dan juga berperan serta dalam penyiksaan dan harus diancam dengan hukuman yang serius sejalan dengan penyiksaan yang dilakukannya.
Pada pasal 14 konvensi ini, menyelaskan bahwa korban dari penyiksaan mempunyai hak yang dapat dituntutkan untuk mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi secepatnya. Konvensi tentang penyiksaan (torture convention) disusun berdasarkan sistem yang berlaku secara internasional, yang berarti tidak ada suatu tempat pun di negara peserta konvensi ini yang aman bagi pelaku penyiksaan.
Untuk menentukan tempat HAM dalam hukum internasional harus dicari kaitannya dengan terminologi yang berlaku. Salah satu pengertian yang perlu digunakan adalah bahwa semua norma hukum internasional diarahkan untuk menjamin rasa hormat kepada pribadi dan meningkatkan perkembangannya. Hal ini dianggap sebagai kategori khusus yang disebut sebagai hukum humaniter secara luas4.
Hukum humaniter secara luas ini mencakup semua norma internasional mengenai konflik bersenjata, yang juga dimaksudkan untuk membatasi penderitaan umat manusia yang ditimbulkan oleh konflik tersebut. Dalam konteks ini, hukum humaniter dibagi ke dalam:
a).   Hukum tentang berperang (conduct of war). Hukum ini mengatur hak dan kewajiban negara yang sedang berperang dan membatasi pilihan metode berperang dan alat-alat yang menimbulkan kerugian. Hal ini dapat dilihat pada konvensi Den Haag tahun 1899 dan tahun 1907 yang sering disebut sebagai “Hukum Den Haag”. Karena hukum ini juga bertujuan untuk membatasi kerugian dan penderitaan akibat peperangan, maka ia memperoleh sifat humaniter.
b).   Hukum perang humaniter dalam arti yang sebenarnya. Hukum ini dimaksudkan untuk melindungi orang-orang tertentu sewaktu timbul konflik bersenjata internasional (namun dapat juga non internasional pada taraf tertentu), misalnya anggota tentara yang tidak lagi mungkin berperan karena luka, sakit, atau menjadi tawanan perang dan orang-orang yang tidak ikut serta dalam permusuhan.
Dalam kategori yang masih kurang jelas garis batasnya dapat dimasukkan peraturan internasional yang bertujuan melarang kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan perselisihan dan bentuk penyelesaian secara damai agar dilembagakan dan disosialisasikan. Peraturan semacam itu tersebar dalam banyak konvensi peraturan dan sangat menekankan kepentingan negara pada hubungan internasional secara damai.
Perhatian hukum internasional bagi perlindungan hukum individu untuk waktu lama hampir semata-mata dipusatkan pada perlakuan yang harus diberikan kepada negara pada warga negara lain, bilamana ia berada dalam yuridiksi hukum nasionalnya. Menurut hukum internasional umum (pendapat barat), negara di mana seorang warga asing berada harus memberikan apa yang disebut standar minimun, yang mengandung batas minimun dari hak-hak pribadi dan perlindungan hukum. Hak-hak yang dicakup dalam standar minimun ini, tergantung pada perjanjian yang berlaku pada saat itu dan pada perkembangan hukum adat yang bersangkutan5. Namun demikian, hukum mengenai perlakuan terhadap warga negara asing harus jelas dapat dibedakan dari perlindungan HAM, mengingat ada perbedaan menurut obyek, isi, dan kategori dari orang yang bersangkutan dan penuntutan hukumnya bilamana ada pelanggaran terjadi. Hal yang penting adalah perlindungan standar minimun secara formal akan diberikan kepada individu, hanya merupakan pencerminan hak dan kewajiban yang saling dimiliki dalam pergaulan internasional.
Standar minimun keadilan internasional juga dikembangkan dalam upaya-upaya awal untuk melindungi kelompok minoritas agama. Setelah perang dunia pertama, terjadilah perubahan wilayah dan mendorong 6 negara di Eropa mengadakan perjanjian dengan negara-negara sekutu untuk melindungi minoritas rasial, bahasa dan agama.
Perjanjian itu mencakup suatu kewajiban bahwa masing-masing negara memberikan jaminan dalam undang-undang nasionalnya untuk melindungi golongan minoritas dan bahwa jaminan ini tidak dapat diubah dengan perundang-undangan yang biasa. Karena itu, Liga Bangsa-bangsa (LBB) untuk pertama kalinya mendirikan sistem multilateral ekstensif untuk melindungi golongan minoritas. Untuk itu, dibentuk Dewan Liga Bangsa-bangsa dan permanent court of international justice untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran atas golongan minoritas tersebut dan mempunyai yuridiksi wajib atas pertikaian-pertikaian antara anggota dewan negara-negara mengenai perlindungan terhadap golongan minoritas.
Bermula dari reformasi Protestan dan perang agama di abad ke-16 dan ke-17, perjanjian perdamaian mulai “menggarap” ketentuan-ketentuan perlindungan terhadap minoritas agama. Perlindungan terhadap orang asing di bawah hukum internasional tumbuh dari konsep kedaulatan negara yang dengan suatu bangsa dapat menuntut agar hak warga negaranya di luar negeri dihormati. Pelaksanaan paling awal, pada abad ke-18 dari hak ini mengambil bentuk balas dendam yaitu sebuah praktik ketika seseorang merasa dirugikan oleh orang asing, ia dapat menyita harta benda orang asing itu karena kesalahan yang dilakukannya. Balas dendam ini dilakukan baik pada perorangan maupun oleh pejabat negara6. Selanjutnya, tindakan balas dendam itu hanya boleh dilakukan oleh pemerintah dan bukan oleh perorangan. Hak negara untuk ikut campur atas warga negaranya didasarkan atas dua prinsip, yakni; hak orang asing untuk diperlakukan sesuai dengan standar keadilan internasional dan hak orang asing untuk diperlakukan sama dengan warga negara dari negara di mana mereka tinggal.
Peraturan internasional yang pertama tentang HAM dibuat berkenaan dengan pengapusan perbudakan, dengan demikian hal ini berkaitan dengan hak kebebasan pribadi. Upaya untuk menghapus perdagangan budak dan melindung kaum buruh juga memperlihatkan tumbuhnya perhatian dunia internasional akan pentingya HAM.
Perbudakan dilarang dan dikutuk dalam bab tambahan perjanjinan perdamaian Paris tahun 1814 antara Perancis dengan Inggris. Pada tahun 1885, Akta Umum Konferensi Berlin tentang Afrika Tengah menegaskan bahwa “ perdagangan budak dilarang sesuai dengan dasar-dasar hukum internasional”. Pada tahun 1926 lahirlah the League of Nations Conventions to Suppres the Slave Trade and Slavely (Konvensi Liga Bangsa-bangsa untuk menghapus perbudakan dan perdagangan budak). Pada 1956 lahirlah Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the slave trade and Institutions and Practices Similar to Slavery.
Jaminan internasional atas HAM tertentu dalam bentuk yang dilembagakan pertama kali dijumpai sesudah perang dunia I dalam rangka terbentuknya beraneka ragam perjanjian perdamaian dan dalam kaitannya dengan LBB yang waktu itu baru dibentuk7. Negara-negara yang tergabung dalam Eropa Timur dan Eropa Tengah mengikat diri dalam suatu perjanjian dan deklarasi untuk menjamin kelompok minoritas yang mendiami wilayah mereka untuk menikmati kebebasan pribadi tanpa diskriminasi menurut kebangsaan, bahasa, ras, dan agama maupun hak untuk bebas beragama sejauh pelaksanaannya tidak melanggar ketertiban umum dan moral yang baik8. Demikian pula kepada mereka diberikan hak persamaan di hadapan hukum, kenikmatan terhadap hak-hak sipil dan kewarganegarraan yang sama seperti yang diberikan kepada warga negara lainnya. Kewajiban ini dianggap sebagai obligations d’interet international.
Pada abad ke-19 terjadilah kodifikasi perlindungan bagi para korban perang dan batas-batas pemakainan cara dan mekanisme perang. Pada tahun 1863 di Jenewa diadakan suatu konferensi internasional yang menyetujui berdirinya International Committee of the Red Cross  (ICRC) untuk maksud mengurangi “kengerian” akibat perang. ICRC pula yang melahirkan suatu perjanjian multilateral pertama tentang perlindungan terhadap korban konflik bersenjata di tahun 1864 di Jenewa yang dikenal dengan nama Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armies in the Field. Dalam perjanjian internasional ini dijamin adanya perlindungan terhadap rumah-rumah sakit militer dan juga harus memberikan perawatan medis yang sama kepada para pejuang dari kedua belah pihak yang bertikai.
15 konvensi Den Haag antara tahun 1899-1907 telah melahirkan batas-batas dan cara-cara penggunaan peralatan perang, dengan memusatkan pada kebutuhan militer saja, bahkan melarang penggunaan gas beracun dan senjata kimia karena akan menimbulakan penderitaan yang tidak perlu di luar militer yang berperang.
Seusai perang dunia II, 4 buah konvensi Jenewa pada tahun 1949 mempertegas lagi konvensi Jenewa 1864. 3 dari 4 konvensi tersebut menjelaskan bagaimana seharusnya perlakuan terhadap anggota para tentara yang sakit dan terluka di darat dan di laut, serta terhadap tawanan perang (prisoner of war). Sedangkan konvensi yang keempat memperluas perlindungan kepada orang-orang sipil saat perang berlangsung. Dengan demikian, hukum kemanusiaan terus memberikan tekanan para korban perang. Pada tahun 1974, ICRC memprakarsai sebuah konferensi untuk membuat daftar dua protokol untuk memutakhirkan Geneva Covention dan memperbaharui peraturan tatacara perang dan berperalatan pearng perkasa ini membutuhkan disetujuinya dua buah protokol tambah yaitu protocol additional to the Geneva convention of 1977 yang isinya gabungan antara The Geneva convetions and protocols tentang perlindungan korban perang dan the hague convention tentang peraturan pelaksanaan perang. Dengan demikian terbentulah suatu hukum kemanusiaan internasional, yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak serta nasib tentara didua kubu yang berperang dan terhadap orang-orang sipil. Konvensi jenewa memberikan status tawanan perang kepada tentara apabila mereka tidak lagi berada di medan perang baik karena cidera,sakit, karena kapalnya tenggelam atau karena sukarela meletakkan senjata. Konvensi ini juga meletakkan suatu standar minimum internasional untuk melindungi nyawa, kebebasan dan harta milik orang-orang sipil diwilayah yang diduduki, antara lain hak untuk tidak diperlakukan semena-mena seperti disiksa,diperkosa,dihancurkannya benda-benda budaya dan tempat peribadatan mereka dan disandera. Sedangkan konvensi Den Haag memberikan perlindungan kepada tentara yang sedang berperang untuk tidak menjadi sasaran senjata biologi, bakteri, zat-zat kimiawi, racun, dan jenis-jenis peluru tertentu.
Pada tahun 1919 terbentklah International Labor Organization (ILO). Untuk menyusun dan mewujudkan keadilan social, ILO menyusun konvensi-konvensi dan menunjukkan rekomendasi-rekomendasi kepada negara anggotanya. Melalui jalan inilah berkembang pembuatan undang-undang international yang juga mengandung beberapa hak, yang kini kita bisa katakana sebagai hukum dasar ekonomi dan social. Untuk mempertahankan pembuatan undang-undang ini, konstitusi ILO diperlengkapi dengan system pengawasan internasional yang sangat luas dan efisien.
Setelah perang dunia II, tumbuhlah pengakuan umum dari hak asasi manusia dalam hukum internasional pada tanggal 20 Desember 1948 lahirlah Universal Declaration on Human Rights yang mengatur masalah perlindungan hak asasi manusia,walaupun masih belum spesifik dan tanpa menyebutkan hal terkait. Dibawah PBB, perlindungan hak asasi manusia diolah lebih lanjut dalam beberapa konvensi dan deklarasi. Meskipun piagam PBB mengakui pentingnya sikap tidak boleh mencmpuri urusan dalam negeri orang lain, namun piagam, namun piagam itu juga menganggap bahwa pelanggaran atas hak asasi manusia itu merupakan suatu bentuk keprihatinan internasional. PBB telah mengkodifikasikan hak asasi manusia itu dalam Bill of Rights, dan berusaha melaksanakan perlindungan hak asasi manusia menembus sikap menolak dan rasa tidak senang dari negara-negara yang melanggar hak asasi manusia. Usaha PBB ini, mengkodifikasikan dan mengimplementasikan standar minimum perlindungan hak asasi manusia telah memainkan peran sentral dalam menginternasionalkan hak asasi manusia dan memanusiawikan hukum internasional.
Kemudian hak asasi ini berkembang kebidang regional, seperti konvensi eropa untuk perlindungan hak asasi manusia yang bertalian dengan agama. Dan Afrika menyusul membentuk sendiri Piagam Afrika untuk hak asasi manusia dan Hak Bangsa-bangsa yang diterima pada tahun 1981 dalam rangka organisasi kesatuan afrika ( Organization of African Unity) dan mulai berlaku pada tahun 1986. dalam padangan mereka juga menganggap hak bangsa-bangsa sebagai hak untuk dilindungi. Sedangkan konvensi Amerika untuk hak asasi manusia yang diterima pada tahun 1969 dan mulai berlaku pada tahun 1978 memberikan pengaruh pada ketentuan mengenai piagam dari organisasi Negara-negara Amerika ( Organization of American States/ OAS). Juga mandat dari komisi inter amerika untuk hak asai manusia dengan ini memperoleh dasar yang lebih kuat. Juga liga Arab dan di Asia diusahakan menyusun konvensi-konvensi regional namum belum berhasil hingga sekarang.
Kemudian berkembang tidak hanya hak-hak asasi manusia,hak ekonomi, social dan budaya serta hak sipil dan politik saja yang dibentuk namum juga konsepsi tentang  “hak-hak pembangunan”.
Beberapa konvensi internasional yang sudah diartifikasikan oleh pemerintah Republik Indonesia, antara lain :
1.      Konvensi tentang hak-hak politik wanita dengan undang-undang no.68 tahun 1958 tanggal 17 juli 1958
2.      konvensi tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap wanita dengan undang-undang no.7 tahun 1984 tanggal 24 juli 1984
3.      konvensi tentang hak-hak anak dengan keputusan presiden RI no. 36 tahun 1990 tanggal 25 agustus 1990
4.      konvensi tentang pelanggaran pengembangan produksi dan penyimpanan senjata biologis dengan keputusan presiden RI no 58 tahun 1991
5.      konvensi internasional anti apartheid dalam olah raga dengankeputusan presiden RI no. 48 tahun 1993 tanggal 22 mei 1993
6.      konvensi melawan penganiayaan dan perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan dengan undang-undang no 5 tahun 1998 tanggal 28 september 1998
7.      konvensi internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial dengan undang-undang no 29 tahun 1999 tanggal 25 mei 1999

Ketentuan-ketentuan Pelanggaran HAM
            Meskipun istilah “ Genosida” ( gcenocide) itu diciptakan oleh Raphel Lemkin  tahun 19449. untuk memperhatikan kekejaman-kekejaman yang tengah dilakukan orang-orang nazi di Eropa, namun gejala itu sendiri, seperti kita ketahui, bukanlah baru. Darimasa-masa yang paling kuno, pemusnahaan seluruh kelompok manusia yang memiliki ciri umum ETNIS, rasial atau agama,erupakan suatu praktek yang sering terjadi, yang dari waktu-kewaktu dikaitkan dengan salah satu dari ketiga faktor tersebut.
1. Genosida itu dihubungkan dengan perang penakluk. Akibat yang selalu berulang, terjadi keadaan ini ialah pembantaian masal dari penduduk negeri-negeri yang dikalahkan.
2.Agama sering kali membenarkan pemusnahaan seluruh kelompok dari musuh-musuh keagamaan. Perang salib diabad-abad pertengahan. Dan pemusnahaan massal terhadap orang arab, tetapi juga orang-orang yahudi, menggambarkan dengan baik sekali tindakan-tindakan ekstrem orang-orang yang menganut suatu kepercayaan lain.
3.Dominasi kolonial oleh negara-negara di eropa,di Amerika latin, asia dan afrika. Merupakan kesempatan atau alasan untuk menghancurkan seluruh rakyat atau penduduk,asli. Contoh : yang paling menonjol ialah penghancuran bangsa-bangsa di amerika latin yang dikikis habis oleh penaklukan spanyol ( Spanish Conguistadores).
Akan tetapi diabad kita inilah dilakukan pemusnahaan yang terburuk dan  paling sistematis, yaitu pemusnahaan orang Armenia tahun 1915 – 1916 oleh orang-orang turki dan pemusnahaan orang turki, dan pemusnahaan orang yahudi dan orang jipsi tahun 1939-1945 oleh orang-orang Nazi. Sejarahwan dadrian memastikan bahwa dalam kasus orang-orang Armenia itu percobaan-percobaan medis dilakukan terhadap para korban dan gas, digunakan untuk menghilangkan mereka. Kekejaman itu juga dilakukan terhadap orang yahudi  dan juga orang jipsi oleh kaum Nazi dalam kelompok-kelompok watak umum lain ialah bahwa kelompok-kelompok yang dimusnahakan itu mempunyai agama yang berbeda, dari kelompok yang menghancurkan dan mempunyai status social yang jelas batasnya dalam masyarakat, baik orang Armenia maupun orang yahudi biasanya mempunyai profesi dagang atau aktiv dalam industri dan perdagangan.
Ciri khas lain dari pembunuhan massal yang dilakukan Nazi itu adalah pengunaan secara maksimal terhadap sumber daya teknologi modern untuk tujuan-tujuan yang tidak manusiawi. Salah satu contoh : peniksaan terhadap masalah logistik yang selalu dialami genosida yaitu : menghancurkan tubuh ribuan orang
Pada tahun 1946-1948 dibentukalah konvensi Genosida dibawah tekanan kelompok-kelompok yahudi sebagai tanggapan terhadap ketakutan yang ditimbulkan oleh diumumkannya kamar-kamar gas, dirumuskan dengan persetujuan dari negara-negara besar-besar ketika itu. Konvensi ini dianggap sebagai suatu mekanisme yang menentukan dalam pertarungan menentang genosida dalam konvensi tersebut telah membuat suatu terobosan besar dalam sejarah umat manusia.
Pertama-tama marilah kita perhatikan kandungan utama konvensi itu, agar setelah itu kita dapat bertanya mengapa konvensi itu tidak memiliki suatu dampaak yang sesungguhnya dalam masyarakat internasional sekarang ini. Konvensi ini menyatakan bahwa genosida merupakan suatu kejahatan internasional yang dapat dihukum baik dilakukan diwaktu perang atau di masa damai10, genosida menentukan siapa yang dapat dihukum karna tidakan-tindakan genosida dan pada akhirnya menentukan siapa yang akan melakasankan hukuman itu.
Dalam defenisi konvensi itu menyatakan bahwa genosida berarti : membunuh atau melakukan tindakan lain yang merusak terhadap anggota kelompok, nasional, etnis, rasial atau agama. Suatu persyaratannya yang selalu ada ialaha dolus, atau keinginanuntuk menghancurkan. Dari definisi ini timbul pendapat bahwa konvensi itu tidak mengganggap ebagai genosida, baik penghancuran kelompok,politik,atau genosida budaya ( menghancurkan kebudayaan suatu kelompok manusia)11.
Konvensi ini telah menentukan empat buah mekanisme :
1.      Diadili didepan pengadilan negara diwilayahnya telah dilakukan tindakan genosida itu, akan tetapi iclas bahwa ini hanyalah suatu jaminan khayalan semata-mata karna biasanya genosida itu dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam negara itu atau sekurang-kurangnya dengan ijin mereka dan pihak yang berwenang dengan mudah sekali dapat berhasil dala “ menetralisasikan” pengadilan
2.      Pergi pada suatu pengadilan kriminal internasional yang akan didirikan, saying sekali sebagaimana dapat dibayangkan, pengadilan itu belum pernah ada.
3.      Pergi pada “ badan-badan Perserikan Bangsa-bangsa yang berwenanga” untuk mengambil tindakan-tindakan yang ditentukan oleh piagam PBB.
4.       mengajukan banding secara Unirateral kepada makhama pengadilan internasional hanya dapat memastikan kesalahan yang mungkin dan mengutuk negara yang bertanggung jawab akan tetapi tidak memiliki kekuatan untuk mewajibkan pengutukan itu melalui tindakan-tindakan pemaksaan
Sistem penegakan hukum konvensi itu menjadi demikian tidak memadahinya. Karna mayoritas negara yang mengerjakannya lebih menyukai untuk membela kedaulatan negara daripada keperluan menghukum para pelaku tindak kriminal yang kejam itu mereka lebih suka untuk terus berada ditingkat normative tanpa mengambil langkah selanjutnya yang perlu untuk mendampingi kemajuan itu dengan kemanjuan yang sama ditingkat pelaksanannya

Reaksi Masyarakat Internasional dalam kasus Genosida

            Sejak disepakatinya konvensi genosida tahun 1946-1948 telah terjadi sejumlah, kejadian genosida yang serius, yang semuanya bukan karna kebetulan terjadi didunia ketiga
1.      Tahun 1960 di kongo, tentara nasional kongo telah membantai ratusan orang Baluba dipropinsi kasai selatan, ketika terjadinya suatu krisis politik negeri yang serius
2.      Tahun 1965-1972 di Burudi,tutsi sungguhpun merupakan suatu kelompok minoritas akan tetapi dominan secara politik, telah menghancurkan kelompok hutu, suatu kelompok etnis mayoritas. Yang telah dihancurkan antara 100.000 dan 300.000 orang Hutu telah dibunuh
3.      Tahun 1971 di Pakistan timur tentara Pakistan telah membantai penduduk daerah yang sekarang ini menjadi Banglades.
4.      Tahun 1970 –1974 di Paruguay ribuan orang Indian ach dibunuh ketika bertentangan dengan pihak yang berwenag dipemerintahan
5.      Tahun 1971-1978 Rezim Idi Amin di Uganda telah membunuh ribuan orang sipil, termasuk musuh politik, akan tetapi anggota kelompok etnis. ( Acholi dan Lango) pembunuhan ini tidak pandang bulu sehingga melebihi pengertian genosida yang biasa
6.      Antara tahunan 1975-1978 di kamboja Khamer merah pol pot telah menghancurkan dua juta orang, diantaranya beberapa kelompok etnis,atau agama.seperti Champs ( suatu minoritas islam) para biksu Budha.
7.      Pada tahun yang hampir bersamaan 1976-1978 di Iran para anggota kepercayaan Bahai telah ditindas dan dibunuh
8.      Tahun 1960an – 1970an Brazil dengan berbagai cara telah melaksanakan kebijaksanaan baik langsung maupun tidak langsung, menghancurkan berbagai suku Indian yang memdiami wilayahnya
9.      Tahun 1978 tindakan-tindakan genosida dilakukan di Equatorial Guinea daerah khaturistiwa
10.  Tahun 1982 pembunuhan massal terhadap orang-orang palestina telah dilakukan di Lebanon oleh pasukan-pasukan Kristen Folongis di Kamp-kamp di Palestina. Di sbra dan Shatila, dengan persetujuan dan tanpa tindakan pencegahan bersenjata Israil
11.  Tahun 1986-1987 di Srilanka tindakan kekerasan digenosida telah dilakukan terhadap orang-orang tamil oleh mayoritas Singhala ( yang berikutnya juga menjadi korba pembunuhan orang tamil), sampai diadakan perjanjian dibawah pengawasn India tahun 1987, yang bagaimanpun hanya mengurangi konfik rahasia itu.
Sebagaimana dapat dilihat dari contoh diatas, tindakan-tindakan genosida itu terjadi terutama dalam masyarakat majemuk dan penuh konflik dimana masalah-masalah ekonomi dan politik yang disebabkan oleh terbentukanya negara, dimana tatanandan pemusataan kekuasaan ditimpahkan kepada ketegangan dan perbedaan tradisional dikalangan berbagai kelompok dan Ras. Dimana seringkali genosida dalam masyarakat-masyarakat ini mengikat suatu pola pertumbuhan yang agak biasa, polarisasi tuntutan oleh kelompok minoritas tuntutan reformasi yang terus menerus penggunaan perlawanan bersenjata atau terorisme oleh kelompok-kelompok ini. Penindasan dan pembunuhan massal dan pemusnahaan oleh pihak pemerintah yang berwenag-wenang.
Cakupan HAM Dalam Hukum Internasional .

Wewenang majelis umum di bidang penangan hak-hak asasi didasarkan atas pasal 55c piagam yang berisikan penegasan atas penghormatan secara universal dan efektif hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok bagi semua tanpa membedakan suku,kelamin,bahasa dan agama.pasal 55c ini diperkuat oleh pasal 13 ayat 1b mengenai upaya majelis umum untuk mempermudah pelaksanaan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok tersebut.selanjutnya semua permasalahan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok ini dibahas oleh salah satu komite utama majelis yaitu komite tiga yang menangani masalah-masalah HAM,kemanusiaan,social dan kebudayaan.

Majelis umum juga dibantu oleh salah satu organ utama PBB yaitu dewan ekonomi dan social yang dapat membuat rekomendasi-rekomendasi agar terlaksananya penghormatan yang efektif terthadap hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok.disamping itu dewan ekonomi dan social dapat pula membentuk komisi untuk memajukan hak-hak asasi dan juga komisi-komisi lainnya yang diperlakukan untuk pelaksanaan tugas-tugasnya.diantara komisi-komisi yang dibentuk dewan ekonomi dan social dan yang menangani masalah-masalah hak asasi inin adalah komisi hak-hak asasi manusia (KHAM) dan komisi mengenai status wanita.

Komisi hak-hak asasi manusia yang didirikan pada tahun 1946ini dan yang beranggotakan 53 negara mempunyai tugas untuk menyiapkan rekomendasi-rekomendasi dan laporan mengenai perjanjian-perjanjian internasional tentang bhak-hak asasi,konvensi-konvensi dan deklarasi-deklarasi internasional mengenai kebebasan-kebebasan sipil,informasi,perlindungan kelompok minoritas,pencegahan diskriminasi atas dasar suku,kelamin,bahasa dan agama dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan hak-hak asasi .untuk permasalahan yang sama, komisi hak-hak asasi manusia (KHAM)juga membentuk suatu sub komisi yang bernama sun komisi pencegahan diskriminasi dan perlindungan minoritas (PDPM)yang beranggotakan 26 pakar independent yang diangkat oleh pemerintah masing-masing .tugas sub komisi PDPM ini adalah untuk mencegah segala macam diskriminasi mengenai hak-hak asasi dan kebebasan pokok dan perlindungan kelompok minoritas,suku,bangsa,agama dan bahasa.

Khusus mengenai wanita,juga dibentuk pada tahun 1946 komisi mengenai status wanita dengan tugas menyiapkan laporan-laporan mengenai promosi hak-hak wanita di bidang politik,ekonomi,social dan pendidikan dan membuat rekomendasi kepada dewan ekonomi dan social tentang masalah-masalah yang membutuhkan perhatian segera di bidang hak-hak asasi manusia .seperti juga halnya dengan KHAM,komisi ini beranggotakan wakil-wakil dari 45 negara yang bertindak dalam kapasitas pribadi.

Disamping itu ada dua badan khusus PBB yang juga menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan hak-hak asasi .yang pertama adalah organisasi buruh sedunia (ILO) .Organisasi ini termasuk organisasi yang tertua didirikan pada tahun 1919 yang merupakan bagian perjanjian Versailles .Di tahun 1946 Organisasi tersebut menjadi salah satu badan khusus PBB.Organisasi internasional ini bertugas untuk memperbaiki syarat-syarat bekerja dan hidup para buruh melalui penerimaan konvensi-konvensi internasional mengenai buruh dan membuat rekomendasi standar minimum di bidang gaji,jam kerja,syarat-syarat pekerjaan dan jaminan social .

Badan khusus kedua adalah UNESCO yang didirikan pada tahun 1945 untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam pasal 1 ayat 3 piagam antara lain meningkatkan kerjasama antar bangsa melalui pendidikan,ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan untuk meningkatkan secara universal peghormatan terhadap peraturan hokum,hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok.
Konvensi penting yang diterima UNESCO adalah mengenai pemberatasan diskriminasi di bidang pendidikan pada tahun 1962 yang membentuk komisi konsultasi dan jasa-jasa baik.komisi tersebut bertugas untuk memeriksa pengaduan Negara-negara anggota mengenai  pelaksanaan konvensi .selanjutnya dewan eksekutif UNESCO juga membentuk suatu prosedur pemeriksaan pengaduan yang dating dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang merujuk pada pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak asasi terutama hak-hak edukatif dan kebudayaan .

Menurut system PBB, dalam upaya pemajuan dan peningkatan HAM dikenal tiga bidang utama yakni:
a.      Upaya pembakuan standar internasional;
b.      Kegiatan monitoring/pemantauan pelaksanaan HAM;
c.       Jasa nasehat dan kerjasama teknik.
PBB melalui badan-badan bawahannya mempunyai peranan sentral dalam pembakuan standar dengan mengesakan berbagai instrument/konvensi HAM.kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengetahui sejauhmana Negara-negara anggota PBB memberikan jasa nasehatnya termasuk bantuan kerjasama teknik dalam bentuk seminar,pelatihan dan penangan secara khusus beberapa kategori HAM.dalam upaya pemantauan konvensi yang telah diratifikasi oleh Negara,maka terdapat enam badan pemantauan instrument,yakni :
  1. Komite HAM :Memantau hak-hak sipil dan politik;
  2. Komite Ekonomi dan social budaya:memantau pelaksanaan hak-hak tersebut ;
  3. Komite penghapusan segala bentuk diskriminasi:khusus memantau mengenai bentuk diskriminasi;
  4. Komite anti penyiksaan:yang memantau pelaksanaan konvensi anti penyiksaan;
  5. Komite penghapusan diskriminasi terhadap wanita:memantau diskriminasi wanita;
  6. Komite hak-hak anak:khusus memantau pelaksanaan konvensi hak-hak anak .
Selain itu masih terdapat mekanisme lainnya di PBB seperti dibentuknya beberapa kelompok kerja dan pelapor khusus serta utusan khusus untuk menangani masalah-masalah HAM tertentu menurut temanya atau Negaranya . demikianlah sungguh luas dan beranekaragam hak-hak yang dimjukan,dikembangkan,dilawasi dan dilindungi oleh PBB dan beberapa badan khusus demi tercapainya kehidupan umat yang harmonis,damai dan bersahabat.
Kewajiban dan Tanggungjawab Negara dalam konteks HAM
Baik di tinjau dari segi internasional hak azasi manusia, maupun dari segi hokum nasional Indonesiasendiri, kondisi Negara Republik Indonesia akan berpengaruh langsung pada perlindungan, pemajuan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap hak azasi manusia. Secara Yuridis Negara bertanggungjawab penuh terhadap pelanggaran hak azasi manusia, baik yang memang dilakukan berdasarkan kebijakannya sendiri maupun yang terjadi karena kelalaiannya melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran itu. Mengenai masalah ini Bab V Undang-undang nomor 39 tahun 1999 menjelaskan sebagai berikut.
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak azasi manusia yang diatur dalam undang-undang, Peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak azasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.
Pasal 72
Kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang Hukum, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan keamanan Negara,dan bidang lain.
Oleh karena itu,  cepat atau lambat, perlu dibahas secara mendalam kondisi dan kemampuan Negara serta kemauan politiknya, baik secara umum dalam menunaikan tugas-tugas pokoknya, maupun secara khusus dalam melindungi dan memenuhi hak azasi manusia. Adalah merupakan suatu kenyataan, bahwa tidak semua Negara dan pemerintah -mempunyai kemampuan dan kemauan yang sama dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Selain dari adanya Negara-negara yang sudah mencapai tahap kematangan dan dapat memenuhi kewajiban internasionalnya, juga dikenal apa yang pernah disebut Gunnar Myrdal sebagai the soft states yang tidak mampu melaksanakan keputusan-keputusannya secara konsisten. Lebih dari itu, pengalaman di benua Afrika menunjukkan bahwa juga ada apa yang disebut the failed states, Negara-negara yang bukan hanya tidak mampu melaksanakan keputusan-keputusannya secara konsisten, tetapi yang terancam eksistensinya sebagai Negara. Perkembangan terakhir yang perlu dicatat adalah pecahnya suatu Negara menjadi beberapa Negara yang merdeka, seperti yang terlihat di Rusia dan Yugoslavia pasca perang dingin.
Hal yang menarik ,engenai masalah ini adalah kenyataan bahwa selama ini baik ilmuwan politik maupun para aktifis hak azasi manusia di Indonesia relative kurang memberikan perhatian terhadap telaahan mengenai Negara sebagai suatu in Institusi. Eksistensi Negara kelihatannya dipandang sebagai sesuatu yang sudah bersifat given. Padahal dalam kenyataannya eksistensi Negara, serta semangat kebangsaanyang menjadi rujuakkannya harus terus menerus dipelihara dan dikembangkan serta didaya gunakan setiap hari untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyatnya. Kealpaan untuk menangani hal secara sungguh-sungguh akan menimbulkankomplikasi yang berat, baik secara umum maupun secara khusus dalam keterkaitannya dengan hak azasi manusia
Terdapat kesan bahwa persepsi yang berkembang dalam masyarakat mengenai Negara dipengaruhi oleh apa yang terdapat dalam novel George Orwell yang terkenal, pada tahun 1984 yang menggambarkan Negara sebagai institusi politik yang bersifat totaliter dan mampu mengawasi setiap gerak- gerik penduduk. Mungkin dengan persepsi Orwellian inilah dikembangkan wacana mengenai state versus civil society. Faham lain mengenai sifat Negara sebagai Negara kesejahteraan (Wellfare state) kelihatannya tidak demikian banyak mendapatkan perhatian, ataupun kalau banyak kurang vocal dalam menyampaikan pendiriannya.
Pada saat makalah ini ditulis, Republik Indonesia berada pada nadir, titik paling rendah, dari kehidupan kebangsaan dan kenegaraannya.. Hampir seluruh norma, institusi, serta tradisi kebangsaan dan kenegaraan yang dibangun secara bertahap sejak tahun 1908, sekarang ini berada dalam ujian yang sangat berat terdapat kesan yang sangat kuat, bahwa Republik Indonesia sedang menjurus kearah suatu Failled State, Negara yang tidak mampu lagi melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, bahkan mungkin akan pecah " Jika hal itu sungguh-sungguh terjadi akibatnya jelas akan amat negative terhadap perlindungan, pemajuan, pemenuhan serta penghormatan terhadap hak azasi manusia.
Tokoh-tokoh elite nasional baik yang duduk dalam lembaga perwakilan maupun dalam lembaga eksekutif, telah menggariskan berbagai kebijakkan nasional untuk keluar dan suasana krisis berganda sekarang ini. Namun terlihat bahwa Negara ini pada suatu sisi menghadapi masalah berat kepemimpinan dan kewibawaan, pada sisi lain menghadapi ketidak sabaran masa, yang telah lama hidup dalam suasana kemiskinan, kepapaan, serta keterpinggiran oleh kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi yang kelihatannya sama sekali tidak peka terhadap hak azasi manusia.
Mungkin sekali dalam kaitan itulah maraknya terjadi rangkaian gerakan protes dewasa ini, baik dalam versi moderat maupun dalam versi radikal, yang seluruhnya mengambil format pengerahan masa. Pengalaman menunjukkan bahwa setiap pengerahan masa -apapun alasan dan tujuannya - merupakan peluang untuk terjadinya kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia. l   Sedihnya, terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan aksi masa ini, hampir tidak ada penegakkan hukum yang efektif yang dapat dilakukan oleh  aparatur  Negara,   yang   kelihatannya   dari  waktu  ke   waktu  mengalah,   atau membiarkan. Mengomentari maraknya eforia demokratisasi ini, mantan rector UGM, Prof. Dr. Ichlasul Amal memperingatkan agar tidak sampai menenggelamkan semangat kebangsaan   "sebab   satu-satunya  modal   utama  mempertahankan  keutuhan  Negara kesatuan Republik Indonesia adalah semangat nation - Building" ujarnya.    Berikut ini adalah sekedar inventarisasi dari masalah-masalah nation - and State Building dalam kerangka proses intergrasi nasional, yang harus diselesaikan oleh Negara Republik Indonesia—dalam arti sebagai kesatuan konstitusional yang melipurti baik rakyat, wilayah maupun pemerintahannya—agar dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk hak azasi manusia di masa depan.

Buku Rujukan
A. Mansyur Effendi : Perkembangan dinamis HAM, Ghalia Indonesia,  Tahun 2005.
Bambang W. Suharto, Manuskrip “Tugas KPMM (Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM dan Mediasi), Ghalia Indonesia, Jakarta, tahun 2002.
Boermauma : Hukum Internasioanl, pengertian, peranan dan fungsi dalam era dianmika global, Alumni, Bandung, Tahun 2000
I Wayan parthianan :  Hukum PI internasional dan ekstrdisi, Lyrama Widya  
    2004
Koesparmono Irsan : Ham dan hukum, hukum humaniter sebagai bagian dan hukum HAM. PTIK 2005
Koesparmono Irsan : Ham dan hukum, PTIK 2004
L.J. Leblanc, The OAs and the Promotion and Protection of Human Rights, LSM Nijhoff, La Haye, 1977, 179 p.
Lee Koon Choy (Duta Besar Singapura untuk Indonesia), The Indonsian crisis, world, scientific, Singapura, tahun 1999.
Saafroedin Bahar, Masalah Etnisitas dan ketahanan Nasional Indonesia Resiko atau Potensi ?,  Ichasul Amal dan Armaidy Armawi, Yogyakarta, tahun 1995.
Samsudin Haris, Indonesia diambang perpecahan kasus Aceh, Riau, Irian Jaya, Timor – Timor, Erlangga, PPW – LIPI, Jakarta Tahun 1999.
Sabra and Shatila dalam buku A. Cassese Vilence anda Law In the  modern (polity press Cambridge) tahun 1988.
Simon Fisher, Mengelola konflik : Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Zed Books the Britis Council Jakarta, 2001
Sir Humphrey Waldock, The Evolution of Human Rights Concepts and the Application of the European Convention on Human Rights, Mil Reuter, 1981, 535 – 547.
Syahmin AK,SH. Hukum Internasional Humaniter, Erlangga, tahun 1999
S. Milgram, “Some conditions of obedience and Disobedience to Authority, Human Relations, 1985.

1 komentar :

  1. Untuk mengkaji HAM harus dikaitkan dengan perspektif sistem hukum dan politik dari negara yang bersangkutan. Mengapa demikian? Jelaskan!
    tolong dibantu

    BalasHapus