Selasa, 31 Maret 2015

HAM DALAM KONTEKS SOSIAL DAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA

Pengantar
beragama dan berkeyakinan merupakan hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi Indonesia dan juga instrumen HAM internasional. Sebagai hak dasar, maka negara mempunyai kewajiban untuk menjamin dan melindungi berbagai kemungkinan yang dapat mengganggu terpenuhinya hak dasar tersebut. Negara juga tidak boleh mendiskriminasi hak-hak sipil warga negara berdasar agama dan keyakinan.
           karena beragama dan berkeyakinan merupakan hak, maka menjalankan ibadah dan membuat tempat ibadah juga hak. Namun, karena tempat ibadah mempunyai dimensi publik, maka membuat tempat ibadah perlu aturan, meskipun aturan itu dalam batas tertentu mengurangi kebebasan. Meski di Indonesia sudah ada regulasi tentang tempat ibadah, namun dalam praktiknya masih menyisakan banyak masalah, karena tempat ibadah sering dikaitkan dengan misi suatu agama.
             pencantuman agama dalam KTP terkait dengan adminsitrasi kependudukan. Meski banyak kalangan yang memprotes pencantuman agama dalam KTP karena berbagai alasan yang telah dijelaskan, namun UU Administrasi Kependudukan di Indonesia tetap menjadikan agama sebagai bagian yang harus tercantum dalam KTP. Pencantuman agama ini dikaitkan dengan agama diakui dan tidak diakui. Hal ini yang sangat potensial memunculkan diskriminasi hak-hak sipil warga negara.

            berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak warga negara. Dalam sejarah di Indonesia, berserikat dan berkumpul melalui organisasi pernah mengalami hambatan karena politik Orde baru yang menekankan pada stabilitas. Namun, setelah masa reformasi pada 1998 yang ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto, hak warga negara untuk mendirikan organisasi keagamaan terbuka lebar. Karenanya, pada masa ini tumbuh berbagai jenis organisasi keagamaan tanpa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas meskipun UU No. 8 Tahun 1985 yang mengharuskan ormas mencantumkan Pancasila sebagai asas belum dicabut.  


A. Pendahuluan
HAM telah menjadi isu internasional. Sebuah negara yang dinilai rendah komitmennya dalam penegakan HAM, segera saja ia akan dikucilkan dalam pergaulan internasional. Negara yang indeks penegakan HAM-nya rendah juga akan dijadikan bahan cemoohan dunia internasional. Oleh karena itu, Indonesia sebagai bagian dari negara yang terikat dengan fatsun pergaulan internasional dituntut untuk melakukan penegakan HAM secara serius. Penegakan HAM di sini bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti: 1)   membuat aturan dan regulasi yang secara kuat menunjukkan komitmen terhadap hak asasi manusia dengan menjauhkan diskriminasi atas nama apapun; 2) menindak tegas siapapun yang melakukan pelanggaran HAM. Pemerintah tidak boleh membiarkan siapapun yang melakukan tindakan penistaan terhadap kemanusiaan.
            Dalam konteks inilah perlu menelaah bagaimana penegakan HAM di Indonesia terutama menyangkut agama dan keyakinan. Telaah akan dilakukan dari dua sisi: pertama, regulasi. Dari sisi ini, yang menjadi pertanyaan adalah sejauhmana regulasi di Indonesia memberi perlindungan terhadap HAM, terutama menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan segala efek ikutannya. Adakah regulasi yang justru menjadi masalah jika dikaitkan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan? Kedua, dari sisi praktik sosial. Dari sisi ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah secara sosial kultural masyarakat kita mempunyai nilai-nilai yang mendukung kebebasan beragama dan berkeyakinan, atau justru sebaliknya. Nilai-nilai tersebut diasumsikan mempunyai pengaruh kuat dalam praktik sosial kehidupan beragama. Ketiga, dari sisi hubungan antara peraturan dan kehidupan sosial masyarakat. Hal yang perlu dipertanyakan dari sisi ini adalah regulasi yang mendukung dan berkorelasi dengan praktik sosial dalam masyarakat, baik dalam pengertian positif maupun negatif. Ketiga hal tersebut akan dijadikan model sudut pandang secara simultan, meskipun ketiganya belum tentu memperoleh proporsi penjelasan yang sama.

B. Hak Menjalankan Agama dan Keyakinan
Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Sejumlah peraturan, mulai dari konstitusi, undang-undang sampai peraturan yang tingkatan di bawahnya, diarahkan untuk melindungi kebebasan beragama. Apalagi semenjak masa reformasi 1998, berbagai regulasi yang memberi tekanan pada penguatan HAM dibuat. Proses amandemen UUD 1945 juga memberi muatan secara lebih jelas terhadap HAM. Meski demikian, hal itu tidak berarti Indonesia bisa menyelesaikan seluruh problem HAM dan kebebasan beragama. Baik dari sisi regulasi, praktik pemerintahan dan kehidupan sosial masih banyak problem yang harus diselesaikan.
Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara kita. Pasal 28e ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.[i] Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29 (1) "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.", (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."
Pasal-pasal yang disebutkan di atas merupakan jaminan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena itu, segala bentuk aturan yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tersebut. Kata “bebas memeluk agama” (ayat 1) dan “berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan” (ayat 2) secara eksplisit merupakan jaminan kepada setiap individu warga negara mempunyai otonomi untuk memeluk agama dan keyakinan. Hal itu merupakan hak setiap individu, karenanya negara mempunyai kewajiban untuk melindungi hak tersebut dengan cara -antara lain- memberi ancaman hukuman kepada siapapun yang mengganggu dan mengancam hak individu tersebut. Ayat tersebut secara implisit tidak melarang orang untuk berpindah agama, dan hal itu dipahami sebagai bagian dari hak individu. Karena itu, meskipun dalam Islam dikenal konsep murtad, namun dalam konstitusi Indonesia, pindah agama bukanlah kejahatan atau tindak pidana.
Pasal 29 (1) sebenarnya lebih memberi tekanan pada negara, bukan warga negara. Kata "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa negara ini di dalamnya mempunyai spirit keagamaan. Hal ini hanya bisa dipahami melalui adagium yang mungkin bagi sebagian kalangan dianggap aneh: “Indonesia bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara agama”. Bagi  orang yang tidak memahami sejarah Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan adagium tersebut tentu sulit dipahami. Bagaimana mungkin ada negara bukan sekuler bukan negara agama? Namun, bagi yang memahami denyut sejarah Indonesia, tidak terlalu sulit untuk memahami adagium tersebut. Adagium tersebut digunakan untuk mencairkan dan mempertemukan pertentangan ideologi Islam dan ideologi sekuler yang sebenarnya sulit dicarikan titik temu.
Sedangkan pasa 29 (2) lebih memberi titik tekan pada hak warga negara. Kata “menjamin” di dalamnya mengandung beberapa pengertian antara lain melindungi, memelihara dan melayani. Oleh karena itu, negara tidak boleh mendiskriminasi[ii] warga negaranya berdasar apapun, termasuk agama dan keyakinan. Namun, masih ada masalah, apakah kata “menjamin agama” juga berarti “harus beragama”? Secara kebahasaan mungkin tidak, namun dalam praktik pemerintahan di Indonesia, kata “menjamin” menjadi keharusan beragama. Karena itu, orang yang tidak beragama tidak mendapat tempat di Indonesia. Bahkan agama juga sering dijadikan prasyarat apakah seorang warga negara hak-hak sipilnya dilayani pemerintah atau tidak.
            Jaminan dalam konstitusi tersebut ditegaskan kembali dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar setiap orang yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pertanyaannya, siapa yang paling bertanggung jawab menjamin perlindungan tersebut? Dalam pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 ditegaskan: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara,  terutama pemerintah”. Dari pasal tersebut jelas, negara (c.q. pemerintah) adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa diskriminasi.
Di samping itu, tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR/Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005. Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat secara moral dengan isi ICCPR.
Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights).[iii] Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi, hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara.
Hak-hak negatif apa saja yang termuat dalam ICCPR? Dengan risiko terjatuh pada penyederhanaan, ada dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR itu. Pertama, hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak meski dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah: (i) hak atas hidup; (ii) hak bebas dari penyiksaan; (iii) hak bebas dari perbudakan; (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama. Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, akan mendapat kecaman sebagai Negara yang telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights).
Kedua, hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-negara Pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah: (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan).
Dalam kaitan ini, Negara-Negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau menyimpan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpanan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi: (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Ketentuan ini memberi keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari hal ini, ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak ICCPR.[iv]
Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula dalam kenyataannya. Masih warga negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang “diakui” pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar agama yang “diakui” itu maka ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil warga negara.
Agama-agama yang dianut di Indonesia sebenarnya banyak. Ada agama yang sering disebut sebagai “agama langit” (Yahudi, Kristen, dan Islam) hingga “agama bumi”, seperti Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan lain sebagainya. Di samping itu, ada juga agama-agama lokal yang telah lama dianut masyarakat di Nusantara sebelum datangnya agama-agama yang berasal dari luar bumi Nusantara, yang sering disebut aliran kepercayaan atau kepercayaan lokal yang ekspresinya sulit dipisahkan dengan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat setempat. Realitas inilah yang menunjukkan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, masyarakat yang dihuni oleh banyak suku, agama dan keyakinan. Dengan kemajemukan inilah, potensi pertentangan dan konflik antar kelompok dan penganut paham kagamaan semakin besar. Dalam praktiknya, kelompok utama akan menguasai panggung pernyataan untuk merebut makna-makna pemahaman keagamaan yang berserakan dalam kemajemukan masyarakat.
Dalam konteks politik agama, Indonesia memang belum sepenuhnya bisa mengkui semua jenis agama dan keyakinan di Indonesia, setidaknya kalau dikaitkan dengan pelayanan hak-hak sipil warga negara. Negara tidak mengakui secara apa adanya seluruh keyakinan agama yang dianut masyarakat Indonesia. Sejauh ini, negara memberi batasan hanya ada 6 agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) yang diakui dan berhak mendapat pelayanan sipil secara penuh. Selain 6 agama ini, meskipun boleh hidup, namun hak-hak sipilnya dibatasi.
Hal itu bermula dari Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama yang status hukumnya kemudian ditingkatkan menjadi UU berdasar UU No. 5 tahun 1969. UU No. 1 /PNPS/1965 tersebut belakangan mulai direvisi dengan terbitnya Inpres (Intruksi Presiden) No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Meskipun Inpres tersebut tidak secara eksplisit mencabut pengakuan terhadap eksistensi agama Konghucu, namun dalam praktik di lapangan kesan pengingkaran terhadap Konghucu sangat dirasakan, sehingga hak-hak sipil penganut agama Konghucu menjadi terabaikan, seperti masalah perkawinan di mana Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat; tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di sekolah; pelarangan perayaan hari raya dan sebagainya.
Hal demikian semakin dipertegas dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978 yang antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalam Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dari SE tersebut, Konghucu dikeluarkan dari daftar agama-agama di Indonesia.  Akibatnya, hak-hak sipil mereka tidak diakui, sehingga banyak penganut Konghucu yang secara terpaksa harus pindah ke agama lain, pelajaran agama Konghucu juga dihilangkan dari sekolah, kecuali UGM yang sejak 1967 tetap menawarkan agama Konghucu sebagai salah satu mata kuliahnya. Belakangan, pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan terbitnya Kepres yang terakhir ini maka hak-hak sipil penganut agama Konghucu dipulihkan kembali.
            Pengakuan 6 agama resmi ini diiringi juga dengan didirikannya lembaga-lembaga agama ”korporatif” negara yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia), Walubi, dan Hindu Dharma Indonesia.  Lembaga-lembaga agama “korporatif” negara ini kemudian dipercaya sebagai pemegang otoritas agama di Indonesia, yang kemudian jangkauan kerjanya mencakup interpretasi ajaran agama, menyelesaikan sengketa internal dan eksternal agama, dan lain-lain. Pembakuan itu juga dilakukan melalui Departemen Agama dengan adanya perwakilan birokrasi di dalamnya, kecuali Konghucu.
            Dampak dari perlakuan yang berbeda secara normatif dalam undang-undang dengan pemilahan agama resmi dan agama tidak resmi adalah negara tidak bisa sepenuhnya melindungi hak dasar warga negara, yaitu beragama dan berkeyakinan. Negara hanya melindungi agama yang diakui dan dinyatakan resmi yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Ini artinya, kepercayaan lokal tidak mendapatkan tempat yang layak secara normatif dalam negara Indonesia yang majemuk. Tak heran, jika perilaku kekerasan terhadap kepercayaan agama lokal yang dianggap sesat oleh kelompok utama tidak mendapatkan jaminan hak asasi manusia, bahkan mereka cenderung dipersalahkan secara hukum dengan vonis penjara di pengadilan.
            Jika dilihat latarbelakang sejarahnya, UU No. 1/PNPS/1965 dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Ditambah lagi dengan munculnya aliran-aliran atau oraganisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional. Dan yang terpenting, undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan. Aturan ini juga melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan dan dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.[v] Tak pelak lagi, undang-undang ini dimaksudkan untuk membatasi aliran-aliran keagamaan di luar agama yang resmi. Kecenderungan demikian menjalar ke semua jenis undang-undang dan peraturan yang lain.

C. Hak Mendirikan Tempat Ibadah
Dalam konteks HAM, pendirian rumah ibadah dapat dikategorikan sebagai derogable rights, hak yang bisa dikurangi dalam kondisi tertentu. Beragama dan beribadah memang merupakan hak mutlak yang tak bisa dikurangi dalam kondisi apapun, non-derogable rights, namun pendirian tempat sebagai instrumen beribadah tidaklah bersifat mutlak. Karena itu, pembuatan aturan tempat ibadah tidak bisa dikatakan melanggar HAM, sejauh aturan itu adil dan tidak diskriminatif.
 Dalam konteks Indonesia, rumah ibadah telah menjadi isu yang sangat sensitif, karena di dalamnya terkandung kecurigaan penyebaran agama. Karena itu, konflik di masyarakat terkait dengan rumah ibadah terjadi di banyak tempat. Pertanyaannya, mengapa kita meributkan bangunan dinding tempat ibadah? Pertanyaan ini tampak sederhana, namun kalau direfleksikan agak dalam, ada ironi di dalamnya. Kalau tempat ibadah itu dibuat sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tempat untuk mengasah kehalusan batin dan budi, mengapa antarumat beragama cenderung mempersulit pendiriannya. Mengapa kita repot-repot membuat aturan yang menyulitkan. Hal ini tentu berbeda dengan dengan kalau hendak membuat tempat diskotik, tempat hiburan, dan sebagainya yang tak ada persyaratan-persyaratan sebagaimana kalau hendak mendirikan tempat ibadah. Apa yang salah dari kenyataan ini? Ini hanya salah satu ironi. Meski terdengar aneh, tetapi inilah kenyataan kehidupan keberagamaan kita. Ternyata membuat tempat ibadah bukan semata-mata membuat bangunan agar orang bisa beribadah dan mendekatkan diri dengan Tuhan, namun di dalamnya ada kompetisi, negosiasi, bahkan juga intrik. Dari sinilah kita bisa memahami kalau penutupan paksa tempat ibadah terjadi dimana-mana.
Pendirian rumah ibadah di Indonesia pada mulanya diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969, 13 September 1969 yang mengatur pendirian tempat ibadah, serta syarat-syarat jumlah anggota jemaah yang selayaknya memiliki tempat ibadah. Dalam SKB itu antara lain disebutkan bahwa pembangunan rumah ibadah di suatu daerah harus memperoleh izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang diberi kuasa untuk itu. Syarat lain, sebelum memberikan izin kepala daerah atau pejabat itu harus meminta pendapat kepala perwakilan Departemen Agama setempat dan bila perlu, meminta pendapat ulama atau rohaniawan di daerah itu.
Umat Kristen-Katolik merasa dibatasi ruang geraknya melalui SKB tersebut. Terlebih lagi umat Kristen yang memiliki banyak sekte, aturan ini dianggap sangat membatasi. Namun hal ini tidak terbatas di lingkungan Kristen saja, umat Islam yang minoritas di sebuah wilayah juga akan terkena dampak yang menyulitkan dari SKB tersebut. Karena umat Kristen dianggap yang paling dirugikan, maka tidak mengherankan kalau umat Kristen senantiasa menghendaki agar SKB tersebut dicabut. Nathan Setiabudi, ketika menjabat Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) misalnya pernah melontarkan perlunya pemerintah mencabut SKB No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 beberapa saat setelah melakukan audiensi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan akan diadakannya Sidang Raya PGI pada akhir tahun 2004.
            SKB No. 1 tahun 1969 sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba. Ada konteks social-keagamaan yang mendorong diterbitkannya SKB tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kontestasi kelompok Islam dan Kristen. Isu Kristenisasi ketika itu sudah menjadi momok menakutkan di kalangan umat Islam. Ketegangan-ketegangan sosial akibat tempat ibadah sudah muncul saat itu[vi].
Berangkat dari berbagai kasus tersebut, pemerintah akhirnya mengambil keputusan untuk membuat regulasi dan mengontrol aktifitas dua agama besar, Islam dan Kristen, terutama menyangkut penyebaran agama dan pendirian tempat ibadah sebagaimana tercantum dalam SKB No. 1 tahun 1969. Dalam pasal 4 SKB tersebut dijelaskan tata cara pendirian tempat ibadah sebagai berikut:
1.      Setiap pendirian tempat ibadah perlu mendapatkan ijin dari Kepala Daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.
2.      Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) memberikan ijin yang dimaksud, setelah mempertimbangkan:
a.       Pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat.
b.       Planologi
c.       Kondisi dan keadaan setempat.
3.      Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat.
Meskipun sudah ada aturan ini, bukan berarti masalah pendirian rumah ibadah selesai. Setidaknya ada tiga masalah yang masih tersisa: pertama, dari sisi aturan itu sendiri masih menyimpan masalah. Diktum yang paling problematik adalah ayat 3 yang bisa ditafsirkan bermacam-macam. Kata “setempat” untuk menunjukan organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan, tidak jelas ruang lingkupnya, apakah desa, kecamatan, kabupaten, atau propinsi. Karena masalah ini muncul problem kedua, yaitu pada tingkat implementasi kelompok agama tertentu merasa sering dihalang-halangi untuk mendirikan tempat ibadah dengan pasal ini. Bahkan sering terjadi, pendirian tempat ibadah di satu lokasi dihalang-halangi oleh organisasi atau ulama/rohaniawan dari daerah lain. Ketiga, kelompok agama tertentu merasa dipersulit untuk mendirikan tempat ibadah oleh aparat birokrasi yang tidak sepenuhnya steril dari kepentingan keagamaan.[vii] Pelaksanaan SKB tersebut akan menimbulkan kegelisahan di daerah-daerah karena akan mengurangi kepastian hukum dalam melaksanakan hak asasi manusia, yaitu kemerdekaan beragama.[viii]
Regulasi tempat ibadah bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tapi terkait dengan masalah-masalah lain seperti soal penyiaran agama dan bantuan asing. Tempat ibadah dipandang sebagai bagian dari penyiaran agama, sehingga pendirian tempat ibadah senantiasa mengundang kecemburuan pemeluk agama lain. Karena itu, regulasi menyangkut tempat ibadah sebenarnya di dalamnya mengandung unsur persaingan satu pemeluk agama atas agama yang lain.[ix]
Penyiaran agama dipandang sebagai problem yang sangat penting karena adanya persaingan pemeluk agama untuk merekrut pengikut sebanyak-banyaknya yang bisa berakibat mengganggu stabilitas sosial. Dalam Surat Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tentang Pedomaman Penyiaran Agama, yang ditetapkan pada 1 Agustus  1978. misalnya disebutkan:
1.      Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo seliro, saling menghargai, hormat menghormati antar umat beragama sesuai jiwa Pancasila.
2.      Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk:
a.       Ditujukan kepada orang atau orang-orang yang telah memeluk agama lain.
b.       Dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian material/ minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk suatu agama.
c.       Dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku, dan sebagainya di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman umat/orang beragama lain.
d.      Dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.[x]

Dalam pengantar Surat Keputusan tersebut disebutkan bahwa kerukunan hidup antarumat beragama merupakan syarat mutlak bagi usaha menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa serta pemantapan stabilitas dan keamanan nasional yang merupakan syarat bagi kelancaran dan keberhasilan pembangunan nasional di segala bidang.[xi] Pernyataan tersebut dengan sangat jelas menunjukkan bahwa di atas segala-galanya, ideologi stabilitas, persatuan-kesatuan, dan pembangunan nasional merupakan kekuatan yang dijadikan alat kontrol untuk menekan apa saja yang dipandang bisa mengganggu ideologi tersebut.
Di luar itu, semangat persaingan agama, terutama Islam dan Kristen, begitu terasa dalam SK Menag No. 70 tahun 1978 tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam bagian penjelasan, terutama bagian b yang menjelaskan:
“Penyiaran agama tidak dibenarkan dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang yang telah memeluk suatu agama tertentu tertarik untuk memeluk suatu agama lain”.[xii]

Erat hubungannya dengan persoalan penyiaran agama adalah persoalan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Persoalan ini sempat menjadi pemicu munculnya ketegangan hubungan antar umat beragama, karena dengan bantuan ini suatu agama dapat melakukan aktifitas penyiaran agama dengan intensif, termasuk kepada orang yang beragama lain. Bantuan dari luar negeri dianggap terkait dengan penyiaran agama. Untuk mengatasi hal tersebut, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputuan No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga-Lembaga Keagamaan di Indonesia. SK ini antara lain berisi bahwa bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia harus meminta persetujuan Menteri Agama terlebih dahulu, agar dapat diketahui bentuk bantuannya, lembaga/negara yang memberikan, serta pemanfaatan bantuan. Dengan demikian, pemerintah dapat memberikan bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap bantuan tersebut .
Kedua SK tersebut kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) No. 1 tahun 1979 tertanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Dalam pasal 4 SKB No. 1 tahun 1979 diulang kembali SK Menang No. 77 tahun 1978 tentang larangan penyiaran agama yang ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain, dengan cara menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakain, dan sebagainya; menyebarkan pamflet, majalah, buletin, buku-buku, dan barang cetakan lainnya; melakukan kunjungan dari rumah ke rumah. 
Hal demikian juga terlihat dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 455.2-360 tahun 1988. Kelompok yang merasa paling dirugikan dalam instruksi tersebut adalah penganut Konghucu di mana Kelenteng (tempat ibadah penganut Konghucu) dibatasi sedemikian rupa, tidak diijinkan untuk memperoleh hak atas tanah, membangun dan atau mendirikan tempat ibadah, memperluas bangunan, bahkan merehabilitasi.
Dari sinilah dapat dipahami, meski sudah ada regulasi tentang tempat ibadah, namun ketegangan sosial akibat tempat ibadah masih muncul dimana-mana. Penutupan sejumlah tempat ibadah –yang dianggap tidak mempunyai ijin- secara paksa oleh kelompok tertentu di sejumlah tempat, sungguh merupakan pelajaran berharga bagi kita semua. Peristiwa tersebut menunjukkan adanya problem serius menyangkut hubungan antarumat beragama di satu pihak, dan peran pemerintah dalam pendirian tempat ibadah di pihak lain. Kasus tersebut tentu tidak bisa dianggap sebagai peristiwa biasa, karena hal itu menyiratkan adanya otoritarianisme satu pemeluk agama atas pemeluk agama yang lain.
Berbagai kasus penutupan tempat ibadah mendorong sejumlah kalangan untuk membuka kembali dan merevisi SKB dua menteri tahun 1969 tentang pendirian tempat ibadah. SKB ini akhirnya memang direvisi menjadi  Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
            Diterbitkannya Perber yang ditandatangani Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 21 Maret 2006 lalu, bukan berarti seluruh persoalan pendirian tempat ibadah selesai, karena masih harus diuji pada tingkat pelaksanaan. Rumusan-rumusan bagus dia atas kertas belum tentu bagus juga pada tingkat pelaksanaan. Salah satu semangat yang muncul dari Perber adalah bagaimana menghindari multi-tafsir atas aturan, sehingga Perber membuat aturan-aturan yang cukup detail mengenai tata cara pendirian tempat ibadah. Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai Perber ini, ada baiknya kita kembali ke belakang bagaimana politik tempat ibadah ini berlangsung di Indonesia dengan segala ketegangan-ketegangan di dalamnya.
Secara garis besar, peraturan bersama ini mengatur dua hal yang saling berkaitan, yaitu pembinaan kerukunan umat beragama melalui pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan prosedur pendirian tempat ibadat. Jika dalam SKB 1969 tidak ada ketentuan tentang FKUB, dalam Perber ini FKUB diatur secara khusus. Di samping menjadi forum lintas agama untuk  membicarakan berbagai persoalan umat, FKUB juga mempunyai otoritas untuk menilai apakah tempat ibadah layak didirikan atau tidak. Semangat untuk melakukan birokratisasi tempat ibadah begitu kuat. Pendirian tempat ibadah bukan hanya melalui birokrasi resmi dalam struktur pemerintah, tapi juga harus melalui “birokrasi tidak resmi” yaitu FKUB.
Dalam Perber ini, prosedur pendirian tempat ibadah diatur secara rinci dalam Bab IV pasal 13-17. Pada pasal 14 disebutkan:

(1). Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
(2). (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b.  dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c.    rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; d.   rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
(3). Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.

Dari ketentuan di atas, hal yang paling problematis adalah soal jumlah calon pengguna tempat ibadah minimal 90 orang yang dibuktikan dengan KTP yang disahkan pejabat sesuai dengan tingkat wilayah, dan juga dukungan 60 orang di wilayah setempat.[xiii] Ketentuan dukungan 60 orang merupakan pengganti dari ketentuan SKB 1/1969 yang mempersyaratkan “Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat”. Dukungan 60 orang itu bisa berasal dari masyarakat yang seagama (diluar 90 orang pengguna) dan boleh juga berasal dari agama yang berbeda.
Hal penting lain yang bisa dicatat dari Perber ini adalah pasal 16 ayat (2): Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal ini bisa menjadi semacam jaminan bahwa izin rumah ibadah tidak berlarut-larut sebagaimana sering dikeluhkan kelompok Kristen. Ketentuan ini juga diperkuat pasal 13 ayat (3) yang menyatakan jika ketentuan huruf (b) pasal 13 ayat (2) tidak terpenuhi, Perber memerintahkan Pemerintah Daerah untuk menfasilitasi lokasinya: “Pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah”.
Di samping itu, Perber ini juga memfasilitasi kemungkinan adanya rumah ibadah sementara. Ketentuan izin sementara ini untuk mengakomodasi kenyataan bahwa banyak tempat-tempat yang tidak diperuntukkan sebagai tempat ibadah tapi kenyataannya difungsikan sebagai tempat ibadah karena berbagai alasan. Sebagian mereka ada yang sekedar menggunakan, tapi ada juga yang sudah izin tapi tidak pernah keluar. Tempat ibadah seperti ini yang dikatakan sebagai tempat ibadah liar dan sering menjadi sasaran aksi kelompok yang tidak senang.
Dalam Bab V pasal 18 disebutkan:
(1). Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan:
a)      layak fungsi; dan b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
(2). Persyaratan layak fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.
(3). Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf  b, meliputi:
a)      izin tertulis pemilik bangunan;
b)      rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
c)       pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
d)        pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
Dalam pasal 19 ayat (1) dijelaskan, surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan-gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota setelah mempertimbangkan pendapat tertulis departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota. (2) Surat keterangan tersebut berlaku paling lama 2 (dua) tahun. Ketentuan ini sebenarnya cukup baik, meskipun dalam prakteknya sering diikuti dengan kepentingan dan konflik para missionaries agama.
            Ada beberapa hal yang penting untuk dicatat soal izin sementara tempat ibadah. Pertama, ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi umat beragama yang belum mampu mendirikan tempat ibadah permanen untuk tetap beribadah. Kedua, proses perijinan tidak mensyaratkan jumlah pengguna dan dukungan masyarakat setempat. Yang penting adalah adanya kebutuhan nyata umat beragama akan rumah ibadah itu. Ketiga, ketentuan dua tahun batas berlakunya izin sementara bukan berarti tidak dapat diperpanjang. Keempat, ketentuan ini bisa membatasi munculnya “gereja ruko” dan meminimalisir konflik akibat kesalahpahaman soal tempat ibadah.
            Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah soal gedung rumah ibadah yang telah dipergunakan secara permanen, tetapi belum memiliki IMB rumah ibadah. Harus diakui selama ini banyak rumah ibadah yang tidak memiliki ijin karena berbagai alasan. Alasan yang paling sering muncul adalah karena sulitnya mendapat ijin itu. Ada tempat ibadah yang sudah bertahun-tahun digunakan meski tanpa ijin rumah ibadah. Ketentuan ini digunakan untuk mengatasi hal tersebut. Pasal  28 ayat (3) Perber disebutkan:
Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara permanent dan/atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini, bupati/walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud.

            Secara teoritis, aturan-aturan pendirian rumah ibadah dalam Perber memang lebih maju dari SKB No. 1/1969. Namun, masalah pendirian rumah ibadah tidak sepenuhnya terletak pada soal aturan. Aturan hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah rumah ibadah. Di luar itu, masih banyak problem-problem lain, terutama menyangkut hubungan antaragama yang masih menyimpan banyak masalah. Revisi terhadap SKB No. 1/1969 merupakan bagian sangat kecil dari gunung es masalah kehidupan beragama. SKB tersebut bukanlah masalah utama, karena ada atau tidak adanya SKB kecurigaan dan sikap saling tidak percaya antarpemeluk agama sudah berurat akar dalam kehidupan umat beragama, terutama Islam-Kristen. Penutupan rumah yang menjadi tempat ibadah di berbagai daerah beberapa waktu lalu, merupakan salah satu ekspresi dari ketidakpercayaan tersebut. Oleh karena itu, revisi SKB menjadi Perber tidak akan banyak gunanya jika problem yang lebih mendasar dari itu tidak diselesaikan. Masalah mendasar yang dimaksud adalah menumbuhkan kedewasaan dalam beragama dan menumbuhkan kepercayaan satu atas yang lain.
Pemerintah harus secara konsekuen menerapkan aturan pendirian tempat ibadah. Hal ini penting karena selama ini muncul kecurigaan, kalangan mayoritas bebas mendirikan tempat ibadah, sementara kalangan minoritas cenderung dipersulit dengan berbagai alasan. Bahkan, kalangan mayoritas bisa “mengontrol” tempat ibadah kalangan minoritas. Sikap konsekuen ini penting untuk menghindari otoritarianisme satu agama atas agama yang lain.

D. Kolom Agama dalam KTP
            Pencantuman agama dalam Kantu Tanda Penduduk (KTP) telah menjadi bagian dari administrasi kependudukan di Indonesia. Namun demikian, persoalan ini belakangan dipermasalahkan banyak kalangan. Kelompok yang mempermasalahkan menilai, pencantuman agama dalam KTP dapat menimbulkan praktik diskriminasi dan berpotensi menimbulkan perpecahan. Kolom agama dalam KTP bisa dijadikan sebagai senjata bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab, bahkan bisa membuat orang saling bunuh. Ketika terjadi konflik sosial bernuansa agama, KTP sering dijadikan alat untuk menyapu (sweeping) orang-orang yang dianggap sebagai musuh. Bahkan, karena kolom agama dalam KTP juga orang bisa terdiskriminasi dalam pekerjaan.
            Ini memang bukan isu baru terutama di kalangan aktifis HAM. Menjelang pengesahan UU Adminsitrasi Kependudukan (Adminduk) yang disahkan akhir Desember 2006 lalu, isu ini sempat mencuat ke permukaan meski akhirnya UU Adminduk tidak menghilangkan kolom agama dalam KTP. Meski demikian, isu ini tetap penting untuk diperbincangkan.
            Ada baiknya kita memahami argumen masing-masing kelompok. Kelompok yang pro adanya kolom agama dalam KTP mendasarkan diri pada beberapa argumentasi: pertama, Indonesia adalah negara berdasar pada ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga agama mempunyai posisi yang penting di Indonesia. Kedua, untuk keperluan adminsitrasi kependudukan agama tetap menjadi identitas yang harus ditegaskan dalam KTP, sehingga kalau seseorang terkena musibah (meninggal) dan tidak ada orang yang mengenalnya, dia bisa segera diketahui apa agamanya. Hal ini terkait dengan ritual agama apa yang perlu dilakukan untuk mengubur si mayat. Ketiga, adanya identitas agama sebenarnya bukan hanya dalam KTP tapi hampir dalam semua administrasi kependudukan. Karena itu, kalau kolom agama dihapus dari KTP akan membawa dampak ikutan dari sisi administrasi kependudukan.
            Sedangkan kelompok yang ingin menghapus kolom agama mendasarkan pendapatnya sebagai berikut: pertama, kolom agama terbukti telah mendiskriminasi warga negara Indonesia, karena kolom agama hanya mencantumkan enam agama, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan (belakangan) Konghucu. Padahal tidak sedikit warga negara Indonesia yang menganut di luar agama-agama tersebut, baik itu dalam bentuk kepercayaan-kepercayaan lokal, maupun agama seperti Sikh, Sinto, Yahudi dan sebagainya.
Kedua, diskriminasi tingkat pertama tersebut membawa dampak ikutan, yaitu diskriminasi pelayanan publik sebagai hak sipil warga negara, seperti soal pencatatan perkawinan, pengurusan paspor, akte kelahiran dan sebagainya. Ketiga, sebagaimana telah disinggung di atas, dalam suasana konflik bernuansa agama, KTP sering dijadikan alat untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Karena itu, penghilangan kolom agama dipandang sebagai bagian dari upaya untuk menghilangkan dampak dari konflik agama.
Argumen dari masing-masing kelompok tersebut tentu masih bisa diperdebatkan lebih jauh. Namun ada pertanyaan mendasar yang mungkin bisa menjadi alat untuk melihat perlu atau tidak perlunya kolom agama. Pertanyaan itu adalah apa manfaat kolom agama dan apa madarat jika tidak ada kolom agama? Kolom agama seolah membawa manfaat karena administrasi kependudukan kita masih amburadul. Orang bisa berganti-ganti identitas dalam KTP. Budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang terus menggurita bangsa ini semakin memperparah kondisi tersebut. Kalau administrasi kependudukan Indonesia sudah bagus, dimana identitas orang bisa diketahui melalui jaringan yang tertata rapi, kolom agama pasti tidak banyak manfaatnya. Orang yang meninggal meski berada di wilayah yang orang tidak tahu agamanya, melalui jaringan administrasi kependudukan yang baik, pasti akan segera diketahui dengan mudah. Karena itu, tanpa kolom agama sebenarnya tidak membawa madarat apapun.
Justru yang tersisa adalah masalah diskriminasi dan pelayanan publik. KTP sebenarnya tidak boleh dijadikan sebagai sarana diksriminasi. Demikian juga dengan pelayanan publik, semua warga negara terlepas apapun agama dan keyakinannya, harus mendapat pelayanan yang sama.
Indonesia sudah meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi melalui UU No. 29 tahun 1999; meratifikasi kovenan tentang hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya melalui UU No. 11 tahun 2005; kovenan tentang hak-hak sipil dan politik melalui UU No. 12 tahun 2005. Atas dasar itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk terus melakukan diskriminasi, apalagi melalui KTP. Namun dalam praktiknya diskriminasi melalui KTP bukan tidak ada di Indonesia.
Pemerintah mengharuskan warga negara yang berusia dewasa untuk membuat KTP, yang menunjukkan identitas, di antaranya identitas agama. Pemeluk agama yang tidak diakui pemerintah umumnya tidak dapat memperoleh KTP, kecuali bila mereka mengaku sebagai pemeluk agama yang diakui. Selama ini, sebagian petugas Kantor Catatan Sipil menolak permohonan dari pemeluk agama yang tidak diakui. Sejumlah penganut kepercayaan lokal menerima KTP yang menyebutkan Islam sebagai agama mereka. Hingga pada bulan Februari 2006 ketika pemerintah mulai menyediakan layanan untuk pemeluk Konghucu, sejumlah penganut Konghucu menerima KTP yang menyebutkan Budha sebagai agama mereka.
            Kini Indonesia sudah mempunyai UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang ini dibuat salah satu tujuannya adalah untuk menghilangkan diskriminasi yang selama ini terjadi dalam administrasi kependudukan. Hal ini tampak dalam konsideran (menimbang, huruf d) yang menyatakan:

Bahwa peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan bags semua penyelenggara negara yang berhubungan dengan kependudukan.
Tujuan tersebut sebenarnya sejalan dengan pasal 28 Ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Karena itu, salah satu isu yang sempat mencuat dan menjadi perbincangan publik adalah persoalan penghapusan kolom agama dalam KTP yang dianggap diskriminatif. Depdagri sebagai pengusul turut menggodok kemungkinan penghapusan pencantuman agama pada KTP.[xiv] Salah satu alasan penghapusan itu adalah untuk melindungi warga negara Indonesia yang berada di daerah konflik terutama konflik agama. Pro-kontra pun muncul di masyarakat. Namun, usulan penghapusan kolom agama akhirnya gagal diwujudkan. Salah satu alasannya adalah bila seorang yang tidak dikenal meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dan kebetulan tidak jelas status keagamaannya dalam KTP padahal yang bersangkutan beragama Islam maka dia akan kehilangan haknya untuk disembahyangkan secara Islam.
UU No. 23 Tahun 2006 akhirnya memang tidak menghapus kolom agama dalam KTP. Hal ini yang menimbulkan penilaian sebagian kalangan bahwa UU Adminduk masih melestarikan diskriminasi. Keharusan mencantumkan agama dalam KTP terlihat dalam pasal 64 ayat [1], yang berbunyi:
KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.

 

UU Adminduk juga masih menggunakan istilah “agama diakui” dan “agama tidak diakui”. Tentu saja hal demikian menjadi ladang diskriminasi yang direstui negara. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 64 ayat [2]:

 

Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data kependudukan.[xv]

Apa yang dimaksud dengan “agama yang belum diakui” dalam pasal tersebut? Hal ini harus dikaitkan dengan Penetapan Presiden No. I tahun 1965, yang berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1969 telah ditetapkan memiliki kekuatan hukum sebagai undang-undang (UU No. 1/PNPS/1965), disebutkan bahwa di Indonesia terdapat enam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.[xvi] Penyebutan keenam agama itu sebenarnya tidak dipahami sebagai sesuatu yang bersifat pembatasan yang implikasinya bahwa pemerintah tidak mengakui agama-agama lain di luar enam agama itu. Penjelasan Penetapan Presiden itu menyatakan ”Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zararustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia, mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”. Sayang sekali pemikiran bahwa pemerintah seolah-olah hanya mengakui 6 agama, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha masih tetap muncul hingga di era reformasi sekarang ini. Penganut agama di luar yang enam itu sulit untuk mendapat KTP, akte kelahiran, kartu keluarga, melanjutkan sekolah, bekerja dan sebagainya. Diskriminasi yang disponsori negara seperti ini yang seharusnya dihentikan untuk menunjukkan bahwa Indonesia sudah menjauhkan diri dari kebijakan diskriminatif.

E. Hak Mendirikan Organisasi Keagamaan

            Dalam UUD 1945 pasal 28e [3] disebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Pasal ini secara eksplisit menegaskan bahwa berkumpul, berserikat dan membentuk berbagai asosiasi-organisasi merupakan hak warga negara. Tugas negara dalam kaitan ini adalah menjamin dan melindungi warga Negara dari berbagai kemungkinan yang dapat mengancam haknya untuk berserikat dan berkumpul. Pasal tersebut masuk dalam Bab XA tentang HAM. Karena itu, jelas bahwa berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak dasar kemanusiaan.

            Ketentuan tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.[xvii] Dalam pasal 1 dijelaskan, yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Dalam penjelasan Pasal 1 disebutkan, salah satu ciri penting dalam organisasi kemasyarakatan adalah kesukarelaan dalam pembentukan dan keanggotaannya. Anggota masyarakat bebas untuk membentuk, memilih, dan bergabung dalam organisasi kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi kemasyarakatan dapat mempunyai satu atau lebih dari satu sifat kekhususan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, yaitu kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Organisasi atau perhimpunan yang dibentuk secara sukarela oleh anggota masyarakat yang keanggotaannya terdiri dari WNI dan warga negara asing, termasuk dalam pengertian organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini. Organisasi atau perhimpunan yang dibentuk oleh Pemerintah seperti Pramuka, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), dan lain sebagainya, serta organisasi atau perhimpunan yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia yang bergerak dalam bidang perekonomian seperti Koperasi, Perseroan Terbatas, dan lain sebagainya, tidak termasuk dalam pengertian organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini.
            Hal penting yang perlu disebut dalam UU No. 8 Tahun 1985 adalah soal asas dan tujuan. Dalam pasal 2 ayat disebutkan:
1)     Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
2)     Asas sebagainana dimaksud dalam ayat (1) adalah asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam pasal 4 juga disebutkan, organisasi kemasyarakatan wajib mencantumkan asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 tersebut.
            Hal lain yang perlu dikutip dalam bagian ini adalah ancaman pembekuan dan pembubaran. Hal ini dijelaskan dalam pasal 13:          
Pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat organisasi kemasyarakatan apabila organisasi kemasyarakatan:
a.            Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum;
b.            Menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah;
c.             Memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.

Pasal 16 menjelaskan:

Pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya.

Perumusan pasal-pasal tersebut memang lebih banyak digunakan untuk kepentingan pemerintah Orde baru. Karena itu, pada masa pemerintah Orde baru diberlakukan secara ketat. Semua organisasi kemasyarakatan dipaksa mencantumkan Pancasila sebagai asas-nya, sehingga pada masa itu tidak ada organisasi kemasyarakatan yang tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas.
            Kebijakan politik Orde baru tersebut mendapat reaksi beragam. Namun, hal yang jelas, kebijakan ini menimbulkan perdebatan serius di kalangan umat Islam. Bahkan, sebagian umat Islam mengalami konflik yang rumit dan menghabiskan energi dalam memperdebatkan masalah asas Pancasila ini. Perdebatan tersebut terjadi sejak pertengahan 1982 sampa 1985, disertai dengan konflik internal dan konflik dengan pemerintah. Koflik ini harus dibayar mahal dengan pecahnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjadi HMI Diponegoro dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), sedangkan PII (Pelajar Islam Indonesia) bergerak di bawah tanah, karena menolak kebijakan tersebut.[xviii]
            Pada mulanya sebagian besar organisasi keagamaan (Islam) menentang kebijakan ini. Namun melalui berbagai negosiasi banyak ormas Islam yang akhirnya menerima kebijakan ini. NU melalui Munas (Musyawarah Nasional) di Situbondo 1983 dan Muktamar 1984 menyatakan penerimaan Pancasila sebagai asas kehidupan sosial dan politik. Demikian juga dengan Muhammadiyah melalui Muktamar ke 41 di Surakarta 1985 mengambil langkah serupa. Tahun 1988 sebagai batas waktu penyesuaian seluruh organisasi sosial dan politik untuk mengikuti UU No. 8 Tahun 1985.
Namun, hal ini berubah seiring dengan munculnya era reformasi pada 1998. Semua lapisan masyarakat diberi kebebasan luar biasa untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Jika pada masa orde baru keharusan menggunakan asas Pancasila dalam organisasi diberlakukan secara ketat, pada masa reformasi hal itu tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, muncul organisasi-organisasi sosial keagamaan yang tidak lagi menggunakan Pancasila, tapi Islam sebagai asasnya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang pada zaman orde baru hidup di bawah tanah karena tidak mau menggunakan Pancasila sebagai asasnya, sejak masa reformasi mereka berani muncul kembali. Bahkan, partai politik yang menggunakan Islam sebagai asas juga muncul di mana-mana. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pada masa orde baru berasas Pancasila, kini kembali berasas Islam pada masa reformasi.
            Beberapa organisasi keagamaan yang muncul pada masa reformasi dan menggunakan Islam sebagai asasnya seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah (FKASWJ), Ikhwanul Muslimin, Laskar Jihad, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan sejumlah organisasi keagamaan yang bersifat kedaerahan.
            Harus dikatakan, dalam hal berserikat dan berkumpul, Indonesia mengalami kemajuan yang luar biasa, meskipun riak-riak kecil tetap saja terjadi. Sekarang ini tidak ada lagi halangan bagi setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul dengan menggunakan berbagai aliran ideologinya. Dalam konteks ini, Indonesia bisa dikatakan telah berada dalam jalur yang benar dalam penegakan HAM.
Meski demikian, hal itu bukan tidak menyisakan masalah. Setidaknya ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian. Pertama, dari sisi praktik berserikat dan berkumpul Indonesia mengalami kemajuan luar biasa. Setiap orang, atas nama demokrasi dan kebebasan, tanpa hambatan berarti bisa membentuk organisasi. Bahkan, atas nama demokrasi, sejumlah organisasi yang bisa menjadi ancaman terhadap demokrasi itu sendiri diberi hak untuk hidup.
Kedua, meskipun dari sisi konstitusi jaminan berserikat dan berkumpul cukup kuat, namun UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan masih menyimpan banyak problem. Dalam praktiknya, UU ini juga sudah mulai ditinggalkan meski belum pernah direvisi. Oleh karena itu, upaya merevisi UU tersebut agar lebih sesuai dengan alam demokrasi merupakan keharusan yang tidak bisa ditunda.
Keitga, kedewasaan masyarakat untuk menerima berbagai aliran keagamaan dan ideologi yang tumbuh masih menjadi masalah. Aksi sepihak kelompok tertentu yang tidak menyetujui hidupnya kelompok lain dan kelompok-kelompok lain yang dianggap “sesat” merupakan contoh nyata. Kalau tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin hal seperti ini akan menjadi ancaman serius bagi hak kebebasan berserikat dan berkumpul.


[i]Pasal 28e merupakan hasil dari amandemen UUD 1945 tahap ke 2 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000.
[ii]Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Lihat pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Indonesia.
[iii]Di samping negative rights untuk hak-hak sipil dan politik, ada juga istilah positive rights yang biasa digunakan untuk Kovenan Internasional Hak-hak  Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005. Bila dalam hak-hak sipol menuntut peran negatif negara, dalam ekosob justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus.
[iv]Ifdhal Kasim, “Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik: sebuah Pengantar”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005 yang diselnggarakan Elsam Jakarta.
[v]Lihat konsideran UU No. 1/PNPS/1965
[vi]Lihat Mujiburrahman, Feeling Threatened Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order, (Leiden/Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), h. 57-58.
[vii]Lihat Gomar Gultom (ed), Seputar Izin Rumah Ibadah, Dari SKB ke Perber Dua Menteri, (Jakarta: PGI, 2006), h. 12.
[viii]Memorandum ini penulis dapatkan dari buku Gomar Gultom (ed), Seputar Izin Mendirikan Rumah Ibadah, h. 26-29.
[ix]Kajian mendalam mengenai persaingan dan kompetisi Islam-Kristen dilakukan oleh Mujiburrahman, Feeling Threatened, terutama Bab I dan II yang menelusuri asal usul konflik Islam-Kristen di Indonesia.
[x]Dikutip dari Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Kehidupan Beragama Seri. E, (Jakarta: Sekjen Depag RI, 1998), h. 7. selanjutnya disebut Himpunan Peraturan.
[xi]Himpunan Peraturan…, h. 11.
[xii]Himpunan Peraturan…, h. 12.
[xiii]Jumlah ini merupakan hasil kompromi. Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang dianggap mewakili umat Islam pada awalnya menawar 100 keluarga dan kelompok Kristen (cq. PGI) menawar 60 calon pengguna tempat ibadah. Akhirnya “disepakati” angka 90 orang.
[xiv]Wacana menghapus pencantuman agama dalam KTP sebelumnya sudah muncul. Semasa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pernah mengumpulkan dinas-dinas kependudukan se-Indonesia untuk membahas soal itu. Namun usulan ini terhenti karena respon masyarakat cukup keras.
[xv]Ketentuan tentang kolom agama dan agama diakui-tidak diakui juga ada dalam pasal 61 ayat [1 dan 2] yang membicarakan tentang Kartu Keluarga (KK). Ayat [1] disebutkan: “KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal Iahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.” Sedangkan ayat [2]: “Keterangan rnengenal kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.”
[xvi]Enam agama tersebut pada masa Orde baru pernah dipangkas menjadi lima, dengan mengeluarkan Konghucu dari kelompok agama di Indonesia. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/ 4683/95 tanggal 18 November 1978 antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Keputusan politik ini yang sesungguhnya batal demi hukum, karena sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, disamping itu bertentangan dengan UUD pasal 29 ayat 2 yang memberikan kebebasan beragama dan beribadat. Surat Edaran tersebut telah dicabut oleh Keppres No. 6 Tahun 2000 yang memberi peluang bagi agama-agama “minoritas” untuk tampil sejajar dengan lainnya.
[xvii]Undang-undang ini memang disusun pada masa Orde baru, sehingga nuansa Orba-nya terasa sekali. Memang banyak kalangan yang menginginkan agar UU ini direvisi, tapi hingga sekarang hal tersebut belum terjadi.
[xviii]Lihat M Rusli Karin, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 184. Lihat pula Faisal Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).