Pengantar
UU Adminduk
juga masih menggunakan istilah “agama diakui” dan “agama tidak diakui”. Tentu
saja hal demikian menjadi ladang diskriminasi yang direstui negara. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 64 ayat [2]:
“Keterangan
tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya
belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat
dalam data kependudukan.[xv]”
Apa yang dimaksud dengan
“agama yang belum diakui” dalam pasal tersebut? Hal ini harus dikaitkan dengan
Penetapan Presiden No. I tahun 1965, yang berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun
1969 telah ditetapkan memiliki kekuatan hukum sebagai undang-undang (UU No.
1/PNPS/1965), disebutkan bahwa di Indonesia terdapat enam agama, yakni Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.[xvi] Penyebutan
keenam agama itu sebenarnya tidak dipahami sebagai sesuatu yang bersifat
pembatasan yang implikasinya bahwa pemerintah tidak mengakui agama-agama lain
di luar enam agama itu. Penjelasan Penetapan Presiden itu menyatakan ”Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain
seperti Yahudi, Zararustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia, mereka
mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Ayat 2 dan mereka
dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
peraturan ini atau peraturan perundangan lain”. Sayang sekali pemikiran
bahwa pemerintah seolah-olah hanya mengakui 6 agama, yaitu: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Budha masih tetap muncul hingga di era reformasi sekarang
ini. Penganut agama di luar yang enam itu sulit untuk mendapat KTP, akte
kelahiran, kartu keluarga, melanjutkan sekolah, bekerja dan sebagainya.
Diskriminasi yang disponsori negara seperti ini yang seharusnya dihentikan
untuk menunjukkan bahwa Indonesia sudah menjauhkan diri dari kebijakan
diskriminatif.
E.
Hak Mendirikan Organisasi Keagamaan
Dalam UUD
1945 pasal 28e [3] disebutkan: “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Pasal
ini secara eksplisit menegaskan bahwa berkumpul, berserikat dan membentuk
berbagai asosiasi-organisasi merupakan hak warga negara. Tugas negara dalam
kaitan ini adalah menjamin dan melindungi warga Negara dari berbagai
kemungkinan yang dapat mengancam haknya untuk berserikat dan berkumpul. Pasal
tersebut masuk dalam Bab XA tentang HAM. Karena itu, jelas bahwa berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak dasar kemanusiaan.
Ketentuan tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.[xvii] Dalam pasal
1 dijelaskan, yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan adalah organisasi
yang dibentuk oleh anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka
mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
beragama dan
berkeyakinan merupakan hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi
Indonesia dan juga instrumen HAM internasional. Sebagai hak dasar, maka negara
mempunyai kewajiban untuk menjamin dan melindungi berbagai kemungkinan yang
dapat mengganggu terpenuhinya hak dasar tersebut. Negara juga tidak boleh
mendiskriminasi hak-hak sipil warga negara berdasar agama dan keyakinan.
karena beragama dan berkeyakinan merupakan hak, maka menjalankan ibadah dan
membuat tempat ibadah juga hak. Namun, karena tempat ibadah mempunyai dimensi
publik, maka membuat tempat ibadah perlu aturan, meskipun aturan itu dalam
batas tertentu mengurangi kebebasan. Meski di Indonesia sudah ada regulasi
tentang tempat ibadah, namun dalam praktiknya masih menyisakan banyak masalah,
karena tempat ibadah sering dikaitkan dengan misi suatu agama.
pencantuman agama dalam KTP terkait dengan adminsitrasi kependudukan. Meski
banyak kalangan yang memprotes pencantuman agama dalam KTP karena berbagai
alasan yang telah dijelaskan, namun UU Administrasi Kependudukan di Indonesia
tetap menjadikan agama sebagai bagian yang harus tercantum dalam KTP.
Pencantuman agama ini dikaitkan dengan agama diakui dan tidak diakui. Hal ini
yang sangat potensial memunculkan diskriminasi hak-hak sipil warga negara.
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak warga negara.
Dalam sejarah di Indonesia, berserikat dan berkumpul melalui organisasi pernah
mengalami hambatan karena politik Orde baru yang menekankan pada stabilitas.
Namun, setelah masa reformasi pada 1998 yang ditandai dengan tumbangnya
pemerintahan Soeharto, hak warga negara untuk mendirikan organisasi keagamaan
terbuka lebar. Karenanya, pada masa ini tumbuh berbagai jenis organisasi
keagamaan tanpa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas meskipun UU No. 8
Tahun 1985 yang mengharuskan ormas mencantumkan Pancasila sebagai asas belum
dicabut.
A. Pendahuluan
HAM telah menjadi isu internasional. Sebuah negara yang dinilai rendah
komitmennya dalam penegakan HAM, segera saja ia akan dikucilkan dalam pergaulan
internasional. Negara yang indeks penegakan HAM-nya rendah juga akan dijadikan
bahan cemoohan dunia internasional. Oleh karena itu, Indonesia sebagai bagian
dari negara yang terikat dengan fatsun pergaulan internasional dituntut untuk
melakukan penegakan HAM secara serius. Penegakan HAM di sini bisa dilakukan
dengan beberapa cara seperti: 1)
membuat aturan dan regulasi yang secara kuat menunjukkan komitmen
terhadap hak asasi manusia dengan menjauhkan diskriminasi atas nama apapun; 2)
menindak tegas siapapun yang melakukan pelanggaran HAM. Pemerintah tidak boleh
membiarkan siapapun yang melakukan tindakan penistaan terhadap kemanusiaan.
Dalam konteks inilah perlu menelaah
bagaimana penegakan HAM di Indonesia terutama menyangkut agama dan keyakinan.
Telaah akan dilakukan dari dua sisi: pertama,
regulasi. Dari sisi ini, yang menjadi pertanyaan adalah sejauhmana regulasi di
Indonesia memberi perlindungan terhadap HAM, terutama menyangkut kebebasan
beragama dan berkeyakinan dengan segala efek ikutannya. Adakah regulasi yang
justru menjadi masalah jika dikaitkan dengan kebebasan beragama dan
berkeyakinan? Kedua, dari sisi
praktik sosial. Dari sisi ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah secara
sosial kultural masyarakat kita mempunyai nilai-nilai yang mendukung kebebasan
beragama dan berkeyakinan, atau justru sebaliknya. Nilai-nilai tersebut
diasumsikan mempunyai pengaruh kuat dalam praktik sosial kehidupan beragama. Ketiga, dari sisi hubungan antara peraturan dan kehidupan sosial
masyarakat. Hal yang perlu dipertanyakan dari sisi ini adalah regulasi yang
mendukung dan berkorelasi dengan praktik sosial dalam masyarakat, baik dalam
pengertian positif maupun negatif. Ketiga hal tersebut akan dijadikan model
sudut pandang secara simultan, meskipun ketiganya belum tentu memperoleh
proporsi penjelasan yang sama.
B. Hak Menjalankan Agama dan Keyakinan
Secara normatif,
jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Sejumlah peraturan, mulai dari konstitusi, undang-undang
sampai peraturan yang tingkatan di bawahnya, diarahkan untuk melindungi kebebasan
beragama. Apalagi semenjak masa reformasi 1998, berbagai regulasi yang memberi
tekanan pada penguatan HAM dibuat. Proses amandemen UUD 1945 juga memberi
muatan secara lebih jelas terhadap HAM. Meski demikian, hal itu tidak berarti
Indonesia bisa menyelesaikan seluruh problem HAM dan kebebasan beragama. Baik
dari sisi regulasi, praktik pemerintahan dan kehidupan sosial masih banyak
problem yang harus diselesaikan.
Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau
Undang-Undang Dasar negara kita. Pasal 28e ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil
amandemen disebutkan: 1) “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya”.[i] Hal tersebut ditegaskan lagi
dalam pasal 29 (1) "Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.", (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaanya itu."
Pasal-pasal yang disebutkan di atas merupakan jaminan tertinggi dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena itu, segala bentuk aturan yang berada
di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tersebut. Kata “bebas
memeluk agama” (ayat 1) dan “berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan” (ayat
2) secara eksplisit merupakan jaminan kepada setiap individu warga negara
mempunyai otonomi untuk memeluk agama dan keyakinan. Hal itu merupakan hak
setiap individu, karenanya negara mempunyai kewajiban untuk melindungi hak
tersebut dengan cara -antara lain- memberi ancaman hukuman kepada siapapun yang
mengganggu dan mengancam hak individu tersebut. Ayat tersebut secara implisit
tidak melarang orang untuk berpindah agama, dan hal itu dipahami sebagai bagian
dari hak individu. Karena itu, meskipun dalam Islam dikenal konsep murtad,
namun dalam konstitusi Indonesia, pindah agama bukanlah kejahatan atau tindak
pidana.
Pasal 29 (1) sebenarnya lebih memberi tekanan pada negara, bukan warga
negara. Kata "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan
bahwa negara ini di dalamnya mempunyai spirit keagamaan. Hal ini hanya bisa
dipahami melalui adagium yang mungkin bagi sebagian kalangan dianggap aneh:
“Indonesia bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara agama”. Bagi orang yang tidak memahami sejarah Indonesia
pada masa-masa awal kemerdekaan adagium tersebut tentu sulit dipahami.
Bagaimana mungkin ada negara bukan sekuler bukan negara agama? Namun, bagi yang
memahami denyut sejarah Indonesia, tidak terlalu sulit untuk memahami adagium
tersebut. Adagium tersebut digunakan untuk mencairkan dan mempertemukan
pertentangan ideologi Islam dan ideologi sekuler yang sebenarnya sulit
dicarikan titik temu.
Sedangkan pasa 29 (2) lebih memberi titik tekan pada hak warga negara. Kata
“menjamin” di dalamnya mengandung beberapa pengertian antara lain melindungi,
memelihara dan melayani. Oleh karena itu, negara tidak boleh mendiskriminasi[ii] warga negaranya berdasar apapun, termasuk agama dan
keyakinan. Namun, masih ada masalah, apakah kata “menjamin agama” juga berarti
“harus beragama”? Secara kebahasaan mungkin tidak, namun dalam praktik
pemerintahan di Indonesia, kata “menjamin” menjadi keharusan beragama. Karena
itu, orang yang tidak beragama tidak mendapat tempat di Indonesia. Bahkan agama
juga sering dijadikan prasyarat apakah seorang warga negara hak-hak sipilnya
dilayani pemerintah atau tidak.
Jaminan dalam konstitusi tersebut
ditegaskan kembali dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam undang-undang
tersebut ditegaskan bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar setiap orang
yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2)
Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pertanyaannya, siapa yang paling bertanggung jawab menjamin perlindungan
tersebut? Dalam pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 ditegaskan: “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab
negara, terutama pemerintah”. Dari
pasal tersebut jelas, negara (c.q. pemerintah) adalah institusi yang
pertama-tama berkewajiban untuk menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala
sesuatu yang menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa
diskriminasi.
Di samping itu, tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan
juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and
Political Rights (ICPPR/Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.
Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat secara moral dengan isi ICCPR.
Kovenan menetapkan hak setiap
orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan
atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa
campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat
(Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang
atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan
untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada
di negara pihak (Pasal 27).
ICCPR
pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh
aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara. Makanya hak-hak
yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative
rights).[iii]
Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi
apabila peran negara dibatasi. Apabila negara
terlalu intervensi, hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan
dilanggar oleh negara.
Hak-hak negatif apa saja yang
termuat dalam ICCPR? Dengan risiko terjatuh pada penyederhanaan, ada dua
klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR
itu. Pertama, hak-hak dalam jenis non-derogable,
yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya
oleh Negara-Negara Pihak meski dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang
termasuk ke dalam jenis ini adalah: (i) hak atas hidup; (ii) hak bebas dari
penyiksaan; (iii) hak bebas dari perbudakan; (iv) hak bebas dari penahanan
karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang
berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan
berpikir, kenyakinan dan agama. Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap hak-hak dalam jenis ini, akan mendapat kecaman sebagai Negara yang
telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights).
Kedua, hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak
yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-negara Pihak. Hak
dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah: (i) hak atas kebebasan
berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk
dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan
pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan
informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui
lisan atau tulisan).
Dalam
kaitan ini, Negara-Negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau menyimpan
atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpanan itu hanya
dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak
bersifat diskriminatif, yaitu demi: (i) menjaga keamanan nasional atau
ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak
atau kebebasan orang lain. Ketentuan ini memberi keleluasaan yang dapat
disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari hal ini, ICCPR menggariskan bahwa
hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh
Kovenan ini”. Selain diharuskan juga
menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua
Negara Pihak ICCPR.[iv]
Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula dalam
kenyataannya. Masih warga negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya
dalam memeluk agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang
“diakui” pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar agama yang “diakui”
itu maka ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil warga negara.
Agama-agama yang dianut di Indonesia sebenarnya
banyak. Ada agama yang sering disebut sebagai “agama langit” (Yahudi, Kristen,
dan Islam) hingga “agama bumi”, seperti Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan lain
sebagainya. Di samping itu, ada juga agama-agama lokal yang telah lama dianut
masyarakat di Nusantara sebelum datangnya agama-agama yang berasal dari luar
bumi Nusantara, yang sering disebut aliran kepercayaan atau kepercayaan lokal
yang ekspresinya sulit dipisahkan dengan kebudayaan dan adat istiadat
masyarakat setempat. Realitas inilah yang menunjukkan, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat majemuk, masyarakat yang dihuni oleh banyak suku, agama dan
keyakinan. Dengan kemajemukan inilah, potensi pertentangan dan konflik antar
kelompok dan penganut paham kagamaan semakin besar. Dalam praktiknya, kelompok
utama akan menguasai panggung pernyataan untuk merebut makna-makna pemahaman
keagamaan yang berserakan dalam kemajemukan masyarakat.
Dalam konteks politik agama, Indonesia memang belum
sepenuhnya bisa mengkui semua jenis agama dan keyakinan di Indonesia,
setidaknya kalau dikaitkan dengan pelayanan hak-hak sipil warga negara. Negara
tidak mengakui secara apa adanya seluruh keyakinan agama yang dianut masyarakat
Indonesia. Sejauh ini, negara memberi batasan hanya ada 6 agama (Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) yang diakui dan berhak mendapat
pelayanan sipil secara penuh. Selain 6 agama ini, meskipun boleh hidup, namun
hak-hak sipilnya dibatasi.
Hal itu bermula dari Penetapan Presiden No. 1 tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama yang status hukumnya
kemudian ditingkatkan menjadi UU berdasar UU No. 5 tahun 1969. UU No. 1
/PNPS/1965 tersebut belakangan mulai direvisi dengan terbitnya Inpres (Intruksi
Presiden) No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina.
Meskipun Inpres tersebut tidak secara eksplisit mencabut pengakuan terhadap
eksistensi agama Konghucu, namun dalam praktik di lapangan kesan pengingkaran
terhadap Konghucu sangat dirasakan, sehingga hak-hak sipil penganut agama
Konghucu menjadi terabaikan, seperti masalah perkawinan di mana Kantor Catatan
Sipil tidak mau mencatat; tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di
sekolah; pelarangan perayaan hari raya dan sebagainya.
Hal demikian semakin dipertegas dengan terbitnya Surat
Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18
Nopember 1978 yang antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh
pemerintah adalam Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dari SE tersebut,
Konghucu dikeluarkan dari daftar agama-agama di Indonesia. Akibatnya, hak-hak sipil mereka tidak diakui,
sehingga banyak penganut Konghucu yang secara terpaksa harus pindah ke agama
lain, pelajaran agama Konghucu juga dihilangkan dari sekolah, kecuali UGM yang
sejak 1967 tetap menawarkan agama Konghucu sebagai salah satu mata kuliahnya. Belakangan, pada
masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Inpres No. 14 tahun 1967
tersebut dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan terbitnya Kepres yang terakhir ini maka hak-hak sipil penganut agama
Konghucu dipulihkan kembali.
Pengakuan 6
agama resmi ini diiringi juga dengan didirikannya lembaga-lembaga agama
”korporatif” negara yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Wali
Gereja Indonesia), PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia), Walubi, dan Hindu
Dharma Indonesia. Lembaga-lembaga agama “korporatif” negara ini kemudian
dipercaya sebagai pemegang otoritas agama di Indonesia, yang kemudian jangkauan
kerjanya mencakup interpretasi ajaran agama, menyelesaikan sengketa internal
dan eksternal agama, dan lain-lain. Pembakuan itu juga dilakukan melalui
Departemen Agama dengan adanya perwakilan birokrasi di dalamnya, kecuali
Konghucu.
Dampak
dari perlakuan yang berbeda secara normatif dalam undang-undang dengan
pemilahan agama resmi dan agama tidak resmi adalah negara tidak bisa sepenuhnya
melindungi hak dasar warga negara, yaitu beragama dan berkeyakinan. Negara
hanya melindungi agama yang diakui dan dinyatakan resmi yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan. Ini artinya, kepercayaan lokal tidak mendapatkan
tempat yang layak secara normatif dalam negara Indonesia yang majemuk. Tak
heran, jika perilaku kekerasan terhadap kepercayaan agama lokal yang dianggap
sesat oleh kelompok utama tidak mendapatkan jaminan hak asasi manusia, bahkan
mereka cenderung dipersalahkan secara hukum dengan vonis penjara di pengadilan.
Jika
dilihat latarbelakang sejarahnya, UU No. 1/PNPS/1965 dibuat untuk mengamankan
negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana
penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Ditambah
lagi dengan munculnya aliran-aliran atau oraganisasi-organisasi
kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan
hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah
persatuan nasional dan menodai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional. Dan
yang terpenting, undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan
sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai
ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan. Aturan ini
juga melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan dan
dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang
Maha Esa.[v]
Tak pelak lagi, undang-undang ini dimaksudkan untuk membatasi aliran-aliran
keagamaan di luar agama yang resmi. Kecenderungan demikian menjalar ke semua
jenis undang-undang dan peraturan yang lain.
C.
Hak Mendirikan Tempat Ibadah
Dalam konteks HAM, pendirian rumah ibadah dapat dikategorikan sebagai derogable rights, hak yang bisa
dikurangi dalam kondisi tertentu. Beragama dan beribadah memang merupakan hak
mutlak yang tak bisa dikurangi dalam kondisi apapun, non-derogable rights, namun pendirian tempat sebagai instrumen
beribadah tidaklah bersifat mutlak. Karena itu, pembuatan aturan tempat ibadah
tidak bisa dikatakan melanggar HAM, sejauh aturan itu adil dan tidak
diskriminatif.
Dalam konteks Indonesia, rumah
ibadah telah menjadi isu yang sangat sensitif, karena di dalamnya terkandung
kecurigaan penyebaran agama. Karena itu, konflik di masyarakat terkait dengan
rumah ibadah terjadi di banyak tempat. Pertanyaannya, mengapa kita meributkan
bangunan dinding tempat ibadah? Pertanyaan ini tampak sederhana, namun kalau
direfleksikan agak dalam, ada ironi di dalamnya. Kalau tempat ibadah itu dibuat
sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tempat untuk mengasah
kehalusan batin dan budi, mengapa antarumat beragama cenderung mempersulit
pendiriannya. Mengapa kita repot-repot membuat aturan yang menyulitkan. Hal ini
tentu berbeda dengan dengan kalau hendak membuat tempat diskotik, tempat
hiburan, dan sebagainya yang tak ada persyaratan-persyaratan sebagaimana kalau
hendak mendirikan tempat ibadah. Apa yang salah dari kenyataan ini? Ini hanya
salah satu ironi. Meski terdengar aneh, tetapi inilah kenyataan kehidupan
keberagamaan kita. Ternyata membuat tempat ibadah bukan semata-mata membuat
bangunan agar orang bisa beribadah dan mendekatkan diri dengan Tuhan, namun di
dalamnya ada kompetisi, negosiasi, bahkan juga intrik. Dari sinilah kita bisa
memahami kalau penutupan paksa tempat ibadah terjadi dimana-mana.
Pendirian rumah ibadah di Indonesia pada mulanya diatur dalam Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No.
1/Ber/MDN-MAG/1969, 13 September 1969 yang mengatur pendirian tempat ibadah,
serta syarat-syarat jumlah anggota jemaah yang selayaknya memiliki tempat
ibadah. Dalam SKB itu antara lain disebutkan bahwa pembangunan rumah ibadah di
suatu daerah harus memperoleh izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah
di bawahnya yang diberi kuasa untuk itu. Syarat lain, sebelum memberikan izin
kepala daerah atau pejabat itu harus meminta pendapat kepala perwakilan
Departemen Agama setempat dan bila perlu, meminta pendapat ulama atau rohaniawan
di daerah itu.
Umat Kristen-Katolik merasa dibatasi ruang geraknya
melalui SKB tersebut. Terlebih lagi umat Kristen yang memiliki banyak sekte,
aturan ini dianggap sangat membatasi. Namun hal ini tidak terbatas di
lingkungan Kristen saja, umat Islam yang minoritas di sebuah wilayah juga akan
terkena dampak yang menyulitkan dari SKB tersebut. Karena umat Kristen dianggap
yang paling dirugikan, maka tidak mengherankan kalau umat Kristen senantiasa
menghendaki agar SKB tersebut dicabut. Nathan Setiabudi, ketika menjabat Ketua
Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) misalnya pernah melontarkan perlunya
pemerintah mencabut SKB No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 beberapa saat setelah melakukan
audiensi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan akan diadakannya
Sidang Raya PGI pada akhir tahun 2004.
SKB No. 1 tahun 1969 sebenarnya tidak
muncul secara tiba-tiba. Ada konteks
social-keagamaan yang mendorong diterbitkannya SKB tersebut. Hal ini tidak
terlepas dari kontestasi kelompok Islam dan Kristen. Isu Kristenisasi ketika
itu sudah menjadi momok menakutkan di kalangan umat Islam.
Ketegangan-ketegangan sosial akibat tempat ibadah sudah muncul saat itu[vi].
Berangkat dari berbagai kasus
tersebut, pemerintah akhirnya mengambil keputusan untuk membuat regulasi dan
mengontrol aktifitas dua agama besar, Islam dan Kristen, terutama menyangkut
penyebaran agama dan pendirian tempat ibadah sebagaimana tercantum dalam SKB
No. 1 tahun 1969. Dalam pasal 4 SKB tersebut dijelaskan tata cara pendirian
tempat ibadah sebagai berikut:
1.
Setiap pendirian tempat ibadah perlu mendapatkan ijin
dari Kepala Daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk
itu.
2.
Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1)
memberikan ijin yang dimaksud, setelah mempertimbangkan:
a.
Pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat.
b.
Planologi
c.
Kondisi
dan keadaan setempat.
3.
Apabila
dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta
pendapat organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat.
Meskipun sudah ada aturan ini,
bukan berarti masalah pendirian rumah ibadah selesai. Setidaknya ada tiga
masalah yang masih tersisa: pertama,
dari sisi aturan itu sendiri masih menyimpan masalah. Diktum yang paling
problematik adalah ayat 3 yang bisa ditafsirkan bermacam-macam. Kata “setempat”
untuk menunjukan organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan, tidak jelas ruang
lingkupnya, apakah desa, kecamatan, kabupaten, atau propinsi. Karena masalah
ini muncul problem kedua, yaitu pada
tingkat implementasi kelompok agama tertentu merasa sering dihalang-halangi
untuk mendirikan tempat ibadah dengan pasal ini. Bahkan sering terjadi,
pendirian tempat ibadah di satu lokasi dihalang-halangi oleh organisasi atau
ulama/rohaniawan dari daerah lain. Ketiga,
kelompok agama tertentu merasa dipersulit untuk mendirikan tempat ibadah
oleh aparat birokrasi yang tidak sepenuhnya steril dari kepentingan keagamaan.[vii] Pelaksanaan SKB tersebut akan menimbulkan kegelisahan di
daerah-daerah karena akan mengurangi kepastian hukum dalam melaksanakan hak
asasi manusia, yaitu kemerdekaan beragama.[viii]
Regulasi tempat ibadah bukanlah masalah yang berdiri
sendiri, tapi terkait dengan masalah-masalah lain seperti soal penyiaran agama
dan bantuan asing. Tempat ibadah dipandang sebagai bagian dari penyiaran agama,
sehingga pendirian tempat ibadah senantiasa mengundang kecemburuan pemeluk
agama lain. Karena itu, regulasi menyangkut tempat ibadah sebenarnya di
dalamnya mengandung unsur persaingan satu pemeluk agama atas agama yang lain.[ix]
Penyiaran agama dipandang sebagai problem yang sangat
penting karena adanya persaingan pemeluk agama untuk merekrut pengikut
sebanyak-banyaknya yang bisa berakibat mengganggu stabilitas sosial. Dalam
Surat Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tentang Pedomaman Penyiaran
Agama, yang ditetapkan pada 1 Agustus
1978. misalnya disebutkan:
1.
Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya
kerukunan antar umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya
dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo seliro, saling
menghargai, hormat menghormati antar umat beragama sesuai jiwa Pancasila.
2.
Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk:
a.
Ditujukan kepada orang atau orang-orang yang telah
memeluk agama lain.
b.
Dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian material/ minuman,
obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk suatu agama.
c.
Dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin,
majalah, buku-buku, dan sebagainya di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman
umat/orang beragama lain.
d.
Dilakukan
dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk
agama lain dengan dalih apapun.[x]
Dalam
pengantar Surat Keputusan tersebut disebutkan bahwa kerukunan hidup antarumat
beragama merupakan syarat mutlak bagi usaha menciptakan persatuan dan kesatuan
bangsa serta pemantapan stabilitas dan keamanan nasional yang merupakan syarat
bagi kelancaran dan keberhasilan pembangunan nasional di segala bidang.[xi]
Pernyataan tersebut dengan sangat jelas menunjukkan bahwa di atas
segala-galanya, ideologi stabilitas, persatuan-kesatuan, dan pembangunan
nasional merupakan kekuatan yang dijadikan alat kontrol untuk menekan apa saja
yang dipandang bisa mengganggu ideologi tersebut.
Di luar itu, semangat persaingan agama, terutama Islam
dan Kristen, begitu terasa dalam SK Menag No. 70 tahun 1978 tersebut. Hal ini
bisa dilihat dalam bagian penjelasan, terutama bagian b yang menjelaskan:
“Penyiaran agama tidak dibenarkan dilakukan dengan
menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan
dan lain-lain agar supaya orang yang telah memeluk suatu agama tertentu
tertarik untuk memeluk suatu agama lain”.[xii]
Erat hubungannya dengan persoalan penyiaran agama adalah
persoalan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Persoalan
ini sempat menjadi pemicu munculnya ketegangan hubungan antar umat beragama,
karena dengan bantuan ini suatu agama dapat melakukan aktifitas penyiaran agama
dengan intensif, termasuk kepada orang yang beragama lain. Bantuan dari luar
negeri dianggap terkait dengan penyiaran agama. Untuk mengatasi hal tersebut,
Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputuan No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan
Luar Negeri kepada Lembaga-Lembaga Keagamaan di Indonesia. SK ini antara lain
berisi bahwa bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia
harus meminta persetujuan Menteri Agama terlebih dahulu, agar dapat diketahui
bentuk bantuannya, lembaga/negara yang memberikan, serta pemanfaatan bantuan.
Dengan demikian, pemerintah dapat memberikan bimbingan, pengarahan dan
pengawasan terhadap bantuan tersebut .
Kedua SK tersebut kemudian diperkuat dengan Surat
Keputusan Bersama (SKB) dua menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri)
No. 1 tahun 1979 tertanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Dalam pasal 4 SKB No. 1 tahun 1979 diulang kembali SK Menang No. 77 tahun 1978
tentang larangan penyiaran agama yang ditujukan terhadap orang atau kelompok
orang yang telah memeluk/menganut agama lain, dengan cara menggunakan bujukan
dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakain, dan sebagainya; menyebarkan
pamflet, majalah, buletin, buku-buku, dan barang cetakan lainnya; melakukan
kunjungan dari rumah ke rumah.
Hal demikian juga terlihat dalam Instruksi Menteri Dalam
Negeri Nomor 455.2-360 tahun 1988. Kelompok yang merasa paling dirugikan dalam
instruksi tersebut adalah penganut Konghucu di mana Kelenteng (tempat ibadah
penganut Konghucu) dibatasi sedemikian rupa, tidak diijinkan untuk memperoleh
hak atas tanah, membangun dan atau mendirikan tempat ibadah, memperluas
bangunan, bahkan merehabilitasi.
Dari sinilah
dapat dipahami, meski sudah ada regulasi tentang tempat ibadah, namun
ketegangan sosial akibat tempat ibadah masih muncul dimana-mana. Penutupan
sejumlah tempat ibadah –yang dianggap tidak mempunyai ijin- secara paksa oleh
kelompok tertentu di sejumlah tempat, sungguh merupakan pelajaran berharga bagi
kita semua. Peristiwa tersebut menunjukkan adanya problem serius
menyangkut hubungan antarumat beragama di satu pihak, dan peran pemerintah
dalam pendirian tempat ibadah di pihak lain. Kasus tersebut tentu tidak bisa
dianggap sebagai peristiwa biasa, karena hal itu menyiratkan adanya
otoritarianisme satu pemeluk agama atas pemeluk agama yang lain.
Berbagai kasus penutupan tempat ibadah mendorong sejumlah kalangan untuk
membuka kembali dan merevisi SKB dua menteri tahun 1969 tentang pendirian
tempat ibadah. SKB ini akhirnya memang direvisi menjadi Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat.
Diterbitkannya Perber yang
ditandatangani Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 21 Maret 2006 lalu, bukan
berarti seluruh persoalan pendirian tempat ibadah selesai, karena masih harus
diuji pada tingkat pelaksanaan. Rumusan-rumusan bagus dia atas kertas belum
tentu bagus juga pada tingkat pelaksanaan. Salah satu semangat yang muncul dari
Perber adalah bagaimana menghindari multi-tafsir atas aturan, sehingga Perber
membuat aturan-aturan yang cukup detail mengenai tata cara pendirian tempat
ibadah. Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai Perber ini, ada baiknya kita
kembali ke belakang bagaimana politik tempat ibadah ini berlangsung di
Indonesia dengan segala ketegangan-ketegangan di dalamnya.
Secara garis besar, peraturan
bersama ini mengatur dua hal yang saling berkaitan, yaitu pembinaan kerukunan
umat beragama melalui pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan
prosedur pendirian tempat ibadat. Jika dalam SKB 1969
tidak ada ketentuan tentang FKUB, dalam Perber ini FKUB diatur secara khusus.
Di samping menjadi forum lintas agama untuk
membicarakan berbagai persoalan umat, FKUB juga mempunyai otoritas untuk
menilai apakah tempat ibadah layak didirikan atau tidak. Semangat untuk
melakukan birokratisasi tempat ibadah begitu kuat. Pendirian tempat ibadah
bukan hanya melalui birokrasi resmi dalam struktur pemerintah, tapi juga harus
melalui “birokrasi tidak resmi” yaitu FKUB.
Dalam Perber ini, prosedur pendirian tempat ibadah diatur secara rinci
dalam Bab IV pasal 13-17. Pada pasal 14 disebutkan:
(1).
Pendirian rumah ibadat harus
memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
(2).
(2) Selain
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi
persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai
dengan tingkat
batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat
setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala
desa; c.
rekomendasi tertulis kepala
kantor departemen agama kabupaten/kota; d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
(3).
Dalam hal persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum
terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi
pembangunan rumah ibadat.
Dari
ketentuan di atas, hal yang paling problematis adalah soal jumlah calon
pengguna tempat ibadah minimal 90 orang yang dibuktikan dengan KTP yang
disahkan pejabat sesuai dengan tingkat wilayah, dan juga dukungan 60 orang di
wilayah setempat.[xiii]
Ketentuan dukungan 60 orang merupakan pengganti dari ketentuan SKB 1/1969 yang
mempersyaratkan “Apabila dianggap perlu,
Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari
organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat”. Dukungan 60 orang itu bisa berasal dari masyarakat yang
seagama (diluar 90 orang pengguna) dan boleh juga berasal dari agama yang berbeda.
Hal penting lain yang bisa dicatat dari Perber ini adalah
pasal 16 ayat (2): Bupati/walikota memberikan
keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Pasal ini bisa menjadi semacam jaminan bahwa izin rumah
ibadah tidak berlarut-larut sebagaimana sering dikeluhkan kelompok Kristen.
Ketentuan ini juga diperkuat pasal 13 ayat (3) yang menyatakan jika ketentuan
huruf (b) pasal 13 ayat (2) tidak terpenuhi, Perber memerintahkan Pemerintah
Daerah untuk menfasilitasi lokasinya: “Pemerintah
daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah”.
Di samping itu, Perber ini juga
memfasilitasi kemungkinan adanya rumah ibadah sementara. Ketentuan izin sementara
ini untuk mengakomodasi kenyataan bahwa banyak tempat-tempat yang tidak
diperuntukkan sebagai tempat ibadah tapi kenyataannya difungsikan sebagai
tempat ibadah karena berbagai alasan. Sebagian mereka ada yang sekedar
menggunakan, tapi ada juga yang sudah izin tapi tidak pernah keluar. Tempat
ibadah seperti ini yang dikatakan sebagai tempat ibadah liar dan sering menjadi
sasaran aksi kelompok yang tidak senang.
Dalam Bab V pasal 18 disebutkan:
(1). Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah
ibadat sementara harus mendapat surat
keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan:
a) layak fungsi; dan b. pemeliharaan kerukunan umat
beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
(2).
Persyaratan layak fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a mengacu pada peraturan
perundang-undangan tentang bangunan gedung.
(3).
Persyaratan pemeliharaan kerukunan
umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a)
izin tertulis pemilik bangunan;
b) rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
c) pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
d) pelaporan
tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
Dalam pasal 19 ayat (1) dijelaskan, surat keterangan pemberian izin
sementara pemanfaatan bangunan-gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota setelah mempertimbangkan pendapat
tertulis departemen agama
kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota. (2) Surat keterangan tersebut berlaku paling lama
2 (dua) tahun. Ketentuan ini sebenarnya
cukup baik, meskipun dalam prakteknya sering diikuti dengan kepentingan dan
konflik para missionaries agama.
Ada beberapa hal yang
penting untuk dicatat soal izin sementara tempat ibadah. Pertama, ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi umat
beragama yang belum mampu mendirikan tempat ibadah permanen untuk tetap
beribadah. Kedua, proses perijinan
tidak mensyaratkan jumlah pengguna dan dukungan masyarakat setempat. Yang
penting adalah adanya kebutuhan nyata umat beragama akan rumah ibadah itu. Ketiga, ketentuan dua tahun batas
berlakunya izin sementara bukan berarti tidak dapat diperpanjang. Keempat, ketentuan ini bisa membatasi
munculnya “gereja ruko” dan meminimalisir konflik akibat kesalahpahaman soal
tempat ibadah.
Hal lain yang perlu
mendapat perhatian adalah soal gedung rumah ibadah yang telah dipergunakan
secara permanen, tetapi belum memiliki IMB rumah ibadah. Harus diakui selama
ini banyak rumah ibadah yang tidak memiliki ijin karena berbagai alasan. Alasan
yang paling sering muncul adalah karena sulitnya mendapat ijin itu. Ada tempat
ibadah yang sudah bertahun-tahun digunakan meski tanpa ijin rumah ibadah.
Ketentuan ini digunakan untuk mengatasi hal tersebut. Pasal 28 ayat (3) Perber disebutkan:
Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara
permanent dan/atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah
ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini, bupati/walikota membantu
memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud.
Secara teoritis, aturan-aturan
pendirian rumah ibadah dalam Perber memang lebih maju dari SKB No. 1/1969.
Namun, masalah pendirian rumah ibadah tidak sepenuhnya terletak pada soal
aturan. Aturan hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah rumah ibadah. Di
luar itu, masih banyak problem-problem lain, terutama menyangkut hubungan
antaragama yang masih menyimpan banyak masalah. Revisi terhadap SKB No. 1/1969
merupakan bagian sangat kecil dari gunung es masalah kehidupan beragama. SKB
tersebut bukanlah masalah utama, karena ada atau tidak adanya SKB kecurigaan
dan sikap saling tidak percaya antarpemeluk agama sudah berurat akar dalam
kehidupan umat beragama, terutama Islam-Kristen. Penutupan rumah yang menjadi
tempat ibadah di berbagai daerah beberapa waktu lalu, merupakan salah satu
ekspresi dari ketidakpercayaan tersebut. Oleh karena itu, revisi SKB menjadi
Perber tidak akan banyak gunanya jika problem yang lebih mendasar dari itu
tidak diselesaikan. Masalah mendasar yang dimaksud adalah menumbuhkan
kedewasaan dalam beragama dan menumbuhkan kepercayaan satu atas yang lain.
Pemerintah harus secara konsekuen menerapkan aturan
pendirian tempat ibadah. Hal ini penting karena selama ini muncul kecurigaan,
kalangan mayoritas bebas mendirikan tempat ibadah, sementara kalangan minoritas
cenderung dipersulit dengan berbagai alasan. Bahkan, kalangan mayoritas bisa
“mengontrol” tempat ibadah kalangan minoritas. Sikap konsekuen ini penting
untuk menghindari otoritarianisme satu agama atas agama yang lain.
D. Kolom
Agama dalam KTP
Pencantuman agama dalam Kantu Tanda Penduduk (KTP) telah menjadi bagian
dari administrasi kependudukan di Indonesia. Namun demikian, persoalan ini
belakangan dipermasalahkan banyak kalangan. Kelompok yang mempermasalahkan
menilai, pencantuman agama dalam KTP dapat
menimbulkan praktik diskriminasi dan berpotensi menimbulkan perpecahan. Kolom
agama dalam KTP bisa dijadikan sebagai senjata bagi orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, bahkan bisa membuat orang saling bunuh. Ketika terjadi
konflik sosial bernuansa agama, KTP sering dijadikan alat untuk menyapu (sweeping)
orang-orang yang dianggap sebagai musuh. Bahkan, karena kolom agama dalam KTP
juga orang bisa terdiskriminasi dalam pekerjaan.
Ini memang bukan isu baru
terutama di kalangan aktifis HAM. Menjelang pengesahan UU Adminsitrasi
Kependudukan (Adminduk) yang disahkan akhir Desember 2006 lalu, isu ini sempat
mencuat ke permukaan meski akhirnya UU Adminduk tidak menghilangkan kolom agama
dalam KTP. Meski demikian, isu ini tetap penting untuk diperbincangkan.
Ada baiknya kita memahami
argumen masing-masing kelompok. Kelompok yang pro adanya kolom agama dalam KTP
mendasarkan diri pada beberapa argumentasi: pertama,
Indonesia adalah negara berdasar pada ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga agama
mempunyai posisi yang penting di Indonesia. Kedua,
untuk keperluan adminsitrasi kependudukan agama tetap menjadi identitas yang
harus ditegaskan dalam KTP, sehingga kalau seseorang terkena musibah
(meninggal) dan tidak ada orang yang mengenalnya, dia bisa segera diketahui apa
agamanya. Hal ini terkait dengan ritual agama apa yang perlu dilakukan untuk
mengubur si mayat. Ketiga, adanya
identitas agama sebenarnya bukan hanya dalam KTP tapi hampir dalam semua
administrasi kependudukan. Karena itu, kalau kolom agama dihapus dari KTP akan
membawa dampak ikutan dari sisi administrasi kependudukan.
Sedangkan kelompok yang
ingin menghapus kolom agama mendasarkan pendapatnya sebagai berikut: pertama, kolom agama terbukti telah
mendiskriminasi warga negara Indonesia, karena kolom agama hanya mencantumkan
enam agama, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan (belakangan)
Konghucu. Padahal tidak sedikit warga negara Indonesia yang menganut di luar
agama-agama tersebut, baik itu dalam bentuk kepercayaan-kepercayaan lokal,
maupun agama seperti Sikh, Sinto, Yahudi dan sebagainya.
Kedua, diskriminasi tingkat pertama tersebut membawa
dampak ikutan, yaitu diskriminasi pelayanan publik sebagai hak sipil warga
negara, seperti soal pencatatan perkawinan, pengurusan paspor, akte kelahiran
dan sebagainya. Ketiga, sebagaimana
telah disinggung di atas, dalam suasana konflik bernuansa agama, KTP sering
dijadikan alat untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Karena itu,
penghilangan kolom agama dipandang sebagai bagian dari upaya untuk
menghilangkan dampak dari konflik agama.
Argumen dari masing-masing kelompok tersebut tentu masih
bisa diperdebatkan lebih jauh. Namun ada pertanyaan mendasar yang mungkin bisa
menjadi alat untuk melihat perlu atau
tidak perlunya kolom agama. Pertanyaan itu adalah apa manfaat kolom agama dan
apa madarat jika tidak ada kolom agama? Kolom agama seolah membawa manfaat
karena administrasi kependudukan kita masih amburadul. Orang bisa
berganti-ganti identitas dalam KTP. Budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)
yang terus menggurita bangsa ini semakin memperparah kondisi tersebut. Kalau
administrasi kependudukan Indonesia sudah bagus, dimana identitas orang bisa
diketahui melalui jaringan yang tertata rapi, kolom agama pasti tidak banyak
manfaatnya. Orang yang meninggal meski berada di wilayah yang orang tidak tahu
agamanya, melalui jaringan administrasi kependudukan yang baik, pasti akan
segera diketahui dengan mudah. Karena itu, tanpa kolom agama sebenarnya tidak
membawa madarat apapun.
Justru yang tersisa adalah masalah diskriminasi dan
pelayanan publik. KTP sebenarnya tidak boleh dijadikan sebagai sarana
diksriminasi. Demikian juga dengan pelayanan publik, semua warga negara
terlepas apapun agama dan keyakinannya, harus mendapat pelayanan yang sama.
Indonesia sudah meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi melalui UU No. 29 tahun 1999; meratifikasi kovenan
tentang hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya melalui UU No. 11 tahun 2005;
kovenan tentang hak-hak sipil dan politik melalui UU No. 12 tahun 2005. Atas
dasar itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk terus melakukan diskriminasi,
apalagi melalui KTP. Namun dalam praktiknya diskriminasi melalui KTP bukan
tidak ada di Indonesia.
Pemerintah mengharuskan warga negara yang berusia dewasa untuk membuat KTP,
yang menunjukkan identitas, di antaranya identitas agama. Pemeluk agama yang
tidak diakui pemerintah umumnya tidak dapat memperoleh KTP, kecuali bila mereka
mengaku sebagai pemeluk agama yang diakui. Selama ini, sebagian petugas Kantor
Catatan Sipil menolak permohonan dari pemeluk agama yang tidak diakui. Sejumlah
penganut kepercayaan lokal menerima KTP yang menyebutkan Islam sebagai agama
mereka. Hingga pada bulan Februari 2006 ketika pemerintah mulai menyediakan
layanan untuk pemeluk Konghucu, sejumlah penganut Konghucu menerima KTP yang
menyebutkan Budha sebagai agama mereka.
Kini Indonesia
sudah mempunyai UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang ini dibuat salah satu tujuannya adalah
untuk menghilangkan diskriminasi yang selama ini terjadi dalam administrasi
kependudukan. Hal ini tampak dalam konsideran (menimbang, huruf d) yang
menyatakan:
“Bahwa peraturan
perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang ada tidak sesuai
lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang tertib dan tidak
diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi
pegangan bags semua penyelenggara negara yang berhubungan dengan kependudukan.”
Tujuan tersebut
sebenarnya sejalan dengan pasal 28 Ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif. Karena itu, salah satu isu yang sempat mencuat dan
menjadi perbincangan publik adalah persoalan penghapusan kolom agama dalam KTP
yang dianggap diskriminatif. Depdagri sebagai
pengusul turut menggodok kemungkinan penghapusan pencantuman agama pada KTP.[xiv] Salah satu alasan penghapusan itu adalah
untuk melindungi warga negara Indonesia yang berada di daerah konflik terutama
konflik agama. Pro-kontra pun muncul di masyarakat. Namun, usulan penghapusan
kolom agama akhirnya gagal diwujudkan. Salah satu alasannya adalah bila seorang
yang tidak dikenal meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dan kebetulan tidak
jelas status keagamaannya dalam KTP padahal yang bersangkutan beragama Islam
maka dia akan kehilangan haknya untuk disembahyangkan secara Islam.
UU No. 23 Tahun 2006 akhirnya memang tidak menghapus kolom agama dalam KTP.
Hal ini yang menimbulkan penilaian sebagian kalangan bahwa UU Adminduk masih
melestarikan diskriminasi. Keharusan mencantumkan agama dalam KTP terlihat
dalam pasal 64 ayat [1], yang berbunyi:
“KTP mencantumkan gambar lambang Garuda
Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat
keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan,
agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan,
pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan
pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang
menandatanganinya.”
UU Adminduk
juga masih menggunakan istilah “agama diakui” dan “agama tidak diakui”. Tentu
saja hal demikian menjadi ladang diskriminasi yang direstui negara. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 64 ayat [2]:
“Keterangan
tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya
belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat
dalam data kependudukan.[xv]”
Apa yang dimaksud dengan
“agama yang belum diakui” dalam pasal tersebut? Hal ini harus dikaitkan dengan
Penetapan Presiden No. I tahun 1965, yang berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun
1969 telah ditetapkan memiliki kekuatan hukum sebagai undang-undang (UU No.
1/PNPS/1965), disebutkan bahwa di Indonesia terdapat enam agama, yakni Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.[xvi] Penyebutan
keenam agama itu sebenarnya tidak dipahami sebagai sesuatu yang bersifat
pembatasan yang implikasinya bahwa pemerintah tidak mengakui agama-agama lain
di luar enam agama itu. Penjelasan Penetapan Presiden itu menyatakan ”Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain
seperti Yahudi, Zararustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia, mereka
mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Ayat 2 dan mereka
dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
peraturan ini atau peraturan perundangan lain”. Sayang sekali pemikiran
bahwa pemerintah seolah-olah hanya mengakui 6 agama, yaitu: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Budha masih tetap muncul hingga di era reformasi sekarang
ini. Penganut agama di luar yang enam itu sulit untuk mendapat KTP, akte
kelahiran, kartu keluarga, melanjutkan sekolah, bekerja dan sebagainya.
Diskriminasi yang disponsori negara seperti ini yang seharusnya dihentikan
untuk menunjukkan bahwa Indonesia sudah menjauhkan diri dari kebijakan
diskriminatif.
E.
Hak Mendirikan Organisasi Keagamaan
Dalam UUD
1945 pasal 28e [3] disebutkan: “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Pasal
ini secara eksplisit menegaskan bahwa berkumpul, berserikat dan membentuk
berbagai asosiasi-organisasi merupakan hak warga negara. Tugas negara dalam
kaitan ini adalah menjamin dan melindungi warga Negara dari berbagai
kemungkinan yang dapat mengancam haknya untuk berserikat dan berkumpul. Pasal
tersebut masuk dalam Bab XA tentang HAM. Karena itu, jelas bahwa berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak dasar kemanusiaan.
Ketentuan tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.[xvii] Dalam pasal
1 dijelaskan, yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan adalah organisasi
yang dibentuk oleh anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka
mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
Dalam penjelasan Pasal 1 disebutkan, salah satu ciri penting dalam
organisasi kemasyarakatan adalah kesukarelaan dalam pembentukan dan
keanggotaannya. Anggota masyarakat bebas untuk membentuk, memilih, dan
bergabung dalam organisasi kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi,
agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi kemasyarakatan
dapat mempunyai satu atau lebih dari satu sifat kekhususan sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini, yaitu kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Organisasi atau perhimpunan yang dibentuk secara sukarela oleh anggota
masyarakat yang keanggotaannya terdiri dari WNI dan warga negara asing,
termasuk dalam pengertian organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal ini. Organisasi atau perhimpunan yang dibentuk oleh Pemerintah seperti
Pramuka, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), dan lain sebagainya, serta
organisasi atau perhimpunan yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara
Republik Indonesia yang bergerak dalam bidang perekonomian seperti Koperasi,
Perseroan Terbatas, dan lain sebagainya, tidak termasuk dalam pengertian
organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini.
Hal penting yang perlu disebut dalam UU
No. 8 Tahun 1985 adalah soal asas dan tujuan. Dalam pasal 2 ayat disebutkan:
1)
Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
2)
Asas sebagainana dimaksud dalam ayat (1) adalah asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam pasal
4 juga disebutkan, organisasi kemasyarakatan wajib mencantumkan asas
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 tersebut.
Hal lain yang perlu dikutip dalam
bagian ini adalah ancaman pembekuan dan pembubaran. Hal ini dijelaskan dalam
pasal 13:
Pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat organisasi
kemasyarakatan apabila organisasi kemasyarakatan:
a.
Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum;
b.
Menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah;
c.
Memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan
Negara.
Pasal 16
menjelaskan:
Pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan yang menganut,
mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya.
Perumusan pasal-pasal tersebut memang lebih banyak digunakan untuk
kepentingan pemerintah Orde baru. Karena itu, pada masa pemerintah Orde baru
diberlakukan secara ketat. Semua organisasi kemasyarakatan dipaksa mencantumkan
Pancasila sebagai asas-nya, sehingga pada masa itu tidak ada organisasi
kemasyarakatan yang tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas.
Kebijakan politik Orde baru tersebut
mendapat reaksi beragam. Namun, hal yang jelas, kebijakan ini menimbulkan
perdebatan serius di kalangan umat Islam. Bahkan, sebagian umat Islam mengalami
konflik yang rumit dan menghabiskan energi dalam memperdebatkan masalah asas
Pancasila ini. Perdebatan tersebut terjadi sejak pertengahan 1982 sampa 1985,
disertai dengan konflik internal dan konflik dengan pemerintah. Koflik ini
harus dibayar mahal dengan pecahnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjadi HMI
Diponegoro dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), sedangkan PII (Pelajar
Islam Indonesia) bergerak di bawah tanah, karena menolak kebijakan tersebut.[xviii]
Pada mulanya sebagian besar
organisasi keagamaan (Islam) menentang kebijakan ini. Namun melalui berbagai
negosiasi banyak ormas Islam yang akhirnya menerima kebijakan ini. NU melalui
Munas (Musyawarah Nasional) di Situbondo 1983 dan Muktamar 1984 menyatakan
penerimaan Pancasila sebagai asas kehidupan sosial dan politik. Demikian juga
dengan Muhammadiyah melalui Muktamar ke 41 di Surakarta 1985 mengambil langkah
serupa. Tahun 1988 sebagai batas waktu penyesuaian seluruh organisasi sosial
dan politik untuk mengikuti UU No. 8 Tahun 1985.
Namun, hal ini berubah seiring dengan munculnya era reformasi pada 1998.
Semua lapisan masyarakat diberi kebebasan luar biasa untuk berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Jika pada masa orde baru keharusan
menggunakan asas Pancasila dalam organisasi diberlakukan secara ketat, pada
masa reformasi hal itu tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, muncul
organisasi-organisasi sosial keagamaan yang tidak lagi menggunakan Pancasila,
tapi Islam sebagai asasnya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang pada
zaman orde baru hidup di bawah tanah karena tidak mau menggunakan Pancasila
sebagai asasnya, sejak masa reformasi mereka berani muncul kembali. Bahkan,
partai politik yang menggunakan Islam sebagai asas juga muncul di mana-mana.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pada masa orde baru berasas Pancasila,
kini kembali berasas Islam pada masa reformasi.
Beberapa organisasi keagamaan yang
muncul pada masa reformasi dan menggunakan Islam sebagai asasnya seperti Front
Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah (FKASWJ), Ikhwanul
Muslimin, Laskar Jihad, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), dan sejumlah organisasi keagamaan yang bersifat kedaerahan.
Harus dikatakan, dalam hal berserikat
dan berkumpul, Indonesia mengalami kemajuan yang luar biasa, meskipun riak-riak
kecil tetap saja terjadi. Sekarang ini tidak
ada lagi halangan bagi setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul
dengan menggunakan berbagai aliran ideologinya. Dalam konteks ini, Indonesia
bisa dikatakan telah berada dalam jalur yang benar dalam penegakan HAM.
Meski demikian, hal itu bukan tidak menyisakan masalah. Setidaknya ada dua hal
penting yang perlu mendapat perhatian. Pertama,
dari sisi praktik berserikat dan berkumpul Indonesia mengalami kemajuan luar
biasa. Setiap orang, atas nama demokrasi dan kebebasan, tanpa hambatan berarti
bisa membentuk organisasi. Bahkan, atas nama demokrasi, sejumlah organisasi
yang bisa menjadi ancaman terhadap demokrasi itu sendiri diberi hak untuk
hidup.
Kedua, meskipun dari sisi konstitusi jaminan berserikat dan
berkumpul cukup kuat, namun UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan masih menyimpan banyak problem. Dalam praktiknya, UU ini juga
sudah mulai ditinggalkan meski belum pernah direvisi. Oleh karena itu, upaya
merevisi UU tersebut agar lebih sesuai dengan alam demokrasi merupakan
keharusan yang tidak bisa ditunda.
Keitga, kedewasaan masyarakat untuk menerima berbagai aliran
keagamaan dan ideologi yang tumbuh masih menjadi masalah. Aksi sepihak kelompok
tertentu yang tidak menyetujui hidupnya kelompok lain dan kelompok-kelompok
lain yang dianggap “sesat” merupakan contoh nyata. Kalau tidak diantisipasi,
bukan tidak mungkin hal seperti ini akan menjadi ancaman serius bagi hak
kebebasan berserikat dan berkumpul.
[i]Pasal
28e merupakan hasil dari amandemen UUD 1945 tahap ke 2 yang ditetapkan pada 18
Agustus 2000.
[ii]Diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Lihat pasal 1 UU No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Indonesia.
[iii]Di samping negative
rights untuk hak-hak sipil dan politik, ada juga istilah positive rights yang biasa digunakan
untuk Kovenan Internasional Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) yang diratifikasi pemerintah
Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005. Bila dalam hak-hak sipol menuntut peran
negatif negara, dalam ekosob justru menuntut peran maksimal negara. Negara
justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan
secara aktif atau menunjukkan peran yang minus.
[iv]Ifdhal Kasim, “Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik: sebuah
Pengantar”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005 yang
diselnggarakan Elsam Jakarta.
[v]Lihat konsideran UU No.
1/PNPS/1965
[vi]Lihat
Mujiburrahman, Feeling Threatened Muslim-Christian Relations in
Indonesia’s New Order, (Leiden/Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2006), h. 57-58.
[vii]Lihat
Gomar Gultom (ed), Seputar Izin Rumah
Ibadah, Dari SKB ke Perber Dua Menteri, (Jakarta: PGI, 2006), h. 12.
[viii]Memorandum
ini penulis dapatkan dari buku Gomar Gultom (ed), Seputar Izin Mendirikan Rumah Ibadah, h. 26-29.
[ix]Kajian mendalam mengenai persaingan dan kompetisi
Islam-Kristen dilakukan oleh Mujiburrahman, Feeling
Threatened, terutama Bab I dan
II yang menelusuri asal usul konflik Islam-Kristen di Indonesia.
[x]Dikutip
dari Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Kehidupan Beragama Seri. E,
(Jakarta: Sekjen Depag RI, 1998), h. 7. selanjutnya disebut Himpunan
Peraturan.
[xiii]Jumlah
ini merupakan hasil kompromi. Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang dianggap
mewakili umat Islam pada awalnya menawar 100 keluarga dan kelompok Kristen (cq.
PGI) menawar 60 calon pengguna tempat ibadah. Akhirnya “disepakati” angka 90
orang.
[xiv]Wacana menghapus pencantuman agama dalam KTP sebelumnya sudah muncul.
Semasa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Direktorat
Jenderal Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pernah
mengumpulkan dinas-dinas kependudukan se-Indonesia untuk membahas soal itu.
Namun usulan ini terhenti karena respon masyarakat cukup keras.
[xv]Ketentuan tentang kolom agama dan agama diakui-tidak
diakui juga ada dalam pasal 61 ayat [1 dan 2] yang membicarakan tentang Kartu
Keluarga (KK). Ayat [1] disebutkan: “KK memuat keterangan mengenai kolom nomor
KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin,
alamat, tempat lahir, tanggal Iahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi,
nama orang tua.” Sedangkan ayat [2]: “Keterangan rnengenal kolom agama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai
agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
Kependudukan.”
[xvi]Enam
agama tersebut pada masa Orde baru pernah dipangkas menjadi lima, dengan mengeluarkan
Konghucu dari kelompok agama di Indonesia. Hal ini sebagaimana tertuang dalam
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/ 4683/95 tanggal 18
November 1978 antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah
yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Keputusan
politik ini yang sesungguhnya batal demi hukum, karena sangat bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia,
disamping itu bertentangan dengan UUD pasal 29 ayat 2 yang memberikan kebebasan
beragama dan beribadat. Surat
Edaran tersebut telah dicabut oleh Keppres No. 6 Tahun 2000 yang memberi
peluang bagi agama-agama “minoritas” untuk tampil sejajar dengan lainnya.
[xvii]Undang-undang
ini memang disusun pada masa Orde baru, sehingga nuansa Orba-nya terasa sekali.
Memang banyak kalangan yang menginginkan agar UU ini direvisi, tapi hingga
sekarang hal tersebut belum terjadi.
[xviii]Lihat
M Rusli Karin, Negara dan Peminggiran
Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 184. Lihat pula Faisal Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1999).