Pendahuluan
Kaidah-kaidah pembentukan hukum islam, diambil
berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara’, Illatnya, dan hikmah
(filsafat) pembentukannya.[1]
Tujuan Syari’ dalam pembentukan hukumnya, yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia
dengan menjamin kebutuhan primérnya (dharuriyah), memenuhi kebutuhan
sekundérnya (hajiyah) serta kebutuhan térsiér (tahsiniyah)
Pengertian Maslahat secara bahasa adalah sesuatu yg
mendatangkan kebaikan[2];
atau perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia[3].
Secara umum bermakna segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam
arti menarik atau menghasilkan keuntungan dan kesenangan; atau dalam arti
menolak kerusakan. Dapat disimpulkan bahwa pengertian maslahat dalam pengertian
Bahasa (umum) merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya
mengandung pengertian untuk memenuhi hawa nafsu. Sedangkan pada maslahat dalam
pengertian syariat yang menjadi rujukan adalah tujuan syariat, tanpa melepaskan
kebutuhan manusia, yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindarkan
ketidaksenangan.
Keistimewaan Maslahah syariah dibandingkan dengan
maslahah dalam artian umum:
- Yang menjadi sandaran dari maslahat itu selalu
petunjuk syara’, bukan semata berdasarkan akal manusia.
- Maslahat tidak terbatas pada rasa enak dan tidak
enak dalam artian fisik jasmani saja, melainkan juga enak dan tidak enak
dalam artian mental-spiritual atau secara ruhaniyah.
Semua ulama’ sependapat tentang adanya kemaslahatan
dalam hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang
“apakah maslahat itu mendorong Allah untuk menetapkan hukum, atau karena ada
sebab lain ?[4]”
Namun demikian, perbedaan tersebut tidak memberi pengaruh apapun secara praktis
dalam hukum.
- Ulama yang berpendapat bahwa Allah menetapkan
hukum bukan karena terdorong untuk mendatangkan kemaslahatan, tetapi
semata-mata karena iradat dan kodrat-Nya. Tidak sesuatupun yang mendesak,
mendorong atau memaksa Allah menetapkan hukum. Ia berbuat menurut
kehendak-Nya
- Ulama lainnya berpendapat bahwa tujuan Allah
menetapkan hukum atas hamba-Nya adalah untuk mendatangkan kemaslahatan
kepada hamba-Nya. Karena kasih sayang-Nya, maka Ia menginginkan hamba-Nya
selalu berada dalam kemaslahatan. Untuk itulah Ia menetapkan hukum.
Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum, maslahat ada 3 macam, yaitu dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah.[5]
Hal yang bersifat dharuriyah yaitu sesuatu yang menjadi pokok
kebutuhan manusia, dan wajib adanya untuk menegakkan kemaslahatan bagi manusia
itu. Apabila tanpa adanya sesuatu itu, maka akan terganggu keharmonisan
kehidupan manusia serta terjadilah kerusakan bagi mereka. Hal-hal yang bersifat
dharuri bagi manusia dalam pengertian ini berpangkal kepada lima
perkara: Agama, Jiwa, Akal, Kehormatan, dan Harta.
Sedangkan hal yang bersifat hajiyah adalah
sesuatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan.
Apabila hal itu tidak terpenuhi, tidak berarti dapat merusak keharmonisan
kehidupan manusia hanya saja manusia akan menerima kepayahan dan kesulitan. Hal
ini berpangkal pada tujuan menghilangkan kepayahan dan mengurangi kesulitan.
Dan tahsiniyah adalah sesuatu yang dituntut
oleh norma dan tatanan hidup, serta berprilaku menurut jalan yang lurus. Hal
ini berpangkal pada akhlak mulia, tradisi yang baik, serta segala tujuan perikehidupan
manusia menurut jalan yang paling baik[6]
Untuk berupaya mencari dan mendapatkan harta, islam
mewajibkan usaha mencari rizki dan memperbolehkan muamalah, tijarah, mudharabah
dan beberapa rukhsah dalam akad yang tidak tertutup untuk dikembangkan
sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya; untuk memelihara dan menjaga
harta islam mengharamkan penipuan, boros, kikir, khianat, dan memakan harta
manusia secara batil (aniaya), serta mengharamkan riba, dengan demikian
jelaslah bahwa islam mensyariatkan hukum dalam bidang muamalah dengan tujuan
menjamin keperluan dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah manusia
dengan cara mewujudkan, memelihara, dan menjaganya.[7]
Pembahasan
Pengertian Muamalah
Kata Muamalah berasal dari Bahasa arab yang secara
etimologi semakna dengan kata mufa’alah
(saling berbuat). Kata ini menggambarkan aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan mereka.[8]
Obyek muamalah dalam islam mempunyai bidang amat luas,
sehingga al-quran dan as-sunnah secara mayoritas membicarakan persoalan
muamalah dalam bentuk global, dengan mengemukakan berbagai prinsip dan norma
yang menjamin prinsip keadilan dalam bermuamalah antara sesama manusia.
Perkembangan jenis dan bentuk mualamah yang
dilaksanakan oleh manusia sejak dahulu sampai sekarang sejalan dengan
perkembangan kebutuhan dan pengetahuan manusia itu sendiri. Atas dasar itu, di
jumpai dalam berbagai suku bangsa jenis dan bentuk muamalah yang beragam, yang
esensinya adalah saling melakukan interaksi sosial dalam upaya memenuhi
kebutuhan masing-masing. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-isra’ ayat 87:
قُلْ
كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang
bagi manusia untuk melakukan inovasi terhadap berbagai bentuk muamalah yang
mereka butuhkan dalam kehidupan mereka, dengan syarat bahwa bentuk muamalah
hasil inovasi ini tidak keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh
islam.
Hikmah Jual Beli:
Jual beli dalam syariat maksudnya dalah pertukaran
harta dengan harta dengan dilandasi saling rela atau pemindahan kepemilikan
dengan penukaran dalam bentuk yang dizinkan[10].
Dasar disyariatkannya jual beli adalah Qur’an (albaqarah: 2:275) , Sunnah, dan
Ijma’ kaum muslimin.
وَأَحَلَ
الله البَيْعَ وَحَرَمَ الرباوا
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba
Allah mensyariatkan jual beli untuk memberikan
kelapangan kepada hamba-hamba-Nya. Sebab, setiap orang dari suatu bangsa
memiliki banyak kebutuhan berupa makanan, pakaian, dan lainnya yang tidak dapat
diabaikan selama dia masih hidup. Dia tidak dapat memenuhi sendiri semua
kebutuhan itu, sehingga dia perlu mengambilnya dari orang lain. Dan, tidak ada cara
yang lebih sempurna untuk mendapatkannya selain dengan pertukaran. Dia
memberikan apa yang dimilikinya dan tidak dibutuhkannya sebagai ganti atas apa
yang diambilnya dari orang lain yang dibutuhkan.
Pada prinsipnya, perdagangan akan menguntungkan semua
pihak (trade can make everyone better off[11]).
Meskipun kita akan bersaing dalam berbelanja, karena masing-masing ingin
membeli barang dengan kualitas bagus dan harga murah, ini tidak berarti kita
akan hidup lebih baik dengan cara mengisolasi diri dari orang lain. Apabila
pengisolasian dilakukan maka kita harus menanam pangan sendiri, membuat pakaian
sendiri, membangun rumah sendiri. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa kita
memperoleh keuntungan melalui perdagangan dengan orang lain.
Hikmah disyariatkannya ijarah (penyewaan)
Yang dimaksud dengan ijarah adalah akad untuk mendapatkan
manfaat sebagai imbalan. Penyewaan disyariatkan berdasarkan al-Quran
(az-Zukhruf[43]:32), Sunnah, dan ijma, ulama. Akad ini disyariatkan mengingat
kebutuhan manusia terhadapnya. Mereka membutuhkan rumah untuk ditinggali,
membutuhkan binatang untuk ditunggangi, dan membutuhkan alat untuk digunakan
memenuhi kebutuhan hidup mereka.[12]
Hikmah mudarabah/qiradh
Mudarabah disebut juga qiradh artinya akad
antear dua pihak yang mengharuskan salah satu dari keduanya untuk menyerahkan
sejumlah uang kepada yang lain untuk diperdagangkan, dengan ketentuan
keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan keduanya. Hukum mudarabah adalah
boleh berdasarkan ijma. Islam membolehkan mudarabah demi memberikan kemudahan
kepada manusia. Terkadang sebagian dari mereka memiliki harta, namun tidak
mampu mengembangkannya dan sebagian yang lain memiliki kemampuan untuk
mengembangkan harta, tetapi tidak memiliki harta. Karena syariat membolehkan
muamalah ini agar masing-masing dari keduanya bisa mendapatkan manfaat. Pemilik
harta mengambil manfaat dari keahlian orang yang mengembangkan modal, dan dia
dapat mengambil manfaat dari harta yang dikembangkannya. Dengan demikian
terwujud kerja sama antara harta dan keahlian. Allah tidak mensyariatkan suatu
akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menjauhkan bencana[13]
Hikmah diharamkan Riba
Semua agama samawi menyatakan haram terhadap riba,
sebab ia banyak mengandung bahaya yang sangat banyak. Diantaranya:
1.
Riba dapat menimbulkan permusuhan
dan menghancurkan ruh saling tolong-menolong diantara sesama. Sementara semua
agama, terutama islam, menganjurkan agar saling tolong-menolong dan
mendahulukan orang lain. Disamping itu, islam sangat membenci sifat egoism dan
eksploitasi jerih payah orang lain.
2.
Riba dapat mengakibatkan timbulnya
kelas tersendiri bagi orang-orang kaya yang enggan bekerja. Riba juga
mengakibatkan perputaran harta hanya pada mereka tanpa ada usaha yang mereka
kerjakan, sehingga mereka menjadi bak tumbuhan parasit yang tumbuh dilahan
orang lain.
Mengapa ada bunga
dalam perekonomian ?
Homer dan Sylla
menjelaskan bahwa bunga uang telah dikenal jauh sebelum Masehi, yaitu sejak
zaman Sumeria dan Babylonia purba tahun 3000 SM. Jadi umur konsep bunga telah
teramat tua, setua itu pula larangan mengenakan bunga, paling tidak larangan bunga
dapat ditemukan di kitab Taurat,Injil, dan Al-Quran.
Dalam sejarah
ekonomi eropa, dibedakan antara usury dan interest. Usury
didefinisikan sebagai kegiatan meminjamkan uang “the activity of lending someone money with the agreement
that they will pay back a very much larger amount of money later”[14] kata usury berasal dari kata benda dalam Bahasa latin
‘usura’ yang berarti “menggunakan sesuatu”. Dalam hal ini, yang dimaksud
dengan adalah menggunakan modal yang dipinjam, jadi Usury adalah harga
yang harus dibayar untuk menggunakan uang[15]
Sedangkan kata interest
berasal dari kata kerja dalam Bahasa latin ‘Intereo’ yang berarti
“to be lost”. Jadi pada awalnya interest tidak mempunyai konotasi
keuntungan, bahkan sebaliknya ia mempunyai konotasi kerugian[16].
Tepatnya kompensasi untuk mengganti kerugian. Istilah interest dalam
konteks mengganti kerugian ini menjadi istilah standar pada sekitar tahun 1220.
Sejak itulah interst berarti “compensation or penalty for delayed
repayment of a loan”[17]
Dalam perkembangan
selanjutnya, Interest bukan saja diartikan ganti rugi atas kerugian
nyata (real loss) seperti keterlambatan pembayaran hutang, namun Interest
juga diartikan sebagai ganti rugi atas kerugian akibat hilangnya kesempatan (opportunity
loss)[18].
Meminjam uang, dianggap suatu kegiatan yang menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkan manfaat dari modal yang dipinjam.
Konsep uang dalam
ekonomi islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam
ekonomi islam uang tidak identic dengan modal[19].
Dengan kata lain, jika dan hanya jika uang diinvestasikan dalam proses
produksi, maka kita baru akan mendapatkan lebih banyak uang. Sedangkan karena
dalam konsep konvensional apakah uang itu diinvestasikan dalam proses produksi
atau tidak mereka tetap harus mendapat lebih banyak uang. Disinilah letak
keanehan teori bunga (interest theory) yang dikemukakan oleh para ekonom
konvensional[20]
Uang dalam Prespektif
Islam
Dalam khazanah
hukum islam, terdapat beberapa istilah untuk menyebut uang; antara lain: Nuqud[21],
atsman[22],
fulus[23],
sikkah[24],
dan umlah[25].
Akan tetapi ulama fikih pada umumnya lebih banyak menggunakan istilah nuqud
dan tsaman dari pada istilah lainnya.
Dalam merumuskan
pengertian nuqud, sebagian ulama mengartikannya dengan “semua hal yang
digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi” ulama’ lain mendefinisikan
dengan “segala seusatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan
pengukuran nilai”.
Ahmad Hasan
menjelaskan bahwa kata nuqud tidak terdapat dalam al-Quran maupun
hadits, karena bangsa arab umumnya tidak menggunakan nuqud untuk
menunjukan harga. Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang
yang terbuat dari emas, kata dirham
untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan
kata wariq untuk menunjukkan dirham perak, kata ‘Ain untuk menunjukkan dinar
emas. Sedangan fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan
untuk membeli barang-barang yang murah.
Menurut
penulis, dilihat dari segi fungsinya dalam pandangan islam maupun konvensional
tidak ada perbedaan, hal ini dapat kita bandingkan dari Definisi uang menurut
Al-Ghazali dan Ibn khaldun yaitu apa yang digunakan manusia sebagai standart
ukuran nilai harga, media transksi pertukaran, dan media simpanan; dengan
pendapat gregory mankiw yang berpendapat “Money has three purposes: it is a
unit of account, a medium of exchange, and a store of value”[26]
Sebagai
penyimpan nilai (store of value) uang adalah cara mengubah daya beli
dari masa kini kemasa depan. Jika kita bekerja hari ini dan mendapatkan $100,
kita bisa menyimpan uang itu dan membelanjakannya besok, minggu depan, atau
bulan depan[27]
Sebagai
Unit Hitung (unit of account), uang memberkan ukuran dimana harga ditetapkan.
Seorang penjual mobil memberi tahu anda bahwa harga sebuah mobil adalah $20.000
bukan 400 kemeja (meskipun nilainya sama). Uang adalah ukuran yang kita gunakan
untuk mengukur transaksi ekonomi.[28]
Ibnu
Rusd menyatakan bahwa, ketika seseorang sudah menemukan nilai persamaan antara
barang yang berbeda, jadikan dinar dan dirham untuk mengukurnya[29]
Sebagai
media pertukaran (medium of exchange), uang adalah apa yang kita gunakan
untuk membeli barang dan jasa, uang adalah alat tukar yang sah. Ketika kita
masuk ke toko, kita yakin bahwa penjaga toko akan menerima uang kita untuk ditukar
dengan barang-barang yang mereka jual[30]
Dari
ketiga fungsi tersebut, jelaslah bahwa yang terpenting adalah stabilitas uang,
bukan bentuk uang itu sendiri, uang dinar yang terbuat dari emas dan
diterbitkan oleh raja Danarius dari kerajaan Romawi memenuhi kriteria uang yang
nilainya stabil, begitu pula dirham yang terbuat dari perak dan diterbitkan
oleh Ratu dari kerajaan Sasanid Persia juga memenuhi kriteria uang yang stabil,
meskipun dinar dan dirham diterbitkan oleh bukan Negara islam, keduanya dipergunakan
di zaman Rasulullah.
Dasar
Penggunaan Dinar dan Dirham menurut Hukum Islam
Sebagian
ulama’ memandang emas dan perak sebgai harga secara khilqah, maksudnya
bahwa keduanya diciptakan Allah untuk dijadikan sebagai harga atau nilai:
- Imam
Al-Ghazali menyebutkan “Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim
(pemutus) dan mutawasith (penengah) terhadap harta-harta yang lain untuk
mengukur nilai atau harganya”[31]
- Ibnu
Khaldun mengatakan, “Allah menciptakan dua logam emas dan perak sebagai
nilai (qimah) bagi semua harta”[32]
Terhadap
pendapat tersebut, Hayil Abd al-Hafidz Yusuf memberikan catatan bahwa
penggunaan emas dan perak sebagai atsman(nilai,harga) oleh masyarakat
sebenarnya didasarkan pada budaya dan tradisi (Urf), bukan didasarkan
pada ketentuan syariah islam. Islam yang datang kemudian mengakui apa yang
sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat dalam melakukan transaksi pertukaran,
mulai dari barter sampai dengan penggunaan emas dan perak sebagai uang. Dari
sini diketahui pula, nabi tidak hanya mengakui pertukaran emas dan perak
sebagai alat dalam transaksi pertukaran, tetapi barter systempun tetap
diakuinya dan tidak dilarang.
Secara
garis besar pendapat ulama fikih mengenai penggunaan mata uang bukan emas dan
perak dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama mereka yang menyatakan bahwa
“uang adalah masalah syariah yang pengaturannya tidak diserahkan oleh Allah
kepada kehendak manusia. Allah telah memberikan batasan dan ketentuan serta
menetapkan emas dan perak sebagai atsman dan nuqud yang wajib
digunakan, serta tidak memberlakukan hukum nuqud pada selain emas dan
perak. Ulama yang berpendapat demikian adalah abu hanifah, abu yusuf, dan
sebagian ulama madzhab hanafi[33]
Argumentasi
yang mereka ungkapkan adalah
- Semua
ketentuan hukum islam mengenai emas dan perak[34]
dikaitkan dengan fungsinya sebagai mata uang dan nilai barang. Ini
merupakan pengakuan bahwa emas dan perak adalah unit pengukur yang berupa
uang dan menunjukkan pula bahwa uang dalam Islam adalah emas dan perak.
- Ketika
islam datang, bangsa arab melakukan semua kegiatan ekonomi dan transaksi
dengan emas dan perak; dan Rasulullah mengakuinya. Sabdanya: “timbangan
adalah timbangan penduduk Makkah” umat islampun dalam kegiatan muamalahnya
menggunakan emas dan perak; dengan demikian pengakuan dan tindakan
rasulullah menunjukkan bahwa emas dan perak adalah uang Negara islam
- Nuqud (mata uang)
adalah alat ukur dalam melakukan pertukaran; dan Allah tidak menyerahkan
alat ukur tersebut pada pendapat manusia, tetapi ia telah menentukannya
dengan uang tertentu, yaitu emas dan perak. Ketentuan ini di tetapkan oleh
Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’
- Keharaman
memakai emas dan perak (sebagai perhiasan untuk lelaki) bukan karena illat
hukum tertentu, melainkan karena ia adalah uang.
Pendapat
kedua menyatakan bahwa nuqud dan atsman adalah persoalan tradisi
dan praktek yang digunakan oleh masyarakt dan tidak terbatas hanya pada materi
atau bahan tertentu. Umar bin Khattab memahami betul masalah tersebut. Oleh
karena itu beliau pernah akan membuat uang dari kulit unta, namun niat itu
tidak sempat dilaksanakan karena ada masukan dari sebagian orang bahwa jika
rencana itu diteruskan, unta akan habis dan akibatnya pembuatan uang bisa
terhenti.
Diantara
ulama’ yang mendukunng pendapat kedua ini adalah Muhammad bin al-Hasan dari kalangan
madzhab Hanafi, Ulama’ maliki, Ulama’ Madzhab Syafi’I, Ibn Taimiyah, al-Laits
bin Sa’d, Yahya bin ‘sa’id, Rabi’ah, Zuhri, dan sebagian ulama kontemporer[35]
dan majma’ al-Fiqh al-Islami[36]
Argumen
kelompok kedua ini antara lain:
- Kaidah
Fikih (الأصل في الأشياء الإباحة)
hukum asal tentang sesuatu adalah boleh[37].
Kaidah ini merupakan kaidah dibidang muamalah yang disimpulkan dari
sejumlah ayat dan hadis. Berdasarkan kaidah ini dapat ditegaskan bahwa
sesuatu hal yang telah dijelaskan kebolehannya dalam Al-Quran dan hadits
tidak dimaksudkan untuk membatasi, kecuali ada dalil yang menunjukkan
demikian; juga tidak berarti dilarang menciptakan hal yang baru. Dalam
konteks mata uang, ternyata tidak ada dalil yang melarang penggunaan uang
selain emas dan perak, maka penggunaan selain keduanya hukumnya adalah
boleh. Ibn Taimiyyah menyatakan, berdasarkan penelitian terhadap
dasar-dasar syariah dapat disimpulkan bahwa masalah ibadah hanya dapat
dilakukan berdasarkan penetapan syariat, sedangkan mengenai adat (tradisi,
mu’amalah, non-ibadah) hukum asalnya adalah tidak dilarang.
- Masalah
uang merupakan kelompok muamalah dan dalam hal ini kebiasaan yang berlaku
dan diterima oleh masyarakat memegang peranan penting. Kaidah fikih
menyatakan “al-‘العادة محكمة” (adat kebiasaan
menjadi acuan hukum). Kebiasaaan dan penerimaan tersebut dipandang sebagai
hukum syariah sepajang tidak ada dalil yang melarangnya,berlaku konstan
dan menyeluruh, serta tidak terdapat ucapan atau pekerjaan yang
bertentangan dengan nilai-nilai substansial adat[38]
- Masalah
uang merupakan maslahah mursalah, yakni suatu kemaslahatan yang tidak ada
dalil khusus yang melarang atau memerintahkan mewujudkannya. Persoalan
seperti ini oleh islam diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad manusia sesuai
kebutuhan dan perkembangan mereka.
- Dalam
hukum islam terdapat kaidah “hukum asal dalam persoalan ibadah adalah ta’abbud;
sedangkan hukum asal dalam adat [kebiasaan, non-ibadah] adalah
memperhatikan pada makna, semangat, dan tujuan”
- Pendapat
bahwa mata uang hanya terbatas pada emas dan perak dapat menimbulkan
kesempitan dan kesulitan, terutama pada masa dimana mata uang emas dan
perak tidak lagi beredar. Jika harus hanya dengan mata uang emas dan
perak, pasti ekonomi dan pertukaran serta pelaksanaan zakat tidak dapat lagi
dilaksanakan. Disamping itu, pendapat tersebut bertentangan dengan prinsip
“menghilangkan kesempitan dan kesulitan dan memberikan kemudahan kepada
umat mausia”, dan seorang mujtahid tidak boleh menyatakan pendapat hukum
tentang suatu masalah kecuali setelah ia memperhatikan akibat yang
ditimbulkan oleh hukum itu, maslahat atau mafsadat.
- Khalifah
umar pernah berniat untuk membuat mata uang dari kulit unta, seandainya
uang merupakan persoalan syariat, tentu umar tidak akan berpikir untuk
melakukan hal itu. Para sahabat yang diajak bermusyawarahpun tidak pernah
menghalangi umar atau memberikan pendapat bahwa pembuatan uang dari selain
emas dan perak tidak dibenarkan dalam syariat. Yang mereka kemukakan
adalah rasa khawatir akan kehabisan unta akibat kulitnya dijadikan uang.
Daftar Pustaka
- Khallaf, abdul Wahhab (2002)
Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada
- Kamus Besar Bahasa Indonesia
- Syarifuddin,Amir (2011). Ushul
Fiqh.Jakarta:kencana
- Sabiq,Sayyid (2012) Fikih Sunnah.
Jakarta: Cakrawala Publishing
- Mankiw ,N. Gregory (2009)
Principle of Economics. Harvard : Worth Publishers
- Mankiw,N.Gregory
(2009),Macroeconomics.Harvard :Worth Publishers
- Cambridge Advanced Learner's
Dictionary - 3rd Edition
- Sidney Homer dan Richard Sylla
(1998), A History of Interest Rates. London: Rutgers University Press
- Al-Ghazali, Ihya ulum al-din
- Ibn Khaldun, Muqaddimah
- Abdul Haq (2006), Formulasi Nalar
Fikih: telaah kaidah fikih konseptual. Surabaya: Khalista.
- Syaikh Nizham (1980), al-fatawa
al-hindiyah: Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arabi.
- الأشباه
والنظائر لابن نجيم: 97/ 1
- Haroen,Nasrun(2007),Fiqh
Muamalah.Jakarta:Gaya Media Pratama
[1] Khallaf, abdul Wahhab (2002)
Kaidah-Kaidah Hukum Islam.Jakarta:RajaGrafindo Persada
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[3] Syarifuddin,Amir (2011). Ushul
Fiqh.Jakarta:kencana
[4] Ibid
[5] Khallaf, abdul Wahhab Op Cit
[6] Syarifuddin,Amir op cit
[8]
Haroen,Nasrun(2007),Fiqh Muamalah.Jakarta:Gaya Media Pratama
[10] Sabiq,Sayyid (2012) Fikih
Sunnah. Jakarta: Cakrawala Publishing
[12] Sabiq, sayyid op cit
[13] Ibid
[14] Cambridge Advanced Learner's
Dictionary - 3rd Edition
[15] Sidney Homer dan Richard Sylla
(1998), A history of interest Rates. London: Rutgers University Press
[16] Karim, Adiwarman (2011), Ekonomi
Makro Islami
[17] Sidney Homer dan Richard Sylla
op cit
[18] Konsep ganti rugi dalam islam
dikenal dengan istilah ta’widh
[19] harta benda yg dapat
dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yg menambah kekayaan.
[20] Karim, Adiwarman op cit
[21] Bentuk jaman dari Naqd
[22] Bentuk jamak dari tsaman,
dilihat dari sudut Bahasa, atsman memiliki beberapa arti, antara lain qimah,
yaitu nilai sesuatu, dan “harga pembayaran barang yang dijual”
[23] Fulus digunakan untuk
pengertian logam bukan emas dan perak yang dibuat dan berlaku ditengah-tengah
masyarakat sebagai uang pembayaran.
[24] Bentuk jamak dari sukak, السِّكَّةُ هِيَ
الْحَدِيدَةُ الَّتِي يُطْبَعُ عَلَيْهَا الدَّرَاهِمُ وَلِذَلِكَ سُمِّيَتْ
الدَّرَاهِمُ الْمَضْرُوبَةُ سِكَّةً besi yang digunakan untuk mencetak dirham,
oleh karena itu dirham yang tercetak dinamakan pula dengan sikkah (al-mawardi, al-ahkam as-sulthaniyyah)
[25] Satuan mata uang yang berlaku
di Negara atau wilayah tertentu, misalnya: umlah yang berlaku di indonesia
adalah rupiah.
[26] Mankiw,N.Gregory
(2009),Macroeconomics.Harvard University:Worth Publishers
[27] ibid
[28] ibid
[29] Karim,Adiwarman op cit lihat
juga Ibn Ruyd,bidayatul mujtahid.
[30] Mankiw,N.Gregory op cit
[31] Al-Ghazali, Ihya ulum al-din
[32] Ibn Khaldun, Muqaddimah
[33] Syaikh Nizham (1980), al-fatawa
al-hindiyah: Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arabi.
[34] Hukum islam yang berkaitan
dengan emas dan perak dimaksud adalah semua hukum tentang sesuatu yang
memerlukan pengukuran seperti nisab zakat, nisab pencurian, dan kadar atau
besaran diyat dan jizyah, hukum-hukum tersebut menegaskan bahwa uang dalam
islam adalah emas dan perak.
[35] Ahmad al-Zarqa; Yusuf
al-Qardhawi; Sayyid Sabiq; Mahmashani.
[36] Qararat Daurah Khamisah
(keputusan seminar kelima)
[38] Abdul Haq (2006), Formulasi
Nalar Fikih: telaah kaidah fikih konseptual. Surabaya: Khalista.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar